He Who Must Not Be Loved
siapa sih manusia yang gak pernah melakukan kesalahan? gak ada. semua manusia yang pernah ada di muka bumi ini pasti punya kesalahan. apalagi aku, yang manusia biasa. tapi kesalahanku rupanya gak biasa aja. efeknya kemana-mana. bahkan masih suka bikin aku merenung dan merasakan betapa bodohnya aku sampai melakukan hal itu.
alkisah, aku diminta oleh panitia acara ulang tahun perusahaan untuk jadi MC. acaranya dihadiri para level Manager Up dan diselenggarakan di ballroom salah satu hotel bintang 5 di Jakarta. mereka minta aku jadi MC karena tau aku pernah punya pengalaman sebagai penyiar di radio kampus. aku iyakan saja walaupun masih belum terbiasa dengan atmosfer perusahaan. untungnya partner MC-ku adalah salah satu MC andalan kantor yang juga penyiar radio yang masih aktif.
aku dan Rian beberapa kali latihan karena kami merasa perlu membangun chemistry supaya acara ulang tahun nanti bisa lancar. ga perlu gagu-gagu, kami udah paham apa yang mau dibicarakan satu sama lain. hari H pun datang. ballroom sudah diisi para tamu yang aku pandangi dari balik panggung dengan deg-degan. sementara itu Rian sibuk narik nafas dan hembuskan. kebiasaan dia kalau mau bawain acara, katanya.
"tenang aja, Tia. semua pasti lancar kok. kan kita udah latihan berkali-kali. sama panitia pun udah dibriefing dengan jelas," Rian menepuk pundak dan berdiri di sebelahku, memandang para petinggi perusahaan dan stakeholder yang sedang bercakap-cakap.
"iya, gue berdoa aja deh," lalu aku pun menunduk dan komat kamit berdoa.
acara mulai. pembukaan, sambutan, semua lancar, sampai salah satu pengisi acara tampil. ini adalah band kolaborasi para karyawan yang pandai bermain musik. mereka mengaransemen ulang lagu Wali yang berjudul "Cari Jodoh" jadi gak terdengar terlalu alay. setelah mereka turun panggung, sudah jadi kebiasaan MC (kebiasaanku) untuk mereview penampilan sebelumnya. siapa sangka saat itu aku masih agak grogi dan bermaksud mencairkan suasana. dari panggung, aku tiba-tiba melihat sosok Pak Raffli, salah satu manajer yang seingatku usianya sudah 30 tapi belum menikah. karena melihat dia, aku refleks berkata, "ya, lagu cari jodoh dari Wali ini cocok banget buat Pak Raffli ya. mungkin sekarang sekalian ajang cari jodoh Pak?" seisi ballroom tertawa, aku tertawa, Rian tersenyum, Pak Raffli tidak. raut mukanya langsung berubah keruh dan duduknya mendadak lebih tegak. saat itulah aku sadar kata-kata aku salah. Pak Raffli tipe orang yang gak banyak bicara, yang artinya (aku yakin) dia gak suka dengan jokes yang kulontarkan barusan. di belakang panggung, Rian langsung menegur dan aku cuma bisa menangis tanpa air mata.
enam bulan setelah kejadian itu, aku mengikuti program training untuk promosi jabatan. memang aku baru 1 tahun kerja di sini, tapi karena di perusahaan sebelumnya jabatanku sama, jadi perusahaan menganggap sudah waktunya aku naik jabatanl, karena itulah salah satu alasan aku mau pindah dari perusahaan baru, ke sini. dalam program ini, aku diharuskan membuat proyek dan mempresentasikannya di depan panelis. jika panelis memberikan nilai yang baik (dan ditambah tugas-tugas yang lain), maka aku bisa naik jabatan jadi Manager. jika tidak, aku tetap di posisiku sekarang.
namun sepertinya Tuhan ingin menghukumku atas perilaku kurang ajar yang aku lakukan 6 bulan lalu. salah satu panelis yang menguji presentasiku adalah Pak Raffli. dia tidak banyak mengajukan pertanyaan selama sesi tanya jawab, hanya 2 kali. pertanyaannya pun aku bisa jawab dengan baik (menurutku). tapi saat pengumuman, rupanya aku tidak lulus karena nilai presentasiku kecil. aku tanya tim yang mengurusi training kenaikan jabatan ini dan dia menjawab sambil tersenyum masam, "Pak Raffli ngasih nilai lo kecil banget. jadi gak narik nilai lo ke batas minimum sekalipun."
aku langsung merasa tak karuan saat itu. di satu sisi, aku merasa kesal karena seharusnya dia bisa melihat secara profesional. yang dia nilai itu proyekku, harusnya dia bisa mengesampingkan urusan sakit hatinya atas tingkah lakuku di acara ulang tahun perusahaan. tapi di sisi lain aku bisa paham landasan perilakunya. salah satu kriteria seseorang bisa menempati posisi yang baik adalah jika attitude-nya sudah sesuai dengan itu. dan presentasiku merupakan bagian dari aku. aku yang menurut dia, kurang baik attituide-nya. aku menghela nafas dan menyerah. menganggap bahwa ini bukan rejekiku, aku harus memperbaiki kekuranganku dan berusaha lebih keras lagi. aku pun sebisa mungkin menjaga jarak dengan Pak Raffli. yang rupanya cukup sulit, karena kami berada dalam satu lantai, meski tidak berinteraksi secara langsung.
kejadian ketidaklulusanku sudah lewat 1 tahun. akan tetapi kami berdua sepertinya masih menyimpan dendam dan jarak satu sama lain. aku, mungkin karena rasa bersalah kepada dia juga, mulai mencari pekerjaan lain. setidaknya jika aku pergi, dia bisa bersikap lebih baik dan tidak perlu merasa canggung.
aku keluar dari toilet sambil menepuk-nepuk tangan, berjalan kembali ke meja sambil bersiul pelan. malam ini aku akan lembur bersama beberapa orang timku dan apa yang bisa kulakukan selain berusaha menikmati? daripada kerja sampai malam ditambah kesal di hati, lebih baik aku bernyanyi. saat aku berjalan masuk, aku melihat Mba Dea, salah seorang manajer yang ceriwis, sedang berdiri di lobby lantaiku. di sampingnya berdiri seorang perempuan tinggi semampai yang seperti artis (entah bagaimana caranya tapi artis selalu bisa terlihat berbeda dari orang lain, sebiasa apapun make up yang mereka kenakan). aku berjalan tanpa menoleh kepada mereka karena merasa tidak punya kepentingan. tapi Mba Dea tiba-tiba memanggilku.
"Tiara, Tiara, sini!" panggilnya dengan suara melengking ceria seperti anak kecil. padahal dia sudah punya anak juga.
aku menoleh ke arah Mba Dea dan menghampirinya. "ya Mba?"
"kenalin, ini Indah," Mba Dea menunjuk perempuan yang berdiri di sampingnya. setelah kuperhatikan, dia memang cantik, tapi biasa. tapi cantik, ya gitu deh, cantik umum. bukan tipe cantik Dian Sastro atau Maudy Koesnaedy yang Indonesia banget atau Pevita Pearce atau Raline Shah yang agak bule.
"Tiara," aku mengulurkan tangan dan dia balas menggenggam tanganku dengan tangannya yang lembut dan dimanikur.
"Indah," suaranya sedikit berat tapi dia tersenyum. aku mulai berpikir mungkin dia sebenarnya ramah, meski auranya sedikit mengancam.
"Indah ini pacarnya Raffli, Ti," lanjut Mba Dea sambil agak cekikikan. "tadi aku cerita sama Indah soal kamu yang becandain Raffli pas ulang tahun perusahaan. terus Indah pengen tahu orangnya yang mana. kebetulan kamu lewat."
mati aku.
"waktu itu kami belum pacaran kok, Tiara. masih aku yang PDKT-in dia. tapi kayaknya gara-gara itu deh dia akhirnya mau nerima aku jadi pacarnya. jadi, aku harus terima kasih sama kamu," Indah menggenggam tanganku saat berkata begitu. ia tidak menganggap kata-kataku ejekan untuk kekasihnya, malah berterima kasih. heran.
"Raffli kadang memang harus dibecandain. anaknya serius banget," lanjut Indah.
aku cuma bisa nyengir kuda.
"oiya Indah ini model lho. beberapa kali tampil di majalah dan iklan ya Ndah? di video klip juga sering," Mba Dea masuk lagi di percakapan kami. aku cuma mengangguk. apa hubungannya dengan percakapan kami tentang Raffli?"
Indah hanya tersenyum tipis.
"mmm, Mba Mba, kalau boleh, saya mau permisi ke dalem. ada yang masih harus saya kerjakan," aku menunjuk ke sembarang arah.
"oiya, silakan. maaf mengganggu ya Tiara," balas Indah sambil sedikit mundur, seakan memberi ruang kepadaku.
aku mengangguk dan berbalik arah. di belakang, aku bisa mendengar suara ceria Mba Dea, "kamu nungguin Raffli di ruanganku aja Ndah,"
oh.
***
"sayang, kamu bisa jemput aku nanti malam kan? deket kok sama kantor kamu," suara manja Indah terdengar dari ponsel yang ku-loudspeaker. aku melirik arloji.
"ya, jam 7 aku sudah di lokasi," aku menyanggupi. akhir-akhir ini Indah sering memintaku menjemputnya ke lokasi syuting padahal sebelumnya tidak pernah. dia bilang aku terlalu sibuk dengan pekerjaan jadi dia meminta perhatian lebih. salah satunya dengan begini.
"jangan, jam 8 aja. kalau jam 7 takutnya belum selesai dan kamu lama nunggunya," balas Indah lagi.
