Kinda Bad Beginning
“Good
morning, Mas Ari,” sapaku pada si bos yang sepagi ini sudah duduk di mejanya. Mengecek
berbagai email yang pastinya sudah datang bertubi-tubi.
“Eh,
Aruna. Gimana jalan-jalannya?” Mas Ari menyempatkan diri menghentikan
rutinitasnya untuk menyapaku.
Aku
menghentikan langkahku. Menghadap Mas Ari sambal memainkan segelas Starbucks
Venti Hot di tanganku. “Great, Mas.” Saking respeknya aku dengan atasanku ini,
aku menarik kursi dan duduk di hadapan Mas Ari. “Vienna sangat indah, pasti. Temenku
juga banyak nemenin dan kami banyak cerita.”
“Cool
kan? Sekali-kali memang harus nyempetin jalan-jalan, Na,” Mas Ari tersenyum.
“Bener
banget, Mas. Daripada kerja mulu kan?” Aku tersenyum sedikit.
“Yah
lo jangan nyindir gue gitu lah,”
Giliran
aku yang tertawa. “Sekali-kali Mas juga jalan-jalan dong. Ajak anak istri,”
“Iya
iya. Bulan depan gue udah pesen tiket ke Jepang. Seminggu gue cuti. Seneng kan
lo,” Mas Ari ikut tertawa.
“Seneng
banget, Mas!” Aku bangkit dari kursi dan menuju mejaku sendiri, tidak jauh dari
meja Mas Ari. Belum sempat aku duduk di kursi, tanpa sadar mataku langsung
tertumbuk pada seseorang yang rupanya sedang menatapku.
“Pagi
banget datangnya, Run,” katanya sembari menghampiriku. Wangi kopi itu.
“Begitulah,
Mas,” Aku mengangkat bahu. Berusaha keras tersenyum. Pelarianku ke Vienna harus
menghasilkan sesuatu. Termasuk menghadapi dia dengan super tegar. “Pasti banyak
yang harus dikerjakan selama aku cuti.”
“Cuti
kemana ngomong-ngomong? Gak ada kabar sama sekali,” Mas Resa malah duduk dengan
nyamannya di hadapanku. Di sisi lain, Mas Ari menatap kami berdua dengan
keheranan.
Mas
Ari tahu, bahwa aku kabur ke Vienna setelah Mas Resa mengumumkan bahwa dia
sudah punya pacar serius.
“Nemuin
temen yang lagi kuliah di luar kota, Mas,” jawabku pelan.
“Oh.
Sekalian liburan ya,” Mas Resa, menyeruput kopinya dan mengeluarkan ponsel lalu
sepertinya mulai main game.
Aku
dan Mas Ari berbeda bagian dengan Mas Resa. Namun lokasi duduk kami berdekatan.
Dia juga cukup dekat dengan bagian kami. Khususnya, dengan aku beberapa buan ke
belakang. Banyak orang hanya menghitung waktu kapan Mas Resa dan aku akan
meresmikan hubungan kami. Siapa sangka dia malah mengumumkan hubungan serius
dengan Tasia, seorang Account Executive di lantai lain.
“Iya,”
Aku mengangguk pelan. Menyalakan computer dan berusaha mengalihkan perhatian
dari Mas Resa yang melakukan kebiasaannya. Kebiasaan yang—dulu sebelum dia
punya pacar—aku senangi untuk dijalani setiap pagi.
“Oh
iya, Run,” suara Mas Resa lagi. Aku mengerutkan kening karena lelah, namun
tetap kudongakkan kepalaku.
“Apa,
Mas?”
“Nanti
makan siang bareng, bisa? Sekalian mau kukenalkan kamu dengan Tasia,”
Mas
Resa mengatakannya dengan begitu biasa. Seakan ajakannya tidak menimbulkan
pikiran apapun di kepalaku. Seakan aku tidak akan merasakan sakit hati apapun.
Ya, aku memang yakin bisa menghadapinya dengan lebih berani setelah pulang dari
Vienna. Tapi tidakkah dia mengerti?
No. No way I wanna meet
that bi*ch.
“Oke,
Mas,” Hanya ini yang bisa kuucapkan.
