bersamamu
Tami sedang mudah marah akhir-akhir ini. ia bisa tiba-tiba diam, tiba-tiba menangis, tiba-tiba mengeluh, tiba-tiba marah. sasarannya siapa lagi kalau bukan Rangga, Aldo. semua ini karena persiapan pernikahan mereka 6 bulan lagi. setiap Tami mengeluh, Aldo selalu bilang, "santai, masih 6 bulan lagi," yang kemudian mendapat ceramah panjang lebar dari Tami. katanya persiapan nikah gak boleh mendadak lah, pengen semuanya perfect lah, biar gak keduluan orang lain lah. maka setelah itu Aldo hanya diam dan mengangguk saja. respon paling aman.
rupanya tidak hanya Tami yang sibuk kesana kemari. ibu Tami dan ibu Aldo keduanya tidak kalah heboh. namun yang membuat Aldo sedikit sebal adalah ibunya, yang sejak pesta pertunanyannya dengan Tami dilaksanakan, jadi jauh mengurangi kegiatan-kegiatannya dan lebih banyak di rumah, membantu persiapan pernikahan dan selalu merecoki Aldo dengan segala wejangan pra dan pasca resepsi.
Aldo sendiri sebenarnya tidak mau ambil pusing terhadap masalah pernikahan ini. ia bahkan sempat mengusulkan untuk menggunakan jasa EO agar mereka tinggal terima jadi. namun usul ini langsung ditolak mentah-mentah oleh para wanita, yang berkeras mempersiapkan semuanya sendiri. para pria hanya bisa mengangkat bahu. 'penolakan' Aldo terhadap kesulitan pra pernikahan sering kali terjadi. seperti...
"sayang, kamu nanti sore bisa ikut fitting kan?" Tami menelepon Aldo di waktu jam makan siang. Aldo sendiri baru keluar dari ruang meeting dan sedang bergerak untuk meeting berikutnya.
"nanti sore? aku gak bisa say, nanti sore aku ke Surabaya, survey lapangan,"
"haaaa? kok kamu gak bilang? bikin janjinya kan susaahh," Tami mulai merepet, dalam hati Aldo berpikir, mulai deh.
"kan masih lama, besok lusa juga bisa fittingnya,"
"ini kan desainer terkenal, bikin janji fittingnya aja susah. lagian kan aku mau fitting sama ownernya langsung,"
"bulan depan juga bisa," jawab Aldo kalem.
"haaah? gak bisa, gak bisa. gak bisa bulan depan. aduuuh,"
"memangnya kamu mau bikin kebaya dimana sih?"
"Anne Avantie dong,"
Aldo menggaruk kepalanya. "kamu aja ya yang kesana. disana harusnya ada ukuranku, aku bikin jas buat ke nikahan Wahyu disana kok. nanti kamu diskusiin desainnya kayak gimana. aku terima jadi aja. oke say? love you,"
itu satu. yang lainnya...
"yang, undangannya yang tipis atau yang tebel ya?" tanya Tami sambil membolak-balik contoh undangan dalam berbagai warna dan ukuran. saat itu akhir pekan. Tami memaksa Aldo menemaninya menentukan undangan/
"hmm,"
"yang tebel aja kayaknya oke deh. biar gak dibuang kalau acaranya udah selesai. terus nanti ditambahin apa gitu, biar bermanfaat. apa ya? undangan merangkap pigura gimana yang?"
"hmm,"
"iya deh gitu aja keren kali ya. warnanya biru tua sama biru muda ya yang? warna kamu dan aku banget kan?"
"hmm,"
"cetak berapa ya? 1000 kebanyakan gak yang? eh tapi aku belum dapet list undangan orang tua kamu sama orang tua aku sih,"
"hmm,"
"kenapa sih hmm mulu daritadi?" dan sebuah tas melayang ke pundak Aldo.
lainnya...
Tami dan Aldo sedang berada di halaman belakang rumah Tami. Aldo dan Tami sama-sama menekuni laptopnya. Aldo untuk alasan pekerjaan sementara Tami sedang mencari tempat resepsi pernikahan mereka.
"nanti akad nikahnya pagi-pagi kan ya?"
"iya," jawab Aldo singkat.
"berarti mesjidnya yang deket rumah kita aja biar bisa pulang dulu. agak siangan baru berangkat ke tempat resepsinya,"
"boleh," timpal Aldo. kali ini ia berusaha mengeluarkan komentar singkat dalam berbagai kalimat.
"resepsinya malem, standing party, dan harus ada temanya biar seru,"
"oke,"
"temanya kayak kerajaan-kerajaan Mesir, Jepang, Inggris, atau Perancis gitu ya?"
"bisa,"
"eh atau full 1 warna juga bisa. warna biru aja,"
"yup,"
"lokasi resepsinya ntar di Jakarta Pusat aja gimana? biar gampang gitu orang darimana-mana buat datengnya,"
"silakan,"
Tami melirik Aldo dengan tatapan jengkel. lalu iseng bertanya, "aku nikah sama orang lain aja ya?"
"boleh banget," Aldo membeku sedetik setelah menjawab pertanyaan Tami. baru sadar bahwa pertanyaan Tami berbeda tema dengan yang tadi dilontarkannya. "eh, gak maksud say,"
"huuuh," Tami mencubit Aldo sekuat tenaga.
contoh lagi...
"kamu mau bulan madu kita kemana?" Tami mengunjungi kantor Aldo di waktu makan siang. katanya di kantornya sendiri sedang cukup senggang.
"kemana aja terserah kamu,"
"hmm," Tami mengeluarkan iPad dan mulai browsing. "temen aku ada yang punya travel gitu, dia pasti bisa ngerekomendasiin tempat-tempat bagus. nah ini misalnya... Jepang, Sakura! ada Disneyland-nya juga."
"terlalu biasa, gak perlu bulan madu juga kita bisa kesana,"
"kalo Greenland gimana, biar gak mainstream?"
"terlalu dingin, baju-baju kamu kan tipis semua,"
"aku selalu pengen ke Bora-Bora! di Polinesia," seru Tami berseri-seri.
"terlalu bagus, ntar gak pulang-pulang,"
"kalau gitu kapal pesiar aja ya!"
"ntar kayak Titanic,"
"kandang kambing aja sekalian!" seru Tami jengkel lalu pergi.
