percakapan kedai kopi
kedai kopi yang baru buka di jalanan terramai di kota Depok itu tampak sepi pengunjung. hanya ada seorang pria yang asik dengan rokoknya sambil memandangi gadget yang terhitung canggih pada masanya. ia mengisap rokoknya dan menghembuskan asapnya. begitu seterusnya. secangkir cappucino di depannya dibiarkan begitu saja. mengepulkan uap harumnya hingga hilang sama sekali. sang pria terlalu fokus pada kotak 5 inch di genggamannya.
sementara itu sang pemilik kedai kopi berkali-kali melirik ke arah jalanan. berharap sekelompok orang yang lalu lalang akan menyempatkan diri mampir ke kedai kopinya. malam ini adalah penghujung hari dari sebuah hari libur. sang pemilik berharap kedainya malam ini akan diramaikan oleh banyak orang yang menikmati hari libur. namun malam ini harapannya tidak terpenuhi. padahal ia sudah punya berbagai paket promo yang ditawarkan. belum lagi packaging yang menarik untuk menu-menunya.
lalu harapannya kembali muncul ketika ada 3 orang perempuan berlari-lari kecil ke arah kedainya. di luar memang sedikit hujan. sepertinya ketiga orang itu menghindari hujan lebih banyak menerpa tubuhnya.
"selamat datang!" seru sang pemilik kedai. berharap sambutannya mampu membuat para pengunjung itu merasa betah.
sambutan sang pemilik hanya dibalas oleh anggukan salah seorang pengunjung. sementara teman-temannya memilih tempat duduk. meja dengan 5 kursi di dekat AC menjadi pilihan mereka. "kenapa 5? padahal hanya 3?" pikir sang pemilik. namun ia tidak memikirkan terlalu jauh alasannya. ia segera memerintahkan salah satu pegawainya untuk menyerahkan menu.
tanpa banyak berpikir ketiga perempuan tersebut menentukan pilihannya, cappucino, taro, dan green tea. setelah menerima pesanan, sang pemilik langsung mengeluarkan segenap kemampuannya untuk memberikan hidangan terbaik kepada pengunjung agungnya. sementara mereka langsung asyik mengeluarkan gadget dan saling bertanya "yang lain mana?"
sekitar 5 menit kemudian pintu terbuka lagi, memberi harapan lainnya pada sang pemilik kedai. seorang pria usia 20-an masuk dan langsung tersenyum pada ketiga kawannya yang sudah tiba lebih dulu.
"hai, dari mana?" tanya salah seorang temannya.
"biasa, diskusi," katanya yang baru hadir. penampilannya mengingatkan sang pemilik kedai kepada penyanyi Afgan.
"nih pesen dulu," ujar yang lainnya lalu menyodorkan menu. green tea jadi pesanannya.
kembali lagi, mereka berempat kembali asik dengan gadgetnya.
***
perempuan pertama, yang dipanggil dengan sebutan Reva, menyelusuri dunia maya melalui aplikasi Whatsapp. terhubung dengan rekan-rekan sekerjanya.
beberapa waktu lalu ia baru selesai melakukan meeting untuk program musik televisi yang dipegangnya, sibuk mengeluarkan kreativitas-kreativitas yang terpendam demi memenuhi keinginan pribadi untuk melakukan yang terbaik dan memenuhi kebutuhan perusahaan untuk meraih banyak penonton.
"kita kan TV baru, jadi meski tanggapan orang udah bagus, tapi kayaknya gak bisa gini terus. lo ada ide gak Rev?" tanya Mas Hanif, atasan Reva di tim ini.
"gue pengen ada chart musiknya di acara kita ini, biar yang nonton itu tahu lagu-lagu apa yang keren dan baru yang bisa nambah wawasan mereka tentang musik. soalnya kan selama ini kita lebih mengedepankan musik yang bagus, berapapun tahunnya dan cover lagu. biar yang nonton pada update juga. kita berusaha ambil hati para pecinta musik kayak yang dilakukan MTV dulu," jelas Reva bersemangat. tangannya bergerak-gerak ketika ia bicara dengan berapi-api.
