Di Manggarai

Arina berdiri gelisah di peron 6, menunggu kereta tujuan Bogor yang akan membawanya pulang. sudah pukul setengah 10 dan ia masih di stasiun manggarai ini. Arina berkali-kali mengecek jam tangannya dan hapenya bergantian, tidaka da tanda-tanda Arina harus segera sampai di kota Depok. tapi ia tahu bahwa dirinya sudah membuat 'dia' menunggu terlalu lama.
 
***
 
memang banyak orang yang bilang kerja di Jakarta bikin tua di jalan. tapi menurut Gilang, itu kurang tepat juga. hanya karena rumahnya jauh dari tempat kerjanya maka perjalanannya menghabiskan waktu cukup lama untuk berangkat kerja. tapi untunglah ada Commuter Line ini, sehingga perjalanannya bisa dihemat sampai hanya 1 jam setengah sekali perjalanan. pekerjaannya sendiri lah yang menurut Gilang, menyita sebagian besar waktunya. pergi pagi pulang petang namun untungnya penghasilannya tidak pas-pasan.
 
Gilang ikut turun di Stasiun Manggarai setelah naik kereta feeder Manggarai. dari pengumuman yang ia dengar, kereta menuju Bogor masih di Stasiun Kampung Bandan. jadi daripada menungu lebih lama, lebih baik ia naik kereta feeder, turun di Stasiun Manggarai, dan naik kereta Bogor yang ebrasal dari Stasiun Jakarta Kota.
 
Gilang mengecek jam tangan di tangan kirinya, pukul setengah 10. jika saat ini kereta langsung tiba, kurang lebih ia akan sampai di rumahnya pukul 11 malam. tapi kalau kereta belum tiba juga, bisa lebih lama dari itu. Gilang menghela nafas. yah, tidak ada siapapun juga yang menunggu di rumahnya. ia tinggal sendirian setelah berhasil membeli rumah (dengan mencicil tentunya) di daerah Cimanggis, Depok. orang tua dan adik perempuannyanya tinggal di Bogor, kakaknya sudah menikah dan tinggal bersama istri dan anaknya di Surabaya.
 
"jadi pulang jam berapapun tidak masalah," pikir Gilang. ia menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri. melihat berapa banyak 'budak-budak Jakarta' yang masih setia berada di stasiun. cukup ramai juga ternyata. pandangan Gilang terhenti sejenak pada seseorang yang mengantri di bagian Kereta Khusus Wanita. perempuan itu mengenakan tas berwarna biru dengan flatshoes bunga-bunga bernuasa merah yang serasi dengan bajunya. rambutnya diikat kuda dan poninya disisir rapi. namun penampilannya 'terganggu' dengan ekspresinya yang tampak cemas. ia berkali-kali melihat jam, hape, mencari tanda-tanda kedatangan kereta, bahkan sesekali melirik ke arah luar stasiun.
 
ketika akhirnya pengumuman memberi tahu bahwa sesaat lagi kereta arah Bogor akan sampai di Manggarai, ia menghela nafas lega. memasukkan gadget ke dalam tas, lalu menunggu kereta tiba. "ketemu lagi," bisik Gilang.
 
***
 
"maaf banget. tadi ada temenku minta ditemenin dan diajarin kerjaan gitu makanya aku baru bisa pulang malem-malem," Arina merepet panjang begitu sampai di tempat janjian. bukan menyapa 'hai' atau 'apa kabar'.
 
"sampai kapan mau pulang malem terus kayak gini?" orang yang ditemuinya, Evan, bicara tanpa memandang Arina dan malah asyik membaca berita melalui tabletnya.
 
Arina duduk pelan-pelan di depan Evan, menaruh tasnya di samping lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat.
 
"ini juga bukan keinginan aku kok. tadi juga ngedadak aja. ampir aku tinggalin kalau gak ingat Bu Diana nongkrongin aku dan temenku buat lembur."
 
"kalau kita jadi nikah nanti, aku gak mau kamu pulang malem kayak gini lagi,"
 
jleb. kalau kita jadi nikah nanti. seakan-akan Evan punya kecenderungan untuk membatalkan rencananya menikahi Arina.
 
"i'll try kok, Van,"
 
Evan hanya mengangguk masih tanpa memandang Arina. sudah terlalu kesal rupanya. dirayu pun tak akan mempan. Arina hanya perlu mendiamkan Evan beberapa saat, nanti Evan akan kembali jadi Evan yang perhatian dan penyayang. Arina bersandar di kursi coklat cnvenience store Seven Eleven ini. entah kenapa Evan senang mengajaknya bertemu di sini dan bukan di kafe-kafe seru yang sebenarnya banyak terhampar di kota Depok ini.
 
"pulang yuk," ajak Evan sambil membereskan tasnya.
 
"lho kan belum lama di sini?" tanya Arina bingung.
 
"kamu yang belum lama. aku udah dari 2 jam lalu nungguin kamu di sini,"
 
Arina tersenyum sedikit dengan rasa bersalah. kalau sudah begini, ia hanya menurut saja. padahal pertemuan hari ini rencananya ingin membicarakan soal rencana makan malam antara Arina dengan orang tua Evan. kalau tidak jadi, berarti rencana makan malamnya?
 
"ortuku tiba-tiba berangkat ke New Zealand. kita  harus nunda lagi acara makan malemnya,"
 
"oh, pantesan," bisik Arina dalam hati.
 
***
 
Gilang membuka pintu rumahnya dan menghela nafas (lagi). ketika ia berniat membeli rumah ini, ibunya sedikit keberatan, katanya "kamu kan belum nikah, nanti sendirian tinggal di rumahnya," yang sebenarnya memang tidak mau Gilang pergi dari rumah. tapi Gilang menjawab, "ini kan investasi Bu, jadi kalau udah nikah nanti, istri langsung tinggal di rumah baru. ga usah ribet cari rumah dulu atau tinggal di rumah orang tua."
 
akhirnya ibunya mengijinkan. maka dimilikilah rumah tipe 36 ini. awalnya hanya 1 lantai, tapi oleh developernya, Gilang diperkenankan memodifikasi rumah ini. jadilah ia punya rumah 2 lantai dengan pagar dan halaman belakang minimalis. karena ia masih single, maka seluruh pekerjaan beres-beres dan bersih-bersih dilakukannya sendiri.
 
Gilang mengunci pintu depan dan naik ke kamarnya di Lantai 2 yang pemandangannya langsung ke bagian depan rumah. jadi fungsinya sebagai pemilik sekaligus satpam bisa ia laksanakan sekaligus. setelah mandi dan berganti pakaian, ia langsung tidur. tidak peduli iPhone-nya sedari tadi berbunyi. pasti para stafnya menanyakan soal pekerjaan. semacam tidak paham saja kalau sudah malam berarti waktunya istirahat.
 
***
 
Gilang bersandar ke pintu kereta. lebih tepat disebut 'terhimpit' oleh penuhnya kereta tujuan Sudirman, Tanah Abang, hingga Duri ini. namun karena posisinya yang menempel pada kaca pintu di arah yang berlawanan dengan pintu yang akan dibuka, ia jadi bisa melihat dengan jelas peron 3, di sana banyak orang yang sepertinya baru turun dari kereta tujuan Jakarta Kota dan akan menaiki kereta yang ditumpangi Gilang saat ini. di sanalah ia melihatnya lagi.
 
kali ini kemeja hijau garis-garis, dengan rok merah polos dan lebar. membuatnya terlihat seperti pohon natal. tasnya berwarna hitam, rambutnya diikat separo. ekspresi wajahnya seperti penumpang lainnya. terburu-buru dan khawatir tidak kebagian naik kereta.
 