***
hari Senin dan Tami merasa luar biasa mengantuk. semalaman ia dan ibunya menyusun to do list untuk persiapan pernikahan yang rupanya banyak sekali. menyangkut tempat, catering, pengisi acara, petugas KUA, penghulu, surat-surat, desain undangan, list undangan, catering, pilihan menu, desain gaun, dan masih banyak lagi. setelah dihitung-hitung, belum ada satu pun yang fix sementara pernikahannya 6 bulan lagi.
"halo," jawab Tami lemas, ia sedang menelungkup di mejanya ketika Rama menelepon.
"halo calon penganten? lemes banget?"
"ngantuk," jawab Tami lesu.
"heh kan lagi di kantor, gak boleh ngantuk. kerja, kerja!" seru Rama.
"ga ada kerjaan,"
"baguslah, ya udah tidur, ntar siang kita ketemu ya, Starbucks deket kantor lo. gue traktir,"
"hmph," lalu Tami tertidur.
"apa?" sahut Tami begitu Rama memasuki Starbucks dan menghampiri Tami yang sudah duduk lebih dulu.
"gitu amat sih sambutannya," Rama dan Tami saling mengecup pipi kiri dan kanan lalu duduk berhadapan.
"lo udah denger kabar dari Andi? katanya Riyani lagi hamil, udah 4 bulan," kata Rama.
"belum! aaa demi apa? wuah asik bangeeetttt, gue harus ngucapin selamat nih," buru-buru Tami mengeluarkan iPhone dan mengirim pesan singkat kepada Andi. dipenuhi emoticon-emoticon khas cewek. "tinggal lo dong yang udah nikah tapi belom akan punya anak?"
Rama menggeleng sambil tersenyum penuh arti. "jangan salah, udah 3 bulan nih gue,"
"aaaaaaaaaaaaaaaa gilaaaaa, temen-temen gue udah pada punya anak!" Tami menjerit histeris sampai beberapa pengunjung memperhatikannya tapi ia tidak peduli.
"manner oi,"
"bodo, seneng gue nih,"
"tapi gak sampe bikin seluruh dunia gempar juga kan?" sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakang Tami. ia cepat-cepat menoleh lalu menekap mulutnya.
"apa kabar, Mi?" ujar seseorang yang tadi berbicara dan membuat Tami menutup mulutnya.
"ba-ba-baik, ka-kamu ngapain di-disini?"
"kantorku di ujung sana, biasa makan siang disini, kamu sendiri?" orang itu bertanya lagi. dengan senyum semakin lebar tersungging di bibirnya.
"nemenin temen," jawab Tami singkat lalu berbalik menghadap Rama dan mengisyaratkan untuk segera keluar. Rama mengerti lalu bergegas mengikuti Tami. di depan JCo, Tami berhenti berjalan dan berusaha mengatur nafas dan ekspresinya.
"tadi siapa?" tanya Rama.
"mantan pacar gue waktu SMP,"
***
"tadi si Tami ketemu mantannya," ujar Rama setelah ia dan Tami berpisah. Rama langsung menelepon Rangga.
"terus?"
"terus lo mundur aja ampe nabrak, baru deh berhenti. heh emangnya gue tukang parkir?"
Rangga tertawa. "maksud gue, memangnya kenapa kalau Tami ketemu mantan pacarnya?"
"ih lo ya mentang-mentang gak pernah punya pacar,"
"gue kan gak punya pacar karena perasaan gue buat Tami seorang dari gue kecil,"
"iya deh. jadi itu mantan pacarnya satu-satunya, gue heran kenapa kalian irit banget sih pacarannya. nah mereka pacarannya udah lama tuh, putus pas masuk SMA. bukan dari kalangan kita jadi mungkin lo gak kenal," Rama mengulang apa yang diceritakan Tami tadi.
"lalu masalahnya dimana?"
"masalahnya mungkin aja Tami masih suka sama dia, bego!" gerutu Rama, kesal kenapa Rangga 'lemot'.
"lho emangnya Tami bilang gitu sama lo?" Rangga berusaha membuat suaranya terdengar tenang padahal dalam hati langsung deg-degan.
"nggak, tapi dia gugup banget waktu ketemu mantannya. kalo udah gak ada apa-apa kan harusnya biasa aja," Rama malah bicara semakin santai, bahkan sambil meneliti kuku-kukunya yang belum di-manicure.
sebaliknya, Rangga malah semakin cemas. rasanya ia ingin langsung terbang bertemu Tami hanya saja ia masih punya segambreng hal yang harus dikerjakan.
"tapi kalau Tami gak ngomongin apa-apa, gak usah dibahas ya Ga. kayaknya Tami juga gak mau ngungkit-ngungkit itu," kata Rama lagi.
"oke," Rangga menelan ludah.
malam itu Aldo alias Rangga menyempatkan diri pulang cepat dan mengunjungi rumah Tami.
"halo," sapa Aldo dari balik sebuket bunga mawar pink begitu Tami membukakan pintu rumah.
"hai sayang," balas Tami lalu mengambil bunga dari tangan Aldo. "sini masuk. kamu udah makan?"
"belum, tadi abis ngantor langsung kesini,"
"kebetulan, aku baru selese latihan masak, kamu cobain ya?" kata Tami berseri-seri.
"aku gak akan sakit perut kan?"
"enak aja," Tami tersenyum lalu mencubit hidung Aldo. berdua, mereka berjalan menuju dapur dimana ada ibu dan pembantu Tami juga. Aldo menyapa ibu Tami lalu duduk di kursi dapur.
"nih, masih sederhana sih masaknya, tadi kata mami sama bibik udah enak," Tami menyodorkan mangkuk berisi hasil masakannya, cap cay ala masakan Cina. Aldo mengisi piringnya dengan nasi lalu menuangkan masakan Tami dan mencobanya perlahan.
"enak kok. masaknya pake cinta sih ya?" Aldo tersenyum, diikuti Tami dan ibunya juga pembantunya. "kamu udah makan juga belom?"
"belom sih, tapi udah kenyang ngeliat masakan sendiri," jawab Tami sambil mengambilkan minum untuk Aldo.
ibu dan pembantu Tami meninggalkan Tami dan Aldo berdua di dapur. sementara Aldo makan, Tami memperhatikan saja.
"tadi siang katanya ketemu Rama ya?"
"iya! coba tebak, dia lagi hamil lho, 3 bulan!" Tami bercerita dengan bersemangat. "berarti semua temen kita yang udah nikah udah punya anak juga. seru banget yaaaa,"
"gitu deh, sekalinya kita ngumpul bareng lagi, udah rame sama anak-anak kecil, rame sama yang teriak-teriak sama yang nangis," kata Aldo kalem.
