beyond perfect

"kamu mau jemput aku jam berapa sih?" Tami berjalan hilir mudik di ruang tamu rumah besarnya. telinganya menempel pada iPhone yang sedang digunakan untuk menelepon Rangga.

"jam 6 aku udah sampai di rumah kamu," jawab Rangga di ujung sana. suasana di sekitarnya terdengar berisik.

"se-ka-rang udah jam 6 kurang 5, Rangga, kamu masih di kantor kan? belum lagi ke rumah aku, terus ke hotel. abis berapa jam itu?" Tami mengenyakkan diri duduk di salah satu sofa empuk. tangannya memijat dahinya.

"maaf, tadi rapatnya lama, jadi telat," ujar Rangga dengan nada meminta maaf.

"ya udah, ketemu di sana aja deh. aku berangkat sama Wahyu aja,"

"lho kok gitu?"

"biar cepet nyampenya. kan dari tempat kamu juga lebih deket ke hotelnya daripada muter ke rumah aku dulu. bye," Tami memutuskan hubungan telepon dengan Rangga dan langsung menelepon sahabatnya yang lain, Wahyu. karena rumahnya berdekatan, Wahyu tidak keberatan untuk menjemput Tami sebelum menjemput calonnya sendiri, Quro.

hari ini Rama dan Budi akan melangsungkan upacara pernikahan di Hotel Bidakara. meski ini akhir pekan, Tami dan Rangga tetap bekerja sehingga baru bisa menghadiri acara mendekati waktu dimulai. berbeda dengan Yati, Dewi, Tika yang sudah siap sedia di hotel sejak siang dan membantu Rama. tadinya Rangga akan menjemput Tami agar mereka bisa berangkat bersama-sama. nyatanya, Rangga terlambat dan Tami akhirnya berangkat bersama Wahyu, yang juga baru selesai menyelesaikan meeting untuk proyek barunya.

sudah satu bulan berlalu sejak pertemuan Tami dan sahabat-sahabatnya di Bali. Clark langsung melanjutkan kuliah S2, kali ini di Amerika sehingga berhalangan hadir di pernikahan Rama dan Budi. Wahyu sudah resmi melamar Quro dan pernikahan mereka akan dilangsungkan 4 bulan lagi. sementara itu, Rangga sama sekali belum melakukan apa-apa terhadap Tami setelah apa yang terjadi di Bali, setelah mereka saling mengakui perasaan masing-masing. memang Rangga sempat berniat bertemu dengan orang tua Tami, tapi kesibukan Rangga, Tami, dan orang tuanya membuat kesempatan untuk bertemu sulit sekali. Tami sudah bekerja di bank milik ayahnya, Rangga mulai aktif di partai, dan ayah Tami akhir-akhir ini sedang sering dinas ke luar negeri. Tami dan Rangga pun jarang bertemu kecuali setelah mereka selesai bekerja, itupun hanya sebentar di malam hari.

"kita ke rumah Quro dulu? dimana rumahnya?" tanya Tami begitu mobil Wahyu berhenti di depan rumahnya dan Tami memasuki mobil lalu duduk di samping supir yang tidak lain adalah Wahyu sendiri.

"gak jauh dari rumah lo kok. si Rangga kenapa gak jadi jemput? kalian bukannya mau berangkat bareng?"

Tami menceritakan isi percakapannya dengan Rangga tadi. ditambahi sedikit gerutuan dan berakhir di keluhan bahwa Rangga seakan tidak menepati janjinya untuk bertemu ayah Tami.

"dia sibuk kan," 

Tami mendengus. "apa-apa kalo berhubungan sama Rangga judulnya emang 'sibuk', gak pernah ada yang lain,"

"dia kan lagi meniti karier,"

Tami memandang Wahyu dengan tatapan heran. "ini kayak waktu dia jadi Ketua OSIS dulu ya? gw kesel begini dan komentar lo juga persis kayak gini."

Wahyu tertawa. "bedanya kan sekarang kalian berdua udah tau perasaan masing-masing. harusnya udah gak ada salah paham,"

"tau deh. lagian lo bijak banget deh sekarang. gara-gara Quro ya? geli tau ih,"

Wahyu lagi-lagi tertawa. tanpa sadar mereka sudah sampai di sebuah rumah yang sederhana bercat putih. lampu di terasnya menyala terang, pagarnya rendah sehingga Tami bisa melihat bahwa halaman depan rumah itu ditumbuhi berbagai bunga.

"ini rumahnya Quro? sederhana banget," Tami melongokkan kepala dan meneliti hampir setiap senti rumahnya.

"yang kuliah di Inggris gak cuma orang kaya macam lo, Tam," Wahyu tersenyum.

"eh lo juga kuliah di Inggris ya," 

"gue jemput ke dalem dulu ya. lo pindah ke jok belakang gih,"

Tami berpindah tanpa bicara meski mulutnya sedikit dimonyongkan. tak lama kemudian Quro muncul dan memasuki mobil, duduk di kursi yang ditempati Tami tadi. Quro menoleh ke belakang dan tersenyum malu-malu. tidak berubah meski Tami dan Quro sudah kenal cukup lama.

"halo," sapa Tami lalu mengecup pipi kiri dan kanan Quro.

"hai, Tami gak bareng Rangga?"

"gak perlu dibahas dulu deh, nanti sepanjang perjalanan kita diiringi keluhan dia," jawab Wahyu yang membuat Tami langsung menjitak pelan kepalanya.

Birawa Assembly Hall malam itu sudah ramai oleh tamu undangan meski acara akad nikah dan resepsi baru dimulai setengah jam lagi. begitu sampai di hotel, Tami dan Quro langsung menuju kamar rias tempat Rama berada sementara Wahyu menuju tempat Andi mengobrol bersama calon pengantin pria, Budi.

Tami membuka pintu ruang rias dan langsung terpekik kaget. Rama sedang duduk menghadap cermin dan wajahnya terlihat berbeda, pangling. di sebelahnya ada juru rias, sementara itu ibu Rama, Yati, Dewi, dan Tika asik mengobrol di salah satu sudut. melihat Tami, ibu Rama langsung berdiri, "eh anak gadis gak boleh masuk sini, nanti kecantikannya ketarik sama penganten. ayo ayo nunggu di luar aja ya," ibu Rama mendorong Tami dan Quro kembali ke luar, lalu diikuti Yati Dewi dan Tika. 

sebelum lupa, Tami bersalaman dengan ibu Rama, lalu bertanya, "emangnya gitu ya Tante? yang belom nikah gak boleh ikut ke ruangan penganten?"

"pamali," jawab ibu Rama sambil tersenyum. "kalian mending nunggu di depan aja ya, bentar lagi Rama keluar,"

Tami mengangguk. kemudian ia keempat sahabatnya berjalan menuju Hall. mereka berlima langsung terlibat obrolan seru, terutama trio yang sudah menikah lebih dulu. Tami dan Quro tersenyum-senyum saja. dalam hati Tami berpikir, Quro sebentar lagi menyusul, aku entah kapan.

mereka berlima sampai di Hall dan menghampiri Wahyu, Andi, Riyani, dan suami-suami dari Yati, Dewi, dan Tika, juga anak sulung Yati. kata Wahyu, Budi sedang bersiap-siap bersama keluarganya. rasanya senang berkumpul dengan sahabat-sahabat dan orang-orang tersayang. namun Tami menghela nafas, Rangga masih belum hadir. sembari menunggu akad, Tami dan Quro bermain-main dengan Hadi, putra Yati.

perlahan-lahan bisik-bisik di sekitar mereka mereda ketika Budi sudah siap di depan ayah Rama dan dari salah satu pintu, Rama datang perlahan ditemani ibunya. beberapa undangan wanita memekik kaget dan terharu. Tami dan Quro juga bengong menatap prosesi akad nikah yang (alhamdulillah) lancar diucapkan oleh Budi sehingga resmilah mereka menikah. Tami merupakan salah satu undangan yang bertepuk paling kencang ketika akad nikah dinyatakan sah. tak lama kemudian Budi dan Rama menghilang ke sebuah pintu untuk berganti baju dan menghadapi para tamu undangan.

