Pursuing the Damsel - Part 2

Rachel 

Makan siang bersama keluarga besar Tarhan dan yang jadi topik adalah Rachel dan Arbi. Rumah Romeo Tarhan sebagai anak sulung jadi begitu ramai. 

Rachel menanggapi pertanyaan-pertanyaan keluarganya hanya dengan senyuman. Padahal mereka bertanya nacam-macam. Dari mulai ‘kapan kenal Arbi?’, ‘gimana dilamarnya?’, sampai ‘kapan nikahnya?’. 

Tringgg! 

Rachel menoleh ke iPhone-nya. Melihat Arbi menelepon. 

“Halo,” 

“Aku barusan je apartemen tapi cuma ketemu Moza. Katanya kamu di rumah,” 

“Iya. Lagi ada acaara keluarga. Kenapa?” 

“Aku mau kesana. Moza sudah kasih alamatnya. Boleh?” 

“Jangan!” Rachel berseru. Membuat beberapa orang meliriknya. Rachel menunduk meminta maaf lalu bergegas ke tempat sepi. “Semua orang disini bahas kamu. Kalau kamu kesini, makin seneng mereka.” 

“Bagus dong?” 

“Please, Arbi…” 

“Oke oke. Kapan kamu bisa ditemui?” 

“Besok?” 

“Lama sekali. Jadwal kamu sudah penuh sampai nanti malam?”

Rachel mengangguk. Pasahal Arbi tak bisa melihatnya. “Iya. Ini kumpul sampai sore. Dilanjut makan malam di luar. Aku gak bisa kabur,” 

“Kamu akan pulang ke?” 

“Rumah..” 

“Chel.. I miss you,” rengek Arbi. Padahal mereka baru bertemu semalam. Rachel tersenyum. Ia juga kangen Arbi. 

“Sabar…” 

“Hmm. Kamu makan malam dimana nanti?” 

“Bandar Jakarta yang Ancol katanya,” jawab Rachel refleks. 

“Nice,” 

“Eh,” Rachel baru paham. “Arbi Arbi jangan!” 

“Enjoy your family time, sayang,” 

Telepon dimatikan. Rachel menduga Arbi pasti akan datang nanti. 

‘Kalau kamu datang nanti, aku gigit kamu!’ ancam Rachel melalui iMessage. 

Rachel berusaha mengganti tujuan ke tempat makan lain. Tapi orang tua dan paman bibinya sudah terlanjur ingin menikmati seafood. Jadilah Rachel banyak berdoa agar Arbi tidak tiba-tiba muncul. 

Dugaan Rachel meleset. Saat ia sedang menikmati es kelapa jeruk, sosok Arbi berjalan mendekati mejanya. Dengan senyum tersungging di wajah. Rachel bergegas berdiri sebelum keluarganya sadar ada Arbi. Namun ia kalah cepat dengan Tante Paloma. 

“Eh, lihat-lihat, itu ada Arbi Atmodikoro! Wah pasti kesini mau ketemu Rachel yaaa,” seruan Tante Paloma membuat ke-20 orang di meja, dari Romeo Tarhan sama Gina Tarhan yang berusia 5 tahun, anak bungsu Erwin Tarhan (adik Romeo yang kelima), melirik ke arah yang dilihat Tante Paloma. 

Para Tante dan sepupu perempuan Rachel langsung heboh. Rachel mengkeret di kursi. Belum lagi pengunjung lain yang melihat mereka karena terlalu ramai dan ada Rachel disitu. 

“Selamat malam semuanya,” sapa Arbi dengan sopan.

“Malam, Arbi,” balas yang lain. 

“Halo Om Romeo. Kenalkan, saya Arbi Atmodikoro,” Arbi langsung menghampiri ayah Rachel. 

“Oh ya. Saya sudah sering melihat kamu Nak. Terima kasih untuk kerja samanya soal Tahrang Mall,” 

“Sama-sama Om,” Arbi beralih ke Mami. “Malam Tanye Risya yang cantik selalu.” 