"kan jadinya makin seru, nanti..." belum sempat Tami menyelesaikan kalimatnya, Aldo sudah menyela. "katanya kamu ketemu mantan pacar kamu pas SMP,"
sesungguhnya Aldo tak berniat menanyakan hal tersebut, tapi kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. membuat mereka berdua terdiam.
"iya," Tami membenarkan dengan suara pelan.
"kamu gak pernah cerita,"
"buat apa?"
"ya supaya kita saling tau dengan jelas aja kan?" kata Aldo kalem, belum menyadari bahwa Tami sudah mulai terganggu.
"aku gak cerita karena gak ngerasa itu penting, lagian aku pacaran sama dia kan sebelum kenal sama kamu," nada suara Tami mulai naik satu oktaf.
"tapi aku juga perlu tau apa yang pernah terjadi sama kamu di masa lalu kan?"
"gak penting tau, kamu juga gak pernah cerita,"
"karena gak ada yang aku sembunyikan dari kamu,"
"aku gak nyembunyiin apa-apa dari kamu, aku cuma gak cerita aja," Tami semakin geram dan kesal, tapi Aldo masih santai saja, meski kata-katanya banyak menuntut.
"apa bedanya?"
"jelas beda dong, kalau nyembunyiin, itu artinya aku gak mau kamu tau sedikit pun. tapi aku gak cerita, yang artinya gak masalah kalau kamu tau, tapi bukan respon kayak gini yang aku mau!" sedikit lagi Tami pasti berteriak. tangannya sudah gemetar.
"kamu mau aku kayak gimana? minta kamu balikan lagi sama dia?"
"kamu kok kayak gitu? aku udah putus sama dia dari lama. gak perlu kamu ungkit-ungkit lagi sekarang. udah basi banget tau gak!" akhirnya Tami benar-benar berteriak. Aldo meletakkan sendok dan garpu yang tadi dipakainya. ia tahu bahwa ini sudah kelewatan, tapi entah kenapa Aldo sendiri tidak berusaha menghentikan menyiram minyak ke dalam api.
"aku cuma mau tau dari kamu," ujar Aldo pelan.
"gak perlu, kamu udah bisa nebak sendiri kayaknya," balas Tami ketus. ia menolak memandang Aldo. wajahnya merah.
"aku pulang," terdengar suara kursi bergeser dan suara langkah kaki menjauhi dapur. Tami langsung berlari ke kamarnya. super kesal dan jengkel.
***
seminggu berlalu setelah pertengkaran mereka. Tami memang masih mengurus persiapan pernikahan dirinya dengan Aldo tapi tanpa interaksi apapun antara mereka dan sesungguhnya Tami tidak sebegitu bersemangatnya. siang ini ia merenung lagi di Starbucks, kedai favoritnya sejak jaman SMA. memandang keluar jendela, tak peduli orang-orang di luar balas memandanginya.
"aku gak pernah ingat kamu orang yang suka menyendiri," Tami mendongak. "biasanya kamu dikelilingi minimal 3 orang,"
Tami mendengus lalu tersenyum samar. "biasanya kan gak berarti selalu,"
"may I?" mantan pacarnya itu menunjuk kursi di depan Tami yang dibalas dengan anggukan. "sedang memikirkan sesuatu?"
"hmm, no, er, yes," Tami menjawab bimbang. Restu menaikkan alisnya. "yes, actually yes. tapi aku gak akan cerita sama kamu,"
"no problem." Restu mengangkat bahu. "bagaimana kehidupanmu sekarang?"
"fine,"
"not really fine, I think?"
Tami tertawa, tapi tawanya hampa. ia memainkan cup minuman di tangannya. sebisa mungkin tidak memandang Restu. bukannya ia masih menyukai Restu...
"aku lihat kamu bertunangan. betul?"
kali ini Tami mau tidak mau mendongak, memastikan bahwa apa yang baru saja didengarnya bukan ilusi semata. "how do you know?"
"television. calon suami kamu orang terkenal kan? dan aku kaget karena ia ternyata bertunangan dengan . . . orang yang aku kenal,"
Tami memandangi jendela lagi. memikirkan Aldo lagi rasanya sedih, apalagi sekarang kalau ia melihat dengan siapa Tami sedang mengobrol sekarang.
"kamu sendiri gimana, Res?"
"my life is good, never been better than this before," jawab Restu sambil tersenyum dan membuka kedua tangannya. seakan ingin menunjukkan banyak hal yang berhasil ia dapatkan. Tami ingat bahwa Restu bukan dari golongan atas seperti dirinya atau Aldo. Restu hanya anak seorang guru SMA dan ibunya seorang perawat. "i have a job that pays me billion rupiahs each month, they give me a car, a house, vacation every two month, every month if you are smarter, and job trip twice a month, minimum."
lagi-lagi Tami tersenyum. ikut senang bahwa Restu sudah menjadi orang yang sukses.
"but my life have not completed yet, Tami. if you know what I mean," ekspresi Restu berubah sedih, namun binar semangat masih ada di matanya.
"maksudmu, kamu belum nikah?"
Restu menggeleng. ia memainkan jam tangan di pergelangan tangan kirinya. seingat Tami, itu kebiasaan Restu kalau sedang gugup atau memikirkan sesuatu. "kamu tau kenapa aku berusaha sekeras ini? menjadi seseorang yang 'berada'?"
Tami menggeleng, tapi firasatnya tidak enak.
"untukmu. kamu yang anak orang kaya tapi tidak sekalipun bertingkah seakan-akan uang adalah segalanya, bahkan sampai bersedia menerima aku yang mungkin disebut miskin untuk ukuran keluargamu. aku berusaha sekeras mungkin agar bisa sepadan denganmu,"
seakan-akan petir memutuskan untuk menyambar langit meski saat itu langit cerah.
"tapi kamu yang putusin aku,"
Restu tersenyum pahit.
