Princess and the Guard

berlatih setiap hari adalah cara supaya bisa jadi kuat. setiap hari kita akan menemukan hal yang baru, tapi kita yang memilih hal baru apa yang akan kita temui. hal yang bermanfaat atau yang sia-sia saja. aku memilih untuk mendapatkan pelajaran baru yang bermanfaat tentunya. tak perlu orang bijak untuk tahu siapa memilih yang mana.

"tenagamu ditaruh di lengan, bukan di pergelangan tangan. karena lengan bisa membantumu mengeluarkan tenaga dengan lebih baik," Dej berdiri di sampingku sambil melipat tanga di dada.

"apa sih," adalah komentar yang kulontarkan sambil merengut. aku memutar badan menuju sasaran baru, membelakangi Dej.

"sekedar saran. cobalah," balas Dej dari belakangku.

Dej memang orang yang baik, tapi kadang kebaikannya membuatku jengkel. tapi beberapa kata-katanya sering benar. jadi aku menarik nafas dalam-dalam, memasang kuda-kuda, menjulurkan tangan kanan dan tangan kiri kujadikan penopang tangan kanan. kuhebuskan nafas dan kuletakkan tenagaku di bagian lengan.

"HA!" aku berteriak. bersamaan dengan itu api berwarna ungu keluar dari tanganku, bergerak lurus langsung melubangi bagian tengah boneka berbentuk manusia yang jadi sasaranku.

"lihat kan?!" sekarang Dej berdiri di sebelah kananku sambil tersenyum lebar.

"ya," aku ikut tersenyum dan menoleh menghadapnya. "kamu selalu benar."

aku bermaksud menepuk pundak Dej tapi dia mundur selangkah. "pastikan tidak ada api tersisa di tanganmu sebelum menyentuhku."

aku tertawa. "kalaupun masih ada, kamu bisa mematikannya dengan mudah kan Dej,"

Dej mengangkat bahu pura-pura tak acuh, tapi bisa kulihat bahwa dia tersenyum kecil.

"Putri Foc,"

"ya?" aku menoleh, melihat salah satu dayangku sudah berdiri di arena latihan. tandanya aku harus bersiap menuju tempat berlatih lain. satu-satunya latihan yang kutunggu dengan semangat 500%! "Dej, aku harus pergi."

"hal yang selalu engkau lakukan. meninggalkan aku," balas Dej sambil mengangkat bahu.

"hahaha. aku tinggalkan pun kamu gak akan merasa sendirian,"

"ya, aku punya sekumpulan pasukan perang yang bisa kuajak bersenang-senang," jawab Dej, masih dengan raut muka pura-pura manyun.

aku tersenyum saja. "apa ganjaran darimu karena aku berhasil memberitahu sebuah trik bagus dalam latihan?" Dej melanjutkan.

"makan es krim sepuasnya," jawabku asal. aku tahu Dej suka sekali es krim tapi dilarang terlalu sering karena keluarganya punya riwayat penyakit gula.

"wow, tidak akan ada yang menolak permintaan seorang putri kan?!" mata Dej berbinar-binar. kali ini aku yang memutar bola mata.

"asal ayahmu tidak tahu, Dej," aku berbisik, menghampiri dayangku dan meninggalkan Dej di area latihan.

***

setelah mandi dan berganti baju, aku masuk ke perpustakaan. di sana Tieto sedang berdiri sambil membaca buku. sosoknya yang sedang membaca sambil mengenakan kacamata ini selalu membuatku terpana.

"hai Tieto," sapaku ceria. dia mendengar dan mengangkat wajahnya. buku yang dia baca ditutup dan ditaruh di meja. ia lalu menghampiri papan tulis dan mempersilakanku duduk di depannya, di kursi yang biasa kugunakan untuk belajar.

"saat di kelas, aku gurumu, kau panggil aku dengan sebutan Master Tieto dan ikuti semua perintahku. di luar, kau putri sang raja, aku yang akan mengikuti semua perintahmu," Tieto menghamparkan sebuah peta lalu beridir menghadapku.

"termasuk memerintahkanmu mengundaku ke pesta yang sering kau adakan?" aku tersenyum jahil, Tieto diam saja.

"kita lanjutkan pelajaran soal strategi perang berdasarkan geografis," cuma itu yang dikatakan Tieto.

***

malam setelah waktu makan malam selesai biasanya kuhabiskan di ruang musik, mendengar adikku Artea memainkan alat-alat musiknya. sementara itu aku membaca, merajut, atau mengobrol dengannya. terdengar ketukan di pintu dan Dej melongok masuk.

"hai Dej," sapa Artea. dia menghentikan permainan pianonya dan melambai, menyuruh Dej masuk. di usianya yang ke-16, Artea adalah putri yang jauh lebih cantik dari aku. dia anggun, cerdas, pintar bermain musik dan menggambar. sementara aku, di usia ke-19, punya badan yang langsing dan berotot, dengan kesenangan bertarung di medan perang dan tidur. tidak heran Tieto sering tiba-tiba memarahiku saat sedang di kelas karena aku sering tiba-tiba tidur. sementara Dej, Dej akan terlihat cocok bersanding dengan Artea. posturnya yang tinggi, tegap, perut sixpack dan lengan berotot, rambut pendek hitam, hidung yang mancung dan rahang yang keras, namun mata dan bibirnya selalu tersenyum. anak satu-satunya Perdana Menteri ini cocok sekali dengan adikku.

"apa yang kamu buat? lap?" Dej melongok ke pekerjaanku. ini salah satu kekurangannya. dia senang sekali mencela orang lain. aku memukulnya sekuat tenagaku. dia menghindar dan duduk di sebelah kananku.

"ini syal. aku bermaksud menghadiahkan ayah dengan syal ini untuk ulang tahunnya bulan depan,"

"aku rasa Raja bisa tercekik kalau mengenakan syal buatanmu," Dej menglurkan tangan bermaksud memegang rajutanku tapi aku berdiri. membawa semua peralatan 'perang' lalu bergerak ke luar ruangan. "kamu lebih cocok memegang pedang dan tameng daripada jarum dan benang, Foc,"

aku menjulurkan lidah dan meninggalkan Artea yang sedang terkikik, berdua saja dengan Dej.

aku berjalan menuju taman, bermaksud melanjutkan mengerjakan rajutan di luar. ketika aku lihat Emerald bersiap keluar lingkungan istana dengan keretanya. Emerald adalah adik bungsu Dej, usianya sepantaran denganku.