Mami senyum-senyum senang. Akhirnya bertemu betulan dengan Arbi. 

“Halo, Arbi. Tante sudah denger cerita kamu dari Rachel lho,” 

Rachel melotot. Rasanya ingin menginjak kaki Mami. Tapi takut dosa. 

“Oh ya? Rachel cerita apa?” Arbi melirik Rachel yang memalingkan muka. 

“Banyak deh, yang bagus-bagus kok.” Mami mengikik. 

“Senang kalau begitu,” Arbi bergeser ke Radit yang duduk di dekat Talita. “Raditya,” 

“Bi, lama gak ketemu,” Arbi menyalami Raditya. Lalu berkenalan dengan Talita. Setelah itu Arbi bersalaman dengan paman dan bibi Rachel, juga sepupu-sepupunya. Setelah puas berkenalan, Arbi didudukkan di sebelah Rachel. 

“Hai,” sapa Arbi ceria. 

Rachel menatap Arbi dengan pandangan menusuk. “Ingatkan aku untuk gigit kamu,” 

“Wah gak sabar,” Arbi malah nyengir. 

Ia bisa bersosialisasi dengan mudah terhadap keluarga Tarhan. Tertawa atas lelucon yanf dikeluarkan. Bermain dengan anak-anak kecil. Berfoto dengan para Tante. Sebaliknya, Rachel malah merengut di kursi. 

“He’s nice,” kata Talita di samping Rachel. 

“I dont know, Kak,” Rachel menggeleng. “Its not like ordinary couple who get to know each other. Laughing with each families. Planning a marriage and they live happily ever after.” 

Talita mendengarkan dengan seksama. 

“I have something I couldnt tell. Which can cause our relationship will never exist,” 

“He seems to love you much,” Talita melirik Arbi yang sedanf mengobrol dengan Romeo dan paman Rachel. Sesekali Arbi melirik Rachel. 

“I know. I can feel it,” 

“Do you love him too?” 

“What?” Rachel memekik. Pipinya memerah. “I-I dont know,” 

“Yes you are,” Talita tersenyum. 

“Yes what?” 

“Yes you love him,” Talita menyenggol tangan calon adik iparnya. “You and your brother shared the same way to react. Your face and your blushing exactly the same with Radit when I say I love him.” 

“Hmm, you reveal too much, brother,” Rachel melirik kakaknya yang sedang bermain dengan Gina. 

“Admit it and conquer or your problems for your happiness,” Talita menyentuh tangan Rachel. Tersenyum mendukung. 

“Radit must be very lucky to have you,” Rachel balas tersenyum. 

“We both are very lucky to find each other,” kata Talita. 

Makan malam ditutup dengan foto bersama. Foto pertama, Arbi menolak masuk frame karena belum resmi katanya. Berbeda dengan Talita yang sebentar lagi akan menikah dengan Dadit. Namun Tante Paloma lagi-lagi berinisiatif. Ia menarik Arbi hingga berdiri di belakang Tachel. Mereka pun berfoto lagi. 

“Saya ijin amtar Rachel pulang, Om,” kata Arbi pada Romeo Tarhan. Tadinya Rachel datang dengan Radit dan Talita. 

“Oh oke. Langsung pulang ya. Sudah malam. Pastikan Rachel aman. Kalau terjadi sesuatu…” Papi menggerakkan telunjuknya menyilang di leher. Arbi menelan ludah. Rachel tertawa. 

“Siap Om. Antar ke rumah dengan aman. Kalau perlu, saya bungkus Rachel dengan bubble wrap,” 

Papi mengernyit, sedangkan Rachel melotot. Arbi lagi-lagi hanya nyengir. 

“Fiuh, ternyata Papi kamu beneran nyeremin,” ucap Arbi begitu ia dan Rachel sudah dalam mobil. 