"semua itu gara-gara teman-temanmu, mereka bilang aku tidak sesuai untukmu. mereka benar. maka aku terpaksa memintamu putus denganku sampai aku berhasil. sampai aku sukses dan bisa memintamu kembali,"
"ha ha," Tami tertawa getir. "jangan bercanda,"
"kamu pasti mau bilang bahwa semuanya sudah terlambat. ya kan? dengan alasan kamu sudah mau menikah. tapi kamu belum menikah, Tami. setidaknya masih ada kesempatan untukku kan? bahkan sepertinya Tuhan mendukungku dengan mempertemukan kita disini. pikirkanlah. kita mungkin akan sering bertemu, ini kartu namaku. sampai nanti," Restu mengulurkan kartu namanya lalu tersenyum, senyum yang sempat menentramkan hatinya bertahun lalu.
seakan belum cukup beban yang dipikulnya, malam itu Tami mendapatkan berita dari ibunya bahwa partai Aldo sedang mengadakan pertemuan di Manado selama seminggu dan Aldo sama sekali tidak memberinya kabar. Tami kesal sekali. dianggap apa dirinya ini? kenapa Aldo tidak memberitahunya? Tami bahkan terlalu jengkel untuk bertanya hal itu pada Aldo. sebagai gantinya, Tami melempar barang-barangnya ke kasur dan tanpa sengaja menendang ujung meja rias yang membuat kakinya sakit sekali. barulah ia berhenti marah-marah.
"Tami?" pintu kamarnya terbuka dan ayahnya muncul.
"iya pap, aw, duh,"
ayahnya melihat Tami yang kesakitan sambil memegang kakinya namun tidak bertanya. "lusa papi mau ke kantor cabang di Semarang, Surabaya, Padang, Manado, Banda Aceh, Palembang, sama apa ya, oh Papua. papi pengen kamu ikut. bisa?"
"bisa, aw, bisa pap,"
"persiapan nikahan kamu gimana?"
"nanti mami sama ibu aja yang ngurus, sementara tinggal konfirm gedung, catering, sama baju. sisanya nanti Tami urus kalau udah pulang." jawab Tami sambil memijit jari kelingking kakinya yang terasa sakit sekali.
"baiklah, lusa flight pagi ya, dan itu jari kamu awas bengkak, nanti gak cukup pake sepatu pengantinnya," ayah Tami tersenyum jahil lalu keluar.
***
perjalanan itu memakan waktu hampir sebulan sehingga ketika Tami dan ayahnya kembali ke Jakarta, sudah 5 bulan menuju pernikahannya. perjalanan ini menyangkut pendataan perkembangan bank syariah milik keluarganya, melihat respon pasar dan masalah-masalah apa yang dihadapi, juga masalah ataupun hambatan yang dimiliki di setiap kantor cabang. menurut ayahnya, perjalanan ini penting agar Tami tahu gambaran perusahaan yang akan dipimpinnya.
selama 1 bulan itu pula Tami masih tidak berkomunikasi dengan Aldo. seharusnya keduanya bisa menyempatkan waktu untuk saling menghubungi, bahkan sekedar mengirimkan pesan singkat. tapi nampaknya Tami terlalu keras kepala dan Aldo terlalu takut salah bicara sehingga tak ada satupun yang berinisiatif menghubungi duluan. beruntung bahwa keempat orang tua mereka tidak ada satupun yang menyadari masalah ini. persiapa pernikahan pun berjalan lancar.
masalahnya, Tami malah lebih sering berkomunikasi dengan Restu. sejak pertemuan mereka sebelum Tami berangkat, ia menghubungi Restu sekali, sekadar memberi tahu nomor teleponnya dan itu memicu Restu untuk lebih sering menghubunginya. bahkan membuat Restu lebih tahu jadwal Tami daripada Aldo. seperti sekarang...
"aku gak akan nyaranin kamu ngasih ini," Restu memainkan action figure seorang superhero di tangannya. saat ini Restu dan Tami sedang berada di PAcific Place--sepulang bekerja tadi Restu menjemput Tami di kantornya--mencari hadiah ulang tahun untuk sepupu laki-laki Tami yang akan berulang tahun ke-15 minggu depan.
"why not? kan mainan kayak gini cocok buat anak cowok," Tami memperhatikan mainan di tangan Restu.
"cowok kayak apa dulu. kalau memang maniak, bisa aja. tapi kalau nggak, mainan kayak gini stop dikasih ke cowok lewat dari usia 10 tahun. sepupu kamu anak macam apa?" Restu memberikan mainan tersebut ke petugas toko dan berjalan lebih dulu keluar dari counter mainan. di belakangnya Tami mengikuti.
"he's a geek. setiap ketemu pasti dia suka ceritain buku yang baru dia baca,"
"jarang banget anak usia 15 tahun suka baca sampai segitunya?" Restu terheran-heran.
"yeah, he's one of a kind," jawab Tami sedikit bangga.
"then you should go there," Restu mengarahkan jempolnya ke Books & Beyond, toko buku yang menjual buku-buku impor.
"whoa," ujar Tami bersemangat. segera saja mereka berdua sudah disana, menyusuri rak demi rak buku berbahasa Inggris. "agak bingung mau ngasih apa, ada kemungkinan dia udah punya buku ini semua,"
"semua? sebanyak ini?" Restu kaget.
"bibi dan pamanku seneng banget beliin dia buku, juga kakak-kakaknya. dan mereka sering banget bolak-balik ke luar negeri, jadi bukan masalah susah kalau mau ngasih buku cetakan asli luar negeri," Tami menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. bingung menatap deretan buku anak-anak.
"ini udah punya juga?" Restu mengangkat satu bundel buku karya Roald Dahl yang dicetak ulang dengan sampul baru.
"kayaknya belum, ya udah aku ambil ini aja," mata Tami berbinar-binar melihat banyak buku karya pengarang Inggris itu. kapan-kapan Tami berminat meminjam buku itu dari sepupunya.
setelah membayar dan membungkus kado itu, Tami dan Restu melangkah perlahan, mengobrol tentang pekerjaan masing-masing atau sekedar film yang diputar di bioskop. beberapa kali Tami merasa Restu berusaha memegang tangannya, namun Tami juga berusaha tidak kalah kerasnya untuk menjauhkan tangannya dari Restu tanpa terlihat sengaja.
"wanna have some dinner?" tanya Restu sambil memandang ke beberapa restoran di sekitar mereka.
"err, I'm not really hungry," jawab Tami
"are your sure? kalo gitu kamu temenin aku aja," tanpa sempat dicegah, Restu sudah menarik tangan Tami dan bermaksud memasuki Restoran Jepang Aji Tei namun langkah mereka terhenti ketika melihat siapa yang keluar dari sana.