Rama kembali ke tempat resepsi dengan gaun berwarna biru dan Budi dengan jas yang senada, kedua orang tua berdiri di samping mempelai. acara dilanjutkan dengan upacara tradisional lalu pemberian ucapan selamat. Tami, Yati, Dewi, Tika, dll termasuk yang pertama memberi selamat dan memberi keributan besar ketika mereka bersalaman dengan Rama dan Budi, sempat membuat antrian terhenti sejenak karena mereka sibuk berteriak-teriak heboh. Budi dan para lelaki hanya geleng-geleng kepala. setelah turun dari pelaminan, semuanya berkeliling dan menikmati santapan yang ada, kadang berfoto atau mengobrol dengan tamu undangan lain yang mereka kenal. Tami dan Quro senang sekali mengikuti kemana Hadi pergi. anak itu lincah dan aktif, mencicipi berbagai hidangan. setelah hampir kelelahan mengejar Hadi, Yati memanggil Tami dan Quro yang hampir merosot di sebelah stand es krim, mereka akan berfoto bersama dengan pengantin. Tami mengangguk lalu menyerahkan Hadi kepada ibunya. Hadi ingin digendong, namun mengingat Yati yang sedang hamil, Tami menawarkan diri menggendong Hadi sebelum diberikan kepada Indra, suami Yati.

Tami, Yati, Dewi, Tika, Wahyu, dan Andi sedang berjalan menuju pelaminan untuk berfoto bersama Rama dan Budi ketika ada sebuah sosok berlari menghampiri mereka dan hampir menabrak Andi. 

"woy, Ga," seru Andi.

Tami menoleh dan melihat Rangga tersengal-sengal dan sedikit bersandar pada Andi.

"sori sori telat. macet," Rangga nyengir. ia lalu menghampiri Tami dan bermaksud mengecup pipi Tami namun ia langsung memalingkan muka seakan-akan tidak melihat ada Rangga disitu. kelima temannya keheranan namun tidak berkata apa-apa. sudah bisa menebak apa yang membuat Tami sekesal itu.

mereka bersembilan berfoto bersama dengan gaya-gaya heboh yang bahkan takjub bisa dilakukan oleh Rama padahal ia mengenakan gaun. para tamu undangan tersenyum dan menggeleng melihat ulah mereka. begitu turun dari panggung, Tami langsung memasang wajah galaknya dan menjauhi sahabatnya, terutama Rangga. 

"ngambek ya?" Rangga menarik tangan Tami dan membuat Tami menghentikan langkahnya. Tami berhenti tapi menolak memandang Rangga. "sorry,"

"aku mau pulang, tadi udah pamitan sama Rama sama Budi," gumam Tami, tangannya bergerak-gerak berusaha melepaskan genggaman Rangga.

"aku antar ya," 

"gak usah, aku pulang sama Wahyu," tepat setelah Tami selesai bicara, Wahyu dan Quro melewati mereka lalu pamit karena katanya Quro minta diantar ke sebuah tempat dulu sebelum pulang lalu mereka keluar dari Hall sebelum Tami sempat berkata apa-apa.

"Wahyunya mau pergi dulu tuh sama Quro. kamu gak minat ngikutin mereka kemana-mana kan?" Rangga bicara sambil berusaha menahan tawa. ini malah membuat Tami semakin jengkel.

"aku pulang naik taksi," Tami menarik lepas tangannya dari Rangga lalu berjalan secepat yang diijinkan gaun dan stiletto 10 cm-nya. inginnya sih Tami ikut dengan teman-temannya. tapi karena Yati, Dewi, Tika, dan Andi semuanya menginap di hotel ini (mengingat mereka semua sekarang tinggal di luar Jakarta), Tami tidak punya pilihan lain.

Rangga bergegas mengejar Tami, terhalang sedikit oleh para tamu undangan yang rupanya juga mengenal Rangga, sibuk mengucapkan selamat atas karier barunya atau berbasa-basi untuk hubungan bisnis. maka ketika Rangga berhasil melepaskan diri, Tami sudah sampai di lobby dan sedang menunggu taksi. Rangga sampai di lobby bertepatan dengan Tami memasukki taksi.

Minggu pagi dan Tami heran sendiri ia sudah bangun pukul setengah 6. tidak ada kerja dan apalagi ia sedang datang bulan, biasanya ia bangun lebih siang. memanfaatkan waktu karena rupanya ia tidak mengantuk, Tami mengganti baju dengan setelan jogging dan mengambil iPhone. ia turun ke dapur untuk minum segelas air terlebih dahulu lalu melihat ayahnya di ruang keluarga.

"pap? udah pulang?" seingat Tami, ayahnya sedang dinas ke Malaysia minggu ini. 

"tadi malem baru pulang, malah gak bisa tidur jadi ya nonton berita aja," Tami menghampiri ayahnya lalu mencium tangannya. di TV sedang ada tayangan berita tentang kasus korupsi salah satu pejabat. "kamu mau kemana?"

"jogging pap. udah lama badan gak olahraga. Tami pergi dulu ya pap," Tami mengecup pipi ayahnya lalu berangkat. satpam rumahnya sampai kaget melihat Tami keluar sepagi ini. namun ia hanya tersenyum dan melambai. 

Tami menghirup udara segar di pagi hari sebelum polusi mencemarinya. ia berlari mengelilingi kompleks tempat tinggalnya sambil mendengarkan musik. sekali-sekali berhenti hanya untuk mencoba gerakan yang dilakukan seorang penyanyi. ia menyapa beberapa pembantu yang sibuk berbelanja di gerobak sayur, meski ia tidak mengenal mereka. ia juga menyapa tetangga yang ikut jogging seperti dirinya. ketika sudah terasa sangat lama, Tami melihat jamnya dan ternyata saat itu sudah pukul setengah 7 pagi. ia berhenti di gerobak Tukang Bubur dan bermaksud sarapan disana. meski disitu kompleks rumah orang kaya, tidak sedikit jajanan kalangan menengah ke bawah yang beroperasi di situ. Tami juga tidak keberatan makan disana.

"bang, buburnya 1 ya, komplit, pake kacang, seledri, ayamnya yang banyak, gak perlu pake ati,"

"oke neng,"

Tami berbalik dan hampir meloncat mundur lalu menabrak si abang tukang bubur ketika melihat orang yang berdiri di depannya.

"nga-ngapain kamu?" seru Tami kepada Rangga yang berdiri sambil tersenyum lebar.

"mau beli bubur kok," jawab Rangga cuek lalu melewati Tami dan memesan bubur. mereka bahkan sempat mengobrol. Tami bergegas mencari kursi kosong. Rangga duduk di depannya, masih sambil tersenyum lebar. mendadak, botol kecap terlihat begitu menarik bagi Tami.

"katanya bubur disini enak ya?" tanya Rangga.

"gak tau, baru pertama makan disini," Tami berkata pada botol kecap.

"kata abangnya, kamu sering kok makan bubur disini,"

Tami gondok. kenapa si abang pake cerita-cerita segala? ia memilih tidak menanggapi kata-kata Rangga.

pesanan bubur mereka datang. refleks, Tami menuangkan banyak kecap pada buburnya. setelah setengah jalan, ia baru ingat bahwa ia kurang suka menggunakan terlalu banyak kecap. Tami menelan ludah, ia terpaksa melahap kecap pake bubur itu. 

"seingetku kamu gak suka makan kecap banyak-banyak. kamu bukannya sukanya sambel?" Rangga rupanya memperhatikan Tami dan belum menyentuh buburnya sendiri.

"sekarang suka," jawab Tami ketus.

"nih tuker," Rangga menarik kecap berbubur dari hadapan Tami lalu menyodorkan bubur miliknya yang belum tersentuh. Rangga lalu melahap bubur berkecap itu tanpa banyak bicara. perlahan Tami juga mulai menyantap bubur yang tadinya milik Rangga.

"rumah kamu kan jauh dari sini," Tami berkata masih dengan nada ketus. setidaknya ia berusaha untuk bersikap biasa pada Rangga.