"oke,"
"see you soon, Raffli sayang. muach!" sebelum aku sempat membalas apapun dia sudah menutup teleponnya. masih ada waktu beberapa jam untuk membereskan pekerjaanku sebelum meluncur menjemput sang artis.
aku tahu tabiat Indah karena kami sudah berteman sejak SMA. aku tahu kalau ia tidak suka menunggu, tapi tidak masalah jika aku yang menunggu. jadi, seperti yang kujanjikan sebelumnya, jam 7 aku sudah berada di lokasi syutingnya. meski begitu, aku tidak mengabarinya. setelah memarkir mobil, aku berjalan menuju tenda artis. mungkin bermaksud memberikan kejutan kepada Indah? entahlah. aku bukan tipe orang yang suka memberikan kejutan, sebetulnya. tanpa perlu banyak bertanya, aku sudah menemukan tenda Indah karena aku melihat Runi, asisten Indah berjalan keluar dari tenda. aku tidak menyapa Runi karena ia tampak terburu-buru. dugaanku, Runi diminta mengambil sesuatu dari tenda oleh Indah di lokasi dan Indah tidak suka menunggu. sehingga Runi terburu-buru begitu.
aku berjalan pelan menuju tenda. rerumputan menyembunyikan langkahku dan cahaya bulan menerangi langkahku. aku sampai di depan tenda dan sebelum tanganku menyingkap pintu tenda, aku tertegun. dari dalam terdengar bunyi seperti orang sedang bermesraan. beberapa kali bunyi desahan. aku terdiam. ragu-ragu apakah akan mundur atau bertindak esktrim dengan tiba-tiba membuka pintunya. rasa penasaranku menang dan kuulurkan tanganku ke celah diantara tenda yang tertutup itu. kugerakkan mataku ke celahnya dan mengintip melalui lubang itu.
di dalam, aku melihat dua orang sedang saling melingkarkan diri kepada yang lain. aku menyadari bahwa si perempuan adalah Indah. dari rambutnya yang diberi highlight ungu terang dan pernah dia pamerkan kepadaku pekan lalu. dia sedang dipeluk dan diciumi oleh seseorang, yang aku tidak tahu siapa. jantungku berdegup. pelan-pelan kutarik jariku dan celah itu menutup lagi. aku berjalan mundur. berusaha menyangkal bahwa pemandangan di depanku bukanlah pemandangan yang dilakukan oleh kekasihku. namun bayangan itu tampak begitu nyata, bahkan saat aku berjalan menjauhi TKP perselingkuhan. aku tahu itu nyata, karena Indah sendiri yang mendesak hair stylist-nya agar tak memberikan gaya rambut itu kepada orang lain.
aku kembali ke mobil dan terdiam beberapa lama. ponselku berdering pada jam 7.55, dari Indah.
"sayang, aku udah selese nih,"
udah selese selingkuhnya? balasku dalam hati.
"ya, aku juga baru sampai,"
***
"Tiara, lo yakin belum mau balik? udah jam 9 lho ini!" Yuri melirik jam tangan dan aku bergantian, untuk kesekian kalinya. untuk kesekian kalinya juga aku melambai padanya.
"duluan aja Yur. kasian Reyna kelamaan nunggu lo pulang," Reyna adalah putri kecil Yuri yang selama Yuri bekerja, dititipkan pada nanny.
"iya sih, tapi lo ama siapa?"
"security masih ada kan?"
"ada sih," Yuri diam. "kayaknya."
"hahahaha, nakutin aja lo," aku langsung menelepon nomro extension security dan memastikan bahwa masih ada dia di lobby. ternyata masih ada 3 orang lain yang juga lembur di bagian yang lain.
"i'll be fine, kok Yuri," aku menenangkan Yuri lagi.
Yuri mengangguk. ia membereskan tas dan botol susunya. "jangan sampe keseringan begini deh lo. pantesan perawan tua lo,"
aku melempar kertas ke arah Yuri. "heh, sialan lo. gue baru 27 kali ya. belom tua-tua amat,"
Yuri tertawa dan meminta maaf. "ya udah gue balik duluan ya. bye, cin."
aku melambai kepada Yuri. saat sosoknya sudah tak terlihat lagi, aku duduk bersandar. menghela nafas sambil memandangi grafik beraneka warna di hadapanku. laporan ini harus kuselesaikan untuk bahan rapat atasanku esok pagi. tinggal sedikit lagi dan aku bisa pulang.
tepat setelah menekan tombol SEND di email berisi laporan warna warni itu, muncul 1 email baru dari orang yang tak kuduga.
From: Raffli Mahendra
To: Mutiara Dera Cantika
Subject:
belum pulang?
aku bengong. tapi jariku refleks menekan tuts keyboard.
From: Mutiara Dera Cantika
To: Raffli Mahendra
Subject: RE:
baru mau pulang Pak
aku mengklik tombol SEND dan sedikit deg-degan menunggu balasannya. saat aku pasrah bahwa sepertinya Pak Raffli tidak akan membalas lagi, terdengar bunyi PING dan aku kembali menghadapi monitor PC.
From: Raffli Mahendra
To: Mutiara Dera Cantika
Subject: RE:
bisa ke ruangan saya?
glek. ada apa nih? kenapa aku tiba-tiba dipanggil ke ruangannya? ada kesalahan yang aku lakukan? perasaan sudah lama sejak tragedi itu, aku tidak pernah berinteraksi lagi dengan dia.
From: Mutiara Dera Cantika
To: Raffli Mahendra
Subject: RE:
ya pak.
buru-buru kumatikan PC dan kumasukkan segala barang yang masih tercecer ke dalam handbag. dengan langkah cepat tapi cemas, aku berjalan memutari setengah lantai menuju ruangan Pak Raffli. saat itu aku memang melihat beberapa orang yang sedang lembur dan bersiap pulang. mereka yang dimaksud oleh Security, nampaknya. pintu ruangan Pak Raffli terbuka sedikit. kupikir ia sedang lembur, mumet menghadapi data, tapi ternyata dia sedang berdiri memandangi pemandangan Jakarta di kala malam. dari tempatku berdiri saja kerlap kerlip kota Jakarta sudah begitu menakjubkan. aku mengetuk pelan pintunya dan ia menoleh. saat itu aku baru menyadari penampilannya berbeda dari biasanya. dasinya sudah dilepas dan kancing kemejanya sudah dibuka satu. lengan kemejanya juga digulung hingga ke siku. rambutnya yang biasanya rapi sekarang sedikit berantakan. ia tidak terlihat seperti unmarried man usia 31. ia seperti seumur denganku.
Pak Raffli ini gak jelek sebenernya. banyak perempuan di kantorku bahkan menganggap ia tampan. apalagi dengan kecerdasannya. tapi ia tidak pandai berhubungan dengan orang lain. pendiam, kaku. jadi kupikir saat ada perempuan yang mendekatinya pun ia bingung harus berbuat apa. beruntung sekali dia bisa berhasil mendapatkan Indah sang model. memang sih Indah terlihat seperti orang yang tidak mudah menyerah.
"masuk, Ra," ia memberi isyarat kepadaku untuk masuk. aku menurut. "tutup pintunya, duduk."
lagi-lagi aku menuruti perintahnya. khawatir jika aku berani membantah, ia akan semakin benci kepadaku. di luar kesalahanku dulu yang aku sangsi apakah sudah dia maafkan atau belum.
ia masih berdiri di samping jendela saat aku bergerak untuk duduk. pelan-pelan kuletakkan handbag di pangkuan dan kutatap sosoknya yang balas menatapku dengan....dingin? setelah satu detik saling memandang, ia berjalan memutar. kupikir ia akan duduk di kursinya, di hadapanku. rupanya ia memang duduk di hadapanku, tapi di sisi meja. sehingga posisi kami cukup berdekatan. aku mundur sedikit, sebisa mungkin tidak menunjukkan bahwa aku tidak mau dekat dengannya. takut menyinggung perasaannya lagi.
"kenapa masih di kantor sampai malam?" akhirnya dia bertanya, setelah kami berdua saling terdiam. entah sejak kapan atmosfer di ruangan ini berubah. dari kekakuan antara bos dan anak buah, menjadi kekakuan antara laki-laki dan perempuan di ruangan tertutup, di jam 10 malam.
"ada laporan yang baru saya selesaikan untuk meeting Pak Heru besok pagi, Pak." jawabku pelan. rasanya kemampuan berkomunikasi yang kumiliki setelah bertahun-tahun jadi penyiar, menghilang saat di hadapannya.
Pak Raffli menggeleng. "Raffli aja, ga usah pake Pak."
wow, apa dia berusaha lebih dekat denganku?
"oke... Raffli," sahutku pelan.
"maaf karena menggagalkanmu di proses promosi," dia melanjutkan. masih dengan nada, tatapan, dan postur yang sama.
"ah, soal itu." aku beranikan diri menatap wajahnya. setelah sedari tadi aku menatap pajangan snow globe di mejanya. "saya udah gak mikirin lagi kok."
Raffli mengangguk. kami berdua terdiam lagi. entah apa yang ada di pikiran Raffli karena dia tiba-tiba mengulurkan tangannya memegang daguku dan mendekatkan wajahnya ke arahku. saat kusadari apa yang akan dia lakukan, aku refleks menunduk dan berdiri.
"why?" tanyanya polos.
jantungku berdegup kencang. tangan kananku mencengkeram bagian depan kemeja, berusaha menghentikan jantung yang berdegup dua kali atau bahkan 1000 kali lebih cepat. sementara tangan kiriku memegang handbag. siap kujadikan tameng jika kurasakan diriku dalam bahaya. aku bersandar di dinding sejauh mungin dari Raffli yang memandangku dengan heran. dia juga sudah berdiri sekarang.
"Raffli, Pak Raffli, aah, kamu mau ngapain?" aku tergagap. bukannya aku tidak pernah dicium. tapi tiba-tiba akan dicium oleh orang yang bukan pacarku, di jam 10 malam, di kantor yang sepi, oleh orang yang notabene adalah atasan, belum pernah aku alami sebelumnya. apalagi Raffli biasanya pendiam dan tak banyak tingkah. aku tidak menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu.
"aku mau minta maaf," jawabnya polos. entah dia memang seperti ini atau ini salah satu taktik buayanya. siapa tahu ternyata dia diam-diam playboy cap kelas edamame. dia berjalan mendekat ke arahku. pintu hanya berjarak satu meter dan bisa kucapai dalam 2 langkah besar. tapi kakiku terasa lemas dan aku bahkan tak sanggup bergerak saat Raffli semakin dekat denganku.
akhirnya dia yang menang. kedua tanganku terkulai lunglai di sisi tubuhku saat Raffli akhirnya menempelkan bibirnya di bibirku. pelan, tapi pasti. aku heran karena tubuhku tidak bisa bergerak seperti apa yang aku minta. jadi aku hanya diam.
di luar tiba-tiba terdengar suara Security mengobrol dengan orang-orang yang sedang lembur. Raflli rupanya mendengar itu juga. karena dia tiba-tiba menjauh untuk mematikan lampu ruangan dan kembali ke depanku sambil meletakkan jarinya di bibirku. tanpa dia suruh pun aku sudah tak mampu melakukan apapun lagi. aku menatap matanya yang balas memandangku dengan tatapannya yang belum pernah kukenal. aku masih bisa memandanginya dari cahaya di luar yang gemerlapan.
suara-suara itu kelamaan menghilang. sepertinya security menganggap bahwa aku dan Raffli sudah pulang. Raffli perlahan menurunkan jarinya dari bibirku dan menggantinya dengan bibirnya sendiri.entah apa yang terlintas di pikiranku saat aku pasrah menghadapi Raffli.