"nice. lo bisa mulai rancang kira-kira itu chart mau dikeluarin mulai tayangan kapan, gimana teknisnya, penilaiannya kayak apa? nanti kasih tau gue minggu depan. aji, lo bantuin Reva ya," ujar Mas Hanif. "ada ide lain?"
Reva melirik ke arah Aji yang hanya melambaikan tangan saat ditunjuk oleh Mas HAnif. dalam hati Reva mengerang kesal. selama ia bekerja, Aji bukan tipe orang yang bisa diajak berdiskusi habis-habisan. ia lebih banyak diam dan pasif dalam beride. ia juga lebih sering bertanya, untuk hal yang sudah dijelaskan bersama-sama. "PR banget nih," ujar Reva dalam hati.
"ji, lo ada waktu kapan nih buat ngomongin tugas kita yang baru?" Reva menghadang Aji begitu mereka keluar dari ruang meeting.
"itu kan ide lo. lo coba pikirin dulu aja ntar gw kasih feedbck. sori ya, gue masih harus ketemu calon sponsor dulu," lalu Aji pun melangkah meninggalkan Reva.
"ih apa-apaan tuh! kan meski ide gue tapi Mas Hanif nyuruh kerja barengan. apa banget deh tuh anak. udah gitu sok-sokan banyak kerjaan lagi. gue juga perlu cari lokasi buat syuting kali tapi gak gini-gini amat," Reva menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. sebal dan jengkel melihat ulah Aji yang sok sibuk. padahal ini tugas berdua dan seharusnya didiskusikan bersama-sama.
"kalo perlu lo kerjain sendiri aja Va," sambut Tanya dari belakang Reva sambil menepuk pundak rekannya yang sedang kesal ini.
"eh, Tan, maunya sih. tapi gak bisa gitu kan. ntar Mas Hanif pasti bilang 'saya kan nyuruhnya berdua. kalian harusnya kerjasama'. padahal males banget gue kerja sama orang kayak gitu. apa pula dia bilang 'nanti gue feedback'. bah berasa dia banyak idenya aja," sahut Reva masih dongkol.
"mending kita makan siang aja yuk," Tanya menarik tangan Reva menuju kantin.
"nih gw udah coba ngedraft sebelum dikasih liat ke Mas Hanif. lo baca-baca dulu dan coba kasih feedback," reva menekankan kata feedback sekaligus menyindir. "ntar kita bareng-bareng ke Mas Hanif lusa. harusnya masih sempet buat kita diskusi."
Aji melihat satu bundel kertas yang diletakkan Reva di mejanya. lalu ia kembali memandangi komputer di depannya. "nanti gue baca."
Reva langsung geram sekali. lagaknya sudah seperti bos besar saja. padahal masih sama-sama kacung alias staff seperti dirinya.
"kabari gue secepatnya, gue mau syuting dulu, hape gue nyalain terus," Reva berusaha sabar lalu melangkah pergi.
keesokan harinya Reva heran karena ia tiba-tiba dipanggil ke ruangan Mas Hanif. ia memang datang siang hari ini dan begitu ia menaruh tasnya, Kalina, teman sebelahnya langsung menyuruh ia datang ke ruangan Mas Hanif. ternyata di dalam sudah ada Mas Hanif dan Aji. di depan Mas Hanif ada bundel kertas yang Reva serahkan pada Aji kemarin.
"duduk, Rev," sahut Mas Hanif begitu Reva masuk.
Reva duduk di depan Mas Hanif. di sebelahnya, Aji nampak datar.
"gue udah terima tugas kalian. cuma gue kecewa. ini kok Aji doang yang ngerjain? padahal kan ini lo yang ngasih ide, tapi kenapa lo gak kerja sama sekali?" Mas Hanif langsung 'menyerang' Reva dan membuat Reva bengong.
"sori?"
"iya Aji nyerahin tugas kalian, sori, tugas yang harusnya kalian kerjakan bersama tapi ternyata cuma si Aji yang kerjain sendiri. katanya lo terlalu sibuk syuting. gue kecewa rev,"
Reva langsung gondok setengah mati.
***
"pada dari mana aja kalian seharian ini?" tanya orang yang bernama Reva dengan bersemangat kepada 3 orang di hadapannya.
"tiiiiiiiiiiiiddddddduuuuuuuuuuuuurrrrrraaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnn," jawab perempuan yang duduk di depan Reva.