Gilang mengikuti langkah perempuan itu namun hilang dari pandangannya. ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang sedang dijejali banyak orang untuk bisa masuk, tapi tidak ada tanda-tanda tangan berbalut baju hijau garis-garis yang masuk dan berusaha meraih pegangan. Gilang kecewa lagi.
 
***
 
"gak apa-apa nih kita masih nongkrong di Manggarai jam segini?" Maria melirik jam di hapenya lalu gantian melirik Arina yang sedang mengunyah Roti O' di depannya.
 
"biarin. sejak tadi pagi Evan berangkat ke Surabaya. kalau dia nelepon nanyain gue lagi di mana, gue tinggal bilang udah siap-siap bobo di kosan,"
 
Maria menggeleng lalu mengunyah rotinya. "gak solat lo?"
 
"lagi dapet," kata Arina sambil menunjukkan jari-jarinya yang diberi kutek merah hijau, serasi dengan baju yang dikenakannya hari ini. ia biasa mengenakan kutek kalau sedang 'absen' solat.
 
"ooo, jadi kita mau di sini sampe kapan?"
 
"sampai kereta kosong deh Mar,"
 
Maria tertawa. "bisa jam 11 malem kali. gue sih gampang, kosannya deket dari sini. lo kan nun jauh di sana,"
 
"Depok gak jauh-jauh amat keleuuus,"
 
***
 
"Depok gak jauh-jauh amat keleuuus,"
 
saat mendengar kata 'Depok' disebut, sebagai warga negara yang sekarang tinggal di situ, Gilang refleks menoleh. melihat siapa yang menyebut-nyebut tempat tinggalnya. setelah mengetahui siapa yang bicara, Gilang refleks menghentikan langkahnya. ia baru selesai menunaikan Shalat Maghrib di mushala Stasiun Manggarai. tadinya ia bermaksud shalat di rumah, tapi karena keretanya lama tiba, ia terpaksa shalat di Stasiun Manggarai yang mushallanya kecil daripada tidak sempat shalat sama sekali.
 
Gilang sedang merapikan kemejanya ketika ia melewati Roti O dan mendengar nama Depok disebut. ternyata yang menyebutkan adalah perempuan berkemeja hijau garis-garis yang sedang mengunyah Roti O sambil mengobrol dengan temannya. Gilang merasa ini kesempatan bagus. pelan-pelan, ia masuk ke konter Roti O dan langsung menghampiri kasir. sok-sok bingung melihat menu padahal berusaha menguping pembicaraan dari perempuan berkemeja hijau garis-garis dan temannya, yang duduk tidak jauh dari kasir. setelah si waiter nampak agak bosan menanti Gilang memesan, akhirnya Gilang memutuskan membeli 5 roti dan membawanya ke meja kosong di sebelah meja perempuan itu. mereka pun duduk berpunggungan.
 
***
 
"gue pengen pulang ke Bandung deh, Mar," ucap Arina sambil memandang kereta.
 
"emang kapan terakhir kali lo balik ke Bandung?" tanya Maria setelah menelan rotinya.
 
"hmm, sebulan lalu sih kalo gak salah. pas temen gue nikahan gitu," Arina menyangga dagunya dengan tangan, masih sambil memandang ke luar.
 
"gue juga pengen pulang ke Medan," balas Maria.
 
"ya lo sih emang udah bertahun-tahun kagak pulang," kata Arina sambil tertawa sedikit.
 
"iya, bahkan Natalan taun kemarin gue gak pulang," Maria menggeleng sedih.
 
"untung pas Lebaran, gue masih inget pulang sih," Arina nyengir.
 
"ya lo mah tinggal ngesot,"
 
"pegel juga kali ngesot sampe Bandung," lalu mereka berdua tertawa.
 
***
 
mungkin ini terdengar freak, tapi setiap percakapan mereka berdua dicatat oleh Gilang di tab-nya. Gilang masih belum tahu siapa nama perempuan itu, ia malah tahu nama temannya, 'Mar'. entah Marimar, Margo, Marda, atau Maria? pantas saja selama hidupnya, Gilang cuma satu kali pacaran, ketika kuliah. bukannya ia tidak punya modal untuk jadi pria incaran cewek-cewek. ayahnya punya usaha rumah makan di Bogor, Gilang sering dapat ranking 1, ia juga jago main basket dan karate, teman laki-lakinya banyak, hang out pun sering. tapi itulah, ketika berhadapan dengan perempuan, ia seperti bingung. perempuan berbeda dengan soal matematika yang sudah punya pakem tertentu saat minta diselesaikan. satu-satunya pengalaman pacaran pun karena mantannya itu yang nembaknya duluan, sambil nangis-nangis, Gilang sebenernya bingung mau jawab apa, saking bingungnya sampai refleks bilang 'oke'. mereka pacaran gak lama karena cewek itu keburu diterima kerja di Singapur. Gilang jauh sangat lega ketika itu terjadi.
 
jadi, ketika ia naksir dengan sosok misterius yang sedang duduk di belakangnya ini, Gilang baru sebatas bisa mengumpulkan informasi tentang dia saja. bisa saja dia tiba-tiba balik badan dan ngajak kenalan, tapi pasti gestur Gilang tidak sepede saat ia bertemu klien ataupun memimpin rapat. ia semacam lupa bahwa ia manager bagian Business Development yang sering bertemu dan berkenalan dengan orang baru.
 
5 buah roti yang baru dibelinya seakan dia telantarkan saat sibuk menguping dan mengetik. tidak terasa, sudah hampir 3 jam mereka mengobrol dan 3 jam pula Gilang mencatat. tiba-tiba yang bernama 'Mar' mengajak pulang.
 
"udah jam 10 nih, lo harus buru-buru pulang, kalau gak, besok lo telat lagi,"
 
"oke oke,"
 
Gilang buru-buru mengunci tabnya dan  . . .
 
"eh sori," ucap perempuan yang diincar Gilang itu. dia ternyata kesulitan untuk keluar karena bangkunya terlalu menempel dengan bangku Gilang dan mejanya juga sedikit mengunci geraknya.
 
"oh oke," Gilang mendadak berdiri dan memperhatikan bagaimana ia mendorong pelan kursi yang sedari tadi diduduki Gilang, lalu mengeluarkan kakinya dan berjalan menghampiri temannya yang telah menunggu di pintu.
 
hingga saat sosok itu menghilang, Gilang masih terpaku di tempatnya. ingatan bahwa perempuan yang diincarnya tinggal di Depok juga, Gilang buru-buru keluar. benar-benar lupa akan 5 buah Roti O yang dibelinya.
 