***
cahaya matahari menembus jendela. membuatku mengerjapkan mata berkali-kali. saat kubuka mata, aku memandangi langit-langit yang sama putih seperti kamarku tapi saat kugerakkan kepalaku sedikit, kulihat meja kerja yang masih agak berantakan. di kamarku tak mungkin ada meja kerja. aku membuka mata lebih lebar dan meregangkan tubuh, di situlah aku menyadari bahwa Raffli sedang tidur menelungkup di meja kerjanya. pasti sakit tidur semalaman seperti itu. setelah dia berhenti menciumku, kami malah duduk berjauhan, dia di meja dan aku di sofa, mengobrol semalaman tentang berbagai hal. kubangunkan dia.
"Tiara?" panggilnya dengan suara serak. ia duduk dan mengerjapkan matanya
aku mengambil barang-barangku. "aku akan pulang," hanya itu yang bisa kukatakan. dia menguap dan berdiri.
"ya, ya,"
kuambil handbag dan setelah memastikan penampilanku cukup rapi, aku melangkah menghampiri pintu.
"Tiara," panggilnya lagi. "apa yang terjadi malam ini, begitu kamu keluar dari ruangan saya, akan kita anggap tidak pernah terjadi apa-apa kan?"
aku memandangnya sebentar dan mengangguk. tanganku terulur untuk menyentuh gagang pintu namun aku terdiam lagi.
"aku akan berpura-pura kita tidak saling mengenal," kataku dengan nada sesinis yang aku bisa. dia mengangguk dan aku pun keluar. kantor masih sepi. aku berjalan pelan dan saat sudah semakin jauh dari ruangannya, aku berlari. menekan lift berkali-kali, seakan dengan begitu lift bisa terbuka lebih cepat. ketika akhirnya lift terbuka, buru-buru aku menekan tombol lantai dasar. di dalam kotak besi itu aku berjongkok dan menangis. bahwa ternyata Raffli bukan hanya sekedar seorang bos tapi lebih dari itu. bahwa dia tidak bisa kumiliki, itu yang membuatku menyesal mengapa menikmati waktu yang kami habiskan tadi malam.
***
hari itu aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. aku bilang aku sakit. memang, seluruh tubuhku sakit. apalagi hatiku. aku berniat untuk bergelung seharian di tempat tidur namun sebuah telepon membatalkan rencanaku. di akhir hari, aku sudah memiliki pekerjaan baru. sesuatu yang memang aku butuhkan. malam itu juga aku menelepon Pak Heru dan menyampaikan hasil pertemuanku dengan perusahaan lain. Pak Heru terdengar murung. aku memang tidak secara gamblang menunjukkan bahwa aku akan resign, tapi seluruh dunia pun tahu maksudku menelepon sang atasan adalah itu.
Pak Heru sudah menungguku di ruangannya keesokan pagi. kami berbincang selama hampir tiga jam. sehingga ketika aku keluar dari ruangan Pak Heru, teman-teman sudah siap untuk menyantap makan siang. Pak Heru mengijinkanku pindah, karena dia yakin aku mampu berkembang lebih baik di perusahaan baruku. aku tak menunggu lama, bahkan menolak tawaran Yuri untuk mencicipi bekalnya yang selalu luar biasa. aku langsung menuju Divisi HRD dan mengurusi pengunduran diri.
akhir pekan berikutnya, mejaku sudah bersih. sebagian besar barang sudah kubawa pulang untuk kubawa ke tempat baru senin nanti. hanya tersisa beberapa barang yang bisa kubawa dalam tas. Yuri berdiri di sampingku dan manyun.
"gue bakal kehilangan temen gosip dan temen diskusi," Yuri memeluk pundakku dan menyandarkan kepalanya di pundakku.
"gue sih bakal kehilangan supply kopi kalau gue ngantuk," tambah Ojan dari sisi lain aku berdiri. ia bermaksud memelukku juga tapi Yuri menepuk tangannya.
aku tertawa. "kita kan masih bisa ketemu lagi nanti,"
Yuri, Ojan, dan yang lain mengangguk. sore itu, aku keluar dari gedung berlantai 35, siap melangkah ke dunia yang baru.
***
mungkin orang tidak tahu bahwa aku sebenarnya brengsek. memang ada sebuah lelucon yang mengatakan bahwa hanya ada dua tipe pria di dunia ini, homo dan brengsek. aku masih menyukai perempuan dan itu memasukanku ke kategori lainnya, brengsek. setelah untuk pertama kalinya aku memergoki Indah, aku belum memutuskan dia. aku malah 'membalasnya' dengan melakukan hal yang sama kepada wanita lain. sungguh aku masih merasa sebagai pria yang paling jahat di seluruh dunia. tapi harus kuakui bahwa aku menikmati waktu bersama Tiara, lebih dari saat aku menghabiskan waktu dengan Indah, yang sudah kukenal hampir belasan tahun.
selain brengsek, aku juga mungkin bodoh. abaikan jabatan dan predikat yang kuterima dari kantor maupun kampus. karena setelah tahu bahwa kekasihku memiliki pria lain (dan aku pun melakukan hal yang sama), aku masih setia menjemput Indah di lokasi syutingnya. kali ini dia sedang menjadi model video klip untuk salah satu band papan atas, yang vokalisnya terkenal gonta ganti pasangan.
Indah memintaku menjemputnya di lokasi pukul 5 sore. rencananya (rencana Indah, tentu. dia yang banyak menentukan dalam hubungan kami). kami akan menikmati malam Minggu seperti layaknya ABG. padahal usiaku sudah 31 dan dia 29. sungguh jauh dari kategori ABG.
namun aku sudah tiba di lokasi pukul setengah 5. kali ini syuting berlokasi di sebuah hotel bergaya vintage. aku bertemu dengan Runi yang sedang bengong memandangi syuting yang sedang berlangsung. beberapa model sedang merubungi para anggota band, di lobby yang disulap menjadi ruangan megah.
"Run," panggilku.
"eh, Mas Raffli," Runi tampak kaget, ia berdiri dan memunggungi pengambilan gambar.
"Indah mana?"
"Mba Indah lagi istirahat di kamar," jawab Runi polos. Runi memang masih sangat muda, 21 tahun dan begitu polos. cocok dengan Indah yang kadang begitu bossy.
"kamar berapa?"
"kamar 305 mas. ini kuncinya kalau mau,"
aku menyeringai, menepuk pundak Runi. "thanks Run."
kepolosan Runi seperti minyak ke dalam api keberanianku yang sudah mulai berkobar namun masih terlalu kecil. jika apa yang kulihat kali ini sesuai dengan apa yang kuduga, maka aku tak ragu lagi.
kunaiki lift menuju lantai 3. aku berjalan pelan dan hampir mengendap-endap padahal itu tak perlu karena karpet di hotel ini cukup tebal sehingga meredam langkahku. aku sampai di kamar 305 dan pelan-pelan kumasukkan card key ke tempatnya. saat lampu indikator berubah hijau, pelan-pelan kudorong pintu. pemandangan yang menyambutku makin menguatkan dugaan yang kudapat sejak aku menginjakkan kaki di hotel ini. blus perempuan. kemeja laki-laki. jeans laki-laki. bra. suara latar belakang pun menambah kecurigaanku. suara jeritan, erangan, dan segala macam yang mampu dihasilkan, terdengar bergantian. aku berjalan lebih jauh dan berikutnya dalam hati aku berteriak kegirangan. hipotesaku benar. mereka sedang terlalu asyik bermain.
rambut ekstension ungu itu terbering berantakan di atas tempat tidur sementara si empunya tampak menikmati apa yang lawannya lakukan terhadap aset dirinya yang berharga. pria itu, kusadari adalah sang vokalis band yang absen pada sesi pengambilan gambar di bawah.
"ehm," aku bersandar di tembok dan berdeham. mendengar suaraku, keduanya langsung terdiam dan menoleh ke arahku, Indah terlihat kaget dan langsung mendorong si vokalis menjauh. si vokalis terhuyung tapi buru-buru memantapkan berdirinya. ia merasa tidak perlu menutupu tubuhnya sedikit pun. sementara itu, Indah langsung gagap mencari selimut dan menutupi tubuhnya yang kata orang, sesuai dengan namanya.
"sayang, ka-kamu kok, di-disini?"
"kan kamu yang menyuruhku menjemput di lokasi syuting," aku menjawab sambil tersenyum. seakan-akan sebelumnya tidak melihat apa-apa. Indah gelagapan. sementara si vokalis mengumpat pelan dan bermaksud berjalan melewatiku, menghampiri pakaiannya yang tercecer di lorong.
"wait bro," aku menahan pundaknya. dia menepis tanganku dan akupun mundur sambil mengangkat kedua tangan. "gue dan Indah dulu memang pacaran. tapi gue ga pernah menyentuh dia. mencium pun nggak. jadi, gue rasa, lo lebih berhak untuk memiliki dia."
aku berpaling kepada Indah. "Indah, maaf kalau aku brengsek dan memperlakukan kamu seperti barang. tapi aku yakin bahwa kamu lebih bahagia dengan dia. dia lebih mengerti duniamu. dia bisa memberimu materi lebih banyak dari aku. aku harap kalian bahagia Ndah."
setelah berkata begitu, aku pun berjalan mundur dan keluar dari kamar. sempat kulihat Indah akan mengejarku tapi si vokalis menahannya. tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke mobil dan menelepon teman-temanku. Boys Night Out, it is.
***
Senin pagi aku datang ke kantor dengan semangat baru. aku bahkan bersiul-siul. membuat orang terheran-heran menatapku, Security bahkan mengutarakan pertanyaannya langsung, "Pak Raffli beda sekali hari ini. lagi senang ya Pak?"