Rangga mengangkat bahu, masiih mengunyah buburnya. setelah menelan, ia baru buka mulut, "soalnya katanya bubur disini enak,"

Tami cemberut lagi. cuma gara-gara bubur toh, pikirnya sebal. bubur yang lebih enak dan lebih mahal kan banyak, kenapa harus sengaja kesini? Minggu pagi pula.

"papa kamu ada di rumah?" Tami terperangah mendengar pertanyaan Rangga, lalu mengangguk. maka setelah bubur di kedua mangkuk habis, Rangga membayar (tadinya Tami berkeras membayar sendiri sebelum disadari, ia lupa membawa uang), keduanya berangkat menuju rumah Tami. lagi-lagi awalnya Tami menolak, ia bilang mau melanjutkan jogging, tapi setelah Rangga berkata bahwa ini sudah terlalu siang untuk melakukan jogging, Tami menurut dan masuk ke dalam mobil Rangga.

Rangga sudah sering mengunjungi rumah Tami, ketika mereka SMA, jadi wajar jika Rangga sudah mengenal orang tua Tami, meski ketika mereka resmi mengakui perasaan masing-masing, Rangga belum sempat berbicara serius dengan ayah Tami.

"assalamualaikum," Tami memasuki rumahnya yang memang seringkali sepi. kakak-kakaknya sudah menikah dan tinggal di tempat lain. jadi saat ini hanya ada orang tua, Tami, dan pembantu-pembantunya. seperti kali ini, pembantunya menghampiri. "papi mana bik?"

"tadi sih nonton, mbak. tapi kayaknya sekarang lagi tidur. semalem pulang jam 2 dari Malaysia."

mulut Tami membentuk huruf O lalu melirik ke Rangga yang berdiri di sebelahnya. "kamu mau nunggu sampe papi bangun?"

"kalau boleh,"

"ya udah bik, bikinin . . ."

"es teh manis di gelas gede kan?" jawab  pembantunya bersemangat. Tami heran, sementara Rangga tertawa. "waktu dulu sering main kesini kan sering minta itu," jawab pembantunya sambil malu-malu.

"di atas ya bik, di tempat biasa," pembantunya mengangguk. Tami dan Rangga lalu bergerak ke lantai 2, dimana ada semacam tempat luas dengan bantal-bantal, tempat dulu Tami dan sahabat-sahabatnya berkumpul dalam rangka pemenangan Rangga menjadi Ketua OSIS.

"udah 6 taun lewat tapi pembantu kamu masih inget aja," ujar Rangga sambil merebahkan diri di salah satu bantal empuk dan besar. mau tidak mau Tami tersenyum juga, meski berusaha agar Rangga tidak melihatnya.

"aku mau mandi dulu, kamu tunggu sini aja," Tami memasuki kamarnya lalu mengunci dan menyetel musik keras-keras. kamar orang tuanya di lantai 1, jadi suara musik ini pasti tidak akan mengganggu. satu jam kemudian Tami baru selesai berpakaian. ia kebingungan mau tampil seperti apa di depan Rangga.

ketika membuka pintu kamarnya, Tami bengong. Rangga nampak sedang tertawa-tawa bersama ibu Tami. memang sih mereka berdua sama-sama berkarier di dunia politik, tapi hal apa yang bisa membuat mereka tertawa seperti itu? bukannya di dunia politik segalanya serius? politics will never be my world, pikir Tami.

"mam? lagi ngomongin apa sih?" Tami duduk di sebelah ibunya. menarik salah satu bantal pink favoritnya.

"ini, Rangga cerita tentang rapat nasional partainya dia, terus ada salah satu staf yang kelakuannya lucu. terus mama inget pas rapat partai mama juga ada yang kayak begitu,"

Tami yang tidak mengerti, segera memalingkan muka dan membiarkan ibunya dan Rangga mengobrol lagi. ia meraih remote dan menyalakan TV, mencari acara kartun.

"mami ke bawah dulu ya sayang, kamu mau dimasakkin apa buat makan siang?" ibu Tami mencolek lengan Tami.

"apa aja deh mam,"

"Rangga mau makan apa? nanti ikut makan siang disini kan?"

"apa aja Tante, saya percaya kok masakan Tante pasti enak," 

Tami mendengar langkah-langkah ibunya menuruni tangga. ia sendiri masih asik menonton TV. Rangga beringsut dan duduk di sebelahnya.

"mami kamu tau gak sih kita pacaran?"

"tau kok," jawab Tami tanpa memandang Rangga. ia terlalu asyik menonton Larva.

"papi kamu?"

"tau juga. aku kan selalu cerita-cerita sama mereka kalau . . . " Tami tidak menyelesaikan kalimatnya. ketika ia menoleh ke samping, ia melihat Rangga sudah tertidur. Tami bengong. jangan-jangan ia diminumkan obat tidur? Tami buru-buru mengambil gelas es teh manis dan mengendusnya. tidak ada yang aneh. lagipula untuk apa pembantunya membuat Rangga tertidur? mungkin Rangga memang lelah, pikir Tami. ia lalu melanjutkan menonton TV. 

hampir pukul 11 ketika akhirnya Rangga bangun. TV sudah dimatikan dan Tami sedang menekuni laptopnya. mengerjakan beberapa laporan.

"working in the weekend, huh?" ucap Rangga. Tami mendongak, kaget. 

"terpaksa,"

"yang kayak gini nih yang bikin kita susah ketemu," ucap Rangga sambil memandangi layar laptop Tami. Tami terperangah.

"sori, kamu juga sibuk ya, bukan cuma aku yang suka kerja sampai weekend, sampe malem, kamu juga kerja terus, banyak jadwal dadakan, bahkan . . ."

"itulah," potong Rangga. ekspresinya tampak lelah. "aku masih takut kondisi kita akan seperti dulu. ketika kita berdua sama-sama sibuk dan berujung pada aku terlalu fokus pada pekerjaanku,"

Tami terdiam.

"belum lagi saat aku berjuang di tingkat yang lebih tinggi, yang tantangannya lebih besar, yang membuat waktuku tersita lebih banyak. apa nanti kita akan seperti ini terus?" kali ini Rangga tidak memandang laptop Tami lagi. ia memandang keluar, ke pintu kaca yang mengarah ke balkon. Tami tertegun. kalau sudah begini, keduanya harus bisa menurunkan ego masing-masing. Tami menyimpan laptopnya dan perlahan, ia menaruh kepalanya di pundak Rangga. Rangga meraih tangan Tami lalu menggenggamnya erat. 

"Rangga! Tami! ayo makan siang," seru ibu Tami dari lantai 1. keduanya terlonjak dan buru-buru menjauhkan diri.

"iya maaaam," Tami balas berteriak. "yuk."

di meja makan, sudah tersedia berbagai macam masakan dan orang tua Tami sudah menunggu. Rangga buru-buru menghampiri ayah Tami dan bersalaman. makan siang itu ramai karena kedua kakak Tami dan suami/istri beserta anak mereka hadir disana. Tami senang sekali melihat Juliet, keponakannya yang baru berusia 1 tahun. sementara Fahri, keponakan Tami yang sudah berusia 6 tahun, lebih memilih mengobrol dengan ayahnya tentang mobil. sementara itu Rangga mudah sekali membaur dengan anggota keluarga Tami. ia bisa ikut mengobrol dengan Fahri tentang mobil, ia bisa ikut mengobrol dengan Putra (kakak kedua Tami) tentang saham, dan bahkan ia bisa mengobrol dengan Raya (kakak pertama Tami, ibu Fahri) tentang hukum. setelah makan siang selesai, ibu Tami, Tami, anak-anak, Raya, dan Gina (istri Putra, ibu Juliet) bergerak ke halaman belakang untuk bermain. sementara itu ayah Tami, Rangga, Wildan, dan Putra berada di dalam untuk mengobrol. 

"jadi itu calonmu?" tanya Raya sambil memperhatikan Fahri yang sudah mulai memasukki kolam renang. 

"hah?" Tami bengong, tidak memperhatikan Juliet di gendongannya yang menunjuk-nunjuk perosotan.

Raya menggerakkan kepalanya ke arah rumah. lalu menyeringai. "dia kan anak mantan presiden, bukan?"