"Emerald!" teriakku. keretanya otomatis berhenti dan Emerald langsung turun dari kereta dan membungkuk.

"ya, Putri Foc," sapa Emerald. semua orang di istana ini kecuali keluarga dan Jed akan membungkuk setiap mulai bicara denganku. padahal aku sudah berkali-kali menegaskan untuk tak usah melakukan hal itu.

"kamu mau kemana?" tanyaku setelah meminta Emerald berdiri.

Emerald nampak serba salah. "Pesta, Tieto, putri," jawab Emerald terbata-bata. mendengar nama Tieto disebut, aku langsung berbinar-binar.

"aku ikut! tunggu aku! aku ganti baju dulu. jangan kemana-mana!" aku langsung berlari kembali ke arah istana. tidak peduli wajah Emerald yang keberatan. tidak peduli saat ini malam sudah larut dan sesungguhnya aku tidak diperkenankan keluar istana terlalu malam. tapi seburuk dan semalam apa sih pesta yang bisa diadakan seorang guru?

aku masuk ke kamar dan menaruh peralatan merajut. membuka lemari kemudian tertegun. bajuku rupanya hanya terbatas pada gaun dan pakaian latihan. akhirnya aku memutuskan mengenakan gaun paling sederhana yang aku punya. toh aku lihat tadi pun pakaian Emerald masuh mengenakan gaun namun dengan rok pendek. setelah berganti baju dan mengikat rambut seadanya, aku mengambil coat dan langsung berlari kembali ke halaman. Emerald masih berada di tempatnya.

"putri sesungguhnya tidak diperkenankan ikut denganku," kata Emerald masih dengan ragu-ragu.

"aku hanya ingin tahu. kamu bisa pura-pura tidak mengajakku. jika keadaan tidak aman, aku akan langsung kembali ke istana," aku mengulurkan jari kelingking dan mengulurkannya kepada Emerald. ragu-ragu Emerald membalas uluran jari kelingkingku dan berangkatlah kami.

kukira pestanya tidak parah, ternyata....mengerikan! aku memasuki rumah besar yang ternyata rumah Tieto. begitu aku masuk, sudah banyak orang disana dan sepertinya mereka tidak begitu peduli siapa yang masuk. bahkan mereka tidak peduli karena sudah begitu...mabuk? aku berjalan mengikuti Emerald yang berjalan menuju dapur. atau begitulah menurutku, karena disana banyak minuman dan makanan.

"jika putri ingin makan dan minum, putri bisa mengambil sepuasnya disini," tunjuk emerald. aku mengangguk. "aku mungkin akan ada di sekitaran kolam jika putri ingin mencariku."

Emerald menghilang menuju kolam, yang aku tidak tahu ada di mana. aku menghampiri meja makanan dan minuman. tidak satupun minuma yang kukenal kecuali yang berlabel air mineral. aku ambil satu botol dan kubawa berkeliling. tidak satupun yang kukenal maka aku memutuskan mencari Tieto. musik semakin kencang terdengar saat aku berjalan. mungkin sebagai tuan rumah, Tieto ada di pusat keramaian.

susah payah aku berhasil memasuki aula besar dengan beberapa sofa mengelilingi separuh lantai yang dijadikan tempat menari. di seberang sofa itu ada beberapa orang memainkan musik. sofa tersebut berada di sebelah kiriku. sedikit demi sedikit aku menggerakkan tubuh diantara orang-orang yang sedang bergoyang menikmati musik atau sekedar mengobrol sambil meminum minuman yang aku tak tahu apa jenisnya.

aku mencari Tieto. dan kutemuka dia di sofa. setidaknya dikelilingi empat perempuan berpakaian paling minim yang pernah aku lihat. aku melihat bajuku sendiri dan rasanya bajuku terlalu formal. kuperhatikan lagi Tieto, ia sedang tidak mengenakan kacamatanya. Tieto sedang tertawa-tawa dan mencium mesra salah satu gadis yang paling dekat dengannya. meski begitu, gadis lainnya masih dengan bersemangat menempelkan badannya pada Tieto. Tieto melepaskan ciumannya pada gadis berambut merah dan bermaksud mencium gadis berambut pirang di sisi lainnya ketika tiba-tiba dia melihatku berdiri sambil terpana.

Tieto buru-buru bangkit. gadis-gadis itu melirik kebingungan. Tieto langsung berlari menghampiri aku dan menarik tanganku sampai bising musik tertinggal di belakang kami. kami berdiri di lorong lantai 3 yang sepertinya jadi area tidak terjamah pesta.

"apa yang putri lakukan disini?" tanya Tieto sambil terengah-engah.

"datang, ke, pestamu," sahutku pelan. seperti saat Tieto menegurku di kelas, aku juga kebingungan seperti ini.

"siapa yang mengajak putri?" wajah Tieto menunjukkan kemurkaan dan kejengkelan.

"tidak ada yang mengajakku. aku hanya melihat Emerald akan keluar dan..."

"Emerald. dia harus kuperingatkan," Tieto mengangkat tangan dan menggulung lengan bajunya

"hei, Emerald rtidak salah. aku yang memaksa ikut," aku menyentuh lengan Tieto dan dia terdiam. aku juga. baru kali ini aku berani menyentuh guru, guru yang kusukai.

"itu akan jadi urusan belakangan. sekarang aku akan mengantar putri kembali ke istana. ayo," Tieto menggenggam tanganku dan kami berjalan beriringan menuju keretanya terparkir. di satu sisi, aku kaget karena Tieto punya sisi kehidupan lain yang aku tidak tahu tapi di sisi lain, aku senang karena kami tidak seperti guru dan muridnya.

***

Tieto berhasil mengembalikanku ke istana tanpa diketahui siapapun, bahkan penjaga gerbang. saat dia akan pulang, dia berpesan, "lupakan apa yang putri lihat barusan." aku tidak mengangguk ataupun menggeleng. aku menyimpan itu di memoriku. aku terbangun sambil memutar ingatan Tieto menggenggam tanganku malam tadi.