"I love Monday, Pak," balasku dan menepuk pundak bapak security. alih-alih berjalan ke sebelah kanan ke ruanganku, aku berbelok ke sebelah kiri. bermaksud menghampiri Tiara dan mengajaknya makan siang atau apa. namun belum sampai ke mejanya, aku sudah melihat bahwa mejanya masih rapi. mungkin dia terlambat. banyak orang terlambat di hari Senin. aku pun berbalik dan bermaksud mengajaknya makan malam saja.
setelah jam makan siang, saat aku bermaksud untuk menghadiri meeting dengan Board of Directors, aku menyempatkan diri menghampiri meja Tiara. meja itu masih sama seperti saat aku melihatnya tadi pagi. kuberanikan diri menghampiri meja tersebut.
"ada yang bisa dibantu, Pak?" seorang perempuan berdiri dan menghampiriku. aku pasang kembali ekspresi yang biasa kutampilkan.
"saya mau cari Tiara,"
perempuan itu berpandangan dengan rekannya dan keduanya kompak memandangku dengan heran.
"Tiara sudah resign dari dua minggu lalu pak," jawabnya lagi.
"hah?" itu adalah respon yang refleks keluar dari mulutku. "resign?"
dia mengangguk, temannya juga.
"kemana?"
"saya gak tahu pasti pak," jawab rekan kerja Tiara itu, setelah jeda satu detik lebih lama dari waktu menjawab seharusnya.
"ya udah, saya minta nomer hape Tiara," aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan bersiap memasukkan nomor Tiara, yang kusadari tidak pernah kumiliki, saat kali ini suara si rekan laki-laki yang menjawab.
"Tiara gak mau Bapak tahu info apapun tentang Tiara setelah dia pindah Pak,"
aku mengerutkan kening. "kenapa?"
"saya rasa Bapak sendiri sudah tahu jawabannya," dia menjawab lagi.
"ya," lalu aku pun berpaling, rapat yang kuikuti berikutnya lebih banyak berisi panggilan terhadapku daripada diskusi mengenai produk baru perusahaan kami.
***
merayakan ulang tahun biasanya bertabur bunga, kue, ucapan, dan kado. sedangkan aku, memang dikelilingi kue-kue cantik, tapi pesanan konsumen cupcake langganan toko adikku.
"maaf ya kak jadi ngerepotin," sahut Bintang sambil menata beberapa cupcake ke dalam wadah.
"hmm. asal bayarannya sesuai aja sih," aku bersandar ke dinding di balik etalase. Bintang tidak bisa dibantu saat menata ini. lagipula--seperti yang dia ucapkan berkali-kali--tugasku hanyalah menyampaikan kue-kue itu hingga ke tangan pemesannya, dengan selamat.
"iya, cupcake khusus untuk ulang tahun kakak kan? yang dimakan saat kita makan malam keluarga nanti?" kata Bintang sambil tersenyum.
belum sempat aku membalas ucapan Bintang, kakak sulungku sudah keburu menimpali. "ulang tahun ke-28 kok masih sama keluarga aja? kapan sama suami?"
aku langsung melempar bundel kuitansi ke arahnya, yang dia hindari dengan tepat. kakakku, Jati, memang yang paling usil diantara kami. hari ini ia sengaja mampir ke rumah keluarga (yang juga toko kue Bintang) karena aku berulang tahun. anak dan istrinya baru akan dia jemput dari sekolah.
Bintang terkikik melihat kelakuan kedua kakaknya. Bintang masih belum banyak dicerca pertanyaan seputar pernikahan karena usianya baru 24 tahun. untunglah makan malam hari ini hanya antara aku, Bintang, ayah, bunda, Jati, Ria, dan Tomtom. kalau ada keluarga besarku yang lain, habislah.
"nih kak," Bintang menumpukkan sekitar 10 meter dus (bercanda) yang harus kuantarkan seharian itu. Bintang menyerahkan bon berisi alamat pengantaran kepadaku.
"meluncur bos!" sahutku sambil menghormat.
"tiati Kak," Bintang menepuk pundakku. "itu dusnya udah disusun berdasarkan alamat ya. jadi yang paling atas diantar pertama, yang paling bawah diantar terakhir. bonnya juga udah sesuai. yang naro ke motor biar Mamat aja kak."
"iya Bintang, kamu udah bilang itu berjuta-juta kali, tenang aja." aku mengacak rambut Bintang dan melangkah keluar toko mengikuti Mamat, yang hati-hati menaruh dus berisi cupcake itu ke dalam wadah kecil yang disimpan di bagian belakang motor skuter milik toko kue Bintang.
aku meluncur di jalanan Jakarta yang ramai di hari Sabtu.
***
aku sudah harus sampai di rumah paling lambat pukul 3. agar aku masih bisa membantu bunda dan Bintang untuk memasak hidangan ulang tahunku. setelah memasak, mandi, dan akhirnya jadi birthday girl sesungguhnya.
aku mencocokkan angka yang tertempel di dinding putih rumah sederhana dengan halaman yang asri dan ring basket di halaman depan. sama dengan yang tertempel di nota terakhir. aku menekan bel sekali, tidak ada yang menyahut. kutekan bel sekali lagi, masih tidak ada yang menjawab. aku merogoh saku celana jeans, bermaksud menelepon nomor si pemesan saat akhirnya pintu rumah terbuka.
"ah," aku menaruh ponsel kembali ke dalam saku celana. saat kusadari siapa yang membuka pintu, aku refleks melangkah mundur.
"Tiara," panggilnya. suara itu. suara yang berbisik lirih memanggil namaku di malam gelap berhiskan cahaya dari Jakarta di waktu malam. suara yang membuatku sulit tidur selama hampir sebulan ini. suara yang diam-diam kurindukan.
namun aku merasa bersalah. aku merasa tak pantas. aku merasa memang sudah kewajibanku untuk menjauh darinya. maka aku semakin melangkah mundur, bahkan bermaksud untuk segera menaiki skuter dan kembali ke rumah. kalau tak ingat bahwa ini tugas yang diberikan adikku tersayang.
Raffli sampai di depan pagar dan bermaksud membuka pintu pagar. namun aku memekik. menahan agar dia tidak membukakan pagar. aku sendiri sekarang berdiri begitu dekat dengan motor, sejauh mungkin dari dia. dia terlihat kebingungan tapi dia menuruti permintaanku.
"a-aku cari rumah Chika,"
"dia adikku," jawab Raffli.
damn. pikirku dalam hati. aku mengangguk. membuka tutup kotak dan mengambil cupcake yang tersisa. tanpa berlama-lama, aku serahkan kotak cupcake itu, bahkan sedikit agak mendorongnya ke arah Raffli.
"ini, tandatangan," aku menyodorkan tanda terima dan pulpen di atas kotak cupcake yang kini dipegang Raffli. aku memandang tanah saat berkata itu.
"tidak," jawab Raffli.
aku mendongak, mengernyit memandangnya.
"ini pesanan Chika, biar dia yang menerima. masuklah dulu," Raffli menolehkan kepala ke arah rumah.
aku menggeleng. cepat kuambil tanda terima dan pulpen lalu berbalik.
"biar kutandatangan sendiri," aku bergumam.
mesin motor kunyalakan tanpa repot-repot aku memasang helm dan jaket.
"Tiara!" Raffli memanggilku tapi kuabaikan. dari spion aku bisa melihat dia kebingungan dimana menaruh kotak cupcake saat dia akan mengejarku. akhirnya dia meletakkannya di tanah. lalu dia membuka gembok dengan sedikit kesulitan. saat pintu pagarnya berhasil terbuka, aku sudah meluncur dengan motor.
***
"kalau ada siapapun pelangganmu menanyakan aku, jangan pernah beri mereka kesempatan untuk bertemu denganku. oke?" itu adalah kalimat pertama yang kusampaikan kepada Bintang begitu aku memasuki rumah. Bintang menatapku dengan kebingungan, tapi dia mengangguk. aku ikut mengangguk dan berjalan cepat, bahkan berlari, menuju kamarku. padahal seharusnya aku mulai membantu bunda memasak di dapur.
"ya ampun," aku menundukkan kepala dan meletakkan wajah di kedua tanganku. kenapa kami harus bertemu lagi?
***
"nih," aku menyodorkan kotak berwarna biru muda dan pink itu ke meja belajar adikku. Chika berdiri dari tempat tidur dan menghampiri kotak cupcake pesanannya.
"wah, udah nyampe!" Chika membuka tutup kotaknya dan tampillah 9 cupcake berwarna hijau kuning dengan berbagai topping dan wajah orang. "bagus banget."
"pesen buat apaan?" tanyaku penasaran. seingatku hari ini tidak ada acara penting apapun.
"hari ini Chika dan Sandi kan 2 tahunan kak. malam nanti kami mau dinner bareng dan aku mau kasih Sandi cupcake ini," Chika mengangkat salah satu cupcake dan mengaguminya.
"bah," balasku.
"kakak sih kelamaan jomblo. jadi udah lupa rasanya gimana punya pacar,"
"heh," aku menjitak kepala Chika yang 9 tahun lebih muda dariku. dia tertawa.
"nih, 3 biji buat kakak, mama, dan papa. sisanya buat Sandi ya," Chika mengeluarkan 3 cupcake dengan topping paling sederhana.
"buat keluarga sendiri kok malah yang paling biasa?" kecewa.
"kalau kakak atau mama atau papa ulang tahun, aku kasih yang lebih bagus deh. ngomong-ngomong, kapan datengnya? siapa yang nganter? Mba Tiara bukan?"
aku mengerutkan kening sebentar. Chika kenal Tiara juga?
"tadi jam 2an. mana kakak tahu siapa yang nganter. kan cuma nerima doang," bohong. padahal aku kenal betul siapa yang mengantar pesanan cupcake adikku ini. bahkan hingga seluruh bagian wajahnya pun aku hafal.
"oh. pas aku tidur siang ya? sayang banget. padahal aku mau ketemu Mba Tiara," Chika merapikan cupcake yang akan dia bawa nanti malam dan menutup kotaknya lagi.
"memangnya kenapa dengan dia?" aku pura-pura terdengar tidak peduli dan seakan-akan bertanya karena menghormati adikku.
"aku ketemu dia pas di rumah Kalista, Kalista pesen cupcake dan yang anter Mba Tiara. kami sempet ngobrol bentar dan Mba Tiara ternyata punya pengalaman di bidang radio gitu. kalau dia dateng ke sini hari ini, tadinya mau aku minta ngobrol. karena aku dan temen-temen juga punya rencana bikin radio kampus. kemarin ga sempet minta nomer hapenya,"
kakakmu ini juga lebih dari ingin mengobrol dengan dia. "tinggal telepon aja tokonya, bisa kan?"