***
“Kita
bukannya pernah kerja bareng ya?” tanya Tasia dengan akrabnya begitu kami duduk
melingkar untuk makan siang.
“Oh
ya?” Aku memandang Tasia dan Mas Resa bergantian.
“Iya
lho. Waktu aku pegang klien yang mau promo dan kamu yang koordinasi ke internal
kita,” Tasia berkata dengan penuh semangat.
“Aku
waktu itu kontak sama….Intan,” kataku ragu-ragu.
“Nama
lengkap dia Intan Anastasia,” Mas Resa yang menjawab dengan sabar.
“Oh
begitu!” Refleks aku berseru begitu kencang.
Tasia
tertawa. Iya dia tertawa dengan manis, tidak heran Mas Resa jatuh hati padanya.
Beda seratus delapan puluh derajat dengan aku yang ketika tertawa, bisa mirip
dengan Soimah.
“Gak
nyangka ternyata aku udah kenal sama kamu ya,” ujar Tasia lagi. “Selain memang
Mas Resa sering cerita tentang kamu sih,”
Aku
menoleh cepat pada Mas Resa yang sedang melihat menu. Sadar diperhatikan
olehku, dia menoleh. “Apa Run?”
“Mas
Resa sering cerita tentang aku? Ngapain?”
“Katanya
kamu kayak adik perempuan dia kalua di kantor,” Tasia yang menjawab. Mas Resa
menyetujui dengan tertawa.
“Oh
gitu ya,”
Cuma
adik perempuan. Perbedaan usia tujuh tahun memang tidak heran membuat dia
menganggap aku hanya adiknya.
Sial.
***
Selesai
makan siang dan kami bertiga kembali ke kantor. Kubiarkan Mas Resa dan Tasia
berjalan beriringan di depan. Mereka saling menautkan jarinya dan sesekali
tertawa sambal saling menatap.
“Cih,”
aku memalingkan wajah. “Super menyebalkan,”
Aku
mengelus dada, berusaha menjaga kesabaran. Termasuk sabar menunggu lift menuju
basement tempat mobil Mas Resa diparkir.
“Aruna,”
sapa seseorang.
Aku
menoleh ke kanan, tidak menduga siapa yang akan menyapaku di waktu ini. Mungkin
salah seorang teman kuliahku…
“Naka!”
aku berseru refleks.
Baru
beberapa hari kami berpisah dan aku tidak menyangka dapat bertemu dengannya
sekali lagi. Nomor dia pun belum sempat aku pindahkan dari kartu nama yang dia
berikan padaku.
Naka
tersenyum. Dia berjalan semakin dekat. Baru kusadari bahwa ia tampil begitu
rapi. Mengenakan jas dan segala macamnya.
“Aku
gak nyangka ketemu kamu di sini,” kataku dengan bersemangat.
“Aku
malah berpikir kamu kemari sengaja untuk bertemu denganku,” kata Naka sambal tersenyum
jahil.
“Eh?”
Aku bergegas mengambil dompet kartu dan mencari kartu nama yang Naka berikan.
Baru kubaca benar-benar dan aku sadar bahwa mall yang aku datangi untuk makan
siang, bersebelahan dengan gedung tempat Naka bekerja. “Ya ampun.”
“Dengan
siapa, Aruna?” Naka bertanya. Pandangannya beralih ke belakangku, dimana Mas
Resa berdiri di samping Tasia dan memperhatikan kami.
“Mas
Resa…” ujarku pelan.
Naka
memperhatikan reaksiku. Matanya seakan bertanya ‘apakah ini laki-laki yang
membuatmu patah hati?’ dan aku menjawab pula dengan anggukan sepelan mungkin.
“Halo,
saya Bayanaka, Naka,” Naka menghampiri Mas Resa, mengulurkan tangan dan
memperkenalkan diri kepada Mas Resa juga Tasia.
“Halo,
Resa,” jawab Mas Resa. “Teman Aruna?”
Entah
dari mana keberanianku ini muncul, atau mungkin kenekatanku? Akulah yang
menjawab pertanyaan Mas Resa.
“Pacar
aku, Mas,”
***
Leave some comments, maybe? :)
Komentar