"kerja, diskusi, menyelamatkan dunia," jawab pria satu-satunya sambil mengangkat bahu dan nyengir. langsung teman-temannya melakukan kegiatan puraa-pura menimpuk si pria.
"aku abis ngerjain audit klien," jawab perempuan yang paling kecil dan duduk di sebelah Reva.
***
"mas, kata ibu kateringnya ga bisa pake yang biasa. dia udah dibooking sama yang lain tanggal segitu," Lyla menutupi gagang telepon dan celingak celinguk, memastikan tidak ada orang yang bisa mendengar percakapannya.
terdengar jawaban dari seberang yang menenangkan dan mengatakan bahwa ia akan berusaha mencari katering lain yang bisa digunakan jasanya pada tanggal tersebut. katanya ada temannya yang menggunakan katering murah dan enak saat ia menikah.
"nanti kalau udah ada nomernya, mas kabari aku ya. biar aku aja yang nelepon,"
Lyla menutup teleponnya lalu kembali memasuki gedung ber-AC. tadi ia sengaja keluar hingga ke parkiran demi tidak didengar siapapun. barusan ia membicarakan perihal pernikahannya dengan sang calon suami di telepon. tidak banyak orang yang sudah tahu akan rencananya ini dan Lyla ingin semua orang tahu di waktu yang sudah ditetapkan. jadilah ia bersembunyi begini.
"La, ini ada yang salah di laporan keuangan kamu. bisa tolong revisi segera gak? deadline-nya nanti sore ya," Mbak Cinta, seniornya di kantor langsung menyodorkan satu jilid laporan keuangan yang baru selesai dikerjakan Lyla.
"ada yang salah ya Mbak? yang mana?" tanya Lyla bingung. perasaan ia sudah mengerjakan semaksimal mungkin hingga tidak tidur semalaman.
"ada yang gak cocok sama buktinya. ada 5 kalau gak salah. udah aku tandai merah. tolong revisi, print, terus update ke sistem ya. gak akan aku approve dulu sebelum kamu revisi," Mbak Cinta membuka sekilas laporan keuangan itu tapi tidak berhasil menemukan halaman yang ia maksud.
"oh oke Mbak. aku kerjain secepatnya," sahut Lyla sambil tersenyum.
"sip! by the way, lagi ada masalah La? gak biasanya kamu banyak salah gini? udah ketiga kalinya lho dalam 3 minggu," tanya Mbak Cinta sambil tersenyum dan menepuk pundak Lyla.
"baik-baik aja kok Mbak," sahut Lyla sambil tertawa. ditegur tapi rasanya tidak seperti ditegur.
"kalau ada apa-apa bilang aja ya, mungkin aku bisa bantu," Mbak Cinta mengedipkan matanya lalu kembali ke meja.
Lyla menaruh tasnya di kamar kos. begitu lelah atas aktivitas hari ini. ia harus merevisi laporan keuangan, mengerjakan hasil audit klien, tidak tanggung-tanggung, 3 klien sekaligus! belum lagi ditambah telepon yang lebih sering berdering hari ini. membuat Lyla harus berlari ke parkiran, ke toilet, ke pantry, kemana saja yang tidak ada orangnya.
"am i doing the right things?" tanya Lyla pada dirinya sendiri. kadang ia masih tidak percaya ia akan segera menikah.
***
"ih ini gelasnya lucu banget," ujar perempuan terakhir yang namanya belum diketahui sang pemilik kedai kopi.
"iya, foto dulu foto," seru Lyla sambil menyodorkan gelasnya ke tengah meja.
"sini sini," perempuan yang tadi mengeluarkan handphone-nya--yang paling canggih--diantara semua lalu mulai memilih angle yang pas.
"coba sedotannya samain arahnya," kata pria satu-satunya sambil merapikan sedotan.
"lo pegang-pegang satu-satu sedotannya emang tangan lo bersih?" Reva pura-pura berseru kaget tapi kemudian tertawa.
"eh backgroundnya gak bagus, geser sini," seru si pemilik handphone lalu menggeser gelas-gelas unik tersebut ke arah dinding yang didesain unik. membuat backgroundnya lebih menarik.
pemilik kedai senang akan tanggapan para pelanggannya. tidak sia-sia ia memilih gelas-gelas unik untuk menu minumannya.
mereka berlima merapikan lagi tampilan gelas-gelas taro cappucino dan green tea tersebut lalu CEKREK!