Rachel tak berkomentar. Ia menarik tangan kiri Arbi dan menggigit lengannya. 

“Heiii,” Arbi menarik tangannya cepat-cepat. 

“Bandel sih. Udah dibilang jangan dateng. Kalau dateng, jadinya aku gigit,” Rachel mendengus, cemberut. 

Arbi melongo. “Kenapa aku suka sama cewe sangar gini ya? Ditampar, digigit,” 

“Ishh, siapa suruh cium dan datang tiba-tiba,” 

“Berarti kalau gak tiba-tiba boleh dong?” 

Tiin tiin! 

Rachel menoleh. Melihat ayahnya memperhatikan dari kaca mobil Mercedes-Benz putihnya. 

“Papi udah nyuruh jalan tuh. Ntar kamu digorok beneran,” Rachel mengabaikan pertanyaan Arbi tadi. 

“Iyaaaa cantik,” 

Rachel dan Arbi berkendara dalam diam. Hamya suara radio yang mengisi kekosongan mereka. 

“Ayahku sudah tahu tentang kamu,” Arbi memulai. 

“Oh ya? Lalu?” 

Arbi menggaruk kepalanya. 

“Dia hmm, kurang setuju sebetulnya. Tapi aku akan berusaha keras dupaya Ayah setuju,” 

Rachel tidak berkomentar. 

Akan lebih mudah kalau ayahmu tidak setuju, Arbi. 

“Pendapat orang tua itu penting,” Rachel memilih berkata hal itu. 

“I know. Makanya aku mau meyakinkan Ayah,” Arbi menoleh pada Rachel lalu tersenyum. Rachel balas tersenyum. “Aku senang orang tuamu menerima aku.” 

“Iya mereka orang yang terbuka,” 

Arbi setuju. 

Mereka lanjut mengobrol. Dalam obrolan ini Arbi dan Rachel sepakat untuk mengabaikan pemberitaan dan verhybungan seperti biasa. Rachel sedang mencoba untuk membuka salah satu bagian kehidupan pribadinya ke publik. Meski hanya sebatas dia berkencan dengan siapa. 

“So, does this mean that we’re officially dating?” tanya Arbi saat mereka sudah memasuki halaman rumah Rachel. 

“I didnt say so,” Rachel menggeleng. “Jalani saja, Bi.” 

“Oke,” Arbi setuju. 

Arbi memberhentikan mobil di depan pintu masuk rumah Rachel. Disitu audah ada Papi dan Mami yang juga baru turun dari mobil. 

Rachel turun diikuti Arbi. 

“Rachel sampai dengan selamat sampai ke rumah, Om,” Arbi melaporkan seperti ajudan pada presiden. 

“Laporan kami terima. Silakan kembali ke tempat,” Papi berusaha bercanda tapi wajahnya datar. Membuat Mami dan Rachel tertawa pelan. 

“Iya Om, er kalau gitu…” 

“Papi Mami masuk duluan aja,” kata Rachel. 

Mami memandang Rachel dan Arbi bergantian. Mengerti. 

“Ayo Pi,” Mami menggandeng tangan Papi lalu berjalan masuk, sekilas mengedip pada Rachel. 

Setelah orang tuanya masuk, Rachel menghadap Arbi. 

“Aku cuma mau bilang terima kasih untuk semuanya. Karena mwmbuat aku merasa dicintai dengan tulus, selain oleh Mami Papi dan Radit.” 

Arbi sumringah, senyumnya memgembang dari telinga ke telinga. Apalagi saat Rachel mendekatinya, menyentuh wajah Arbi lalu mencium sudut bibir Arbi. 

Keduanya bisa merasakan getaran listrik do seluruh badan.