"kak?" Artea memasuki kamarku dan ikut bergelung di tempat tidur.

"ya?" aku menoleh ke adikku satu-satunya.

"kapan kamu akan menikah?"

"HAH?" refleks, aku berteriak. Artea menutup mulutku. aku menarik tangan Artea lalu mengecilkan volume suara.

"aku belum berpikir untuk menikah. kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?"

"kakak ingat pesta ulang tahun ibu dua bulan lalu?" aku mengangguk. "kakak ingat Pangeran Frumos?"

aku diam sejenak, mengingat-ingat. "yang berdansa denganku!" sahut Artea.

"oh baiklah. aku ingat." Artea beruntung bertemu pangeran tampan di pesta ulang tahun ibu dan berdansa serta mengobrol. sementara aku hanya berdansa dan mengobrol dengan Dej. Tieto tidak hadir saat itu.

Artea mengangguk. "sejak itu kami sering berhubungan. dia ingin segera menikahiku."

"wow wow wow," seruku kaget. aku sampai duduk. "berapa usia dia? kamu yakin dia orang yang baik dan tepat?"

Artea ikut duduk di tempat tidurku dan memutar bola mata. "tentu saja aku yakin dia baik. negaranya terkenal karena bisnisnya yang kaya dan jujur. dan usianya 23 tahun. dia sudah siap untuk diberikan tahta,"

"hmm,"

"masalahnya, ayah dan ibu pasti tidak akan mengijinkan jika aku menikah mendahului kakak,"

"ya sudah, kamu menikah setelah aku menikah saja," aku mulai lega.

"berarti kakak harus segera menikah dalam 6 bulan, karena 6 bulan lagi dia akan diserahkan tahta dan dia sudah harus menikah," Artea memainkan selimut saat menjelaskan.

"hah kamu gila!" ternyata aku belum bisa lega. adikku kena angin apa bisa punya pikiran menikah di usia 16 tahun begini.

"ayolah kak," Artea mendekatiku dan aku langsung turun dari tempat tidur.

"akan kupikirkan," kataku sambil masuk ke kamar mandi. menikah dengan siapapun aku tidak tahu.

***

sasaran latihan saat ini semuanya sedang terbakar karena api yang kuarahkan kepada mereka. rupanya desakan Artea untukku segera menikah cukup membuat semangatku berkobar.

"sedang 'terbakar' rupanya?" Dej menghampiri sambil memegang sebilah pedang kebanggaannya. dia melirik sekililing kami dan tanganku yang masih mengobarkan api berwarna ungu.

"ya," jawabku lalu mengatupkan tangan, memadamkan si api. Dej mengulurkan tangan dan menggerakkannya ke sekeliling kami. air mengucur keluar dari tangannya dan memadamkan api yang kubuat. setelah selesai, dia memandangku.

"berminat untuk latihan yang lebih tenang?" Dej mengangkat pedang dan menggerakkannya. aku mengangguk. menoleh ke belakang dan salah satu pelatihku langsung mengulurkan pedangku. pedang yang lebih tipis tapi lebih panjang dari milik Dej, mirip seperti samurai namun lebih pendek.

kami langsung terlibat dalam latihan pedang. Dej, seperti biasa, begitu kalem menggerakkan pedang dan membaca gerakanku. sementara aku begitu bersemangat menyerang namun beberapa kali memberi kesempatan Dej untuk menyerangku di bagian vital. namun Dej langsung menarik pedangnya lagi dan menyerang bagian lain sampai aku bisa mempertahankan diri.

"api dalam tubuhmu sedang menyala sekali," kata Dej saat kami berhenti. aku menurunkan botol minum dan melap mulut.

"tidak," kataku. Dej mengangkat sebelah alis. "Ya, ya betul."

"kenapa?" Dej duduk di sampingku di tanah.

aku menceritakan pembicaraanku dengan Artea tadi pagi. Dej mendengarkan dengan saksama.

"menikah saja kalau begitu," komentar Dej.

aku tertawa sinis. "dengan siapa?"

"denganku," jawab Dej.

"haha. jangan bercanda Dej," aku menunggu saat Dej akan tertawa dan mengatakan bahwa dia bercanda. namun rupanya ekspresi wjah Dej masih serius dan dia masih intens memandangiku. "oh tidak. kamu gak serius Dej."

aku mengambil pedangku dan berdiri. Dej memegang tanganku.

"aku serius, Foc," kata Dej lagi.

aku memandangi Dej, temanku sejak kecil, orang yang selalu bisa jadi 'air' untuk 'api' dalam diriku. orang yang selalu sigap membantuku, mengobatiku dan mengangkatku ketika terjatuh.

"aku menyukai orang lain," akhirnya aku berkata begitu. kutarik tanganku dari genggaman Dej dan dia melepaskannya. shock.

"siapa?"

"Tieto,"

***

Dej terlihat gusar sejak itu. begitu pula aku. ditambah pula Artea. Artea mendesakku untuk membawa calon suami ke hadapan ayah dan ibu agar dia juga bisa mengatakan keinginannya menikah. itu semakin membuatku frustasi sampai akhirnya aku tidak sengaja mengeluarkan api saat Artea mendesakku untuk keseribu kalinya. tameng dari tanaman langsung tumbuh di depan Artea tepat sebelum apiku mengenainya. aku buru-buru mematikan api dan dia pun menarik tamengnya.

"kalau kamu segitu inginnya menikah, akan kuajak kamu ke depan ayah dan ibu. membujuk mereka untuk mengijinkanmu menikah tanpa perlu aku menikah lebih dulu," akhirnya aku berkata begitu. kurasa ini lebih aman untuk kami berdua.