***
Paramitha, atau yang biasa dipanggil Rami, termenung di salah satu convenience terdingin di kota ini. ia menggigit sedotan susu coklat favoritnya sambil memandangi jalanan Margonda di malam hari. mungkin ia masokis, senang menyakiti diri sendiri. karena di tempat inilah beberapa kali ia menghabiskan waktu dengan orang yang dikasihinya.
pertemuan-pertemuan di malam hari karena kesibukan kedua orang yang membuat mereka hanya bisa bertemu di malam hari. bahkan weekend pun absen karena waktunya untuk bersama keluarga.
tawa canda dan diskusi yang mereka lakukan diiringi sebungkus snack bervetsin dan minuman entah teh ataupun susu. meski sebentar tapi rasanya luar biasa.
malam ini, di tempat yang sama dengan pertemuan terakhir mereka, masih ada satu bungkus potato snack yang belum dibuka di hadapan Rami dan masih ada harapan yang belum ditutup di hati Rami.
Rami meletakkan kepalanya di kedua tangan. memikirkan lagi dan lagi dimana letak kesalahannya. kesalahan yang membuat hubungan mereka merenggang, menjauh tanpa tanda-tanda. menghilang begitu saja tanpa aba-aba. keduanya sibuk, iya. keduanya masih saling memberikan perhatian, iya. tidak. dia yang tidak, Rami yang iya. perhatian-perhatiannya mulai menghilang dari hari ke hari. tidak ada lagi balasan meski hanya kalimat penyemangat sederhana.
apa akar masalahnya?
perasaan yang telah hilang?
mungkin.
Rami tak akan pernah tahu sebabnya. mungkin ia hanya bosan lalu pergi menghilang begitu saja. menganggap permainan telah kehilangan euforianya. membuat Rami yang masih ingin 'bermain' termangu sendirian, kehilangan lawan mainnya.
namun permainan yang mereka jalani rupanya memberikan arti tersendiri bagi Rami. tawa dan kalimat-kalimat yang dikeluarkannya mampu membuat Rami begitu bahagia. bahkan mampu menjadi mood booster tersendiri. lebih ampuh dari salon, sepatu, baju, dan makanan enak yang selama ini Rami yakini merupakan obat mujarab penghilang stresnya.
sekarang, hal-hal tersebut sudah berganti menjadi dia, dia seorang.
entahlah dia menyadari atau tidak dampak kelakuannya terhadap hati Rami. hati yang sekarang entah bagaimana nasibnya. hancur tidak tapi kokoh pun tidak. ibarat sebuah daun yang tertiup angin dan berhembus kesana kemari. linglung. tak tahu arah.
dia mungkin hanya merasa permainan telah usai. dan saatnya pergi.
Rami masih disini. masih di tempat kenangan mereka berdua ini.
banyak orang meragukan Rami dan dia ketika mereka sering bersama. keduanya bertolak belakang. sifatnya berbeda dan dunianya pun berbeda. tapi Rami membantah semua itu dan cukup yakin untuk menjalani semuanya meski banyak yang berkomentar lain.
tapi itu Rami, tidak dengan dia.
lalu sekarang saat semuanya semakin jelas, bahwa doa-doa Rami dijawab dengan meninggalkan dia, tapi hatinya masih tersangkut pada sosok itu. sosok yang senyumnya saja sudah cukup untuk membuat Rami bahagia berhari-hari.
Rami meninggalkan convenience store itu. sudah menjelang tengah malam. dulu, Rami sering diantar hingga ke tempat kos ketika keluar dengan dia menjelang tengah malam begini.
ah sudahlah.
***
"hei!" Lyla berseru ke arah pintu, membuat Reva, Rami, dan laki-laki satu-satunya ikut menoleh. ternyata muncul lagi satu laki-laki yang langsung duduk di kursi tersisa.
"pas berlima," gumam pemilik kedai. senang lagi karena sedari tadi mereka meramaikan kafenya dengan celetukan tentang politik, tentang sosial, tentang entertainment, dan masih banyak lagi. terlihat bahwa mereka adalah anak-anak yang cerdas.