Tami segera menarik tangannya dari pegangan Restu. rupanya Restu juga menyadari penarikan diri Tami karena ia menolah sesaat kepada Tami kemudian memandang kembali ke sesosok orang yang berdiri sama terpakunya seperti mereka. di belakangnya, ada beberapa orang asing yang bicara bahasa Jepang atau Inggris. Aldo membungkuk dan mengucapkan beberapa patah kata yang sepertinya berpamitan karena orang-orang itu mengangguk dan melambai. sementara itu Tami dan Restu diam memperhatikan kejadian itu. setelah selesai berpamitan, Aldo menghampiri Tami. ekspresi wajahnya sulit ditebak. Tami sudah takut ia akan dimarahi meskipun ia tahu bahwa Aldo bukan tipe orang pemarah, apalagi memarahinya di tempat umum.
"ayo pulang," hanya dua kata itu yang terucap dari mulut Aldo. ia menarik tangan Tami dan berjalan tanpa melirik Restu. sementara itu Tami ikut dengan patuh dan melempar pandangan minta maaf kepada Restu. ekspresi Restu seakan-akan bicara, "mau bagaimana lagi?"
keduanya tidak berkata apapun sampai mobil Aldo berhenti di depan pagar rumah Tami.
"aku gak pernah berpikir..." Aldo memulai.
"dia cuma nemenin aku beli kado," sela Tami cepat-cepat.
marah akan membuat kondisi jauh lebih baik. tapi Aldo hanya menghela nafas dan menutup wajahnya.
"so he is..." Aldo mau berbicara tapi disela lagi oleh Tami.
"my Ex," jawab Tami, untuk menjelaskan bahwa Restu hanya bagian dari masa lalunya.
Aldo memandang lurus ke depan tangannya menegang sambil memegang setir mobil. "sepertinya kita harus meninjau ulang rencana pernikahan kita dan kita juga gak usah ketemu dulu selama beberapa waktu,"
Tami kaget sekali mendengar hal itu. "maksud kamu gimana?"
"hanya menunda, bukan membatalkan. sepertinya masih perlu waktu untuk kita berdua supaya benar-benar siap untuk menikah. sementara itu, lebih baik kita gak ketemu,"
Tami tersinggung. setelah semua persiapan (walaupun belum ada yang benar-benar fix, tadi pagi ibunya mengabari) tiba-tiba Aldo memutuskan untuk menunda? kenapa mudah sekali dia bicara begitu?
"aku akan mengabari orang tuaku dan sebaiknya kamu juga memberi tahu orang tua kamu," Aldo bicara masih tanpa memandang Tami, seakan-akan ia sedang bicara sendiri. di sebelahnya, ekspresi Tami seakan-akan Aldo baru saja berkata ia adalah seorang Yakuza.
"terserah kamu!" Tami membuka pintu mobil, membantingnya agar menutup lalu berlari menuju rumahnya. satpam merasa kebingungan dengan tingkah nonanya tapi tidak berkata apa-apa. Tami terus berlari dengan menimbulkan suara bising. ibunya keluar dari dapur.
"ada apa?"
Tami diam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia akan bercerita atau tidak. tapi akhirnya air matanya tak terbendung dan ia menangis sambil berdiri.
***
"are you both crazy? penundaan? dan entah sampai kapan?"
Tami memainkan salad buah tanpa bermaksud mencicipinya. ia, Rama, Budi, Andi, dan Riyani duduk melingkari meja makan. Tami, Budi, dan Rama mengunjungi Andi dan Riyani di Denpasar di akhir pekan. sekaligus melihat kondisi kehamilan Riyani. tadinya Tami tidak bermaksud menceritakan penundaan pernikahannya. tapi mereka tahu begitu saja dan meminta Tami bercerita secara lengkap.
Rama memandang teman-temannya bergantian. nampaknya ia satu-satunya orang di meja itu yang masih meragukan cerita Tami. sementara Riyani hanya cemas dan Andi Budi diam saja. Tami terus menunduk.
"kita gak usah ngomongin ini lagi deh," seru Tami dan melempar garpunya sehingga menimbulkan denting keras. ia berjalan ke halaman belakang rumah Riyani dan Andi lalu duduk di salah satu ayunan rotan. di belakangnya Tami bisa merasakan Rama, Budi, Andi, dan Riyani membicarakan masalahnya. Tami sendiri sudah lelah.
seakan tahu bahwa ada masalah, Restu tidak menghubunginya, lebih tepatnya tidak menghubungi Tami sesering dulu. Tami juga enggan bercerita pada Restu tentang masalah yang dihadapinya. ia juga tidak bisa menyalahkan Restu, toh memang bukan Restu alasan utama Aldo menunda pernikahan mereka.
perlahan, Tami menyanyikan lagu Adele, Someone Like You. ketika Tami diam, burung Kakatua milik Andi dan Riyani menirukan nyanyiannya. Tami berbalik dan melihat burung itu bernyanyi sambil melompat-lompat. pemandangan itu cukup membuat Tami tertawa, meski hatinya belum benar-benar lega.
***
"gue gak tau deh apa yang ada di pikiran si Rangga," Rama menekan piringnya menggunakan garpu sehingga menimbukan bunyi berisik.
"berisik, wifey," kata Budi lembut dan Rama langsung menghentikan kegiatannya.
"nunda pernikahan? itu tuh sama aja kayak dia gak mau lanjutin nikah. padahal alasannya apa coba? Tami kan gak selingkuh!" Rama melanjutkan lagi. kali ini sambil menggenggam erat gelas berisi jus jeruk.
"mungkin selain itu ada alasan lain?" Andi bersuara. Rama menoleh memandangnya. "mungkin sebenarnya Rangga sendiri belum siap akan pernikahan ini. bukan karena ada masalah dengan Tami tapi lebih ke arah dirinya sendiri. nyatanya ada masalah Tami dan mantannya sehingga ia merasa butuh waktu."
Rama mempertimbangkan pendapat Andi dan kemudian mengangguk. "bisa jadi. tapi kenapa Rangga gak bilang dari awal kalau dia belum siap? setidaknya kan persiapannya gak perlu dimulai?"
"karena dia gak mau mengecewakan Tami dan orang tuanya yang begitu bersemangat? dan dia sendiri berpikir lama kelamaan dia akan siap?" giliran Budi mengemukakan pendapatnya, masih sambil menikmati salad.