Gilang berlari ke arah peron 6. kecepatannya menurun sebentar ketika ia masih bisa melihat sosok yang dicarinya sedang berjalan santai ke arah peron 6 lalu berbelok ke kiri, ke arah Kereta Khusus Wanita bagian depan. Gilang berjalan pelan di belakangnya, mengambil posisi di gerbong tepat di belakang KKW, sesekali mencuri pandang ke arah sosok itu. sosok yang langsung mengeluarkan Androidnya dari tas dan mulai memainkannya sembari menunggu kereta.
 
***
 
Arina dan Evan mulai pacaran 6 bulan lalu meskipun mereka sebenarnya sudah saling kenal sejak masih sama-sama jadi mahasiswa di kampus UI. setelah lulus, mereka bekerja di tempat yang cukup jauh, Evan di daerah Kelapa Gading dan Arina di Sudirman. mereka jarang bertemu meski Evan masih tinggal di daerah Kelapa Dua dan Arina gagal move on dari Depok dan melanjutkan ngekos di Depok. setelah setahun lulus, mereka tiba-tiba bertemu lagi saat JGTC, event setahun sekali dan terbesar yang ada di UI itu mempertemukan mereka berdua saat Arina sedang menemani Windy mencari makanan. saat itu Evan dan teman-temannya juga sedang duduk-duduk setelah selesai makan. mereka bertemu, bersapa, basa-basi sebentar, dan malah jadinya menonton JGTC beramai-ramai. di situlah Evan dan Arina jadi lebih sering mengobrol lalu Evan sering mengajak Arina jalan bareng. sebulan kemudian, mereka pacaran.
 
karena dua-duanya sudah bisa dibilang cukup umur (Arina 24 dan Evan 25) jadi mereka tidak mencari pacar hanya untuk main-main. hal itu juga yang dikatakan Evan saat mengajak Arina pacaran. bahwa ini adalah untuk jenjang yang lebih serius. Arina pun menyetujui. ia juga sudah bukan masanya pacaran hanya untuk having fun. hanya saja, selama 6 bulan mereka pacaran, Evan belum pernah sekalipun melakukan follow up akan rencananya yang dia beritahukan pada Arina dulu itu. Arina sempat ingin mengenalkan Evan kepada orang tuanya di Bandung namun Evan masih saja sibuk. jadilah selama 6 bulan ini mereka masih pacaran seperti orang 'biasa'. jalan bareng pas weekend, sempet-sempetin ketemu kalau malem, berantem-berantem kecil, rajin telepon/BBM/WA. that's it.
 
awalnya Evan memang perhatian dan penyayang. sekarang pun masih sih. tapi durasi ngambekannya jadi lebih panjang dan sering. seperti kemarin malam, Evan bisa marah hanya karena Arina pulang malam, padahal sebelum pacaran pun Arina sudah sering pulang malam. ataupun ketika Arina memilih untuk malam Mingguan sama temen-temen deketnya pas kuliah, Evan juga marah. katanya "kamu suka lupa waktu kalau kumpul sama mereka." memang iya sih, tapi kan gak setiap minggu juga keluar bareng temen-temennya. maka ketika Evan sedang dinas keluar kota seperti ini, Arina malah lebih bebas.
 
"absen malam dulu," kata Arina sambil mengetikkan pesan di Androidnya. lalu setelah itu mematikan koneksi internet dan tidur!
 
***
 
"Pak, saya punya sepupu yang masih single lho," Yudi, salah seorang stafnya, tiba-tiba nyeletuk begitu saat mereka sedang coffee break dari all-day-meeting membicarakan produk baru perusahaan mereka.
 
Gilang menghentikan rencananya menyeruput kopi lalu melirik Yudi. Gilang tertawa lalu menggeleng dan melanjutkan meminum kopi, tanpa krimer, itu.
 
"Cantik lho Pak. lulusan Singapore. sekarang lagi kerja jadi konsultan," Yudi masih melanjutkan dengan gigih.
 
"selamat ya punya sepupu sekeren itu," balas Gilang sambil menepuk pundak Yudi dan tersenyum.
 
"kalau Bapak mau, saya bisa kenalin," Yudi masih gak kenal lelah.
 
"gak usah Yud, nanti ngerepotin,"
 
"nggak Pak. saya malah seneng kalau bisa bantu Bapak,"
 
Gilang tertawa. "saya baru 28 lho Yud. gak segitu desperatenya juga cari pasangan,"
 
Yudi nyengir malu-malu. akhirnya dia diam. Yudi, dan beberapa orang bawahan Gilang, sudah berkali-kali berusaha menjodohkan bosnya yang single ini dengan banyak perempuan. tapi semuanya ditolak dengan halus oleh Gilang. padahal semua perempuannya sangat antusias waktu mau dikenalkan ke Gilang. Gilangnya yang emang gak mau. sempat mereka bertanya-tanya apa Gilang sebenernya gay? tapi ketika suatu hari mereka party buat ngerayain kerja sama dengan salah satu majalah fashion, which is banyak model-model cewe majalah itu seliweran, Gilang gak lepas juga kok ngeliatin cewe-cewe itu. normal sih.
 
dalam hati, Gilang berpikir, "gimana mau dijodohin sama orang lain? ntar yang ada pas ketemuan orangnya gue cuekin,"
 
***
 
ketika berbaring di rumahnya, Gilang berpikir. apa emang udah waktunya ya dia mulai serius mikirin cari pasangan? kalau ga bisa sama orang baru, siapa tau ternyata jodohnya adalah orang yang sudah dia kenal? tapi Gilang merasa bukan, jodohnya bukan orang lama. pikirannya terpaku pada perempuan yang sering ia temui di Stasiun Manggarai itu. she's a stranger. meski demikian, pikiran tentangnya selalui menghantui Gilang.
 
entah sejak kapan Gilang mulai memperhatikan sosok itu. pertama kali Gilang melihatnya adalah ketika mereka berpapasan di musholla. Gilang baru akan masuk dan dia sedang berjalan ke luar. pakaiannya biasa, mini dress bunga-bunga besar, celana khaki, dan flat shoes hitam. ia mengenakan tas mungil berwarna merah. rambutnya, yang membuat Gilang berhenti dan menoleh. rambutnya dikepang buaya dan disampirkan ke samping. mirip dengan gaya rambut Katniss Everdeen. agak bertolak belakang dengan gaya berpakaiannya. Gilang pikir ia hanya tidak sengaja bertemu dengannya dan Gilang pun mulai melupakan pertemuannya itu.
 
kali kedua Gilang melihat perempuan itu, ia sedang duduk-duduk di peron 6 sambil membaca. asyik dengan dunianya sendiri. sesekali mengangkat kepala untuk mendengarkan pengumuman tibanya kereta.
 
ketiga kalinya mereka bertemu adalah saat Gilang menunggu di peron 6 setelah naik kereta feeder. perempuan itu melewati Gilang yang sedang berdiri, sambil mengobrol dengan temannya. mereka berjalan menuju bagian tengah kereta.
 
entah sengaja atau tidak, sejak saat itu Gilang jadi sering mencari sosoknya setiap kali ia berhenti atau  melewati Stasiun Manggarai. sudah menjadi semacam tantangan yang harus ia selesaikan setiap pergi atau pulang kantor.
 