"benarkah?" mata Artea berbinar-binar, dia memegang lenganku seakan tidak ada api yang pernah keluar dari situ.

aku mengangguk. "akhir pekan ini. setelah jamuan makan malam rutin istana,"

jamuan makan malam ini rutin diadakan setiap sebulan sekali, mengundang para menteri dan kepala keamanan. jamuan ini bertujuan untuk mengeratkan hubungan non-formal diantara para pemegang kepentingan. ayah, ibu, aku, dan Artea akan hadir untuk makan malam dan ramah tamah setelahnya. biasanya setelah acara ini suasana hati ayah akan baik sehingga aku mengambil kesempatan ini untuk meminta dia mengijinkan keinginan Artea.

aku memasuki ruangan makan,berjalan di belakang ibu. mengenakan gaun yang membuatku sulit makan terlalu banyak. rambut yang ditata sedemikian rupa sehingga untuk menoleh pun sulit. tapi aku tersenyu, senyum lebar seperti yang seharusnya dilakukan seorang putri. kualihkan pandanganku satu per satu dan aku berhenti pada Dej. dia sedang memandangku juga. setelah pekan kemarin dia berkata begitu serius soal keinginannya menikahiku, aku belum pernah bicara lagi dengannya. sebagai kepala pasukan istana, tentu saja dia juga hadir. aku lupa. untunglah di meja ini aku duduk sebelah ayah Dej, bukan anaknya.

makan malam selesai dan dilanjutkan dengan ramah tamah. ayah dan para menteri memilih untuk mengobrol. begitu pula ibu, bersama beberapa menteri perempuan. Artea memilih memainkan piano sebagai pengiring dan aku memilih menemaninya.

"berdansa denganku," pinta Dej tiba-tiba.

"tidak," aku menggeleng. 

"ayolah. kau masih marah padaku?" Dej menggerakkan tangannya

"tidak," jawabku lagi. di sebelahku, Artea tersenyum dan mengangguk. maka aku menyambut uluran tangan Dej dan beranjak ke lantai dansa.

"kamu serius saat bilang kamu menyukai Tieto?" bisik Dej di telingaku

"ya,"

"dia memang pintar tapi dia tidak sebaik yang kamu kira," balas Dej, nada suaranya terdengar geram tapi ia tetap tersenyum.

"aku tahu,"

Dej tampak terkejut. "apa yang kamu tahu?"

aku menceritakan kejadian saat aku tiba-tiba datang ke pestanya.

"lalu kenapa kamu masih menyukai dia?"

"kamu gak perlu alasan untuk jatuh cinta, Dej," kataku.

Dej termenung. "ya," akhirnya dia berkata. "ya, aku juga tak punya alasan saat jatuh cinta padamu,"

aku menghentikan gerakan dansa, memandang Dej, sekali lagi mencoba berpikir bahwa dia bercanda. saat wajah Dej begitu serius, aku melepaskan diri dan menjauh dari Dej. dia mengejarku, kami keluar dari ruangan.

"Foc," panggil Dej,

"berhenti membuat perasaanmu jadi bahan lelucon, Dej," aku berbalik menghadapnya.

"aku tidak main-main. ayahmu juga akan memilih aku daripada Tieto,"

"aku yang akan menikah, bukan ayahku," aku mendesis.

"maaf," bisik Dej.

"sampai kamu berhenti bicara soal perasaanmu padaku, aku tidak akan mau menemuimu, bahkan untuk latihan sekalipun," aku meletakkan jari di dadanya dan mendorong sedikit. Dej tidak membantah, maka aku berbalik meninggalkannya, kembali ke ruangan karena jika aku pergi terlalu lama sebelum acara selesai, ayah pasti akan mencariku. 

sepanjang sisa jamuan, Dej terus memperhatikanku tapi aku pura-pura tidak tahu. aku berdiri di samping Artea, mengiyakan ajakan berdansa beberapa menteri sampai akhirnya ayahku sendiri yang mengajak berdansa. setelah itu, jamuan selesai, semua kembali pulang. aku dan Artea mengikuti orang tua kami ke ruangannya.

"ada apa Foc?" ayah bertanya padaku saat kami semua sudah duduk di ruang keluarga.

"Artea ingin menikah," kataku langsung ke pokok permasalahn. "tapi ia pikir ia tidak bisa menikah selama aku belum menikah. sedangkan, ya aku memang belum ingin menikah. jadi, aku meminta ijin ayah dan ibu untuk mengijinkan Artea menikah mendahului aku."

ayah dan ibu saling pandang. 

"Pangeran Frumos sudah mengirimkan surat lamaran secara resmi kepada kami," kata ibu. aku melirik Artea dan dia tersenyum lebar.

"tapi, kami belum bisa mengijinkan Artea menikah sementara kamu, foc, belum menikah," ayah melanjutkan. aku langsung lemas. "3 bulan.kami beri kamu waktu 3 bulan untuk mencari pasangan. jika sampai 3 bulan itu tidak ada pasangan untuk Foc, maka tidak ada pasangan pula untuk Artea."

ayah bangkit berdiri dan meninggalkan kami. sedangkan ibu tetap duduk menghadap kedua putrinya. Artea langsung memandangku kesal. sementara aku? aku bisa berbuat apa...

"itu peraturan keluarga kita, Foc, Artea. tidak ada yang melangkahi yang lebih tua untuk menikah. tidak ada pula yang bisa menantang kata-kata raja. jadi sebaiknya kita putuskan bagaimana jalan keluarnya," kata ibu.

aku mendengus. 

"Frumos mencintai aku, jadi aku yakin dia tidak akan mencari perempuan lain," kata Artea

"tidak ada yang mencintai aku," kataku ketus.

ibu mengangkat alisnya. "jangan bicara begitu. dua pekan lagi ayah akan berulang tahun, banyak undangan dari negara lain yang akan datang. kamu bisa mencari pasanganmu disitu."

"ya," jawabku pelan lalu bangkit dan meninggalkan ibu dan Artea. kembali ke kamarku.

***

aku hanya memandangi Tieto yang menjelaskan tentang topik pembelajaran kami, "bagaimana melawan kekuatan lawan yang secara elemental lebih kuat darimu?" aku tidak benar-benar memperhatikan apa yang dia katakan, aku hanya memutar kembali adegan saat pesta itu.

"kalau pikiranmu sedang tidak disini, Putri. lebih baik kita hentikan pelajarannya," kata Tieto setelah sadar aku hanya melamun.

"ya, benar sekali," dengan bersemangat aku menutup buku dan berdiri lalu menghampiri Tieto, yang mundur selangkah. "siapa gadis yang kau cium saat pesta?"