Tami merasakan pipinya memerah. sambil mengantar Juliet ke perosotan, Raya mengikutinya, ia menjawab. "iya, tapi dia belum pernah ngobrol serius sama papi,"

"aku rasa papi pasti bakal setuju. toh udah pada kenal sejak lama juga kan?"

"bukan itu masalahnya. iya sih papi udah kenal Rangga sama orang tuanya, tapi selama Rangga gak ngomong sama papi kalau dia serius, ya sama aja bohong kan?"

"kamu udah mau nikah banget ya?" Raya tertawa. Tami mendelik.

"temen-temen aku ampir semuanya udah nikah, kak," Tami menunduk. Juliet berlari menghampiri ibunya, Tami tidak mengejarnya.

"aku kira kamu mau ngejar karier dulu,"

"yah kak, setinggi-tingginya karier cewe, kan tetep ngerasa beneran cewek kalau nikah, punya anak. bukannya aku gak mau karier, tapi aku juga gak mau hubungan yang gak jelas kemana arahnya. kalau Rangga emang serius, ya ayo. tapi kalau dia cuma mau pacaran dan kita gak kemana-mana, aku juga gak mau."

di dalam, Wildan dan Putra sedang mendiskusikan harga saham beberapa minggu terakhir. sibuk memprediksi nilai saham perusahaan mana yang akan naik atau turun. di sisi lain, Rangga dan ayah Tami membicarakan kegiatan memancing.

"ini, ayah saya bilang om suka mancing, jadi ini saya beliin alat pancing yang bagus, kailnya kuat dan ada berbagai alat mancing buat di air tawar atau air laut," Rangga menyerahkan peralatan memancing yang tadi diambilnya dari mobil.

"wah ini bagus sekali. terima kasih ya," ayah Tami terkagum-kagum memandangi alat pancing itu. Rangga tersenyum puas. "salam buat ayah kamu ya. dia sehat?"

"sehat om, kemarin baru pulang dari Venice sama ibu," jawab Rangga.

"wah asyik sekali menikmati masa tua dengan istri, macam muda lagi saja, bulan madu terus," mereka berdua tertawa.

"om," nada suara Rangga mulai serius. "om keberatan saya pacaran sama anak om?"

ayah Tami mengalihkan pandangan ke arah Rangga. Rangga hampir takut diusir, tapi betapa leganya ketika ayah Tami tersenyum.

"tentu tidak. om sudah kenal kamu sejak lama. terlepas dari siapa ayah kamu, om tau kamu anak yang baik,"

Rangga langsung berseri-seri. "saya serius om sama Tami,"

"bagus itu, kapan orang tua kamu mau ke rumah buat lamaran resmi?"

Rangga bengong juga ditembak seperti itu. "ehm, secepatnya om."

"yang penting kamu bener-bener jagain Tami ya, dia anak om paling rewel, paling manja, paling banyak maunya, tapi juga anak kesayangan om,"

"iya om, saya pasti jagain Tami,"

ayah Tami menepuk pundak Rangga sambil tersenyum lalu masuk ke kamarnya.

Rangga baru pulang ke rumahnya menjelang sore. ia betah berada di rumah Tami, apalagi dengan Tami yang sudah tidak mendelik setiap memandangnya. namun sesungguhnya ia enggan pulang ke rumah, yang sepi, tanpa orang dan tanpa interaksi.

***

sebulan kemudian, sebisa mungkin Tami tidak menuntut terlalu banyak dari Rangga. ia tahu Rangga bahkan jauh lebih sibuk dari Tami. sesekali Tami mengunjungi kantor Rangga kalau ia sendiri pulang lebih cepat dari bekerja. kalau tidak, ia akan mengirimkan semangat atau morning/day/afternoon/night greetings untuk Rangga. tidak semua pesannya dibalas. mengingat temperamen Tami, hampir setiap itu juga ia menjadi kesal. meski ia tidak menunjukkannya di depan siapapun. 

Yati dan keluarganya sudah kembali ke Padang tidak lama setelah Rama dan Budi menikah. pasangan baru itu sendiri sedang menghabiskan bulan madu di Maroko. Tika dan suaminya, serta Dewi dan suaminya sekarang tinggal di kampung halamannya masing-masing. Andi dan istrinya kembali ke Bali. setiap hari Tami berusaha meluangkan waktu menghubungi sahabat-sahabatnya. namun ya, kesibukan mereka juga menumpuk. 

di hari Jumat malam, dimana orang-orang sudah siap menghadapi akhir pekan, Tami duduk di salah satu pojok Starbucks, memandangi hujan yang turun perlahan. sekarang ia sedang senang sendirian. Rangga sedang ada rapat. Wahyu sedang berangkat ke London untuk mengurus proyeknya. jadi selain sedang senang sendiri, memang Tami bingung ingin menghabiskan waktu dengan siapa. ia memainkan iPhone-nya. membaca ulang pesan-pesan yang dikirimkan Rangga tadi siang. membicarakan jadwalnya hari ini dan pesan terakhir ini membuat Tami tersadar. rasanya ia tidak melihat pesan ini? siapa yang membukanya? apa teman kantornya Yuri yang membaca ketika Tami ke toilet? di pesan itu Rangga berkata bahwa ibunya besok akan berulang tahun dan Rangga akan menjemput Tami untuk ke pesta ulang tahun pukul 4 sore. 

NB: disana bakal ada keluarga besar dari ibu dan ayah dan mereka sudah sangat penasaran tentang siapa calon istriku 

mati, pikir Tami. ia buru-buru membereskan barangnya dan bergerak memasuki Plaza Indonesia. mencari gaun yang cocok untuk pesta besok. tangannya langsung sigap menelepon salon langganannya. membuat pesanan untuk besok juga.

kali ini Rangga tepat waktu. ia menjemput Tami pukul 4 tepat di salon langganan Tami. sejenak melihat Tami, Rangga bengong. 

"heh," Tami menepok pundak Rangga dengan tas tangannya.

Rangga tersadar dari lamunannya. "kok kamu lebih cantik dari waktu Rama nikah?"

"emangnya salah?" Tami memandang gaunnya dan wajahnya di kaca salon. "kan kata kamu bakal ada keluarga besar yang dateng. jadi gak boleh sembarangan kan?"

Rangga tersenyum. "yuk," ia mengulurkan tangannya dan Tami menyambutnya. 

Tami mengira pesta ulang tahun akan diadakan di sebuah hotel. namun rupanya diadakan di rumah Rangga sendiri. rumahnya memang besar sih, tapi Tami tetap kaget karena rumah itu memuat banyak orang juga. rupanya pesta mulai diadakan sejak sore hari. ketika Tami dan Rangga sampai, acara langsung dimulai. kue ulang tahun besar berwarna biru sudah berada di depan ibu Rangga yang berseri-seri. Rangga menarik tangan Tami dan mereka berdiri di antara undangan. Tami heran karena Rangga tidak mengajaknya ke samping ibunya, seperti adik-adik Rangga, tapi Tami diam saja.

menyanyikan lagu, potong kue, pemberian ucapan selamat, foto, semua dilakukan dan Rangga masih saja di tempatnya. seakan tidak berminat untuk menghampiri ibunya. 

"i have to give this present to your mom," bisik Tami di telinga Rangga, karena suara sekitar mereka lumayan berisik.

"yeah, come on," maka baru saat ini Rangga menggandeng Tami menemui ibunya, yang masih dikeliling suami dan anak-anaknya.

"hai bu, selamat ulang tahun," Rangga mengeluarkan kotak biru berpita perak dan menyerahkan kotak itu kepada ibunya, mencium tangan ibu, dan ibunya balas merangkul Rangga. 

"terima kasih, Aldo. kamu ada dimana tadi?"