Gilang bukan tipe laki-laki yang menomorsatukan pekerjaan dan melupakan urusan rumah tangga. ia bisa dibilang family man. alih-alih meminta tolong kakak pertamanya, ibu dan adiknya lebih senang meminta bantuan Gilang untuk urusan rumah tangga. sepertinya itulah alasan mengapa ibunya sangat keberatan ketika Gilang memutuskan untuk tinggal di rumahnya sendiri.hambatannya hanya di menemukan orang yang tepat. Gilang masih belum merasa menemukan orang yang bisa ia jadikan pendamping seumur hidupnya.
 
Gilang berguling ke sebelah kanan dan mematikan lampu meja lalu terlelap. sedikit berharap bertemu dengan perempuan itu di dalam mimpi.
 
***
 
malam itu Arina bermimpi. ia sedang bermain dengan boneka. bukan boneka kesayangannya di dunia nyata tapi di mimpi itu Arina diyakinkan bahwa boneka sapi yang ia pegang adalah boneka yang paling ia sayangi. tiba-tiba boneka itu hilang, Arina menangis kencang dan tiba-tiba lagi, di depannya muncul boneka beruang yang bagus sekali. Arina tersenyum dan langsung tidak mau melepaskan boneka beruang itu.
 
Arina terbangun dan mengerjapkan matanya. mimpi yang aneh, pikir Arina. ia melirik jam di Android yang diletakkan di sebelah bantalnya dan melihat masih jam 3 subuh. "oke, waktunya memanfaatkan waktu buat hal berguna."
 
Arina berjalan menuju kamar mandi dan mengambil wudhu untuk melakukan shalat Tahajud. setelah selesai melaksanakan shalat, ia berdoa untuk keluarganya, untuk pekerjaannya, untuk teman-temannya, dan tentunya, untuk jodohnya, siapapun ia, di manapun berada, semoga ia juga adalah sosok yang sedang mengusahakan diri untuk jadi pribadi yang lebih baik dan pantas untuk menjadi seorang suami. Arina juga berdoa, meminta seorang suami yang menyayangi dirinya dan keluarga, yang bersamanya, surga semakin mendekat.
 
***
 
Gilang terbangun karena alarm yang disetelnya pukul setengah 3. ia diajarkan ayahnya untuk menyempatkan bangun di sepertiga malam dan melakukan shalat Tahajud. katanya, berdoa di shalat Tahajud adalah doa yang tidak mungkin meleset. karena--ayahnya memberi gambaran--ibarat telepon, sepertiga malam adalah saat di mana saluran tersebut sedang lowong sehingga doa Gilang akan langsung sampai pada Yang Maha Kuasa. gilang percaya akan mujarabnya shalat Tahajud. seperti ketika ia sedang ingin dapat beasiswa untuk kuliah agar tidak perlu membebani orang tuanya (yang padahal masih mampu untuk membiayai kuliah Gilang hingga S2), Gilang sangat rajin melakukan shalat Tahajud dan berdoa sepenuh hati. contoh lainnya adalah ketika ia SMA dan khawatir dalam menghadapi Ujian Nasional, lagi-lagi Gilang getol melakukan shalat Tajahud dengan khusyuk. keduanya sukses. meski kalau sedang tidak ingin apapun, Gilang tetap menyempatkan shalat dan berdoa bagi orang-orang yang disayanginya. Gilang memang masih perlu bantuan alarm untuk bangun, tapi setidaknya ia membiasakan diri.
 
setelah air wudhu membasahi tubuhnya, Gilang memulai shalat. suasana hening membuat kekhusyuk-annya bertambah. setelah menyelesaikan shalatnya, Gilang berdoa, meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk diberikan pendamping hidup di usianya yang ke-28 ini. Gilang meminta pasangan hidup yang sayang dan cocok dengan keluarganya, yang memahaminya, yang bisa ia bimbing ke arah lebih baik, yang bisa diajak membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. semoga Tuhan berkenan untuk mengambulkan permintaannya ini.
 
***
 
"lo tau Mar, gue kayaknya mau putus aja sama Evan," ucap Arina sambil menggerak-gerakkan kakinya. mereka pulang malam lagi hari ini. sehingga kereta Bogor yang mereka naiki bisa dibilang cukup kosong.
 
Maria menoleh ke arah Arina. pikirannya terbagi antara bersiap-siap akan turun di Stasiun Manggarai tapi penasaran dengan cerita Arina. "kenapa?"
 
pintu terbuka tapi Maria malah diam. sedetik kemudian Arina menggamit lengan Maria dan keduanya turun di Stasiun Manggarai.
 
"gue cerita dulu deh, baru nanti naik kereta lagi. walaupun ini kereta Bogor sih,"
 
***
 
Gilang bersandar ke sekat pembatas tempat duduk sambil memandang ke luar. kereta yang dinaikinya sedang berhenti di Stasiun Manggarai. posisi berdirinya yang di sebelah pintu membuatnya leluasa untuk melihat ke luar. ketika asyik melihat ke sekitar stasiun, tiba-tiba ia melihat sosok yang sering ia cari setiap melewati stasiun besar ini. refleks, Gilang langsung melompat turun sebelum pintu kereta menutup, yang untungnya, memang belum menutup.
 
terburu-buru, padahal jarak gerbongnya dengan posisi perempuan yang dikejarnya tidak terlalu jauh. saking semangatnya berlari, Gilang sampai lupa berhenti. ia sibuk menghentikan larinya setelah 2 meter dari belakang 'mangsanya'.
 
pelan-pelan, Gilang mengikuti kedua orang itu. tidak terlalu dekat sampai terlihat mencurigakan tapi juga tidak terlalu jauh sehingga ada kemungkinan kehilangan jejak. agar tidak terlalu terlihat mencurigakan, Gilang mengeluarkan hapenya dan membuka aplikasi apa saja yang dilihatnya pertama. ini juga bisa jadi alasan bagus jika ada orang iseng bertanya kenapa jalannya pelan sekali.
 
Gilang mendongak sekilas dan melihat kedua orang itu duduk di depan Sevel. duduk begitu saja. ini semakin membuat Gilang pusing. posisi mereka membuat Gilang sulit jika ingin menguping, sementara mereka terlihat akan lama duduk dan mengobrol. akhirnya Gilang memilih masuk Sevel dan memperhatikan dari sana saja.
 
***
 
"lo tau, masa kemarin-kemarin Evan bilang 'kalau kita jadi nikah' yang seakan-akan bisa aja kita gak jadi nikah. belum lagi kalau lagi berdua tuh ga pernah ngomongin soal nikah. cuma bahas soal aktivitas sehari-hari doang. belum juga nikah, dia udah aktif banget larang gue kesana kemari. perasaan ini ga ada bedanya kayak pacaran sama anak SMP,"
 
"lo udah jadi dikenalin ke ortunya Evan itu gak sih?" tanya Maria dari samping Arina
 
"boro-boro. kayaknya inget aja nggak,"
 
"ya udah putusin aja. daripada ga bahagia,"
 
"gampang banget lo ngomongnya," balas Arina sambil menjitak pelan kepala sahabatnya ini.
 
"yee tadi kan yang bilang mau putus itu lo, bukan gue."
 
"iyaaa, tapi gue masih mikir-mikir juga sih..."
 
"apaan lagi?"
 
"selain Evan, ada gak ya yang mau nikah sama gue?"
 