"aku tidak punya kewajiban untuk menjawab," kata Tieto.

"ya, kamu harus. kamu sendiri yang bilang bahwa di luar waktu pelajaran, kamu akan menuruti semua perintahku. pelajaran sudah selesai 5 detik lalu maka sekarang waktunya menjawab pertanyaanku,"

"mereka teman-temanku," akhirnya Tieto menjawab dengan nada datar.

"kau cium teman seperti itu?" mataku membelalak, kusentuh kepalaku yang menggeleng tidak percaya.

Tieto melengos. mungkin kehidupan di luar istana memang seperti itu.

"mungkin putri kecewa karena sebagai seorang guru, tingkah lakuku seperti itu..."

"tidak," aku memotong. "aku kecewa karena..aku bukan salah satu dari gadis itu."

Tieto tercengang. "maaf?"

aku bergerak mendekati Tieto, melingkarkan kedua tanganku di lehernya. "cium aku seperti kamu mencium gadis itu. ini perintah."

awalnya Tieto bingung, tapi dia kemudian melepaskan kacamatanya, melingkarkan lengannya di pinggangku dan mulai menggerakkan wajahnya ke wajahku, aku memejamkan mata dan...

"Putri Foc, Master Tieto," pintu mendadak terbuka. aku dan Tieto langsung saling menjauhkan diri. denngan jantung berdebar cepat, aku melihat Dej di ambang pintu. ekspresinya sangat mengerikan. "Raja menunggu Putri Foc sekarang juga."

"ya, aku akan kesana," aku mengangguk tapi tidak melangkah dari tempatku berdiri. 

"sekarang," desis Dej. 

aku mengangguk. berpaling kepada Tieto, "terima kasih untuk pelajarannya hari ini, Master Tieto." aku memberi salam ala seorang putri dan dibalas Tieto dengan anggukan. aku berjalan keluar dari perpustakaan dengan diikuti Dej di belakangku. kami saling diam sampai ketika kami berbelok menuju lorong lain, Dej menghentiknku, mendorongku ke dinding dan meletakkan tangannya di sisi kepalaku. aku belum pernah melihat Dej semarah ini.

"apa itu yang biasa kalian lakukan selama pelajaran? bermesraan? pantas saja kamu begitu bersemangat setiap belajar dengannya," bisik Dej dalam kemurkaan.

"jangan sembarangan bicara," balasku tidak kalah marah. "itu pertama kalinya kami..."

"berciuman?" potong Dej.

"tidak jadi. karena kamu tiba-tiba masuk tanpa mengetuk terlebih dulu."

"lalu membiarkan kalian punya wkatu untuk berciuman sementara aku seperti orang bodoh menunggu di luar, menganggap aku sedang menunggu seorang putri yang belajar ternyata dia malah sibuk bermesraan dengan gurunya?" 

aku menampar Dej. dia hanya menutup matanya. sedetik kemudian dia melepaskan kurangannya dan mundur.

"ayahmu menunggu di ruang rapat, membicarakan perihal ulang tahunnya," akhirnya, sesuatu yang memang harus dia katakan. 

aku menghentakkan kaki dan berjalan menuju ruang rapat. Dej mengikutiku.

***

setelah kejadian Dej memergoki aku hampir berciuman dengan Tieto, pelajaranku jadi ditambah satu orang. salah satu dayang ditempatkan untuk menemaniku belajar. ya, keberadaannya sukses membuatku tidak bisa menggoda Tieto ataupun tidur di kelas. begitupun untuk pelajaranku yang lain, beladiri, menunggang kuda, merajut, seni, dansa, dan desain. semua kujalani tanpa satu pun kesempatan lepas dari dayang. awalnya aku diberi kesempatan untuk belajar sendiri. dayang hanya akan datang saat waktunya pergantian pelajaran. sekarang aku sudah seperti ayah dan ibu saja, kemana-mana dikawal. bagaimana aku bisa punya kekasih?

"pakaian apa yang akan kamu kenakan ke pesta ulang tahun ayah?" tanya Artea sambil menggerakkan gaun hijau di depan kaca di kamarku.

"entahlah," jawabku sambil duduk di samping jendela. memandang kejauhan tempat Dej dan pasukannya sedang berlatih.

"aku akan mengenakan baju rancanganmu, kak," Artea menggerakkan gaun hijaunya, salah satu hasil rancanganku memang. Artea semakin bahagia menjelang ulang tahun ayah karena Frumos juga akan hadir. aku tersenyum. Artea menghampiriku, ikut melongok ke jendela yang kulihat.

"sesungguhnya aku berpikir Dej akan jadi pasangan yang tepat untukmu," kata Artea.

aku mendengus. beranjak dari jendela lalu menghampiri rak berisi selusin gaun yang dapat kupilih untuk ulang tahun ayah. Artea ikut menghampiri.

"yang biru tampak bagus. menunjukkan sisi keanggunanmu. lagipula bisa senada dengan gaunku," kata Artea sambil mengangkat gaunnya.

"baiklah, kupilih yang biru saja,"

***

ulang tahun ayah adalah saat dimana istana dibuka begitu lebar. rakyat diperkenankan masuk hingga ke halaman. sedangkan hanya para undangan yang boleh masuk ke ballroom tempat pesta diadakan. meski tidak menutup kemungkinan ayah akan keluar ke halaman dan menyapa rakyatnya. untuk inilah Dej dan pasukannya bekerja keras. memastikan keamanan istana tetap terjaga. momen setahun sekali inilah dimana aku tidak berani mendekati Dej karena dia sangat sibuk.

sejak pukul 6, aku dan Artea sudah siap menyambut para tamu bersama ayah dan ibu. berkali-kali Artea berbisik, "kakak cantik sekali." yang kubalas hanya dengan senyuman. memang gaun biru ini membalut tubuhku dengan sempurna, aku merasa seperti seorang putri sungguhan, bukan putri yang senang melakukan bela diri. rambutku yang dibiarkan terurai dengan hiasan bunga dan mahkota juga membuatku semakin terlihat anggun. bahkan tadi pun, saat Dej menghampiri ayah untuk memberikan laporan terakhir sebelum pesta dimulai, ia hanya bengong memandangiku.

tamu datang satu per satu, memberikan ucapan selamat kepada ayah. setelah memastikan semua pasukannya ditempatkan di posisi yang benar, Dej kembali ke keluarga kami dan memberikan pengawalan ekstra kepada raja dan keluarganya. ia memperhatikan siapapun yang kemungkinan memiliki niat buruk.