"yang jelas semua ini harusnya diomongin bener-bener. jangan ampe kita berspekulasi macem-macem tapi gak tau aslinya gimana. ya kita sih gapapa ya, tapi Tami kan harus tahu yang sebenernya. Rangga juga gak bisa diem gitu aja. gak bisa seenaknya bilang nunda terus kayak gak ada apa-apa," lagi-lagi Rama yang paling bersemangat membahas masalah ini. ia mengambil Blackberry miliknya dan berdiri.
"kemana?" tanya Budi.
"nelepon Rangga," jawab Rama singkat lalu menjauhi meja makan.
"halo," Rangga mengangkat telepon setelah Rama tiga kali mencoba menghubunginya.
"kemana aja lo?" tanya Rama ketus.
"biasa, meeting," jawab Rangga.
"gue lagi di Bali,"
"iya tau, Andi bilang sama gue tadi malem. Tami apa kabar?"
"kebeneran lo nyebut nama-nama Tami. lo gimana sih? gila ya?"
Rangga menghela nafas, ia melonggarkan dasinya sedikit. "ini pengaruh bayi ya makanya lo marah-marah mulu ke gue? dulu lo gak gini deh, Ram,"
"kali," Rama membalas cuek.
"gue banyak mikir kemaren-kemaren tuh, makanya gue memutuskan buat nunda pernikahan ini,"
"kesannya kayak lo gak mau lanjut nikah tauk,"
"haha. gak mungkin, Rama. lo kan tau gimana perasaan gue ke dia. cuma ya ini masalah di guenya sih,"
"harusnya lo bilang dengan jelas ke Tami. jangan sampe dia bingung. dia kan gak tau alasan sebenernya sampe lo minta nunda. dia ngira ada yang salah dari dia dan dia sedih banget dari kemaren. padahal ini Bali lho, Bali! tempat kalian jadian dan tempat Wahyu dan Quro nikah, tempat ah tempat keren banget lah ini. tapi dia murung terus."
"gue minta maaf. secepatnya gue bakal ketemu dia,"
"jangan minta maaf sama gue. kalo lo gak buru-buru ketemu, gue khawatir. sangat. dia masih nerima telepon dari mantannya,"
perut Rangga seakan ditonjok mendengar kalimat itu. "bakal gue beresin secepatnya."
"pegang kata-kata lo, Ga. jangan sepik doang,"
***
namun tidak ada pertemuan apapun sepanjang satu bulan ke depan antara Tami dan Aldo. Aldo harus berangkat ke luar negeri beberapa lama, membuat kesempatan mereka bicara semakin tipis. kesalahpahaman semakin menggantung diantara mereka. bagai awan mendung berwarna hitam pekat dan siap menyemburkan airhujan kapan saja. Tami jadi sering menghabiskan waktu dengan teman-teman kantornya dan juga Restu. cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya yang membuat Tami ingat bahwa ia masih menjadi tunangan Aldo.
"are you still in love with him?" Restu 'menembak' Tami dengan pertanyaan yang mengganggunya selama ini.
Tami mengangkat kepala untuk memandang Restu, berpindah dari es krim yang sedang dinikmatinya.
"karena sesungguhnya aku yang masih mencintaimu hingga hari ini dan perpisahan kalian berdua ini seharusnya bisa memberi kesempatan untukku,"
Tami tersenyum, ia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Restu. "sadly, yes. i'm still in love with him, now until forever. aku pernah sayang kamu, tapi itu dulu, waktu SMP, waktu aku bahkan belum tau apa perasaan sayang yang sebenarnya."
"tapi dia bahkan pergi begitu saja, tanpa penjelasan apa-apa tentang perbuatannya,"
Tami menarik tangannya dari pipi Restu lalu kembali menekuni es krimnya.
"dia pasti kembali,"
"bagaimana jika tidak?"
"dia...pasti...kembali..."
"jika tidak?"
"i'll wait," Tami menatap langit-langit dalam usahanya mencegah air matanya keluar lagi.
"bahkan dia bisa mengubah kamu yang galak jadi perasa seperti ini," gumam Restu.
***
orang tua Tami tahu mengenai rencana penundaan pernikahan putrinya dengan Tami, alasan yang membuat putri bungsunya menjadi lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. melihat hal tersebut, ayahnya memberikan waktu libur untuk Tami.
"ada tempat yang mau kamu kunjungi? supaya lebih segar? nanti mami temani kamu," tanya ayah Tami saat mereka sedang makan malam.
"nggak deh pap. kerjaan kan lagi banyak,"
"kalau kamu gak konsen ya percuma juga kan? papi perhatiin kamu akhir-akhir ini banyak bengongnya."
Tami terdiam. ayahnya ada benarnya sih. "ke Padang aja deh pap, ketemu Yati. sekalian nengok bayinya. mami gak ikut gak apa-apa, kan masih di Indonesia,"
maka berangkatlah Tami esok harinya, langsung menuju Kota PAdang, tempat tinggal Yati. pegawai Yati yang menjemput Tami di bandara karena Yati masih harus mengurus bayinya.
"halo," sapa Tami begitu sampai di rumah Yati yang terletak di samping tokonya.
"haaai," Yati berseri-seri menghampiri Tami, mereka bersalaman dan berpelukan lalu Tami menyapa seorang bayi perempuan di gendongan Yati.
"cantik sekali, namanya siapaaa?" Tami memainkan tangan gemuk si bayi, padahal usianya baru 2 bulan.
"Gina, Tante Tami," jawab Yati sambil tertawa-tawa. Tami meminta izin menggendong Gina lalu mereka bertiga berjalan-jalan di rumah Yati, sementara Yati menyiapkan makanan, Tami menceritakan masalahnya dengan Rangga.
"dia pasti cemburu sama mantan pacar kamu itu, siapa namanya? Ratu?"
"Restu, Yati," jawab Tami sabar.
"iya, itu. Rangga sendiri kan gak pernah punya pacar. langsung suka kamu dari kecil sampai gede. mungkin pas tau kamu punya pacar pas dulu, jadi dia merasa kecewa," Tami mengangguk setuju. "dan dia harusnya cerita langsung sama kamu. Rangga tuh punya kecenderungan nyimpen sesuatu ya?"
Tami mengangguk lagi.
"udah sempet ketemu Rangga?"
Tami menggeleng.
"ya gimana dong masalahnya mau selesai. aku telepon Rangga ya?"
"gak usah, Ti. aku mau refreshing dulu disini. main-main sama GIna mungkin. kalau udah balik ke Jakarta, ntar aku usahain ngobrol sama Rangga,"
"bener ya?" Yati menatap Tami dengan pandangan menuduh.