***
 
Gilang tersedak Nu Green Tea yang sedang diminumnya. ia tidak salah dengar kan? perempuan itu, yang jadi incarannya selama ini, bisa-bisanya bertanya seperti itu. kalau di film kartun, mungkin Gilang sudah keluar dari persembunyiannya dan langsung menawarkan diri.
 
***
 
"lo jangan kayak orang desperate gitu, napa. pasti banyak kok yang mau sama lo. mungkin emang bukan jodoh aja kalau lo beneran putus sama si Evan ini,"
 
"iya sih Mar, hahaha. gue jadi paranoid gini,"
 
"yang jadi masalah itu, lo sebenernya sayang sama dia apa nggak?"
 
"coba gue pikirkan," lalu ada keheningan di antara mereka berdua. "kayaknya nggak sih. gue nerima dia dulu karena gue males kemana-mana sendirian. saat itu lagi banyak kondangan dan gue bingung nyari siapa buat nemenin ke kondangan. selain itu, biar ada kerjaan aja tiap hari, WhatsApp-an sama pacar gitu,"
 
"yaelah, jadi ga bener-bener cinta toh?"
 
"ada sih dikit. gue seneng setiap dia ngasih perhatian ke gue,"
 
"semua cewe juga gitu kaleeee. makanya lo ati-ati dong kalau nerima cowok. kayaknya kalian gak ketemu ortu satu sama lain itu pertanda buat putus deh."
 
"bisa jadi.. mungkin ini konspirasi semesta,"
 
Maria dan Arina keduanya mengangguk.
 
"terus kalau lo putus sama Evan, rencana lo nikah taun ini gimana?"
 
"gue akan berdoa dengan sepenuh hati supaya didatangkan cowo yang pas buat jadi jodoh gue."
 
"gimana lo tau dia jodoh lo?"
 
"gue bakal tau aja. kata orang-orang sih gitu,"
 
"mungkin ya. gue belum pernah ngerasa ketemu jodoh sih. eh balik yuk, udah jam 11 nih."
 
"yuk,"
 
Maria berdiri lebih dulu lalu membantu Arina berdiri.
 
"btw, lo jadi ke Bogor Sabtu ini?"
 
"jadi," jawab Arina sambil mengangguk. "bareng temen-temen kampus gue, mau wisata kuliner."
 
***
 
"tumben kamu pulang, nak," sapa ibunya saat Gilang masuk ke rumah orang tuanya. menyimpan tas lalu mencium tangan ibunya.
 
"kangen aja Bu," jawab Gilang sambil nyengir. padahal dia punya hidden agenda lain.
 
"A Gilang!" suara cempreng adiknya terdengar memekakkan telinga lalu gadis remaja yang banyak ditaksir temen-temen sekolahnya itu menghampiri kakaknya dan memeluknya. "tega pisan ih lama gak pulang. padahal kan Cimanggis Bogor teh deket."
 
"sibuk di sekolah, Wuri," balas Gilang sambil mengacak rambut panjang adiknya. "bapak mana?"
 
Wuri menunjuk ke arah halaman belakang dan ibunya menjawab, "lagi bersiin kolam."
 
Gilang berjalan ke halaman belakang rumahnya dan menghampiri ayahnya yang masih segar meski usianya sudah 57 tahun.
 
"Assalamu'alaikum Pa,"
 
ayahnya menoleh, tersenyum lebar, menyimpan sikat lalu menggosokkan tangan ke celana pendeknya. tanpa ragu, Gilang menghampiri dan mencium tangan ayahnya.
 
"kamana wae, Jang?"
 
"aya we pak," sahut Gilang sambil tertawa. mereka berdua berjalan memasuki rumah, berkumpul bersama ibu dan adiknya. "udah lama gak makan di luar, yuk?"
 
***
 
"abis kulineran di Bogor masa mentoknya makan di Cimory lagi sih?" Lia, salah satu teman Arina yang pergi berwisata kuliner dengannya hari ini. memandang tulisan besar Cimory dengan sedikit manyun.
 
"maaf yaaa, gue belom kesampean soalnya foto di samping sungai," kata Arina sambil mencubit pipi Lia lalu berjalan sambil seidkit melompat-lompat ke dalam Cimory.
 
teman-temannya yang lain, Edo, Prily, Rama, Windu, Yanti, dan Irwan mengikuti Arina sementara Lia berjalan pelan di belakang mereka. meski cita-cita Arina adalah foto di samping sungai di Cimory Riverside ini, sayangnya mereka kebagian duduk di atas. yang artinya kalau mau foto, harus ke bawah dulu.
 
"nanti aja fotonya abis makan," usul Rama.
 
"abis pesen aja deh. di sini kan suka lama," usul Arina.
 
"terus yang jagain meja siapa?" tanya Edo
 
"kalian. emang semuanya mau foto?"
 
para cowok saling melirik lalu menggeleng. sebenernya mau juga, tapi kalau sudah begitu artinya yang boleh foto cuma cewek-cewek aja. yang cowok jagain meja.
 
"ya udah gih," akhirnya Windu memberi isyarat. Arina, Lia, Prily dan Yanti langsung bangkit dari tempatnya masing-masing dan meluncur menuruni tangga. sore ini Cimory dipenuhi banyak pengunjung, jalan mereka jadi sedikit terhambat. sesampainya di samping sungai, Arina langsung berteriak kegiranganya.
 
"yeaaay, ayo foto-fotoooooo,"
 
***
 
Gilang keluar dari toilet Cimory Riverside yang rapi dan bersih itu. petugasnya rajin membersihkan bahkan mengatur agar antrian tetap rapi. seharian ini ia menjelajahi tempat-tempat kuliner di Bogor dengan harapan tanpa sengaja bertemu dengan gadis pujaannya. keluarganya senang-senang saja diajak jalan-jalan. namun nampaknya Gilang kurang beruntung karena ia tidak melihat pujaannya di manapun. akhirnya ia mendatangi tempat ini karena adiknya ingin makan di tempat yang happening dan ibunya ingin membeli susu segar.
 
ketika bermaksud kembali ke meja tempat keluarganya menunggu, entah ada dorongan apa, Gilang berjalan menuju sungai. di sana ia langsung melongo. tidak menyangka yang ia cari ternyata benar-benar tidak sengaja ia temukan.
 
Gilang bingung harus berbuat apa. menghampirinya atau diam saja. dia nampak sedang asyik berfoto dengan teman-temannya. setelah puas, mereka lalu menjauhi sungai dan bahkan melewati tempat Gilang berdiri. Gilang cuma bisa diam lalu berbalik dan mengikuti keempat gadis itu. siapa sangka bahwa tempat duduk gadis itu hanya terhalang satu meja dari tempatnya duduk. Gilang menelan ludah.
 
***
 
Arina dan teman-temannya menginap di rumah Yanti, saling bercerita mengenai kabar dan kehidupan masing-masing. saat bagian Arina bercerita soal putusnya dia dengan Evan, semuanya terbelalak.
 
"gue kira lo udah siap nikah gitu sama dia," tembak Lia
 
"gue pun. tapi nyatanya malah ga ada tanda-tanda ke sana. ketika gue minta putus pun dianya langsung mengiyakan," Arina menanggapi sambil membuka bungkus coklat. meski dalam hati ia berniat diet, tapi ketika banyak makanan disediakan di depan matanya, rasanya mubazir kalau dibiarkan begitu saja.
 