"aku di belakang, bu," jawab Rangga. Tami memperhatikan adegan itu. agak kaget siapa yang dipanggil Aldo oleh ibu Rangga, lalu kemudian ia sadar bahwa Rangga kan panggilan yang diberikan teman-temannya. di rumah tentu saja ia dipanggil Aldo, sesuai nama aslinya. Tami belum tahu tentang ini, karena selama SMA mengunjungi rumah Rangga, orang tua atau adik-adik Rangga selalu tidak ada di rumah. "perkenalkan,"

Rangga mengajak Tami maju dan mengenalkannya kepada keluarganya. ibu Rangga langsung berseri-seri. "Tami kan? putrinya Herdiyanto?"

Tami mengangguk. kaget karena ibu Rangga mengenal ayahnya. namun setelah dipikir-pikir lagi, tentu saja kenal. hubungan orang-orang kaya ini sempit, Tami saja yang 'kuper'.

"selamat ulang tahun Tante, ini kado dari saya," Tami mencium tangan ibu Rangga lalu menyerahkan kotak pipih panjang berisi kalung yang mendadak dibelinya kemarin.

"wah padahal gak usah repot-repot lho," balas ibu Rangga, tapi ia tidak menutupi kebahagiaan di wajahnya. kemudian Rangga mengenalkan Tami pada ayah dan adik-adiknya. 

"oh iya, Do, tadi Laura disini sama ayahnya. mungkin sekarang lagi keliling, coba cari. minggu depan kita ke rumahnya ya, ngomongin tanggal pernikahan kamu sama dia," ucap ayah Rangga lalu dia berbalik dan meninggalkan Rangga yang membatu, juga Tami yang seakan berubah menjadi Medusa. ibu Rangga tersenyum juga lalu mulai berkeliling. perlu beberapa waktu sebelum Tami bisa menggerakkan kakinya dan yang pertama ia lakukan adalah berlari sekencang mungkin keluar dari rumah Rangga.

Tami bisa mendengar Rangga memanggil namanya berkali-kali, tapi Tami tidak peduli. ia berlari terus hingga ke jalan utama, sulit sekali menemukan taksi, gaunnya sudah berantakan dan kakinya sudah sakit karena heels, Rangga rupanya tidak berhasil mengejarnya. Tami terus menerus berjalan, air matanya mulai menetes. untunglah saat itu ada sebuah taksi dan Tami langsung naik tanpa pikir panjang.

***
perlu 100 buket bunga mawar merah, putih, dan ungu, berdus-dus coklat, beberapa boneka, perhiasan, dan aksesoris, yang dikirim ke rumah dan kantor selama 2 minggu sampai Rangga mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Tami. itupun setelah satu minggu terakhir, hampir setiap malam Rangga mendatangi rumah Tami dan menggedor pintunya. pada Minggu malam, ketika Rangga semakin geram, kesal, sekaligus sedih dan kecewa, akhirnya Tami membukakan pintu kamarnya. wajahnya kusut sekali dan ia memilih memandang lantai daripada memandang Rangga. di belakang Rangga, ibu dan ayah Tami ikut memandang dengan cemas.

"kamu baik-baik aja, sayang?" ibu Tami menghampiri putri bungsunya, memeriksa setiap senti wajah Tami. Rangga terpaku melihat kondisi Tami. "kamu udah gak keluar kamar selama 2 minggu,"

Rangga semakin kaget. jadi Tami juga tidak masuk kantor? sampai sebegitunya?

Tami mengangguk mendengar pertanyaan ibunya. sebelum sempat berkata apa-apa lagi, terdengar derap kaki seseorang dan Rama muncul terengah-engah, seperti habis berlari. Budi mengikuti di belakangnya. "eh, malem om, tante, maaf dateng ngedadak," Rama nyengir lalu menghampiri orang tua Tami, bersalaman, Budi mengikuti tindakan istrinya.

"saya denger Tami kurang enak badan, jadi saya mau nginep disini, boleh tante?" cerocos Rama. ia memberi isyarat mata kepada Tami, yang tidak mengerti.

"oh, oh iya boleh, er tapi . . ."

"suami saya mau ngobrol sama Rangga, biasa, bisnis, jadi Rangga bakal ikut sama Budi," kata Rama, masih nyengir. Rangga bingung, ia tidak berniat mengobrol dengan Budi, apalagi seingatnya Budi dan Rama kan baru pulang bulan madu.

"ya udah, tapi Tami harus makan ya? nanti mami kirimin makanan kesini," orang tua Tami bergerak turun sementara Budi langsung menyeret Rangga yang masih kebingungan untuk ikut menuruni tangga. Rama langsung mengajak Tami masuk ke kamar.

"lo bukannya lagi bulan madu?" tanya Tami begitu Rama menutup pintu di belakangnya.

"tadinya iya, gue sama Budi lagi mau ke Mesir pas tiba-tiba dapet telepon dari Rangga katanya lo kabur dari pesta ulang taun ibunya dan bahkan ga ada kabar selama seminggu lebih. dia panik banget tauk. gue rasa sih dia neleponin Yati, Dewi, sama Tika juga, tapi mereka kan gak mungkin kesini, lagi pada hamil gede gitu. jadi gue yang kesini." Rama bertolak pinggang menatap Tami yang berjalan gontai lalu merebahkan diri di tempat tidurnya.

"Rangga udah mau nikah sama yang namanya Laura," ucap Tami. bahkan mengatakan sedikit kalimat itu saja membuat ia sakit hati, apalagi setelah itu ia teringat kejadian aslinya. ia ingin menangis saja.

"Laura yang centil, tukang clubbing, gonta-ganti pacar kayak gonta-ganti sendal itu? kok bis . . . ah iya gue lupa," Rama menepuk dahinya lalu ikut merebahkan diri di samping Tami.

"lo kenal?" Tami menoleh.

"ya lo tau lah hubungan orang-orang kayak kita," jawab Rama. Tami bergumam, "tapi gue gak kenal" yang tidak didengar Rama. "bapaknya si Laura kan salah satu menteri waktu ayahnya Rangga menjabat. hmm, pasti pernikahan politik deh."

Tami memandang ke luar jendela. langit sudah sangat gelap tapi ia belum menutup gordennya. seleret cahaya bulan masuk. pepohonan bergerak perlahan.

"selamat deh," balas Tami.

Rama menoleh cepat, duduk di atas kasur. "apa maksudnya itu? lo mau putus sama Rangga? biarin dia nikah sama si centil Laura? hih, no way ya. gue yang udah temenan lama sama Rangga milih lo sebagai istrinya dia yang sejuta kali lebih baik daripada si Laura itu. lagian kan bokap lo juga gak kalah tajirnya sama sama bokapnya Laura,"

Tami tertawa. masalah harta ini selalu saja dibawa-bawa. 

"ya kalau udah dijodohin, mau gimana lagi? udah ada tanggal nikahnya pula," jawab Tami muram.

"lo jadi suram gini karena lo peduli kan? aaah, kemana sih Tami yang galak?" Rama menyodok-nyodok tangan Tami tak sabaran. Tami ikut duduk, masih tertawa tapi terlihat betapa ia sebenarnya stres. Tami memainkan rambutnya, mengacak rambutnya yang kusut sehingga semakin kusut.

"nanti deh, gue mau menata perasaan dulu. gue juga bingung sebenernya apa mau gue,"

Rama cemberut. "ya udah, pokoknya gue stand by disini semaleman biar lo gak kayak orang stres lagi. besok Senin, lo kerja kan? ayo semangat,"

Tami tersenyum.

ketika Tami masuk kantor besoknya, ia hampir tidak mengenali kubikelnya. hampir setiap senti kubikelnya dipenuhi bunga (yang ditaruh dalam vas, mungkin oleh Office Boy/Girl), coklat, kartu ucapan, boneka, bahkan foto Tami dan Rangga ketika mereka di Bali yang dicetak ukuran 10 R. rupanya Rangga mengirim ini semua ke kantornya juga. rekan-rekan kerja Tami tersenyum melihat 'keramaian' di kubikel Tami. 