"iya. eh ini Ginanya pipis, aku kena," Tami memandang bajunya yang basah kena ompol Gina, Yati tertawa.
Yati mengajak Tami mengunjungi berbagai objek wisata terkenal di Sumatera Barat. berhubung ia dan suaminya pemilik tunggal perusahaan makanan, jadi bukan masalah bagi mereka untuk pergi kesana kemari karena ada pegawai yang memegang kendali. Tami lebih banyak bermain dengan Hadi daripada Gina, karena Hadi lebih besar dari Gina yang sering merengek meminta ASI dari ibunya.
pada akhir pekan pertama yang dihabiskan Tami di rumah Yati, Tami berencana ingin bermain di pantai namun betapa kagetnya ia ketika keluar dari kamar, sudah banyak orang disana. Rama, Budi, Andi, Riyani, Wahyu, Quro, Tika dan suami, Dewi dan suami, bahkan Clark pun duduk di ruang tamu rumah Yati.
"kok kalian disini?!" seru Tami kaget. ia memeluk satu per satu sahabatnya, terutama Tika dan Dewi dengan bayi mereka.
"licik aja Tami liburan sendiri sama Yati terus kita-kita ditinggal," kata Dewi dengan nada pura-pura ketus tapi bibirnya tersenyum.
"sekalian nyari calon nih, katanya disini ceweknya oke," kata Clark. semuanya tertawa.
"udah waktunya lo punya istri, atau jangan-jangan dijodohin ya lo?" Rama melirik Clark lalu mengikik.
"seru banget ya. Rangga bilang kalau kita ngumpul lagi pasti rame sama anak-anak..." lalu Tami diam. sadar bahwa yang ia sebut namanya tidak ada disitu dan bahkan mereka masih bertengkar.
"ah ayo, kita main ke pantai, udah siap belom?" Rama buru-buru merangkul Tami dan mengalihkan pembicaraan. semuanya mengangguk dan buru-buru mengambil barang-barang masing-masing. bersiap ke pantai.
Pantai Nirwana adalah pantai tujuan mereka. terletak 14 km dari pusat Kota Padang. 1 mobil Yati dan 1 mobil yang mendadak disewa Clark beriringan menuju pantai. suasana di kedua mobil begitu ramai. apalagi jika bayi Yati, Tika, Dewi, bergiliran memilih untuk menangis. tapi semuanya tetap merasa bahagia.
hanya tnggal Clark dan Tami yang belum menikah di antara rombongan itu. sehingga mereka berdua jadi yang paling heboh bergerak kesana kemari. bermain pasir dengan Hadi atau sekedar merasakan deburan ombak di kaki. ibu-ibu muda dan ibu-ibu yang sedang hamil duduk di pinggir pantai. sementara Quro menemani Wahyu yang katanya kurang enak badan.
"ah cupu lo, Yu," teriak Tami dari tepi pantai pada Wahyu yang hanya duduk di tikar. sebagai balasan, Wahyu hanya mengulurkan jempol lalu membaliknya ke bawah. tidak ambil pusing. sementara itu Andi Budi Clark dan suami-suami trio Macan mulai bermain voli pantai. Tami bermain-main pasir dengan Hadi.
"Eh Hadi, sekopnya awas hanyut," Tami menunjuk sekop mainan Hadi yang terletak jauh dari mereka, tertinggal rupanya. Hadi menoleh dan berseru pelan lalu berlari kecil mengambil sekopnya sebelum hanyut terbawa pasir. Tapi ada yang mengambil sekop lebih dulu dan memberikannya kepada si pemilik. ia menggandeng tangan Hadi dan menghampiri Tami yang sedang berjongkok, menunggu.
"boleh ikut main?" tanya Rangga sambil ikut berjongkok, kepada Hadi ketika mereka sudah sampai di depan Tami yang wajahnya langsung berubah merah. Hadi mengangguk senang lalu mulai mengaduk-aduk pasir.
"tante tinggal ya, Hadi," Tami buru-buru berdiri dan bermaksud menjauh dari Rangga tapi Rangga menarik tangannya. keduanya berdiri berhadapan.
"kita ngobrol ya," itu perintah, meski dikatakan dengan suara lembut.
"ga...mau," balas Tami.
"harus, Tam, semua orang udah ngingetin aku buat ngomong sama kamu," kata Rangga lagi.
"oh jadi gitu? kamu mau ngomong sama aku cuma karena orang-orang udah ngingetin kamu? kalau orang gak ngingetin kamu terus kamu gak akan ngomong? mau ngebiarin terus aja hubungan kita gak jelas kayak gini? kayak gitu mau kamu?" tak terbendung lagi, Tami berteriak kepada Rangga. Hadi terjepit di antara mereka. bingung kenapa tante dan omnya bertengkar. Zandi, suami Yati langsung menarik anaknya menjauh dari panggung pertengkaran.
"tentu aja nggak. aku tau aku salah dengan seenaknya memutuskan penundaan pernikahan kita, aku minta maaf. juga kesalahanku karena gak bilang itu ke kamu, dan teman-teman kita ini yang ngingetin aku. bahwa sudah terlalu lama aku membiarkan hubungan kita gak jelas," nada bicara Rangga begitu tenang. berlawanan dengan Tami yang nampaknya bisa menyemburkan nafas api kapan saja.
"lalu apa? kamu punya alasan apa lagi buat semua yang udah terjadi?" Tami masih berteriak. kakinya menyentak pasir sehingga sedikit bangunan pasir yang tadi dibuatnya bersama Hadi, rusak.
"aku takut!" Rangga berseru. matanya memandang mata Tami dan tangannya mengepal. Tami tercengang. "aku takut ketika kita menikah aku gak punya banyak waktu untuk keluargaku. aku takut keluargaku nanti jadi keluarga yang dingin seperti hubungan orangtuaku dan anak-anaknya. aku takut tidak bisa memenuhi ekspektasimu tentang suami yang baik. tapi aku juga takut kehilangan kamu. aku takut membuat kamu kecewa, membuat kamu sedih. apalagi setelah mantanmu muncul. aku semakin takut kamu kembali pada dia. aku takut bahwa ia bisa memberi lebih banyak daripada yang bisa kuberi. waktu. sesuatu yang rasanya sulit sekali kumiliki. selama ini aku tidak menemuimu pun karena aku takut. takut keluar dari mulut kamu bahwa kamu ingin pergi dariku,"
suasana hening. Tami seakan tidak mempercayai pendengarannya. sahabat-sahabat mereka pun kaget mendengar kalimat-kalimat Rangga. Rangga yang begitu percaya diri dalam berbagai hal, terpaksa mengakui bahwa ia takut ketika menyangkut masalah keluarga. Tami memandang Rangga yang menolak memandangnya. lagi-lagi takut Tami akan melihat kelemahan dalam dirinya.
tidak ada yang memulai memecah keheningan. para bayi pun seakan tahu betapa gentingnya suasana ini karena mereka diam saja. Tami beringsut sedikit mendekati Rangga. diam setelah jarak diantara mereka hanya sekitar 15 senti.