“Hati-hati menyetir sampai ke rumah,” 

“Iya. I love you,” 

*** 

Arbi

“Dalam satu akhir pekan, CEO kita sudah terkenal ke seantero negeri,” adalah sapaan Candra begitu masuk ke ruangan Arbi. Duduk santai di depan pak CEO. “Bahkan tadi gue buka LINE, ada artikel judulnya ‘5 fakta tentang Arbi, tunangan Si Cantik Rachel Tarhan’.” 

Arbi tertawa. “Dan apa faktanya?” 

“Tunggu,” Candra mengangkat tanfannya, bergegas membuka iPhone dan mencari artikel tersebut.

“Satu, menjadi CEO Nesiacorp selama 10 tahun, sejak usianya 24 tahun. Itu artinya secara gak langsung mereka nyebut usia lo udah 34 tahun,” 

Arbi mengangkat bahu. Itu memang benar. Ia menjadi CEO menggantikan kakeknya 10 tahun lalu. 

“Dua, lulusan Ilmu Manajemen FE UI untuk Sarjana dan Oxford untuk Master. Keduanya berpredikat summa cum laude.” 

Arbi mengangguk lagi. 

“Tiga. Punya 13 mantan pacar yang dipacari sejak SD hingga jadi CEO,” 

Arbi membelalak. “Woi itu juga dibahas?! Gila. Tau aja lagi. Tapi mantan gue cuma 12 ya. Dan terakhir pacaran 5 tahun lalu. Disitu disebutin gak? Jangan sampe Rachel ngira gue masih punya pacar.” 

Candra menggeleng dan melanjutkan. “Empat, putra sulung dari Komjen Wibi Atmodikoro. Punya satu adik bernama Desya, kelas 2 SMA.” 

Arbi mengangguk lagi. 

“Lima, kekayaannya mencapai 5 Miliar USD,” 

“Woi itu wartawan liat laporan pajak gue apa gimana?” Arbi berusaha meraih iPhone Candra supaya melihat sendiri. Namun Candra menghindar. Mundur masih sambil membaca kelanjutan artikel tersebut. 

“Dengan seluruh fakta ini, semoga para Chelinta bisa tenang ya karena Rachel kita tercinta punya pasangan super berkualitas,” 

Candra selesai membaca artikel lalu tertawa. 

“Berasa gue daging sapi kali, berkualitas,” Arbi cemberut. 

“Mantap! Rachel sendiri gimana setelah ada pemberitaan ini?” 

“Awalnya dia bete, sedih. Gak mau ketemu gue. Nangis-nangis juga. Dia khawatir dia gak bisa jadi contoh yang baik buat orang-orang, fansnya. Dia khawatir orang-orang terdekatnya jadi terganggu karena berbagai pemberitaan. Ya gue yakinkan aja bahwa dia juga manusia. Wajar berbuat salah walau sedikit. Yang penting dia gak ngedrugs, rebut suami orang, atau apalah yang aneh-aneh. Gue juga bilang kalau kita semua udah siap berada di dekat dia dan ngadepin semua hal bareng-bareng.”

“Dan dia luluh dengan kata-kata lo itu?”

“Nggak. Dia malah gak mau ketemu gue,”

Candra tertawa puas. 

“Dan Pak Polisi makin ngamuk begitu liat berita. Dia gak suka gue deket sama Rachel. Sama artis manapun sebenernya,”

“Wah susah dong bro,” kali ini wajah Candra berubah serius. Arbi mengangguk.

“Gue mau berjuang buat Rachel. Maksud gue, dia akan jadi menantu yang baik kok. Rachel gak melakukan apapun yang bisa bikin dia ditangkap bokap gue,”

“Berarti lo dan Rachel udah resmi pacaran?” 

“Itu masalah lainnya. Dia minta kita jalanin aja dulu semuanya,”

“Kok aneh ya gue rasa,” 

“Oh ya? Mungkin dia masih kaget aja karena biasanya aman, sekarang wajah dia dimana-mana gara-gara ‘skandal’ sama seorang CEO,” Arbi mengangkat bahu.