Pangeran Frumos dan ayahnya hadir. mereka menghabiskan waktu sedikit lebih lama karena Raja membahas soal rencana pernikahan Frumos dan Artea sementara mereka berdua...aku sampai melengos, mereka sempat-sempatnya berciuman, sambil diperhatikan hampir seisi ballroom. ini sukses membuat beban moralku semakin berat.

di awal pesta, ibu mengingatkanku untuk mencari kandidat yang sekiranya sesuai untuk calon suamiku. aku memperhatikan para pangeran yang melangkah masuk dan menyalami ayah tapi tidak ada satupun yang menarik perhatianku. ada satu pangeran yang ketika hadir, membuat para gadis menghela nafas dan Artea bahkan sibuk menyikutku. harus kuakui ia memang sangat tampan, tapi entahlah, dia seperti kue cantik di etalase. setelah acara ucapan selesai, ayah ibu duduk di singgasana, dan dansa dimulai, pangeran iu, aku tidak ingat siapa namanya, mengajakku berdansa. semua hadirin tercekat. karena pasangan dansa pertama sang putri berarti si putri memiliki ketertarikan lebih padanya. Artea langsung berdansa dengan Frumos tentunya. tapi untukku, dansa hanyalah dansa. kami mengobrol sedikit, akhirnya aku tahu namanya Gala, membicarakan hobi. aku memutuskan dia hanya baik menjadi teman. kami menghentikan dansa dan yang berikutnya mengajakku berdansa adalah Tieto.

"putri," sapanya.

"Tieto, kamu datang juga," senyumku mulai mengembang saat dia ada di hadapanku.

"ya, raja mengundangku secara khusus," aku tersenyum, mengangguk. "putri, mulai pekan depan aku tak akan mengajar putri lagi,"

"kenapa?" aku kaget sekali.

"aku ditugaskan raja untuk mengajar daerah tertinggal di kerajaan kita. aku menyanggupi, karena memang aku senang mengajar dan aku juga perlu mengubah diri menjadi lebih baik, bukan sekedar bersenang-senang dan berpesta,"

"apakah karena aku? apa karena Dej pernah memergoki kita?" aku bertanya cemas. jangan sampai dia pindah karena aku.

Tieto menggeleng, tersenyum. "tidak, sama sekali tidak. sebelum kejadian itu pun informasi mengenai hal ini sudah kudapatkan dan aku sudah mengajukan diri kepada raja. memang hanya masalah waktu saja," lanjut Tieto.

"apa kamu yakin?" aku akan kehilangan guru yang sanga kusukai. aku sedih memikirkannya.

"sejuta persen," jawab Tieto.

"aku sedih akan kehilanganmu. aku suka sekali padamu," 

Tieto tertawa. "tentu. tidak ada murid yang meminta gurunya menciumnya."

wajaku langsung memerah. "Putri akan mendapatkan guru dan pasangan yang jauh lebih baik dari aku."

kami menghentikan dansa karena lagu berhenti. kami berdiri berhadapan. mencari kata-kata perpisahan yang pas. "jaga kesehatan putri," lanjut Tieto. 

"kamu juga," balasku. Tieto mengangguk dan secepat kilat dia mencium keningku lalu mundur, kembali ke kerumumnan tamu-tamu. aku berbalik dan hampir menabrak Dej.

"kenapa kamu disini?"

"ayo dnasa," Dej mengulurkan tangan. aku hampir menolaknya tapi tidak mungkin karena kami berdiri di tengah ruangan. jadi kusambut uluran tangan Dej dan kami pun berdansa.

"siapa yang menjaga ayah dan ibu?" aku berusaha melongok ke arah singgasana.

"dua orang kepercayaanku," jawab Dej. 

"lalu kenapa kamu disini? apa kamu sengaja meminta kesempatan untuk berdansa..."

"ayahmu yang menyuruhku," potong Dej.

"oh," hanya itu yang bisa kuucapkan. kami berdansa dalam diam. sudah lama rasanya kami tidak pernah bicara seperti kami bicara dulu. saling ejek dan tertawa. sejak masalah pernikahanku itu.

"sudah menemukan pangeran yang tepat?" Dej melanjutkan.

"pangeranku memutuskan untuk berkelana, mengajar di tempat terpencil," aku menjawab berdasarkan obrolan dengan Tieto. "kamu sudah tahu kan?"

Dej mengangguk. "aku yang membanu mengurus penempatannya,"

"aku sedih," kataku lalu memeluk Dej. "aku memang suka Tieto sebagai laki-laki, tapi dia juga guru yang pintar. aku sedih akan kehilangan orang berkualitas seperti dia."

Dej terpaku tapi lalu membalas memelukku. "dia pergi untuk sesuatu yang lebih baik," katanya. aku mengangguk. 

"aku mau melihat kondisi di luar," kataku lalu melepaskan pelukan dan meninggalkan Dej di tengah lantai dansa.

***

bukannya mendapatkan pasangan di ajang berkumpulnya pangeran berkualitas dari seluruh negeri, aku malah mendapatkan memar di sekujur tubuhku. setelah pesta usai, aku kembali menekuni semua latihanku, termasuk nekad berlatih kuda menggunakan kuda baru yang masih liar. alhasil, aku jatuh dari kuda dan tercebur ke parit. seluruh badanku rasanya remuk. 

"Kak," panggil Artea. aku pelan-pelan membuka mata dan melihat Artea dan ibu sedang memandangiku. Artea memegangi tanganku dan ibu mengelus rambutku. 

"badanku sakit," aku berbisik. Artea tertawa geli tapi diselingi tangis. 

"siapa suruh menaiki kuda liar. Dej panik sekali, dia langsung memarahi guru berkudamu," kata Artea.