Chika melongok ke dus Star Cupcakes dan membaca alamat serta nomor telepon disana. "ini nomor telepon toko. waktu aku telepon juga yang angkat, yang punyanya, Bintang,"
"ya kamu tinggal telepon aja tokonya, minta nomornya Tiara. bisa kan?" setelah itu kakak minta juga nomornya.
"wah bener juga! kakak pinter banget! nanti aku telepon deh. sekarang aku mau siap-siap ketemu Sandi dulu," dan adikku pun melenggang menuju kamar mandi sambil bersiul. berbeda sekali nasib dia dengan kakaknya.
***
"udah belum?" tanyaku saat Chika memasuki rumah setelah Sandi mengantarnya pulang. aku sengaja menunggu Chika pulang sambil bekerja (ya, aku tahu betapa menyedihkannya aku).
"apanya?" tanya Chika sambil melepaskan sepatu yang bertali-tali.
"nomor telepon Tiara," jawabku refleks.
"belum," Chika diam, memandangku heran. "lhoooo kok jadi kakak yang ngebet minta nomer teleponnya Mba Tiara? ciyeeeeee, udah lupain Mba Indah yaaaa?"
"apaan sih," sadar taktikku salah, aku berbalik menjauhi Chika, menutup laptop dan bermaksud kembali ke kamar saat kausku ditarik.
"nih, udah tersambung sama Bintang. ngomong sendiri ya," Chika menyeringai dan menyerahkan ponselnya kepadaku. dia sendiri berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
aku meletakkan laptop kembali di meja dan duduk dengan tegang di sofa. setiap bunyi nada sambung seakan mendorong kelereng semakin dekat ke kerongkonganku.
"halo, dengan Star Cupcakes," akhirnya telepon itu diangkat juga.
"ehm, halo, ini salah satu pelanggan yang tadi cupcake-nya diantar oleh Mba Tiara. bisa, er, minta kontaknya?"
***
Bintang menatapku tiba-tiba saat dia menelepon. aku kembali memandangnya melalui pantulan cermin. kami sedang bersiap untuk tidur.
"apa?" tanyaku, berbalik menghadap Bintang yang menganga.
Bintang menutup gagang telepon dan berbisik kepadaku. "ada yang nanyain kontak kamu ka. sesuai prediksi kakak tadi. kakak kok hebat sih?"
aku langsung tahu siapa yang paling mungkin meminta nomor kontakku. aku langsung bangkit dan menggeleng kuat-kuat kepada Bintang. dia mengangguk dan kembali ke percakapan di telepon.
"maaf, kami ga bisa ngasih kontak pegawai," kata Bintang. pegawai? mataku membelalak. tapi lebih baik lah daripada nomorku dibocorkan kepadanya. "kalau ada keperluan tentang Cupcakes, bisa langsung ke saya aja."
mereka berbicara lagi selama beberapa lama. Bintang berkali-kali meminta maaf. saat akhirnya sambungan telepon ditutup, Bintang menatapku heran.
"kakak gak ngasih tanda terimanya ke dia? katanya dia butuh itu buat reimburse biaya cupcake ke kantor,"
"haaaahh?"
***
larut malam aku baru kembali ke rumah. jabatan baru di tempat baru ini menguras tenaga dan pikiranku. saat sampai di depan rumah, kulihat toko masih terang benderang padahal harusnya sudah tutup di pukul 10 lalu. aku turun dari motor Andri, salah satu stafku yang sukarela mengantarku padahal rumahnya agak memutar dari rumahku, belum lagi dia sudah ditelepon istrinya berkali-kali.
"thanks ya Ndri. sampein salam buat Bunga," sahutku saat menyerahkan helm kepada Andri.
"iya Bu, sama-sama. permisi Bu," aku mengangguk dan Andri pun berbalik, menjalankan motornya dengan kecepatan yang tak berani ia jalankan saat memboncengku.
aku berbalik dan berjalan menuju rumah, saat kulihat apa--siapa--alasan yang membuat Star Cupcakes masih terang di jam setengah 11 malam.
Bintang berdiri dengan gugup. ia memandangku dan tamunya bergantian. sang tamu memandangku tanpa ekspresi, sama seperti yang kulihat sehari-hari. pelan-pelan, dia membuka pintu Star Cupcakes. gerakannya seakan menjadi isyarat bagiku untuk mempercepat langkah. aku berlari menuju pintu rumah, memasukkan kunci ke lubangnya dan buru-buru masuk dan menguncinya lagi sebelum Raffli berhasil menangkapku.
***
aku menatap pintu dengan kecewa. kenapa dia tidak mau bertemu denganku? sebegitu takutnya kah dia kepadaku?
"maaf, sebenarnya Mas ada perlu apa ya dengan kakak saya? kalau soal tanda terima kan..."
"ah, gak apa-apa. saya cuma mau bilang makasih secara langsung aja," aku melambaikan tanda terima. "tapi kayaknya dia gak mau ketemu sama saya. saya pamit aja kalau gitu,"
Bintang, adik dari sang Mutiara, mengangguk. aku berjalan menuju mobil, menoleh sekilas menuju jendela yang tadinya gelap dan sekarang lampunya menyala. kutebak itu adalah kamar orang yang baru saja menghindariku. kupandangi tanda terima yang berhasil kudapatkan. termasuk di dalamnya nomor telepon Tiara yang akhirnya berhasil kudapatkan.
***
apa yang kulakukan disini sebenarnya? aku masih punya setumpuk laporan yang harus kukerjakan untuk bahan meeting pekanan besok. tadinya aku bermaksud membawa laptop tapi jika ya, aku akan terkesan memiliki waktu yang lama. padahal yang ingin kulakukan adalah memenuhi janji dan segera kabur. sebisa mungkin mencegah hal-hal yang kukhawatirkan akan terjadi.
"maaf ya Mba, lama menunggu?" aku menolehkan pandangan dari kaca jendela Tokyo Belly Grand Indonesia dan menoleh ke arah suara. kecurigaanku benar kan. memang Chika yang merengek dan memaksaku untuk menemui dia dan temannya karena mereka punya project pembuatan radio kampus. aku sudah menolak karena tahu ini akan dimanfaatkan kakak Chika juga, tapi saat dosennya yang langsung meneleponku, yang ternyata kenalan bosku di kantor, aku bisa apa?
"gak kok, Chika. aku juga baru datang," aku berusaha tersenyum semanis mungkin. Chika dan temannya berpandangan dan tersenyum lebar.
"oiya Mba, ini temenku Teya, yang bantu di project ini juga," Teya mengulurkan tangannya dan kujabat. "dan ini kakakku, yang mau nganterin kami sampai kesini."
Raffli ikut mengulurkan tangannya dan tersenyum tipis. aku mengulurkan tangan, menyentuhnya sedikit dan buru-buru menariknya kembali.
"aku pesen makan dulu ya Mba," kata Chika dan mulai membolak-balik buku menu yang tadi disodorkan waitress. tahu-tahu saja Chika sudah duduk di depanku, Teya di samping Chika, dan Raffli di sampingku. aku cuma bisa mengangguk kaku.
aku cuma bisa diam selama kami makan. Chika mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana untuk mengatahui diriku lebih jauh. saat dia bertanya, "Mba udah punya pacar?" aku merasa seseorang di sebelah kanan memandangku dengan lebih intens.
"sudah," akhirnya aku menjawab. pura-pura tidak menyadari bahwa Raffli sedikit lebih tegang.
setelah makanan habis, Chika dan Teya memesan dessert sementara aku meminta air. mereka mulai menanyakan berbagai pertanyaan dan kujawab dengan usaha tenang yang sangat sulit. ketika mereka akhirnya selesai. aku sungguh merasa lega luar biasa.
"Mba pulang pakai apa?" tanya Teya setelah proses pembayaran diselesaikan (Raffli yang membayar. katanya sebagai ucapan terima kasih karena membantu adiknya).
"taksi," jawabku singkat.
"bareng kami aja mba. masih ada tempat kan Kak?" Chika menoleh ke arah kakaknya, yang membalas dengan mengangguk saja.
"ga usah, ga apa-apa. nanti merepotkan, mungkin rumahnya juga ga searah," aku tersenyum sedikit, berusaha sekeras mungkin menolak.
"gampang kok kalau soal arah, itu bisa diatur, Mba," Chika nampak ingin sekali aku ikut bersamanya. sementara yang ingin aku lakukan adalah berada sejauh mungkin dari dia dan kakaknya.
"gak, gak usah. aku juga masih harus mampir-mampir dulu,"
"kita anterin deh Mba," Chika terus memaksa.
"Chika, kalau orang gak mau, jangan dipaksa," akhirnya Raffli angkat bicara. aku dan Chika terdiam. keputusan akhirnya adalah aku tetap pulang dengan taksi. kami berempat akhirnya bangkit dan berjalan keluar dari Tokyo Belly. aku langsung pamit dan menjauhi Raffli, Chika, dan Teya. berjalan secepat yang aku bisa. namun belum sempat aku berjalan terlalu jauh, ada yang menahan tanganku.
"apa salahku?" tanya Raffli begitu kami berpandangan.
"jangan. jangan bahas apapun. seperti yang kamu bilang, begitu keluar, kita akan melupakan kejadian itu," aku berbisik sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggaman Raffli.
"tapi ternyata aku gak bisa lupa," kata Raffli dengan nada yang sedikit terdengar putus asa.
dalam hati, aku meneriakkan hal yang sama. tapi aku hanya menggeleng. "kasian Indah,"
"aku dan dia sudah berakhir. dia selingkuh dariku. aku juga," kali ini aku menatapnya langsung. tak percaya.
"lupakan, Raffli. lupakan," aku masih menarik-narik tanganku dengan cara sehalus mungkin agar tidak menarik perhatian orang. tapi Raffli ternyata kuat sekali. ia bahkan semakin menarikku mendekat, membuat kami seakan seperti sepasang kekasih yang sedang mengobrol.
Raffli mendesah. "apa benar bahwa kamu sudah punya kekasih?"
genggaman tangannya melonggar. kuambil kesempatan untuk menarik lepas tanganku darinya.
"ya," jawabku lalu berjalan mundur. Raffli tidak mengejar. dia hanya memandangku. aku balas memandangnya. orang-orang menghalangi pandangan kami.