"dia mau nikah sama cewe lain kali," Prily iseng berucap dan langsung dihadiahi pandangan melotot dari yang lainnya.
 
Arina cuma nyengir. "bisa jadi. gue udah gak terlalu peduliin sih. malah putus dari dia bikin gue seneng, lega."
 
"semoga lo dapet ganti yang lebih baik, Rin," kata Windu sambil senyum.
 
"yoi. thank you Bapak Windu paling bijaksana," Arina mengacungkan kedua jempolnya.
 
***
 
Gilang berbaring di kasur sambil menyesali kejadian tadi. lagi-lagi ia gagal berkenalan dengan gadis itu. ia hanya berani mencuri pandang ke arah meja yang dipenuhi tawa itu. memperhatikan bagaimana gadis pujaannya berbicara, makan, tertawa, dan berfoto dengan teman-temannya.
 
apa akan ada kesempatan lain?
 
"Pak, shalat bareng yuk," Gilang mengetuk pintu kamar orang tuanya jam 3 dini hari dan tidak lama kemudian ayahnya yang sudah berbaju koko dan bersarung, keluar dari kamar.
 
"boleh. tahajud di rumah aja ya. Subuh ke mesjid," balas ayahnya. Gilang mengangguk.
 
selepas shalat tahajud, lagi-lagi Gilang berdoa perihal jodoh. berharap jalannya dimudahkan untuk bertemu dengan jodohnya. dan jika dia boleh memilih, gadis itu.
 
"kamu belum ada rencana nikah, Lang?" ayahnya berbalik memandang Gilang. seakan tahu apa topik yang dijadikan doa oleh Gilang.
 
"ada Pak,"
 
"calonnya udah ada?"
 
Gilang diam.
 
"ada . . . satu orang yang saya mau. tapi  . . ." Gilang diam. ayahnya ikut diam menanti kelanjutan kalimat Gilang. "saya gak kenal sama dia Pak."
 
"Lho kok bisa?"
 
"saya beberapa kali gak sengaja ketemu dia. saat itu entah kenapa saya ngerasa dia orangnya,"
 
Ayahnya diam. "kamu kenalan dulu lah sama dia. kalau memang setelah kenalan semuanya terasa mudah, mungkin memang kalian sudah ditakdirkan untuk bersama, Lang."
 
"iya Pak,"
 
"kamu usaha dulu ya. udah kodratnya laki-laki itu usaha. Bapak doain semoga semuanya lancar,"
 
"insyaa Allah. hatur nuhun, Pak,"
 
***
 
Arina memandangi langit dari rooftop kosannya. oke, terlalu keren sih kalau disebut rooftop. tepatnya, tempat jemuran. banyak pakaian teman kosannya menggantung-gantung di belakang. saat itu pukul 1 malam. beberapa jam lagi ia harus masuk kantor, tapi ia tidak peduli kalau ia akan telat. toh kantornya memang tidak terlalu ketat untuk urusan jam masuk. yang penting pekerjaan selesai.
 
Arina bertanya-tanya dalam hati, apakah memang ia sudah siap untuk menikah? apa itu hanya karena teman-temannya sudah banyak yang menikah? atau mungkin karena orang tuanya yang mendesaknya untuk segera menikah? yaang jelas Arina sendiri tahu bahwa sebenarnya ia memang ingin. terlepas dari ada tidaknya orang yang menyuruhnya untuk segera menikah.
 
"siapa ya Ya Tuhan? jodohku lagi apa? lagi tidur? atau masih kerja? atau malah lagi berdoa juga? lagi di jalan buat perjalanan dinas? semoga dia segera menjemput Putri-nya ini ya,"
 
***
 
Gilang terlambat pergi ke kantor. sudah pukul 9 ketika ia sampai di Stasiun Sudirman. belum lagi ia masih harus naik 640 untuk sampai di kantornya. tadi malam ia pulang terlambat karena deadline, setelah subuh rupanya tidurnya terlalu panjang.
 
Gilang berjalan tergesa-gesa melewati orang-orang yang juga ingin keluar dari Stasiun Sudirman. "permisi, permi. . ."
 
kata-katanya terhenti. yang di-permisi-kan adalah orang yang biasanya ia temui di Stasiun lain. bukan Stasiun Sudirman ini.
 
gadis itu sudah menggeser ke sebelah kiri, memberi Gilang jalan. namun karena Gilang hanya diam saja, gadis itu melanjutkan langkahnya. Gilang menelan ludah lalu mengumpulkan keberaniannya. ia bisa bilang pada stafnya bahwa ia punya urusan mendadak.
 
"sori," Gilang menyentuh pundak gadis itu
 
"ya?"
 
***
 
Arina menoleh karena ada yang menyentuh pundaknya. biasanya di tempat ramai begini, yang tiba-tiba memanggilnya adalah yang menemukan uangnya yang jatuh atau untuk memberitahu risleting tasnya terbuka. lebih pahit lagi, tali bra-nya yang terbuka!
 
"Gilang,"
 
Arina menggerakkan kepalanya ke kanan. ternyata bukan untuk ketiga alasan di atas. lalu kenapa ada yang tiba-tiba mengajaknya berkenalan? MLM kah?
 
"ya?" tanya Arina lagi.
 
"nama gue Gilang. lo?" dia menggerakkan tangan yang sudah diulurkannya sejak lama. Arina memandangi tangan itu lalu memandang wajah orang asing ini.
 
"err, Arina. ada perlu apa ya?" ragu-ragu Arina membalas uluran tangan itu lalu langsung melepasnya lagi.
 
"ga ada perlu apa-apa," jawab Gilang terlalu antusias.
 
Alis Arina naik sebelah, gesturnya langsung mengisyaratkan bahwa Arina ingin segera pergi.
 
"wait, gue sering merhatiin lo," Gilang memegang tangan Arina. kata-katanya bukannya terdengar romantis, malah terkesan creepy.
 
"er, oke. tapi gue udah terlambat berangkat kerja, jadi, sori," Arina langsung melepaskan tangan Gilang dan berlari, dia benar-benar berlari menaiki eskalator, menjauh secepat mungkin dari Gilang.
 
"cowok mengerikan," pikir Arina lalu buru-buru keluar dari stasiun.
 
***
 
"saya disangka mesum apa ya?" Gilang malah menceritakan kejadian tadi pagi pada Yudi dan Kiki, staf dan Assistant Managernya. keduanya, yang sudah menikah, malah tertawa-tawa.
 
"semua cewe juga ngeri kali Pak kalau kayak gitu," Kiki masih tertawa sambil menahan perut. tidak sangka bosnya yang jago urusan kantor ternyata lemah urusan perempuan.
 
"siapa cewe yang gak takut kalau dibilang sering diperhatiin sama orang asing, Pak?" Yudi ikutan berkomentar. sementara itu Gilang hanya menggeleng dan meneguk kopinya. di ruangan Gilang, mereka bertiga mengobrol sambil minum kopi.
 
"sebenernya sah-sah aja kalau naksir cewek strangers, Pak. tapi jangan langsung bilang Bapak suka perhatiin dia. sok-sok gombal kayak di iklan aja Pak," kata Yudi.
 