"er, kalo ada yang mau coklatnya, ambil aja," seru Tami menyodorkan kepada teman-temannya yang langsung menyerbu coklat-coklat mahal dan enak. sementara Tami membereskan kartu-kartu dan memasukkannya ke dalam laci, menyimpan boneka-boneka di bagian belakang, menaruh bunga yang masih segar dan membuang yang sudah layu. setelah kubikelnya terasa lebih lega, ia memandangi fotonya dan Rangga yang berlatarbelakangkan matahari terbenam Bali. 

berkali-kali Tami mengecek arlojinya, ingin segera pulang. entah kenapa ia tidak betah bekerja hari ini. nanti Rama akan menjemputnya karena Rama takut Tami kenapa-napa, padahal kondisi fisik Tami sih baik-baik saja. pukul 5 kurang 10, Rama tiba-tiba muncul di kubikelnya. mengangetkan Tami. "HAI!"

"lo kok udah dateng?" 

"pengawalan nona Tami," Rama melongok ke belakang Tami dan melihat tumpukan hadiah dari Rangga, lalu menambahkan, "dan bantuan membawakan barang,"

"hahaha, ya udah yuk,"

Rama membawa beberapa hadiah, Tami juga membawa beberapa. berdua, mereka menuju mobil Rama (dan Budi) yang terparkir lalu menyimpan hadiah-hadiah itu di jok belakang. 

"lo mau bawa gue kemana dulu?" tanya Tami setelah mereka berdua duduk manis di dalam mobil.

"ehehehe tau aja. makan malem dulu yuk. ini hari pertama gue tinggal di Jakarta setelah nikah, tadinya sih Budi ngarepin gue yang masak makan malem, tapi karena gue belum bisa masak, jadi gue mau kabur dan makan di restoran aja,"

Tami tertawa. "terus Budi makannya gimana?"

"tau deh, sama temen-temen kantornya kali. dia juga kan hari ini mulai kerja,"

makan malam mereka diisi cerita-cerita seru bulan madu Rama dan Budi selama sebulan yang berpindah dari satu negara ke negara lain. Tami kira mereka melakukan bulan madu yang mewah, tapi rupanya mereka ber-backpacking. tentu saja ini ide Rama. Tami geleng-geleng kepala. "seru tau, Tam, lo kapan-kapan harus nyoba backpackingan,"

"sori ya, gue gak mau hidup susah," balas Tami sambil tertawa lagi.

"hai wifey," tiba-tiba sosok Budi ada di sebelah mereka. ia mengecup pipi Rama dan duduk di kursi kosong. "hai hubby," balas Rama. Tami berpura-pura muntah, tapi setelah itu ia tersenyum.

"penganten baru ya, nyerah deh," kata Tami lalu pura-pura ngambek.

"udah baikan lo, Tam?" tanya Budi.

"gue kan gak sakit, Bud. cuma gak keluar kamar aja,"

"maksud gue, udah baikan sama Rangga belom?"

Tami terdiam sejenak lalu menggeleng. menyuap lagi steak yang baru setengah jalan dimakannya.

"kemarin kamu bawa dia kemana, say?" tanya Rama pada suaminya.

"clubbing," jawab Budi yang langsung dihadiahi tatapan sinis, baik dari istrinya maupun Tami. "gak ngapa-ngapain kok, cuma mojok dan ngobrol. dia cerita banyak, tentang masalahnya sama lo, Tam, bisa aja gue ceritain sekarang, tapi jauh lebih baik kalau lo denger sendiri dari dia."

Tami pura-pura cuek meski penasaran juga akan apa yang diceritakan Rangga.sejam kemudian makan malam itu selesai, mereka berjalan keluar restoran. "eh, say, kamu kesini pake apa?" tanya Rama.

"nebeng mobil temen," jawab Budi. lalu Rama dan Budi baru menyadari sesuatu.

"berarti kita anterin Tami pulang dulu ya baru kita ke rumah?" 

"gak usah, gue naik taksi aja," balas Tami.  tak ingin mengganggu Rama dan Budi.

"nggak ah, lo kita anter aja. lagian kan lo bawa banyak barang," ujar Rama keukeuh.

"gue yang anter Tami pulang," ujar sebuah suara di belakang Tami. ia buru-buru menoleh dan melihat Rangga berdiri di sana. 

"bagus kalo gitu, barang-barang Tami..." belum selesai Rama bicara, Tami membantah tanpa memandang Rangga, "aku gak mau kamu anter pulang."

ketiganya menoleh ke arah Tami. bagaikan ditekan tombolnya, kemarahan Tami langsung meledak.

"kenapa kamu disini? kamu harusnya sama Laura kan? calon istri kamu itu! ngapain kamu disini? ngapain kamu peduliin aku?"

Rangga tergagap. "kok..."

"kamu gak pernah bilang kalau kamu dijodohin. itu artinya kamu gak sepantasnya deket-deket aku! buat apa kamu pacaran sama ak kalau kamu mau nikah sama orang lain? kamu nyia-nyiain waktu aku dan waktu kamu sendiri. apa sih maksud kamu? kamu mau balas dendam?"

"bukan gitu maksudnya," Rangga berusaha bicara lagi tapi Tami seakan tidak mau mendengar.

"terus apa? kamu mau bilang kamu gak tau kalau kamu dijodohin? kamu mau bilang kalau kamu gak suka sama Laura? hah, jangan bego,"

"aku gak suka sama Laura!" Rangga mulai naik darah juga. Rama dan Budi kaget, Rangga yang biasanya emosinya terkendali jadi seperti itu.

"ayah kamu ngejodohin kamu sama dia!!"

"itu kepentingan politik!"

"kenapa kamu gak bilang sama orang tua kamu tentang aku?" Tami benar-benar berteriak sekarang. membuat beberapa pengunjung menoleh dan bahkan manager restoran mulai berminat untuk menghampiri mereka.

bukannya menjawab, Rangga malah terdiam. seakan-akan berbagai pikiran mendadak menderanya. matanya sekilas terlihat kosong. mulutnya membuka dan menutup, berusaha menyuarakan pemikirannya namun tertunda.

"gue yang anter Tami pulang," ucap Rama pelan lalu merangkul bahu Tami dan mereka bergerak menuju mobil Rama. Tami termenung. ia bingung, ia sedih, ia kecewa, dan diantara semuanya, ia bertanya-tanya.

malam itu, Wahyu menelepon Tami, tepat setelah Tami keluar dari kamar mandi. 

"apa Yu?"

"katanya lo berantem sama Rangga?"

"lo udah di Indonesia?"

"udah balik 3 hari lalu. jadi bener?"

"perasaan lo penulis deh, bukan cenayang,"

"Rama told me,"

Tami menceritakan pesta ulang tahun ibu Rangga dan pertengkarannya barusan.

"lo udah pernah dateng ke rumahnya Rangga kan?" tanya Wahyu setelah Tami menyelesaikan ceritanya.

"udah lah, kan waktu dia maju Ketua OSIS, kita sering kesana,"

"kalau gitu lo sadar dong gimana suasana rumahnya?"

Tami berpikir sejenak. "rumahnya sepi banget,"

"true. ibu dan ayahnya Rangga jarang banget ada di rumah, meski ayahnya udah pensiun sekalipun. ibunya juga punya banyak kegiatan. adik-adiknya, yah, bukan tipe Rangga banget sebenernya. kalau Rangga itu malaikat, adik-adiknya tuh setan. jadi ya memang rumahnya sering sepi. jadi mungkin kesempatan Rangga buat ngobrol sama ayahnya tentang lo juga sempit. gak mungkin kan dia ngomongin tentang hubungan kalian via telepon? nah sekali-kalinya mereka ketemu, ayahnya udah jodohin dia gitu aja,"

mendengar kalimat Wahyu, Tami terdiam. ternyata seperti itu kah kondisi keluarganya? perasaan bersalah mendadak mendera Tami. 

"jadi lebih baik lo sekarang ngobrol baik-baik deh sama dia. lagian kalo yang gue denger sih sejauh ini belom fix perjodohannya. mungkin kalo Rangga sempet ngobrol sama ortunya, semuanya bisa dilurusin. yang penting lo baikan dulu sama Rangga,"

Wahyu menutup sambungan telepon dan Tami merebahkan diri di kasur, memandang foto dirinya dan Rangga yang sekarang bertengger di salah satu dinding kamarnya. tak berapa lama, ia tertidur.