***
"ada yang kamu pikirin?" Ernest, kekasihku, pacarku, apapun lah sebutannya, yang baru seminggu berhubungan denganku, meletakkan tangannya di keningku.
"hmm, cuma mikirin hasil meeting tadi," aku kembali melanjutkan menikmati menu makan siangku.
"kalau sakit, bilang ya," Ernest tersenyum, lebar sekali, sampai matanya menghilang. ia pun melanjutkan menikmati makanannya.
kami berpacaran tepat setelah aku berulang tahun ke-28. dia menyatakan perasaannya di depan stafku dan stafnya, saat briefing pagi di hari senin. sungguh perbuatan nekad, pikirku. karena aku sedang single dan juga butuh pelarian, dan kasihan kalau dia ditolak, aku terima dia. kejadian itu menjadikan kami terkenal seantero kantor.
Ernest orang yang ramah dan loyal. ia begitu mudah membantu orang lain. ia senang tertawa bersama orang lain. ia juga tidak ragu-ragu membelikan makanan untuk para pegawainya.
"maaf pak," Sherly, sekretaris Ernest mengetuk pintu sambil membawa map plastik.
"ya Sher," balas Ernest. dia tidak pernah marah jika diganggu oleh apapun, jam berapapun.
"ada dokumen yang perlu Bapak tandatangan. terus tadi saya dapet pesen dari sekretarisnya Pak Gun, para Deputy Director diminta ikut meeting dengan komisaris jam 4 sore nanti," Sherly menyerahkan dokumen. dokumen yang seharusnya bisa dia mintakan tanda tangan Ernest setelah jam makan siang. tapi dia selalu senang mencari celah untuk bisa menggangguku saat sedang dengan Ernest.
"oh iya. tadi juga Pak Gun udah BBM saya. makasih ya Sher. ada lagi?"
Sherly diam, ia memandangku, aku balas memandangnya. dia menoleh ke bosnya lagi. "udah dulu Pak. permisi,"
Ernest mengangguk dan melanjutkan makan masakan yang kubuat untuk makan siang.
pacarku yang ramah, pacarku yang Deputy Director, pacarku yang ditaksir sekretarisnya sendiri, pacarku yang mau-maunya setiap hari makan masakanku, pacarku yang belum kucintai.
***
ballroom hotel ini seakan mengingatkanku pada saat aku jadi MC acara ulang tahun kantorku dulu. aku tersenyum mengingatnya. tapi kali ini aku hadir sebagai pengunjung, bukan lagi sebagai pembawa acara. penerima tamu di depan mengenali pasanganku, Ernest, yang diundang mewakili perusahaan kami untuk menerima 2 penghargaan malam ini. kami diantar menuju sebuah meja yang akan ditempati oleh pihak lainnya juga.
"excited?" bisik Ernest di telingaku. acara belum mulai tapi akan segera dimulai karena MC nampak bersiap di atas panggung.
"definitely. aku masih gak percaya kita bisa dapet penghargaan ini," aku menggosok-gosokkan tangan dan tertawa lebar.
"berkat kerja sama kita semua kan?" Ernest ikut tersenyum, ia menggenggam tanganku, seakan mewakili rasa terima kasihnya terhadap tim-tim terkait yang menyebabkan kami mendapat penghargaan bergengsi malam ini.
***
"gak usah diantar, kami duduk sendiri aja," aku mencegah si LO mengantar aku dan stafku menuju meja tempat duduk kami karena ia terlihat sibuk, dipanggil oleh sana sini. yang terpenting aku sudah tahu dimana meja untuk kami.
bersama dengan Candra, salah seorang stafku di kantor, kami mewakili perusahaan untuk menerima salah satu penghargaan untuk keberhasilan kami memaintain konsumen sehingga situs online kami meraih pengunjung terbanyak selama tahun ini. mendekati meja yang ditunjuk, aku nampak mengenali seseorang. memang dunia bisnis saling mengenal satu sama lain, namun dia kukenal jauh sebelum aku memasuki dunia bisnis profesional.
"Nest!" panggilku tanpa ragu. dia yang sedang duduk menoleh karena panggilanku. wajahnya langsung berseri-seri dan dia langsung berdiri.
"bro! apa kabar?" Ernest menjabat tangan dan menepuk pundakku. lama sekali kami tak bertemu, setelah wisuda di universitas bertahun-tahun lalu.
"baik. nerima penghargaan juga?"
"yoi, 2 lagi. lo?"
"satu aja cukup," kami berdua tertawa. "dateng sama siapa bro?"
Ernest menggeser posisi berdirinya sebelum menjawab. "sama manager gue, sekaligus pacar gue."
aku melongok ke belakang Ernest, memandang sosok yang Ernest bilang manager sekaligus pacarnya. kemudian aku mengerti bagaimana rasanya ketika perasaan hancur berkeping-keping layaknya vas tersenggol dan jatuh.
***
aku duduk gelisah. bagaimana bisa bertemu dengannya di sini? dari semua tempat yang ada di ibukota haruskah kami bertemu di acara yang sama? duduk di satu meja lagi! ditambah Raffli ternyata teman Ernest di kampus! ya ampun ada konspirasi semesta macam apa ini?
penghargaan demi penghargaan disebutkan. Raffli yang dipanggil lebih dulu ke panggung untuk menerima piala dan piagam. ketika dia duduk, dia langsung menyerahkan kedua benda itu kepada stafnya. di sela-sela acara dan hiburan, Raffli dan Ernest aktif mengobrol. baguslah, karena aku juga tidak ingin berinteraksi dengan Raffli.
hal yang aku takutkan akhirnya terjadi. seorang LO meminta Ernest untuk bersiap-siap. begitu perusahaan kami dipanggil, Ernest menoleh kepadaku, menggenggam tanganku dan bahkan masih sempat mengecup keningku sebelum berjalan ke panggung. aku tersenyum masam. benteng penghalangku dari Raffli menghilang sejenak. saat Ernest jauh, Raffli langsung menoleh dan mengajakku bicara. ini yang kuhindari sejak tadi.
***
damn, she looks so perfect as always. meski hanya dengan make up sederhana dan gaun yang tidak kalah sederhana, dia masih menjadi wanita paling indah di mataku. tapi raut wajahnya, begitu kaku dan gelisah. itu pasti karena aku. lebih menyebalkan lagi adalah ketika Ernest masih sempat-sempatnya mencium kening Tiara sebelum beranjak ke panggung.
"apa kabar?" akhirnya aku memberanikan menyapanya. memang baru seminggu berlalu saat makan siang bersama di Tokyo Belly itu. sungguh kata-kata basa basiku benar-benar basi.
dia sadar bahwa dia yang kuajak bicara, tapi dia tidak mau memandangku. jadi dia tetap memandang ke panggung.
"baik," jawabnya singkat.
"jadi Ernest pacarmu?" pertanyaan yang aku tahu jawabannya.
dia mengangguk. rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang seiring gerakan kepalanya. rasanya ingin sekali aku mengulurkan tangan dan mengelusnya.
"dia temanku selama di kampus. sudah lama tak bertemu. ternyata dia sudah jadi orang sukses," apa-apaan ini, kenapa aku malah membahas Ernest
dia mengangguk lagi, masih tanpa memandangku. kurasakan Candra di sisiku memandang aku dan Tiara bergantian sambil kebingungan. dia akhirnya tahu seberapa kaku atasannya menghadapi perempuan.
"kamu mencintai Ernest?" sebuah pertanyaan yang jika dijawab ya, aku akan memutuskan untuk pulang saat ini juga. Tiara akhirnya memandangku, ekspresinya kaget.
belum sempat Tiara melontarkan kata-kata atau isyarat apapun, Ernest sudah kembali membawa piala dan piagam. ia menaruh piagam di samping kursi dan piala di meja.
"Ra, bisa tolong hubungi tim Internal Communication untuk update berita ini di news kantor? jadi Senin nanti anak-anak yang dateng bisa langsung dapet kabar detil," untunglah Ernest masih belum memanggil Tiara dengan 'sayang' atau sebagainya.
kulihat Tiara tersenyum dan langsung mengetik di ponsel. tidak lama kemudian dia sudah menyimpan kembali ponsel di handbag. selang beberapa penghargaan dan hiburan. Ernest dipanggil lagi untuk menerima penghargaan kedua. kali ini aku akan bertindak lebih nekat.
aku pindah ke tempat duduk Ernest agar bisa lebih dekat dengan Tiara. dia beringsut sedikit tapi tidak mungkin dia pindah tempat duduk juga karena di sebalahnya ada orang lain.
"kamu belum jawab pertanyaanku," aku mencondongkan tubuh menghadap Tiara. dia berjengit.
"aku gak merasa perlu jawab," bisiki Tiara lirih, masih tanpa memandangku.
"itu pertanyaan mudah, Tiara,"
Tiara menggeleng. mengatupkan mulut rapat-rapat. tangannya memegang handbag begitu keras. melihat itu, aku menjulurkan tangan, ingin menggenggam tangan Tiara. ia sadar bahwa aku ingin menyentuhnya sehingga dia lalu berdiri tiba-tiba.
"aku mau ke toilet," dan dia pun pergi. aku menghela nafas, mengacak rambut.
***
acara dilanjutkan dengan makan malam tapi aku memilih mendesak Ernest untuk pulang saja.
"kamu sakit?" tanya Ernest cemas. di sebelahnya, Raffli memandang penuh minat.
aku menggeleng kuat-kuat. "aku cuma mau istirahat aja. besok kan aku masih mau bantu-bantu Bintang di toko,"
Ernest tampak berpikir. sebenarnya momen ini adalah waktu menjalin relasi tapi akhirnya dia tersenyum dan berdiri.
"oke. bisa tolong bantu bawa pialanya? biar aku yang bawa piagamnya,"
aku mengangguk. menyambar kedua piala itu dan langsung keluar dari ballroom. tidak perlu repot-repot pamitan pada siapapun.
Ernest menyusul setelah aku menunggu hampir 5 menit.
"mau ke toilet ya?" ia menggoda sambil tersenyum lebar. mau tidak mau aku tertawa.
"yuk,"
***
mengetahui bahwa pacarku adalah Ernest, yang sudah dikenalnya, Raffli mendadak sering mengajak Ernest bertemu. main golf bareng, makan malam bareng, business trip, bahkan sampai mengajak olahraga bareng. sebagian besar acara itu mengikutsertakan aku, jelas. tapi entah kenapa Raffli tidak mengajakku bicara bahkan saat Ernest sedang pamit ke toilet atau apapun. aku menganggap dia tidak ada, begitu juga sebaliknya.