"aku bukan manusia sempurna, kamu juga bukan. kita pasti punya kekurangan," Tami mulai bicara tapi tidak memandang Rangga. "kita juga punya cita-cita dan perasaan kepada satu sama lain. perasaan itu yang jadi fondasi buat kita berdua untuk meraih apa yang cita-citakan. dan apa yang menghadang kita mencapai cita-cita itu, kita hadapi bersama, berdua, dengan saling melengkapi kekurangan masing-masing. untuk itu butuh keyakinan. kamu harus yakin sama aku karena aku juga yakin sama kamu,"
Tami mulai menangis, dia cengeng sekali akhir-akhir ini. Rangga menoleh.
"bukan kesunyian yang harus dimunculkan setiap kita punya masalah, bicarakan baik-baik dan saling terbuka. saling mengerti kondisi satu sama lain," Tami mengusap air mata dengan lengan bajunya. "kita saling mengingatkan."
Rangga memperhatikan sosok yang berdiri di depannya. sosok yang angkuh, galak, tapi mudah sekali tertawa dan berteman dengan siapa saja. sosok yang mengisi hari-harinya sejak kecil. tanpa pikir panjang, Rangga menarik Tami ke pelukannya.
***
tiga bulan kemudian.
Tami sedang duduk nyaman. ia memperhatikan bayangannya di cermin, memeriksa setiap detil wajahnya. di luar dia bisa mendengar langkah kaki dan instruksi-instruksi yang diteriakan melalui walkie talkie. akhirnya hari ini datang juga. Tami akhirnya memutuskan untuk menyerahkan semua urusan pernikahannya ke Wedding Organizer. WO ini katanya sudah berpengalaman mengurus banyak pesta pernikahan. maka sekarang Tami tenang-tenang saja menunggu.
terdengar ketukan di pintu ruang riasnya dan Tami menoleh. rupanya si pengetuk tidak membutuhkan jawaban karena ia langsung masuk. Tami berseri-seri memandang Aldo, orang yang sudah resmi jadi suaminya sejak akad nikah pagi tadi.
Aldo mencium kening istrinya lalu tersenyum, ia sudah dalam setelan jas lengkap, begitu pula Tami, sudah mengenakan gaun dan make up komplit. mereka siap keluar kapanpun sang WO memerintahkan. "ada anak-anak tuh di luar, mau ketemu?"
"mau,"
Tami mengangkat gaunnya pelan-pelan lalu keluar dari ruang rias pengantin Hotel Ritz Carlton Jakarta. di sana dia melihat kedelapan sahabatnya beserta pasangan dan anak masing-masing (bahkan Clark mengajak seorang perempuan!) berdiri menyambut Tami dan Aldo.
"haloooo," seru Tami berseri-seri. mereka bergantian memeluk dan memberikan ucapan selamat. sementara Hadi, dia bengong melihat Tami. "tante cantik ya?"
"Tante Tami cantik," jawab Hadi, masih bengong.
"tapi tantenya punya om, gak boleh diambil ya," kata Aldo sambil mencubit pelan pipi Hadi. yang lainnya tertawa.
"akhirnya nikah juga kalian," kata Rama dengan senyum lega.
"setelah penantian 17 tahun ya, Ga?" tanya Wahyu. Aldo nyengir.
"dan lika-liku menjelang nikah, dari dijodohin, ada mantannya si Tami, sampe ketakutannya si Rangga ini," tambah Budi.
"tapi kalau jodoh memang gak kemana," Dewi menimpali.
"dan sekarang udah resmi suami istri," Tika bersuara.
"harus bener-bener komunikasinya, gak boleh ada yang ditutup-tutupi, harus pinter bagi waktu urusan kerjaan dan keluarga, pinter naro prioritas, sadar bahwa hidup udah gak sendirian lagi, harus bisa toleransi juga, berpikir visioner dan bukan cuma buat saat ini aja," nasehat dari Yati yang sudah menikah paling lama.
"siap-siap ngadepin mental pasangan masing-masing. yang cewek suka tiba-tiba meledak, yang cowok suka nganggap enteng masalah," kata Clark yang ditimpali tawa tertahan dari teman-temannya. Tami nyengir. hampir menonjok Clark (iseng, tentu saja!) tapi tidak jadi.
"dan mulai menyiapkan masa depan anak kalian juga, karena membangun keluarga adalah membangun peradaban," tambah Andi sang dosen.
Tami dan Aldo tersenyum dan mengangguk. mencatat pesan teman-temannya dalam hati masing-masing.
"bride and groom, are you ready?" pihak WO menghampiri mereka dengan walkie talkie di tangan.
"ya," jawab Tami dan Aldo bersamaan.
"oke, 1 menit lagi ya," lalu si WO itu bicara lagi dengan walkie talkie-nya.
"kita ke ballroom yuk," ajak Andi pada rombongan.
"sampai ketemu di depan ya," kata Yati. lalu mereka berjalan lebih dulu menuju ballroom.
pihak WO kembali lagi dan memberi instruksi kepada Aldo dan Tami. "waktu itungan 3, pintu itu bakal dibuka, nanti ada yang ngiringin kalian dari pintu sampe ke panggung, baru abis itu siap-siap video kalian diputer. oke ya?"
Tami mengangguk. Aldo menggandeng Tami sampai ke pintu yang dimaksud.
"siap...1...2...3..."
pintu dibuka perlahan, menunjukkan pemandangan menuju ballroom, dimana orang-orang tak sabar menanti kehadiran mereka. sebelum berjalan, Aldo sempat berbisik di telinga Tami, "memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi bersamamu, aku percaya adanya kesempurnaan,"
-THE END-
----
ditulis oleh orang yang belum pernah nikah dan tanpa tendensi apapun. hope you enjoy the story!
Komentar