***

entah apakah Rangga sibuk atau sekarang ia yang marah pada Tami, sisa minggu itu Rangga tidak menghubungi Tami. sebaliknya, Tami pun tidak berusaha menghubungi Rangga. Sabtu malam, Budi dan Rama mengundang Wahyu, Quro, dan Tami untuk makan malam di rumah mereka. katanya, mereka mengundang Rangga juga tapi Rangga tidak memberikan respon. mereka terlibat obrolan seputar pernikahan. Quro sangat bersemangat membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan pernikahan. sementara itu Tami lebih banyak diam. memainkan spaghettinya dengan ujung garpu. 

"lo sakit?" tanya Budi yang tidak ikut dalam obrolan seputar pernikahan. 

Tami memandang Budi dan menggeleng. "entah kenapa gue capek aja, Bud."

"lo mau istirahat atau...?"

"bukan capek badan, tapi pikiran gue. gue mau pulang aja," Tami mengambil tasnya lalu buru-buru berpamitan pada Rama dan yang lain. 

"perlu dianter?" tanya Rama.

"gak usah, gue bawa mobil sendiri kok. makasih ya, maaf gue harus pulang duluan," Tami tersenyum dipaksakan lalu menghampiri mobilnya. menyetir secepat jalanan Jakarta di Sabtu malam mengijinkannya.

begitu sampai di rumah, rumahnya sepi seperti biasa. kedua orang tuanya sedang menghadiri pesta pernikahan teman mereka. Tami berjalan menuju halaman belakang rumahnya yang dihiasi rerumputan. rumput itu sedikit basah karena bekas hujan sore tadi. Tami berbaring di atasnya, memandang langsung ke langit malam berwarna biru gelap, seperti kain beludru berhiaskan permata.

"i miss him. i feel sorry for him. i don't know what's really happen to his family and all I can do is just mad at him.." Tami menggerak-gerakkan tangannya seakan ingin menangkap salah satu cahaya namun tentu saja itu tidak mungkin. Tami menutupkan tangan ke matanya, kelebatan-kelebatan kenangannya bersama Rangga muncul bergantian. sekilas di dengarnya bunyi gemerisik namun Tami menganggap itu bunyi tumbuhan di sekitarnya.

"huah," Tami menghembuskan nafas keras dan melemparkan tangannya sehingga berada di samping tubuhnya. tiba-tiba ada yang menggenggam tangan kanannya. Tami kaget lalu menoleh ke sebelah kanan. siluet wajah Rangga tampak di sebelahnya.

"kamu..."

"kamu tau ada berapa banyak bintang di langit sana?" Tami kaget akan pertanyaan Rangga dan ia menjawab dengan menggeleng. meski sesungguhnya Rangga tidak bisa melihatnya karena ia memandang langit. "banyak, lebih dari seratus juta. yang terlihat oleh mata kita hanya sebagian kecil, perlu teleskop untuk melihat sebagian lain dan bahkan perlu perjalanan ke luar angkasa untuk melihat lainnya. tapi dia ada. dia selalu disana, tak pernah pergi."

Tami masih belum mengerti apa maksud pembicaraan Rangga.

"sama seperti aku, meski kamu tidak pernah bisa melihatku, aku akan selalu ada untukmu," Rangga menoleh memandang Tami, ia mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Tami lalu menciumnya, tatapannya tak lepas dari Tami. perlahan, ia meletakkan kembali tangan itu di rerumputan dan ia berdiri. "selamat tinggal," 

Rangga berdiri dan pergi. sedetik-dua detik Tami terpaku di tempatnya. bingung akan maksud kalimat terakhir Rangga. ketika sadar, ia segera bangkit dan mengejar Rangga. 

"Rangga, Rangga, Rangga!" teriak Tami histeris. tanpa sadar ia menabrak beberapa kursi namun tidak dipedulikannya. di ruang tamu, Tami menarik bagian belakang kemeja Rangga untuk menghentikannya. Rangga menoleh.

"jangan pergi, please." setitik air mata muncul di sudut mata Tami. "apa maksud selamat tinggal tadi?"

"kalau kamu tidak mau melanjutkan hubungan ini lagi..." ujar Rangga pelan.

"dasar bego! emang siapa yang bilang begitu?" Tami mendorong pundak Rangga. 

"karena kamu gak mau ketemu aku..."

"terus kamu pikir itu berarti aku gak mau ketemu kamu selamanya?"

"dan perjodohanku..."

"kamu suka sama aku gak? apa semua yang kamu bilang di Bali itu bohong?" Tami berteriak.

"tentu aja enggak! aku gak pernah bohong tentang perasaan aku ke kamu!" Rangga mengeraskan suaranya.

"makanya perjuangkan aku! bilang sama ayah kamu kalau kamu gak mau dijodohin. bilang kamu sayang sama aku. bilang kalau kamu memilih aku dan bukan Laura!" Tami berteriak semakin kencang, suaranya semakin serak, tangannya memukul-mukul badan Rangga. 

Rangga bingung melihat sikap Tami ini, tapi ia yakin bahwa ini berarti Tami masih menyayanginya. perlahan, Rangga menarik Tami ke pelukannya, satu karena semakin lama ia semakin merasa sakit dipukul Tami, kedua karena ia pernah mendengar untuk meredakan kemarahan perempuan adalah dengan cara memeluknya. Rangga mengelus pelan kepala Tami. masih terlalu bingung untuk berkata-kata. sementara itu Tami mulai menangis.

"aku bakal ngomong sama ayahku tentang kamu dan menolak dijodohkan dengan Laura, bersabarlah," Tami hanya diam, Rangga menganggap itu tanda persetujuan. ia mengecup puncak kepala Tami untuk meyakinkan.

***

baik Rangga maupun Tami seakan-akan ingin menjaga perasaan masing-masing. keduanya memberikan porsi lebih banyak untuk hubungan mereka daripada sebelumnya. menyempatkan makan siang bersama, keluar di akhir pekan, atau hanya duduk-duduk di teras rumah Tami sambil mengerjakan tugas masing-masing. Rangga masih belum bertemu ayahnya karena kesibukan ayahnya. namun Sabtu malam ini akhirnya ayah Rangga menyempatkan diri untuk makan malam bersama anaknya. selama itu pula nama LAura tidak pernah disebut diantara mereka.

"bagaimana kalau ayahmu tetap ingin menjodohkan kamu dengan Laura?" tanya Tami di suatu malam yang cerah. kali ini Tami hanya menemani Rangga mengerjakan pekerjaannya di halaman belakang rumah Tami.

"itu tidak akan terjadi," jawab Rangga tanpa mengangkat kepala dari laptopnya.

"hanya bertanya bagaimana.."

"itu... tidak... akan... terjadi," Rangga mengulangi dengan jeda antar kata agar kata-katanya meresap.

"jika, Rangga, jika,"

"maka aku akan menolaknya sekuat tenaga, sekalipun itu membuat aku harus pergi dari rumah," kata Rangga masih tanpa mengangkat kepala dari layar laptopnya.

Tami kaget. tak menyangka Rangga akan senekat itu. menyadari bahwa Rangga sungguh-sungguh, Tami berdoa dalam hati

"malam yah, bu," sapa Rangga lalu duduk di kursi yang sudah dipesannya khusus untuk acara makan malam bersama orang tuanya.

"tumben sekali kamu mau bicara dengan ayah dan ibu?" tanya ibunya sambil tersenyum. Rangga melihat ibunya mengenakan gelang yang diberikan Rangga pada hari ulang tahunnya.

"aku ingin bicara langsung ke pusat permasalahan. gadis yang kukenalkan pada saat ulang tahun ibu, itu pacarku dan aku serius terhadapnya," suara Rangga terdengar mantap. 

ayah dan ibu Rangga saling berpandangan.

"yaa, kau tahu kan bahwa ayah sudah menjodohkanmu dengan Laura?"

"aku tahu. tapi aku tak mau dan aku menolak 100%. aku tidak mengenal Laura dan dari reputasi yang kudengar, ia tidak sebaik Tami,"

"jelaskan tentang Tami, kalau begitu," pinta ayahnya.