"Raffli pernah satu kantor sama kamu kan? kok kalian kayak gak kenal gitu?" tanya Ernest suatu waktu setelah kami selesai main billiard bersama Raffli dan beberapa teman kuliah mereka. aku cuma duduk di pojok sambil mengotak-atik ponsel. biarlah para pria itu yang sibuk.
"kami ga deket soalnya. cuma saling tahu aja," kataku. Ernest nampak puas dengan jawaban itu.
"oh iya, minggu depan aku ada keperluan ke Bandung, dari hari Selasa sampai hari Kamis,"
"ada urusan apa?"
"training sekaligus pembukaan kerjasama baru. kamu mau ikut?" Ernest menoleh, menyunggingkan senyum dahsyatnya.
"no thanks, kamu kayak gak tau aja gimana respon klien kalau aku gak masuk sehari, apa lagi 3 hari," aku mencubit pipi Ernest. dia menyeringai. "berangkat pakai apa? kereta atau mobil?"
"mobil. aku akan berangkat bareng Raffli. dia juga katanya ada business trip di hari yang sama. cuma beda lokasi,"
deg. perasaanku langsung tak enak. kami sampai di depan rumahku. Ernest mematikan mesin mobil dan turun. baru pukul 9, toko masih buka. Ernest selalu menyempatkan mampir saat mengantarku pulang. mengobrol singkat dengan ayah, bunda, atau Bintang.
"kamu kuat kan kutinggal pergi?" tanya Ernest saat kami berjalan berdampingan memasuki toko.
"apa sih, kan cuma 3 hari," aku mendongak memandang Ernest yang memang lebih tinggi dariku. dia menampilkan senyumnya lagi dan mengeratkan rangkulannya di pinggangku.
aku hendak membuka pintu toko ketika Ernest menahanku. membalikkan tubuhku menghadapnya. aku memandangnya sambil mengerutkan kening.
"i love you," kata Ernest pelan, dikecupnya keningku dan dia mendahuluiku masuk toko.
***
aku sudah tahu bahwa itu bukan ide yang bagus. sama sekali bukan. bahwa Ernest seharusnya tidak pernah pergi ke Bandung saat itu. bahwa kata-kata Ernest di depan toko malam itu lebih mirip ucapan perpisahan daripada pernyataan cinta.
aku berlari menyusuri lorong. keringat mengucur di keningku. aku tidak peduli orang-orang memandangiku dengan marah karena aku dianggap mengganggu ketenangan. aku hanya ingin buru-buru sampai. pintu IGD tertutup rapat, lampu di atasnya menyala. di depan pintu berdiri kedua orang tua Ernest, hanya mereka keluarga Ernest yang ada di Indonesia. kakaknya menetap di Australia. dan di sisi lain pintu IGD berdiri seseorang, kepala dan tangannya diperban, tapi selain itu dia baik-baik saja. dia sedang memandang cemas ke arah IGD dan mengalihkan pandangannya kepadaku saat aku mendekat. aku mengabaikannya dan langsung menghampiri orang tua Ernest.
"om, tante," panggilku. mama Ernest berbalik. wajahnya merah, air mata tidak berhenti mengalir. melihatku, ia langsung memeluk dan menangis lebih keras. "Ernest?"
papa Ernest yang menjawab. "masih ditangani dokter. belum keluar dari tadi."
kepanikan makin mendera diriku. yang aku bisa saat ini hanyalah berdoa dan mengelus punggung mama Ernest. tidak lama setelah aku sampai, pintu IGD terbuka dan sang dokter keluar.
"we are sorry," adalah kalimatnya yang pertama. tangis mama Ernest semakin meledak. papa Ernest langsung meraih istrinya dan memeluk menenangkan. aku tahu bahwa dia juga sebenarnya hancur, tapi dia harus kuat di depan istrinya.
aku? aku seperti kehilangan pondasi. kakiku mendadak lemas dan hampir terjatuh ke lantai. namun Raffli segera meraih tanganku dan buru-buru kutepiskan. melihat dia, tenagaku seakan kembali lagi. dia terlihat sangat bersalah. tapi aku marah, aku benci.
"ini semua gara-gara lo!" aku dorong Raffli sekuat mungkin. dia terhuyung dan mundur beberapa langkah. "kalau lo ga maksa Ernest buat naik mobil bareng lo harusnya Ernest gak begini. ini semua salah lo, Raffli! gue benci sama lo! balikin Ernest! harusnya lo aja yang di dalem sana!"
aku terus mendorong Raffli dan dia tidak membantah sedikitpun. ekspresinya pasrah, tapi saat kalimatku yang terakhir, aku melihat dia begitu kaget dan sakit hati. aku juga tahu kata-kataku keterlaluan. lagi-lagi kata-kataku yang setajam pisau menghunjam Raffli. dokter menarikku menjauh dari Raffli. aku tidak berontak, aku memilih masuk ke IGD bersama orang tua Ernest. sejauh mungkin dari Raffli.
***
satu tahun berlalu sejak kepergian Ernest. aku masih sering mengunjungi makamnya sesering yang aku bisa. setiap melihat namanya terukir, air mataku mengalir. mengingat bahwa orang sebaik dia harus pergi begitu cepat. aku sangat merasa kehilangan, apalagi kedua orang tuanya, tapi mereka sudah berbesar hati dan bahkan merelakan kepergian Ernest tidak lama setelah Ernest dimakamkan. berbeda dengan aku, yang hingga saat ini masih sulit memaafkan Raffli. entahlah, mungkin karena aku selalu mencari siapa yang bisa disalahkan atas kepergiannya. Ernest pergi begitu cepat. sebelum aku sempat benar-benar menumbuhkan perasaanku padanya. sebelum aku sempat menemukan kata-kata yang tepat atas perasaannya yang diungkapkan kepadaku. sebelum aku meminta maaf bahwa hubungan yang kami jalin selama beberapa minggu sesungguhnya tanpa kudasari perasaan cinta yang sebenarnya.
aku tidak bisa bertahan di tempatku bekerja dengan perasaan bersalah yang begitu besar akan Ernest. sehingga dalam 3 tahun terakhir aku sudah 2x berpindah tempat bekerja, memang perpindahan itu sedikit mengurangi rasa bersalahku meski tetap saja. selesai menaruh bunga dan berdoa, aku kembali menyusuri pemakaman, keluar, kembali ke taksi yang menungguku. di pintu masuk, aku terdiam. sudah kuduga aku akan bertemu dengannya di sini. ternyata hari inilah waktunya.
"Tiara," panggilnya.
aku mengangguk dan melanjutkan langkahku, melewatinya dan terus berjalan menuju taksi. rupanya ia berlari lebih dulu dan menghadang langkahku.
"maukah kamu meluangkan waktu sebentar? ada yang ingin kusampaikan. tolong tunggu sebentar, aku akan menaruh bunga di makam Ernest dan berdoa sebentar. setelah itu aku akan kembali. kamu mau menunggu?"
aku menatapnya dan mengangguk. dia bergegas melewatiku, masuk ke makam. sementara itu aku menghampiri taksi dan membayar tagihannya. membatalkan perjalananku berikutnya. aku menunggu Raffli sambil berdiri tak tentu arah di dekat penjual bunga tabur.
"yuk," dia sudah kembali di sampingku lagi. aku mengangguk. dengan sedikit canggung dia mendahuluiku berjalan menuju mobilnya. kusadari bahwa hanya sedikit yang aku tahu tentang dia. selama perjalanan, kami tak bicara sepatah kata pun. dia menghentikan mobil di salah satu coffee shop nyaman di daerah Sabang. aku mengikutinya terus dan memesan minuman lalu diam. kami saling pandang.
"ada yang...ingin kusampaikan tentang kejadian setahun lalu..." akhirnya. topik ini terangkat lagi. aku mengangguk nyaris tak kentara. aku sudah memiliki kekuatan lebih dari yang kumiliki dulu. aku sudah siap mendengarnya.
Raffli mulai bercerita. hari itu mereka berangkat pukul 5 subuh menuju Bandung, menggunakan mobil Ernest. awalnya Raffli yang akan mengemudi, sebagai ganti karena ernest yang membawa mobil. namun Ernest bersikeras dia masih mampu untuk mengemudi. padahal saat itu Raffli tahu bahwa Ernest tidak tidur semalaman karena mempersiapkan bahan untuk business trip nya kali itu. Raffli bilang dia berusaha untuk terus mengajak Ernest mengobrol agar kondisinya tetap prima. namun saat Raffli menerima telepon dari stafnya, ernest kehilangan kendali dan mobil yang sedang meluncur 120 km/jam di jalur kanan itu menabrak pembatas jalan, tepat di sisi pengemudi dan bahkan menghancurkan separo bagian depan mobil.
"aku bersalah, memang. karena saat itu aku tidak memaksa Ernest untuk beristirahat. benar katamu, semua salahku dan mungkin aku yang seharusnya ada di posisinya, bukan dia."
aku tak sanggup bicara. air mataku mengalir ke tangan yang menutupi wajahku, rasa sakit hati dan sesalku rupanya masih belum hilang. kudengar bunyi kursi bergeser dan kurasakan Raffli merangkulku. perhatiannya kali ini tak kutolak.
***
sejak di tempat baru, aku memilih untuk lebih mengatur hidupku lagi. bekerja hanya dari jam 7 hingga jam 5. tidak membawa pekerjaan ke rumah kecuali benar-benar mendesak. pukul 7 hingga 10 aku membantu Bintang di toko karena saat ini dia sedang hamil besar. orang yang membantu di toko tidak selalu bisa lembur hingga jam 10 malam. setelah itu aku akan mandi dan tidur. bangun pukul 5. akhir pekan kuhabiskan dengan keluarga atau melakukan hobiku, kuliner, olahraga, membaca, tidur, atau mengerjakan pekerjaan yang tertunda. sejauh ini aku lebih sering menghabiskan waktu di akhir pekan dengan keluarga dan teman-teman. mengingat bahwa tahun ini usiaku 29 tahun dan semua pihak semakin mendesak aku segera menikah sehingga aku harus banyak menjalin koneksi. ya, thx, bhay.