"Pak Gilang mana tipe gombal begitu, Yud," Kiki menimpali. hafal dengan sifat manajernya ini. Gilang mengangguk membenarkan kata-kata Kiki.
 
"harusnya Bapak cari mata-mata buat tahu dia kerja di mana, terus secara gak sengaja ketemu sama dia urusan bisnis. atau, lain kali ba[ak ketemu lagi di Stasiun Manggarai, ajak dia ngopi sambil ngobrol santai. sesantai kalau Bapak ngobrol sama kami."
 
Gilang mendengarkan usul Kiki dengan saksama lalu berniat mempraktikannya begitu ia punya kesempatan.
 
***
 
Arina menceritakan kejadian tadi pagi pada Maria yang sekarang sedang terbahak-bahak. "gila, lo punya penggemar rahasia!"
 
"ngeri tauk. kalau dia mau macem-macem ke gue gimana?"
 
"penampilannya gimana?"
 
"rapi, orang kantoran gitu,"
 
"orang baik berarti,"
 
"ih lo kan gak bisa nilai dia dari penampilannya doang. koruptor aja penampilannya rapi tapi kelakukannya bejad,"
 
"iya iya. ya udah, gue jagain lo kalau kita pulang bareng,"
 
"jadi gue punya bodyguard nih?" Arina memandang Maria yang lebih pendek darinya.
 
"ceritanya sih gitu," sahut Maria cuek.
 
***
 
kali ini Yudi yang biasanya pulang naik kopaja, rela desak-desakan naik kereta demi menemani bosnya plus memberikan usul kalau ternyata mereka gak sengaja ketemu gadis pujaan Pak Bos. sebenernya Gilang sudah menolak, tapi karena ini pertama kali Bosnya menunjukkan ketertarikan akan perempuan, Yudi rela membantu.
 
Di Stasiun Manggarai, kereta mereka berhenti. Gilang dan Yudi turun. Gilang melirik ke kanan dan ke kiri, mencari tanda-tanda tapi Arina tidak terlihat. "ada pak?"
 
Gilang menggeleng.
 
"biasanya ketemu di mana emang pak?" Yudi berusaha bertanya supaya Gilang lebih tenang. Gilang tidak langsung menjawab, matanya terpaku pada Sevel.
 
"itu," jawab Gilang pelan.
 
"yang lagi di kasir pak?"
 
Gilang mengangguk
 
"yang pakai rok atau celana?"
 
"rok,"
 
"ya ampun Pak. itu mah adik kelas saya di kampus,"
 
Gilang memandang Yudi dengan tercengang. "masa?"
 
Yudi mengangguk. "ayo Pak. saya kenalkan dengan lebih baik dari pada tadi pagi."
 
***
 
"Kak Yudi?" Arina memekik kegirangan melihat salah satu seniornya yang paling seru selama di kampus, sedang berdiri di depannya.
 
"Hai Rin, lagi ngapain?" Yudi menyapa setelah dia dan Arina saling bertos-tos ria.
 
"abis nemenin temen jajan nih," Arina menunjuk Maria yang berdiri di sampingnya.
 
"bukannya lo yang minta ditemenin?" balas Maria sinis.
 
"sama aja," bisik Arina masih sambil nyengir. "Kak Yudi lagi ngapain?"
 
"hmm, lagi . . ." Yudi diam sebentar, mencari sosok yang tadi datang bersamanya dan tiba-tiba hilang. rupanya bosnya sedang sok-sok bersandar santai di salah satu tiang sambil memainkan iPhone-nya. Yudi langsung menghampiri Gilang dan menyeretnya ke depan Arina. ". . . mau pulang bareng bos gue."
 
Arina mengernyitkan alis. ini bukannya cowo yang ngajakin kenalan tadi? dia bosnya Kak Yudi?
 
"Arina, kenalin, ini bos gue namanya Gilang. Pak Gilang, kenalin, ini adik kelas saya di BEM, namanya Arina."
 
keduanya ragu-ragu mengulurkan tangan lalu saling menjabat dengan lebih pantas daripada pagi harinya.
 
"beneran bosnya Kak Yudi?" tanya Arina masih ragu.
 
"iya. mau diliatin kartu namanya?"
 
"haha, gak usah," jawab Arina sambil tersenyum.
 
Yudi mencondongkan tubuh ke arah Arina lalu berbisik di telinganya. "bos gue gak pinter ngadepin cewek. kalau lo bisa naklukkin dia, lo hebat Rin."
 
Arina tertawa mendengar itu.
 
"eh, saya ditunggu istri saya nih Pak. kayaknya saya naik taksi aja," Yudi lalu pamitan dan menghilang di pintu keluar. sementara itu Maria juga pamit pulang dan mengikuti jejak Yudi.
 
"pulang kemana?" Arina mengambil inisiatif bertanya pada makhluk pendiam di depannya ini.
 
"Cimanggis," jawab Gilang datar. padahal dalam hatinya tak karuan.
 
"wah searah dong. yuk barengan aja,"
 
mereka pun berjalan beriringan menuju peron 6. untuk pertama kalinya, Arina naik di gerbong campur saat naik kereta dari Manggarai. dan untuk pertama kalinya, Gilang tidak sependiam biasanya saat di kereta.
 
***
 
orang pernah bilang bahwa kalau bersama orang yang (katanya) merupakan jodoh kita, kita akan berperilaku berbeda, bahkan kepada mantan-mantan pasangan kita yang sebenernya sudah berbeda juga.
 
Gilang seakan tidak percaya dia bisa bicara panjang lebar dengan Arina kapan saja, di mana saja. dia juga bisa mendadak romantis padahal itu tidak pernah dia lakukan sebelumnya. hal romantis pertama yang Gilang lakukan pada Arina malah sukses membuat Arina tertawa, tapi sungguh Arina sangat menghargai usaha Gilang saat itu dan Gilang pun senang karena Arina tidak marah, bahkan tertawa.
 
saat itu 'kencan' kedua mereka. setelah pulang bersama pasca dikenalkan secara resmi oleh Yudi, Gilang berinisiatif mengajak Arina makan siang bersama. Gilang menjemput Arina ke kosannya dan mereka niatnya menuju Central Park menggunakan mobil Gilang. mereka janji bertemu pukul 16.00, tapi Gilang bertekad memberi kejutan jadi dari pukul 13.00 dia sudah di depan kosan Arina. setelah sampai, maksudnya adalah menelepon Arina dan mengatakan bahwa ia sudah sampai. siapa sangka ternyata batre hapenya habis dan ia lupa membawa charger. ketika Gilang mengetuk pagar dan menemui penjaga kosan Arina, dia dibilang Arina sedang keluar dan tidak tahu kemana. jadilah selama dua jam Gilang menunggu di dalam mobil tanpa kepastian. sampai pukul 15.00 ketika arina akhirnya kembali setelah menyelesaikan urusan dengan adik-adiknya di kampus.
 
seiring dengan berjalannya waktu, untuk Gilang sendiri ia semakin yakin bahwa Arina adalah jawaban atas doa-doanya. apalagi perasaannya semakin kuat pasca semakin intens melaksanakan shalat istikharah dan tahajud.
 
***
 
Arina sering diam-diam memandangi Gilang kalau mereka sedang bersama. tentu saja Gilang tidak sadar, karena saat itu dia sedang asyik memandangi poster film atau memilih menu yang akan mereka santap. hari demi hari yang dia jalani setelah mengenal Gilang, Arina merasa yakin. tidak ada alasan apapun. hanya yakin saja.
 