Rangga menjelaskan tentang Tami, sifat, kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, latar belakang keluarga, dan bagaimana perkembangan hubungan mereka. 

"jadi kamu mengajak ayah dan ibu kesini hanya untuk membicarakan penolakan perjodohanmu dengan Laura?"

"ya, ayah. aku pikir ini sangat penting karena ini menyangkut masa depan. bukan hanya berkaitan dengan dunia politik tapi jauh lebih besar. ayah tahu bahwa cita-citaku adalah meneruskan jejak ayah dan untuk itu aku butuh pendamping yang tepat. mungkin latar belakang Laura memang sesuai, tapi kepribadiannya tidak tepat. aku sudah kenal dengan Tami dan ia sudah sangat paham dengan kegiatanku,"

"sepertinya butuh waktu..." jantung Rangga berdegup kencang menanti kalimat ibunya. "...untuk menjelaskan kepada Jacob, Vivian, dan Laura bahwa kita membatalkan pertunangan ini."

senyum Rangga mengembang. ia memandang ayah dan ibunya bergantian. "sepertinya begitu," balas ayah Rangga acuh tak acuh. Rangga benar-benar senang kali ini. ia tidak sabar untuk segera bertemu dengan Tami.

"kapan ayah dan ibu akan bertemu orang tua Tami?" tanya Rangga bersemangat.

"besok?"

ini tak bisa lebih membahagiakan lagi.


"apaaaa? orang tua kamu mau ke rumah aku besok?" 

"iya," Rangga membawa teleponnya ke balkon kamarnya, begitu sampai di rumah, ia langsung menelepon Tami. "mereka setuju membatalkan perjodohan aku dan Laura. mereka bilang memang butuh waktu, tapi ketika aku bertanya kapan mereka mau bertemu kamu, mereka bilang besok. aku juga tidak tahu kenapa begitu cepat."

"ya ampun, aku harus bagaimana?" tanya Tami panik. sekarang ia berjalan mondar-mandir di kamarnya.

"temui orang tua kamu, ceritain semuanya,"

"ah iya iya, ya udah aku kabari mami dan papi dulu," lalu dengan tergesa-gesa Tami melemparkan iPhone-nya ke kasur dan berlari ke lantai 1. lupa mematikan sambungan telepon. membuat Rangga kebingungan.


orang tua Rangga tiba menjelang waktu makan siang dan langsung akrab dengan orang tua Tami. mereka membicarakan bisnis dan kenangan-kenangan lama. baru ketika mereka berenam sudah duduk di meja makan, orang tua Rangga mulai mengutarakan maksud kedatangannya.

"anakku rupanya sudah terpincut oleh anakmu ini," ujar ayah Rangga lalu tertawa. ayah Tami ikut tertawa juga. 

"ya, begitulah. sepertinya tanpa kita sadari mereka sudah sebegini akrabnya," balas ayah Tami.

"kalau sudah begini, kita bisa apa? langsung kita nikahkan saja mereka?" ayah Rangga berkata sambil tertawa seakan membicarakan lelucon Sule di TV.

Tami dan Rangga tersedak makanan masing-masing.

"lebih baik kita tanya dulu pada mereka, apakah mereka siap menikah atau jangan-jangan masih ingin bermain-main?"

keempat orang dewasa menoleh memandang Tami dan Rangga yang langsung memandang piring masing-masing. 

"Aldo, Tami, apa kalian hanya memiliki satu pacar?" tanya ayah Tami. Rangga bengong dan Tami mengernyit memandang ayahnya. "hanya memastikan. sepertinya memang hanya satu. hahaha."

"apa kalian sudah yakin untuk melanjutkan ke tingkat hubungan yang lebih serius? pernikahan bukan hal yang mudah," tanya bapak mantan presiden.

Rangga menganguk mantap. sementara Tami tersenyum dan berkata, "insya Allah, om."

"kalau begitu kita harus segera mengatur pesta pertunangan mereka sesegera mungkin kan?" 

***

tiga bulan kemudian, Gili Trawangan, Bali. 

pernikahan Wahyu dan Quro tidak diadakan secara besar-besaran. hanya kerabat dekat saja yang hadir. satu resort sudah disewa untuk pernikahan mereka. Tami mondar mandir di samping pantai. Yati, Dewi, dan Tika berhalangan hadir karena baru melahirkan, mereka kirim salam untuk Wahyu dan mempelai. kali ini Clark menyempatkan hadir. Rama, Budi, Clark, Andi, dan Riyani semuanya berada di dalam dan mengobrol santai. tapi santai bukan kata yang tepat untuk Tami. calon suaminya yang seharusnya sudah sampai di Gili Trawangan sejak 5 jam lalu sekarang belum tampak batang hidungnya. 

"Rangga belum dateng juga, Tam?" Clark berdiri di sebelahnya, melipat tangan lalu memandang laut.

"belum," jawab Tami cemas. "dia ada rakernas partainya di Denpasar. dia bilang siang udah selesai, tapi sampe jam segini belum dateng juga,"

"udah coba ditelepon?" 

"udah. gak diangkat. gak tau deh lagi ngapain," perasaan Tami antara cemas bercampur kesal. Rangga senang sekali membuatnya merasa seperti ini. termasuk saat pesta pertunangan mereka 2 bulan lalu. Rangga hampir datang terlambat di rumahnya, hanya karena ia terlalu baik dan enggan menolak stafnya yang membutuhkan bantuannya. saat itu juga handphone-nya mati. "Rangga tuh sering banget kayak gini,"

"I know," balas Clark, mengangkat bahu. "tapi kecuali ada telepon yang mengatakan dia kecelakaan atau apapun, kamu harusnya tenang-tenang saja. ayo masuk, sudah mulai pasang,"

Tami ragu-ragu sejenak lalu mengikuti Clark masuk ke resort. lampu-lampu dekorasi sudah mulai dinyalakan. pesta pernikahan Wahyu dan Quro akan menjadi pesta taman yang manis sekali.

baru beberapa langkah menuju resort, terdengar bunyi helikopter dan Tami langsung menoleh memandang sumber suara. helikopter itu mendarat perlahan dan sebelum benar-benar menyentuh pasir, seseorang sudah melompat turun dan helikopter itu langsung terbang lagi.

"ALDO!" begitulah Tami memanggil Rangga kalau ia sudah terlampau kesal. Rangga malah nyengir dan segera menghampiri calon istrinya. Clark tersenyum lalu berjalan lebih dulu ke dalam resort. Tami sudah siap menghujaninya dengan berbagai keluhan namun Rangga dengan cepat mengecup pipi Tami dan membuatnya diam.

"ayo," kata Rangga ceria dan mereka memasuki resort sambil bergandengan tangan.

ternyata acara akad nikah sedang berlangsung. tepat ketika Tami dan Rangga memasuki halaman tempat akad nikah berlangsung, tepat saat itu pula hadirin berkata, "SAH!" Tami menghela nafas kecewa karena gagal melihat ijab kabul sahabatnya. namun tak lama kemudian ia sudah ceria kembali karena berkumpul dengan sahabat-sahabatnya.

"fix deh tinggal kalian berdua doang yang udah punya pasangan tapi belum nikah diantara kita bersepuluh, Clark gak masuk itungan kan dia masih kuliah" kata Rama ketika mereka sedang menunggu kemunculan kembali Wahyu dan Quro.

"iya nih, bakal begini terus sampe 10 tahun ke depan kayaknya," ujar Rangga iseng.

"APA?" Tami langsung melotot dan mencubit keras lengan Rangga.

"aw aw aw, maaf maaf sayang, bercanda," Rangga nyengir.

"awas aja kalau beneran 10 tahun kita belom nikah juga. lewat 2 tahun aja aku bakal nguber-nguber kamu kemana-mana."

"gak akan, sayang," balas Rangga masih tersenyum-senyum.

"tadi kamu bilang apa?"

"apa?"

"bukan itu, sebelumnya,"

Rangga menarik Tami lebih dekat dan berbisik di telinganya, "punya 9 sahabat membuat hidupku sempurna. tapi punya 1 orang kamu, membuat hidupku jauh lebih sempurna. kamu semangatku, aku sayang kamu,"

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?