Sabtu ini aku bermaksud memasak untuk makan siang karena Ka Jati dan keluarganya akan mampir hari ini. setelah itu kami akan berangkat menonton film bersama. aku selesai mandi setelah lari keliling kompleks sejauh 5 kilo. aku melongok ke toko siapa tahu Bintang butuh bantuanku. meski kandungannya menginjak 30 minggu, ia masih berkeras membuat cupcake sendiri.
"Bintang?" aku masuk dari pintu belakang yang menghubungkan toko dengan rumah. sesungguhnya toko Star Cupcakes adalah garasi yang disulap menjadi toko. pembuatan cupcake mengambil spot dapur yang sesungguhnya sejak awal rumah didirikan, berada dekat garasi. namun karena keperluan toko, dapur dipindahkan ke belakang rumah, dekat dengan halaman belakang. sehingga keluarga kami sering makan malam diiringi pemandangan malam. ketika aku sampai di toko, aku melihat Bintang dan Gani, suaminya, sedang membereskan toko sambil berbincang dengan seseorang.
"kak," sahut Bintang setelah kupanggil.
perlahan aku mendekati Bintang dan Gani, berdiri menghadap tamu pertama kami hari ini.
"hai," ia menyapa, mengangkat tangan dan segera menurunkannya. aku mengangguk dan menoleh kepada adik-adikku.
"ada yang bisa dibantu?"
"masih bisa dihandle kok. nanti Gani yang akan antar pesanan. kakak...temani tamu kita aja," Bintang mengedip cepat dan menunjuk Raffli yang sedang berdiri canggung.
"mau minum apa?" tanyaku ketika Raflli sudah duduk di salah satu kursi.
"apapun," jawabnya. ia memasangkan senyum yang jarang ia keluarkan. aku berbalik dan mengambil jus jeruk dari kulkas. kuletakkan gelas jus di depannya dan susu untukku sendiri. dia mulai bertanya soal Bintang dan obrolan datar kami menyambung kemana-mana. saat jam di atas konter menunjukkan pukul 10, aku berpaling pada Raffli.
"aku harus ke dapur, harus memasak. bolehkah?"
Raffli tampak kaget. tapi dia mengangguk. aku menjelaskan lagi, khawatir dia salah paham. "hari ini rencananya kami akan makan siang bersama dan pergi menonton sekeluarga. aku, Bintang, Gani, ayah, bunda, Kak Jati, Ria, dan Tomtom. kamu bisa bergabung dengan kami saat makan malam nanti."
aku menelan ludah. apakah itu menunjukkan aku terlalu agresif atau malah terlalu menolak? tidak kan?
senyum tersungging lagi di wajah raffli. dia berdiri. "ya, ya, I'd love to. kabari saja dimana lokasinya. apa kamu punya..."
"nomormu? ya, aku punya," jawabku cepat.
"sampai bertemu nanti malam," Raffli melambai padaku dan kepada Bintang. dia keluar dari toko dan menghampiri mobilnya. selama dia berjalan, aku terus memperhatikan sosoknya.
"hemm, jadi akhirnya sang pangeran tiba juga nih?" Bintang tiba-tiba berada di sebelahku, ikut-ikutan memandangi Raffli. aku hanya menioleh dan mengacak rambut adikku itu.
***
bukan hal yang aneh melihat Raffli sudah ada di rumahku--entah di toko atau di rumah--saat aku sampai di rumah. setelah makan malam bersama keluarga di Sabtu malam itu, dia semakin mendekatkan diri dengan keluargaku. memang dia berhasil mengambil hati bunda, Bintang, bahkan Ka Jati! Ka Jati yang selalu sinis terhadap mantan-mantan pacarku. sepertinya mereka terkesan akan kemapanan Raffli (dia sudah tinggal di rumah sendiri sejak 1 tahun terakhir), predikat S2-nya dari salah satu universitas di Jepang, dan bagaimana dia menceritakan sesuatu. seingatku dia orang yang pendiam, tapi sejak itu dia berubah. dia jadi senang bicara, meski tak sebanyak untuk ukuran bicara laki-laki, Ka Jati misalnya. hanya ayah yang masih sering sinis pada Raffli. kata-katanya tak banyak digubris ayah, bahkan cenderung sering mengacuhkan Raffli. jika sudah begitu, Raffli hanya akan senyum dan melanjutkan mengobrol dengan yang lain. aku mengenalkan Raffli sebagai kenalanku di kantor yang dulu. tak perlu kuceritakan perihal malam yang kuhabiskan bersamanya dulu dan bahwa ia adalah orang yang juga bersama Ernest saat kecelakaan terjadi.
aku masih dalam tahap membuka diri dan hati kepada Raffli. kuakui memang kejadian dulu membuat perasaanku padanya berubah lebih dalam. meski perasaan itu sempat kuabaikan sejak kecelakaan dengan Ernest terjadi. namun kali ini, aku ingin memberi dia dan diriku sendiri kesempatan baru.
dia berinisiatif mengajak Tomtom ke Dufan. keponakanku yang baru berusia 7 tahun itu amat girang saat diajak ke Dunia Fantasi. dia ingin naik ini itu dan mencoba berbagai permainan. energinya seakan tidak ada habis-habisnya. kubiarkan Raffli yang menemani Tomtom menaiki berbagai permainan ekstrim. ayah dan bundanya tidak ikut, maka kami jadi orang tua angkatnya sehari.
saat kami sedang istirahat makan siang, Raffli tiba-tiba mengangkat sebuah topik. "berapa usia Ka Jati?"
aku menghitung dalam hati. "34,"
"Ka Ria?"
"32,"
dia menyuapkan makan siangnya, mengunyah sambil berpikir. "saat anakku nanti berusia 7 tahun, aku akan berusia 39. itupun jika aku punya anak tahun ini juga. saat dia kuliah, aku akan berusia 50. wah," lalu dia menggeleng sendiri.
aku hanya diam memperhatikannya.
"kalau anakku perempuan, saat dia remaja dan banyak laki-laki yang mengejarnya, aku akan kesulitan menghadang anak-anak remaja penuh energi itu,"
aku tertawa. "usia 40 kamu akan serenta apa sih?"
dia mengangkat bahu, kembali makan. "aku harus menjaga kesehatanku agar orang tidak sadar bahwa usiaku sudah 40 tahun,"
aku memutar bola mata. tak perlu bicara begitu pun dia sudah mulai rajiin olahraga futsal dan ke gym.
Tomtom sudah selesai makan dan dia langsung menghampiri wastafel untuk cuci tangan. saat itulah Raffli berbisik di telingaku. "i want to have kids with you. i love you,"
aku cuma bisa mematung.
maka saat malam ini kulihat Raffli di rumahku, aku tidak heran lagi. namun yang membuatku kebingungan adalah, biasanya dia akan mengobrol dengan Bintang atau Gani. tapi semenjak Bintang melahirkan dan sibuk mengurus Davina, Raffli jadi semacam kehilangan teman mengobrolnya. ketika aku masuk, Raffli dan ayah sedang mengobrol sambil menonton pertandingan bola. toko sudah tutup. aku lembur malam ini.
"kamu gak bilang mau kesini hari ini?" aku bertanya pada Raffli begitu duduk di sofa yang kosong.
"mendadak," jawabnya sambil mengangkat bahu. duduknya terlihat sedikit tegang. ayahku tiba-tiba berdiri dan menepuk pundak Raffli.
"ya, kalau dari ayah gitu aja," lalu ayah berpaling menghadapku. "ayah istirahat duluan ya, kamu jangan tidur terlalu malam."
"iya yah,"
ayahku berlalu, masuk ke kamarnya di lantai dasar. aku memandang Raffli, menuntut penjelasan, tapi dia malah senyam senyum saja.
"udah makan?" tanyanya.
"udah. kamu dan ayah ngomongin apa?" aku berpindah ke samping Raffli, menumpukan tangan di punggung sofa, duduk memandang Raffli.
lagi-lagi Raffli tersenyum. "tentang rencana masa depan,"
aku mengernyitkan kening dan manyun. jawaban yang absurd sekali. "aku mau pulang dulu ya."
"lho?" biasanya ketika dia mampir ke rumahku, dia akan meluangkan waktu untuk kami mengobrol. maka saat aku baru sampai dan dia sudah akan pulang, aku bingung.
"aku mau menemui ayah, bukan kamu," dia seakan menjawab pertanyaan yang terlontar di pikiranku. aku berjengit, seakan dia tidak mau menemuiku sama sekali. tapi sepertinya dia bisa membaca pikiranku karena dia langsung tersenyum dan mencubit pipiku.
"oh, ya udah," dia berdiri, aku juga. dia berjalan lebih dulu menuju pintu, menuju pagar, dan menuju mobilnya.
"aku bicara pada ayah tentang melamarmu," Raffli bicara lagi sebelum ia membuka pintu mobilnya.
"hah?" refleks, aku berteriak dan menutup mulut. "apa kata ayah?"
"tergantung jawabanmu. dia akan mengikuti keputusan kamu,"
Raffli membuka pintu mobil dan tampak mengambil sesuatu. setelah itu dia berjalan kembali ke hadapanku. sementara itu aku masih terdiam. tiba-tiba saja dia berlutut dan mengulurkan kotak berisi cincin.
"aku gak mau membuang waktu lagi, aku harus masih muda saat anakku tumbuh besar." aku tertawa saat dia berkata begini. "menikah denganku?"
aku menatap dia, senyum perlahan terkembang di wajahku. kuanggukan kepala sekali, masih sambil senyum lebar, tak percaya bahwa orang yang pernah kuejek dari atas panggung malah memintaku jadi istrinya. dia bangkit berdiri, mengeluarkan cincin dari kotaknya dan memasangkan di jari manis tangan kiriku. setelah terpasang, aku memandangnya.
"pas sekali. aku gak ingat kamu pernah menanyakan ukuran jariku,"
"yang kuperhatikan malam itu bukan hanya wajah tapi juga tanganmu yang kugenggam," jawabnya.
"hmm," aku menggumam tak jelas, memutar bola mata. dia yang bilang kami harus melupakan tapi dia juga yang sering mengungkitnya. dia mendekatiku, meraihku ke pelukannya. untuk pertama kalinya sejak 2 tahun, dia menciumku lagi. kuangkat kedua tanganku dan kuletakkan di pipinya. kucium juga dia dengan kasih sayang dan perasaan yang tersimpan selama ini. dan aku yakin, kami tak perlu melupakan apapun hal manis yang terjadi diantara kami setelah ini.
-THE END-
Komentar