"hmm," aku memggumam lalu tertidur lagi.

malam menjelang, terlihat dari bulan yang mengintip melalui jendela kamar. aku merasakan seseorang bernafas di sebelahku, pasti Artea yang meminta tidur di kamarku malam ini. sementara dilatarbelakangi bulan, berdiri seseorang yang sedang memandangiku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

"Dej," panggilku.

dia menghampiri dan duduk di samping tempat tidur, mengelus kepalaku. "bodoh," katanya.

aku mencoba untuk tertawa tapi rasanya badanku sakit semua. "aku ingin cepat melupakan seseorang."

"bukan dengan menaiki kuda liar yang bahkan penjinak saja belum tahu bagaimana cara mengatasinya," Dej memarahiku tapi dengan begitu pelan.

"aku berharap amnesia,"

Dej mencubit pipiku tapi tak bicara apa-apa lagi. dia masih mengelus rambutku dan menggenggam tanganku.

"aku ingin tidur lagi," kataku akhirnya.

"ya," Dej menghentikan aktivitasnya dan mencium keningku tepat setelah aku memejamkan mata.

***

perlu waktu 2 minggu untuk pemulihan. 2 bulan waktu tersisa untuk mencari suami idaman.  aku masih belum boleh berlatih keras jadi kerjaanku selama seminggu ke depan hanya merajut, membaca, mendesain baju, dan kadang menonton Dej latihan.

"menyedihkan," kata Dej di waktu istirahat latihannya dan melihatku duduk sambil memangku sebuah buku.

"kamu beruntung ya aku sedang sakit begini, kalau tidak, aku sudah menghajarmu Dej," aku menggerakkan tangan dan bola api muncul di situ.

"oops," Dej menyeringai dan memunculkan bola air di tangannya. kami saling memandang lalu tertawa. menyimpan kembali kekuatan elemen masing-masing.

"bagaimana keadaanmu?" Dej duduk di sampingku. cahaya matahari menyinari wajahnya yang behiaskan keringat.

"jauh lebih baik," refleks, kuambil saputangan dan kuulurkan untuk mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya. Dej terhenyak tapi tidak menolak.

"kapan mulai bisa kembali ke medan perang?" lanjut Dej.

"entahlah. dokter belum memberitahu secara detil," kali ini aku menjulurkan botol minuman pada Dej dan langsung disambarnya.

"ada untungnya latihanku ditonton seorang putri tak berdaya. perbekalan yang biasa untuknya jadi bisa untukku," Dej mencomot sebuah apel dari keranjang yang dibawa dayang.

"hei, itu untuk orang sakit," aku berteriak. tapi Dej sudah kembali ke arena sambil melambaikan apel yang dia ambil. aku menghela nafas, menggeleng. 

***

aku sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa. sepeninggal Tieto, guru baruku adalah seorang master yang sudah tua. kemampuan elementalnya seputar besi. jika Tieto bisa menggerakkan barang sesuai pikirannya, masterku yang baru mengontrol besi. jadi selain pelajaran di kelas, dia juga mengajariku bagaimana mengontrol kemampuan elemen.

aku baru selesai belajar di perpustakaan dan sedang menuju kamar untuk bersiap makan malam ketika aku berpapasan dengan Dej dan dia tampak terburu-buru. "Foc," panggilnya.

"kamu mau kemana?"

"ada urusan yang harus kuselesaikan," Dej menggenggam tanganku dan memejamkan matanya. aku kebingungan. "doakan aku,"

Dej pun berlalu tanpa menjelaskan apapun padaku.

***

sebulan berlalu tanpa kulihat Dej di istana. hanya dua orang kepercayaannya yang berputar-putar di istana menggantikan tugas Dej. sekali aku bertemu ayah Dej dan dia bilang Dej sedang ada urusan ke luar kota. aku tidak tahu apa tapi aku harap itu bukan sesuatu yang buruk. karena ayahku dan ayah Dej juga terlihat biasa saja. 

aku sedang menggambar gaun yang baru bersama Artea yang sedang berlatih meniup seruling saat gerbang istana terbuka dan menampakkan sepasukan tentara masuk. dipimpin Dej dengan gagah namun lelah. aku cepat-cepat membereskan barang, begitu pula Artea. kami masuk kembali ke istana melalui pintu yang berbeda dan berlari menuju ballroom. Dej pasti akan kesana dulu setelah sampai dari perjalanannya. namun saat aku dan Artea akan masuk, kami dihadang oleh penjaga. 

"maaf Putri Foc dan Putri Artea. saat ini ballroom hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu saja,"

"akupun tidak boleh?" tunjukku kepada diri sendiri. penjaga menggeleng. terpaksa aku dan Artea mundur lalu kami menunggu di kamarku.

menjelang waktu makan malam, pintu kamarku diketuk, dayang membukakan dan Dej melangkah masuk. berbeda dengan yang kulihat tadi, kali ini Dej terlihat seperti Dej yang biasanya. baik, tersenyum lebar, sehat, dan jahil.

"hai Dej. lama tidak bertemu. apa kabarmu?" Artea menghampiri Dej lebih dulu sementara aku berdiri di masih duduk di sofa.

"aku baik-baik saja, Artea. senang bertemu kembali denganmu," sahut Dej. 

"baiklah. sepertinya banyak yang akan kalian bicarakan. kutinggalkan kalian berdua ya. sampai bertemu di waktu makan malam kak," Artea melambai, memberi isyarat para dayang untuk meninggalkan aku dan Dej. pintu ditutup, Dej duduk di sebelahku.

"kamu pergi kemana?" aku menoleh pada Dej.

dia mengangkat bahu. "biasa, tugas negara."

"sesuatu yang berbahaya? karena kami pergi sampai hampir sebulan,"

Dej menggeleng. "rumit, ya. berbahaya, tidak,"

"apa kamu yakin?"

Dej mengangguk. "sudah bertemu pangeran impian?" 

"apa sih maksudmu," aku melengos dan berdiri, merapikan penampilanku di cermin.

"karena jika belum, aku tahu siapa orang yang cocok," Dej ikut berdiri di sampingku.

"kamu?" aku memandangnya sambil berjengit.

"ya, kita bisa jadi pasangan yang serasi, Foc. lihat," dia menujuk bayangan kami di cermin. 