“Mungkin. Dia tahu soal NAdia?”

“Jangan. Jangan sampai dia tahu. Bokap memang maksa gue tunangan sama Nadia, apalagi setelah muka gue muncul dimana-mana. Tapi gue gak setuju,”

“Ya segeralah lo yakinkan Bokap lo itu,”

***

Rachel 

Rachel memandangi sekeliling ruangan. Di pesta ulang tahun Chelsea Islan ini bisa dibilang semua orang ia kenal. Rachel menyapa, bersalaman, mengobrol dengan paratamu undangan. Acara puncak tiup lilin dan potong kue belum berlangsung. 

“Chel, katanya sekarang tunangan sama Arbi?” sapa Titi Rajobintang. Pertanyaan itu sudah beberapa kali ditanyakan selama disini dan selalu Rachel jawab dengan..

“Belum resmi tunangan kok, Kak,” Rachel tersenyum.

“Cocok lho kalian. Ngomong-ngomong Arbinya gak ikut kesini?”

Rachel menggeleng. “Masih ada kerjaan katanya,”

“Salam ya buat Arbi,”

“Iya Kak,”

Rachel berjalan berkeliling lagi, ditemani Moza yang tak banyak bicara. Sudah satu jam Rachel menghadiri pesta dan biasanya sebentar lagi dia akan mengajak pulang. Dikarenakan begitu datang tadi ia sudah menyapa Chelsea.

“Za,”

“Ya, Kak? Mau pulang sekarang?”

“Nggak, belum. Er, batre iPhone aku kayaknya udah mau abis. Kamu bawa powerbank?”

“Oh nggak, Kak. Mau aku cari tempat ngecas?”

“Boleh, tolong ya,” Rachel mengulurkna iPhone-nya ke Moza. Moza langsung sigap mencari resepsionis atau tempat apapun yang bisa dipakai untuk mengecas iPhone Rachel. Sehingga saat ini Rachel sendirian.

“Halo,” 

Rachel menoleh. 

“Ya?”

Di depan Rachel sekarang berdiri seorang perempuan berparas ayu khas Jawa. Tingginya sedikit lebih pendek dari Rachel dan kulitnya kuning langsat. Rambutnya yang hitam panjang tergerai indah dan hanya diberi jepit sederhana.

“Nadia Kuncoroputri, perkenalkan,”

“Oh ya, Rachel Tarhan,” Rachel menyambut uluran tangan Nadia. Sekaligus bingung kenapa ada yang tiba-tiba mengajaknya berkenalan. 

“Kita sama-sama kuliah di Leiden. Aku datang ketika kamu pulang,” Nadia mulai membuka pembicaraan.

“Oh begitu. Aku tidak tahu. Maaf,”

“Gak masalah,” Nadia tersenyum ramah.

“Teman Chelsea?”

“Ya, saling dikenalkan antar teman sampai jadinya cukup akrab,” Nadia masih tersenyum, namun Rachel mulai merasa ada yang tidak beres.

“Ya, pergaulan memang harus luas. Er, maaf, aku masih ada yang harus ditemui,” Rachel bermaksud berpaling, ketika Nadia menahan tangannya. Sedikit mencengkram sampai Rachel refleks meringis.

“Opps, maaf,” Nadia melepaskan tangannya segera. “Ada yang masih harus kutanyakan sama kamu,”

“Yaitu?” Rachel mengusap tangannya pelan. Sebisa mungkin tidak menunjukkan bahwa ia tersakiti.

“Kamu dan Arbi betul pacaran? Bukan untuk menutupi isu apapun?”

“Isu? Isu apa?”

Nadia menggeleng. “Intinya, apa kalian berdua betul pacaran?”