"pesen nih pesen," Rami menyodorkan menu kepada anggota terakhir yang hadir. Reva, Lyla, dan si laki-laki pertama sedang asyik mengerubungi kentang dan sosis saus barbequ.
"ini sibuk amat kayak gak pernah dikasih makan," sahut Rami lalu tertawa.
***
"gimana soal invest kemarin bro?" Doni tiba-tiba berdiri di samping meja kerja Fauzi. fauzi yang sedang asyik mendesain, mendongakkan kepala dan melepaskan headsetnya.
"belum ada kabar lagi nih bro. kemarin udah ketemu dan ngobrol-ngobrol, udah ngecek tanahnya juga. gue udah transfer duitnya dan minggu depan mau ketemu buat ngasiin surat-suratnya," jawab Fauzi sambil tersenyum.
dengan uang yang ia kumpulkan sejak jaman kuliah, ia berencana membeli tanah di wilayah perbatasan Depok dan Bogor, hitung-hitung investasi.
"okelah, semoga lancar ya. kalau ada apa-apa hubungi gue aja," sahut Doni sambil menepuk pundak rekan kerjanya itu.
"no problem. kayaknya si Taufan itu orang bisa dipercaya kan ya," balas Fauzi.
"kayaknya sih. gue dapet rekomendasi dari temen sih dia oke," sahut Doni.
sekilas perasaan tak tenang merasuk ke kalbu Fauzi.
rupanya perasaan tak tenangnya terbukti. seminggu setelah Doni menghampirinya itu, Fauzi menghubungi Taufan namun hasilnya nihil. didatangi ke rumahnya ternyata ia tidak tinggal disitu. dihubungi nomor teleponnya ternyata tak aktif. setelah ditelusuri kepada Doni dan teman Doni yang merekomendasikan, rupanya tidak ada yang benar-benar mengenal Taufan.
uang puluhan juta yang selama ini disimpan Fauzi, menghilang entah kemana.
"astagfirullah," ujar Fauzi berkali-kali.
***
"mau pada pesen lagi gak?" tanya Fauzi pada teman-temannya yang terlihat masih lapar.
Rami nyengir. Reva mengangguk-angguk. Lyla berkata "pesen aja,"
Fauzi pun memesan hidangan kedua untuk mereka berlima.
"jadi beli sleeping bag?" tanya Reva pada teman mereka yang datang terakhir.
"ini," jawabnya sambil mengangkat kantong plastik besar lalu menaruhnya kembali ke lantai.
"ada rencana naik gunung kapan lagi emang?" tanya Fauzi pada rekan pria satu-satunya di meja ini.
"pengennya sih secepatnya. ini badan udah kaku tapi belum dapet kesempatan," jawabnya.
***
kesempatan ya..
"kasih gue kesempatan satu bulan lagi, Kal," kata kakaknya ketika mereka sedang bicara berdua di rumah. orang tua dan adik perempuan mereka sedang pergi ke kondangan.
"abang nunggu apa lagi sih? kerjaan oke, duit ada, pengetahuan agama cukup," Haikal menatap abangnya serius. berbeda dengan Haikal yang cenderung serius, kakaknya Raihan cenderung lebih senang bermain-main.
Raihan mengangkat bahu.
"cewenya belum ada," balas Raihan.
"yang kemarin diajak ke rumah gak cocok?" tanya Haikal bingung.
Raihan menggeleng.
"pokoknya kasih kesempatan satu bulan lagi. dan bantu doa. semoga dalam sebulan ini semuanya jelas," Raihan bangkit berdiri lalu melangkah keluar rumah, menyalakan motor, lalu pergi.
tinggallah Raihan di rumah sendirian.
Haikal sudah memantapkan hatinya pada gadis yang ini. setelah berkali-kali shalat istikharah dan memohon petunjuk, ia yakin bahwa gadis inilah bidadari surganya. Haikal ingin sekali bisa segera meminang gadis ini. namun permasalahannya ada pada kakaknya. orang tua Haikal tidak ingin Haikal mendahului kakaknya. maka berkali-kali Haikal mendesak kakaknya untuk segera menikah. masalahnya, Haikal terlalu santai hidupnya. ia sebenarnya tidak masalah Haikal menikah mendahuluinya. yang membuat Haikal geram adalah karena kakanya bukan tidak memikirikan ini sama sekali, ia hanya terlalu pemilih. berkali-kali Haikal menyuruh kakaknya beristikharah namun ditanggapi begitu saja oleh kakaknya ini.