***
 
"Ri," panggil Gilang tiba-tiba saat mereka sedang berada di kereta yang penuh. Arina berdiri sambil membaca, tanpa perlu takut jatuh karena ada Gilang yang menjaganya.
 
"hmm?" balas Arina sambil mendongakkan kepalanya.
 
"Minggu ini ke Bogor yuk," kata Gilang pelan. menelan ludahnya berkali-kali. semoga Arina sudah mengerti sehingga Gilang tidak perlu memaparkan maksudnya di dalam kereta yang penuh sesak ini.
 
"ngap . . . ohhhh!" Arina menutup mulutnya. "Bogor?" Arina menunjuk Gilang berkali-kali, matanya berbinar, mulutnya terbuka lebar (walaupun saat itu ia tutupi).
 
Gilang mengangguk bersemangat. senang karena Arina langsung paham.
 
"iya, iya ayok," Arina sedikit melompat, lupa bahwa di kanan kirinya ada penumpang yang lalu melihatnya dengan judes.
 
"ssh, jangan terlalu heboh," Gilang menyentuh pundak Arina, bermaksud menenangkan.
 
"okay okay," balas Arina lalu diam lagi, tapi kali ini bibirnya tidak mau berhenti tersenyum.
 
***
 
awalnya Arina sempat takut saat diajak Gilang ke rumahnya. takut orang tuanya menganggap Arina tidak cukup sesuai untuk Gilang. takut adik perempuan Gilang menganggap Arina saingannya, mengingat cerita Gilang bahwa adiknya sangat akrab padanya. Arina berusaha berdandan secantik, sesophisticated, senyaman mungkin. saat bertemu dengan Gilang hari itu, dia cuma berkomentar, "cantik." tidak perlu pujian panjang lebar, cukup kilatan di mata Gilang yang menunjukkan bahwa Gilang benar-benar menganggap Arina cantik.
 
menuju Bogor dalam 2 jam, Arina sampai di rumah luas berpagar rendah. di depannya hanya ada halaman kecil yang ditumbuhi tanaman-tanaman sayur. ketika masuk ke dalam, rumah itu berperabotan sederhana namun terkesan hangat. Gilang mengajak Arina langsung ke tempat makan yang letaknya di samping kolam ikan.
 
"rumahmu asri banget," bisik Arina sambil tersenyum lebar dan memandangi semua detil di rumah Gilang.
 
"ini rumah orang tuaku, tapi rumahku juga tidak kalah asri," balas Gilang. seakan merayu Arina untuk lebih memilih tinggal di rumah Gilang daripada rumah orang tuanya.
 
Arina menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "aku kira rumah yang di Cimanggis itu rumah orang tuamu juga,"
 
Gilang menggeleng, lalu berkata dengan polos, tanpa maksud apapun juga sebenarnya. "itu rumahku, yang rencananya mau kutempati setelah menikah dengan kamu."
 
wajah Arina langsung berubah warna jadi merah. tapi Gilang tidak memperhatikan itu karena keluarganya baru tiba. kedua orang tua Gilang tersenyum sopan saat berkenalan, masih sedikit menjaga jarak dengan Arina. berbeda dengan Wuri yang langsung memuji pakaian Arina dan mereka terlibat pembicaraan tentang fashion.
 
Gilang pernah bilang, be your best self aja, Ri, sambil tersenyum lebar. dan itu lebih dari cukup untuk meningkatkan kepercayaan diri Arina, untuk meyakinkan kedua orang tua Gilang bahwa dirinya pantas.
 
***
 
sebelum rombongan ini berangkat, Arina sudah bertemu dengan orang tuanya dulu dan membicarakan tentang Gilang, hemm, tepatnya mengenalkannya langsung sih. lalu Arina membiarkan Gilang mengambil hati orang tuanya dengan caranya sendiri. tidak dengan makan siang semi formal seperti ketika di rumah Gilang, tapi Arina sengaja mengajak Gilang untuk menghabiskan satu hari bersama orang tua, keponakan Arina yang berusia 3 tahun, kakak perempuannya, dan kakak iparnya. setelah selesai menjalani 'ujian', baru Arina berkata bahwa kalau orang tuanya setuju, dalam waktu dekat orang tua Gilang akan datang ke Bandung. orang tua Arina tentu kaget bahwa prosesnya akan secepat itu. 2 hari setelah kedatangan Gilang ke Bandung, orang tuanya merasa sreg dengan Gilang. maka berangkatlah rombongan ini dari Bogor menuju Bandung. kedua orang tua Gilang, Wuri, Indra (kakak sulung Gilang), Vina (kakak ipar Gilang), dan Raymond (keponakan Gilang yang masih bayi).
 
Gilang gelisah sepanjang perjalanan. khawatir ternyata kedua keluarga tidak cocok dan rencana pernikahannya batal. dia berdoa terus sampai Wuri menggoda kakaknya dan tertawa-tawa melihat Gilang yang nervous. ketika sampai di Bandung siang hari, rupanya di rumah Arina sudah banyak orang. saudara-saudara dekat Arina ada di rumah itu juga ternyata. Gilang makin nervous. saat itu iPhonenya berbunyi dan dia melihat 1 pesan WhatsApp.
 
"tegang banget mukanya Kang :)" dari Arina.
 
Gilang melirik ke kanan dan ke kiri tapi tidak bisa menemukan di mana Arina berada. akhirnya ia memasukkan iPhone kembali ke dalam saku, menelan ludah, dan berusaha rileks. rasanya adegan di film-film jauh lebih mudah. si pria tinggal menunduk, menyodorkan cincin, dan berkata "will you marry me?" dan si wanita tinggal berteriak kegirangan lalu mengatakn "yes" dan adegan berakhir setelah si wanita mengenakan cincin berlian dari si pria. tapi  . . . meski cincin tunangannya berlian juga, rasanya tidak semudah di film. banyak orang yang memperhatikan mereka.
 
***
 
berbeda dengan Gilang yang sangat gugup, Arina malah lebih banyak tersenyum. ia duduk di kursi dan dikelilingi kakak serta sepupu-sepupunya. mereka berkomentar akan Gilang yang begitu gugup. "belom akad, udah kayak gitu nervousnya." Arina tersenyum saja. setiap Gilang menatapnya, Arina akan mengangkat tangannya dan berkata pelan, "fighting!" dan dibalas dengan anggukan oleh Gilang.
 
pukul 3 sore akhirnya prosesi lamaran selesai. termasuk foto bersmaa kedua keluarga ataupun foto Arina dan Gilang berdua. ekspresi wajah Gilang sudah kembali normal.
 
"selamat ya, udah jadi calon suaminya Arina yang cantik dan menarik ini," bisik Arina di telinga Gilang.
 
sambil menatap ke arah keluarga, Gilang balas berbisik, "selamat ya udah jadi calon bidadari surganya Gilang," dan langsung dibalas dengan cubitan keras oleh Arina.
 
-THE END-
 
PS: jodoh itu datang dengan cara yang tak disangka-sangka. betul? perbanyak ikhtiar dan doa, serta tidak lupa, tawakal :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?