Rachel kebingungan. Untuk apa dia bertanya hal seperti itu pada oang yang baru dikenalnya. Lagipula, kenapa dia meragukan hubungan Rachel dan Arbi ketika di sisi lain orang lebih memastikan apakah Rachel dan Arbi sudah bertunangan apa belum. Lagipula, mereka tidak pacaran. Rachel sendiri yang bilang untuk menjalani dulu.

“Kami… tidak…”

“Bagus. Dan aku harap jangan pacaran. Aku sudah meminta ayahku untuk menjodohkan aku dengan Arbi dan orang tua Arbi sudah setuju. Kemarin aku diberitahu bahwa tinggal waktu saja sampai kami resmi bertunangan. Aku hanya tidak mau kamu kecewa,”

Rachel terkejut. Refleks Rachel menutup mulutnya.

“Tolong kerjasamanya, ya Rachel,” Nadia tersenyum manis sekali lagi lalu meninggalkan Rachel yang masih shock.

“Hei, sayangku,” 2 detik kemudian ada yang merangkul pinggang Rachel dan mencium pipinya. Rachel menoleh. Arbi memandanginya dengan senyum lebar.

“A-aku mau pulang…” gumam Rachel.

“Serius? Ya udah, ayo aku antar,”

“Mo-Moza. Dia lagi ngecas hape aku. A-aku gak tau dia…” Rachel memandang sekeliling dengan serabutan. Arbi merasa ada yang aneh.

“Kamu tunggu disini, aku cari Moza. Habis itu kita pulang,”

Arbi pergi mencari Moza. Rachel berdiri di dekat patung hampir di dekat pintu. Rachel shock dan tidak mau menerima kalau Arbi ternyata akan bertunangan dengan wanita lain.

“Kak?” Moza bergegas menghampiri, wajahnya cemas. “Pulang?”

Rachel mengangguk. Ia berbalik lebih dulu. Moza dan Arbi berpandangan. Keduanya menggeleng tanda tak mengerti.

Rachel berada dalam satu mobil dengan Arbi. Sementara Moza mengikuti dari belakang.

“Ada apa?”

“Eh?” Rachel menoleh.

“Ada yang kamu sembunyikan kan?”

“Apa yang kamu sembunyikan, Arbi?” Rachel balas bertanya, menekankan kata kamu untuk menunjukkan bahwa sebenarnya Arbi yang menyembunyikan sesuatu.

“Aku tidak menyembunyikan apapun,” Arbi menggeleng, mengernyit.

“Lalu Nadia Kuncoroputri itu siapa?”

Raut wajah Arbi berubah. “Dia…”

“Dia calon tunangan kamu,” Rachel menjawab pertanyaannya sendiri.

“No, she’s not. Cuma Ayah yang mau hal itu. Aku udah bilang aku hanya sayang sama kamu,”

“Dengan dia saja..” bisik Rachel. Ia mulai menangis.

“Kamu bilang apa?”

“Lebih baik kamu dengan dia saja,” Rachel mengulang dengan lebih keras. Diberanikannya menatap Arbi dengan air mata berlinang.

“Kamu ngomong apa sih? Kan kita sudah sepakat buat jalanin ini semua,” Arbi meminggirkan mobilnya agar mereka lebih aman mengobrol.

“Kalau ada pilihan Ayah kamu yang lebih baik, mending kamu pilih dia saja,” Rachel mencoba menghapus air matanya.

“Ya gak bisa gitu dong. Aku kan bukan barang yang bisa dipindah-pindah sesuka hati. Aku sudah bilang ke Ayah bahwa aku lebih memilih kamu dan aku akan memperjuangkan kamu,”

“Jangan hiraukan aku. Tolong,”

“Apa masalahnya? Apa? Tadi siang kita baik-baik aja. Kamu ketemu NAdia tadi? Dia yang bilang sama kamu supaya jangan berhubungan dengan aku? Perlu aku telepon Nadia supaya dia jangan macam-macam?”