"semoga Engkau memberikan hidayah-Mu kepada kakak hamba, Ya Allah," ujar Haikal lalu masuk ke kamarnya.
***
sang pemilik kedai seakan lupa pada pekerjaannya. sudah hampir 15 menit ia mengelap meja yang sama hingga terlihat lebih mengkilap. ia terlalu berfokus pada mendengarkan diskusi kelima orang tamunya ini.
"untungnya gue paham 100% di draft yang gue tulis. jadi gue paparkan ulang ide gue yang udah gue tulis. dan gue tambahin ide-ide yang emang belom gue keluarkan di draft itu. sekaligus gue tantang Mas Hanif buat nanya-nanya si Aji. gak paham kan si Aji. ketauan deh dia cuma ngeklaim kerjaan gue dan dia sebenernya yang gak bantu apa-apa. huh!" cerita Reva kepada empat orang di hadapannya.
"nyebelin banget ya tuh anak," sahut Rami.
"terus gimana nasib si Aji itu?" tanya Lyla.
"dimarahin abis-abisan dia sama Mas Hanif. terus sejak kemarin dia dipindah ke program lain yang ampir diberhentiin tayangannya," kata Reva puas.
"kalau dia gak bisa survive, dia juga out dong ya? tapi kalau dia mau kerja keras, mungkin nasibnya bakal lain," sahut Fauzi.
Reva mengangguk.
"iya ya kita harus kerja keras dan kita harus yakin. jadi doain ya abis Lebaran," kata Lyla malu-malu.
"pastilaaaah," balas Reva berser-seri. yang lainnya tersenyum senang.
"nah lo cepet nyusul lah Ram, move on dong move on," kata Haikal pada Rami.
"iya gue move on kok. udah gak mikirin dia lagi. gue mau fokus kerja dulu terus nyari suami manager BUMN atau swasta juga gapapa," kata Rami percaya diri.
"ngomong-ngomong biaya nikah lo gimana Zi?" tanya Reva iseng.
"biaya nikah? hahaha. itu uang yang dibawa kabur bukan buat nikah kok," balas fauzi.
"ya tapi nanti bisa buat aset pasca nikah juga kan?" tanya Lyla
"iya juga sih," Fauzi tertawa lagi. "tadi pagi abis dateng ke polisi, ternyata dia udah ditangkap da uangnya bisa kembali meski gak 100%."
"oh pantesan lo bilang menyelamatkan dunia," timpal Rami. Fauzi mengangguk.
"alhamdulillah lah ya," ujar Haikal.
"lo?" Fauzi balik bertanya.
"hari Minggu kemarin kakak gue lamaran. jadi sebenernya dia udah punya calon juga, cuma kayaknya pengen aja ngisengin sampe gue dongkol," kata Haikal. mukanya terlihat kesal tapi bersyukur juga kakaknya sudah akan menikah.
semuanya tertawa.
"lo juga segera dong yaaaa," Rami terkikik-kikik sambil menutupi muka.
"doain aja," sahut haikal kalem.
"eh udah mau tutup nih," seru Reva.
sang pemilik kedai seakan tersadar. ternyata salah satu pegawainya sudah mematikan AC dan menutup gorden.
"eh iya, ayo bayar," kata Lyla lalu mengeluarkan dompet.
mereka berlima mengeluarkan uang masing-masing lalu menyerahkan uangnya kepada salah seorang pegawai. setelah selesai, mereka keluar kedai kopi lalu berpisah arah.
sang pemilik kedai memperhatikan para pengunjungnya hingga tidak terlihat lagi. "terima kasih untuk pelajarannya hari ini, teman-teman."
-THE END-
PS: everyone is fighting some battles you will never know. so dont judge. setiap orang punya masalah. tapi cara penyelesaian dan cara menghadapinya yang berbeda-beda. tidak perlu mengatakan yang satu lebih hebat dari yang lainnya. kita hebat dengan caranya masing-masing.
Komentar