"bercanda," sahutku lalu mulai melangkah keluar. Dej tertawa.

"masih ada Tieto di pikiranmu?" Dej bertanya dari belakang. kubalas dengan mengangkat bahu.

***

sekarang ballroom tertutup lebih sering dan Dej sering terlihat bolak balik ke sana dengan wajah kusut. walaupun saat ia bertemuu denganku, ia akan tersenyum lebar dan kembali jadi Dej yang biasanya.

"apa yang sedang terjadi?" tanyaku saat suatu malam setelah makan malam, kami duduk di tepi kolam. Dej duduk sambil mencelupkan kakinya ke kolam.

"tidak ada," jawabnya. aku meluncur turun dari kursi dan duduk di sebelahnya, kuangkat rokku agar tidak terkena air dan kucelupkan juga kaki di kolam.

"benarkah? kamu dan ayah tampak sibuk sekali akhir-akhir ini,"

"sibuk mencari pasangan untukmu," kata Dej asal. membuat aku langsung menonjoknya. "hey!"

"jangan asal bicara," kataku sambil manyun.

Dej tertawa. "sebulan lagi kan batas akhirmu mencari pasangan? jika tidak, Artea gagal juga menikah dengan Frumos."

aku diam saja. di satu sisi, aku tidak mau membuat Artea batal menikah. di sisi lain, aku juga belum ingin menikah. aku tidak mau menikah dengan sembarang orang karena pernikahan ini untuk sepanjang usiaku. saat aku diam saja, Dej menarikku mendekat. ia meletakkan kepalaku di pundaknya dan mengelusnya. aku merasa aman.

***

Dej jatuh sakit. seminggu setelah dia memelukku di pinggir kolam. badannya panas sekali. berkali-kali bergumam saat tidur. ibunya merawatnya dengan telaten dan sabar. saat aku menengoknya, Dej sedang makan disuapi oleh sang ibu. ketika melihatku, dia langsung berhenti makan.

"kenapa berhenti?" tanya ibunya heran. Dej diam saja. aku terkikik lalu duduk di samping ibunya. "oh kamu malu karena ketahuan disuapi oleh ibu? oke," ibunya menaruh mangkuk di samping tempat tidur lalu pura-pura cemberut.

aku tertawa melihat mereka berdua. "aku makan sedniri saja Bu," kata Dej lalu pelan-pelan mengambil mangkok tapi aku lebih cepat.

"aku saja yang menyuapimu ya," kataku sambil tersenyum. 

"putri tidak usah repot-repot. biar saja anak ini makan sendiri. sudah usia 23 tahun, kepala pasukan keamanan  istana, masih saja lupa menjaga kesehatan dan akhirnya jatuh sakit." ibu Dej mengomel tapi aku tahu dia sayang sekali pada anaknya.

"baiklah," aku mengulurkan mangkok kepada Dej. pelan-pelan dia mengambilnya dan mulai makan, pelan-pelan sekali. tubuhnya masih lemas jadi belum bisa banyak bergerak. aku dan ibu Dej memperhatikan, lama-lama geli sendiri. untunglah sisa makanan di mangkuk itu tingga sedikit jadi hanya butuh waktu sebentar sampai Dej berhasil menghabiskan makanannya.

setelah Dej selesai makan, dia minum banyak sekali obat. lalu dia merosot dan memejamkan mata. "aku mengantuk sekali, Foc," katanya.

"tidurlah," aku mengelus kepala Dej dan mencium keningnya lalu berjalan keluar kamar. di paviliun Perdana  Menteri, aku menghabiskan waktu dengan ibu Dej dan Emerald. 

malam menjelang, Dej mandi dan makan malam lalu menunda meminum obat agar tidak langsung mengantuk. saat itu aku ditinggalkan berdua dengannya. 

"aku sedang tidak punya tenaga bahkan untuk mengejekmu," kata Dej.

"aku juga sedang tidak ingin diejek," aku mengangkat bahu. kami berdua diam lagi. "sebentar lagi batas waktu dari ayah."

Dej diam. "lalu?"

"aku rasa aku tahu siapa yang sebaiknya kupilih," aku berkata pelan.

"siapa?" Dej bertanya, raut wajahnya tegang.

"dia....ternyata orang yang punya arti besar dalam hidupku. dia selalu ada saat aku membutuhkannya. dia selalu sabar menghadapi aku yang emosional. dia paham segala kebutuhanku. dia juga seorang pejuang. aku tahu dia menyayangiku juga,"

Dej tak mampu berkata-kata. berkali-kali menelan ludah sambil memandangku. aku melanjutkan. "bahkan rupanya dia sudah melamarku kepada ayah. aku bisa merasakan kebaikan hatinya dan kesungguhan tekadanya. lalu aku sadar bahwa dialah yang terbaik untukku."

"sungguh beruntung orang itu," adalah kata-kata Dej setelah aku selesai bercerita dan hening tercipta di antara kami. dia mulai terlihat kecewa dan pasrah. rupanya dia memang tidak main-main saat berkata dia ingin menikah denganku. buktinya, dia begitu kecewa mendengar pemaparanku, karena dia anggap aku sudah menjatuhkan pilihan pada orang lain.

"iya Dej, kamu sungguh beruntung," kataku sambil memindahkan duduk ke tempat tidurnya. kusentuh kedua pipinya yang masih memancarkan panas suhu tubuh. saat dia sadar bahwa sedari tadi aku bicara tentangnya, dia mulai nyengir dan pipinya semakin memerah. "kamulah pilihanku, Dej."

Dej tersenyum lebar sekali lalu kami berdua terhanyut dalam momen saat bibir kami bersatu.

***

pesta pernikahan aku dan Artea dilaksanakan bersamaan. ballroom sekali lagi disulap menjadi ruangan megah dan ceria. undangan dari kedua negeri memenuhi lokasi pernikahan dengan suka cita. kali ini Dej tidak perlu sibuk mengatur keamanan karena dia berdiri di sisiku, tertawa lebar, dan yang kulakukan sepanjang hari ini hanya memeluknya, menciumnya, memastikan bahwa kami saling memiliki satu sama lain.

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?