Rachel menggeleng. Wajahnya makin kusut dan tangisnya makin keras. 

“Kamu PMS ya? Sini,” Arbi menarik Rachel untuk memeluknya. Namun Rachel malah mendorong Arbi.

“Kamu sendiri kan yang bilang Ayah kamu gak setuju sama aku dan sekarang ada calon lain yang lebih cocok dengan kamu. Kamu harusnya terima,”

“Rachel, aku sudah bilang juga bahwa aku akan memperjuangkan kamu,” Arbi menyentuh pipi Rachel. Mengusap air matanya.

“Jangan perjuangkan aku,”

“Gimana aku bisa perjuangkan kamu kalau kamunya sendiri gak mau diperjuangkan?” Arbi mulai geram. Apalagi saat Rachel menepis tangannya.

“Karena aku gak pantas diperjuangkan!” Rachel berteriak. Membuat Arbi kaget. Rachel juga. Sepersekian detik kekagetan diantara mereka berdua dimanfaatkan Rachel untuk membuka safety belt dan kunci mobil. Rachel turun dari mobil dan berlari menuju Vellfire miliknya. Untunglah Moza berhenti juga dan sigap membuka kunci agar Rachel bisa masuk. 

“Rachel!” Arbi ikut turun dari mobil dan mengejar.

“Jalan, Za, jalan,”

Moza mengangguk, menjalankan mobilnya, hampir menyerempet Arbi. Moza tak berani menanyakan apa-apa. Hanya suara isak tangis Rachel yang terdengar.

***

Arbi

“Jadi...tunangan?” Candra bertanya pelan. Khawatir membuat Arbi yang akhir-akhir ini emosional jadi makin kalap. Arbi sedang memandangi botol wine sambil memainkan gelasnya. 

Sudah sebulan lebih sejak Arbi bercerita bahwa rachel tiba-tiba keluar dari mobilnya dalam keadaan menangis. Sejak itu Arbi berusaha untuk meminta penjelasan dan berbaikan dengan Rachel. Mengirimkan bunga ke apartemen, ke rumah Rachel, nongkrongin Rachel di tempat shooting tapi lama kelamaan Moza enggan memberikan jadwal Rachel. Menghubungi Rachel berulang kali juga tidak direspon. Paling ekstrim adalah saat Arbi menerobos acara konferensi pers film Kali Kedua, hingga deretan paling depan. Namun tetap saja Rachel bisa lolos. Arbi dihalangi NIcholas Saputra saat itu.

Ditambah dengan desakan dari Ayahnya untuk menikah dengan Nadia. Membuat Arbi menerima pertunangan. Tepatnya, Arbi bilang “terserah Ayah saja”.

“Apa kata lo deh, Can,” balas Arbi.

“Lo yakin? Pernikahan itu gak sembarangan lho,”

“Nanti gue ceraikan Nadia,”

“Haish. Ini pengaruh wine atau emang sebenarnya lo brengsek, Bi?”

Arbi menaruh gelasnya dengan keras sehingga menimbulkan bunyi dentang. “Gue gak peduli apa tanggapan orang. Orang yang terlalu mempedulikan apa kata orang lain hidupnya pun serba terbatas.”

Candra tahu bahwa yang dimaksud Arbi adalah Rachel. Lama kelamaan gosip mereka berdua mulai mereda. Hanya sedikit yang masih berbisik-bisik mengenai Rachel dan Arbi. 

“Gue kemarin ketemu Rachel,” gumam Candra. Arbi menoleh cepat.

“Di butik Anne Avantie. Dia lagi nemenin Talita fitting. Gue kesana sama Ola,” Candra sudah melamar Ola 3 minggu lalu.

“Oh gitu,” Arbi menanggapi dengan sok tak peduli.

“Dia kaget liat gue. Takut ada lo juga kayaknya. Tapi ya gue bilang bahwa gue kesana cuma sama Ola. Dia bilang selamat ke kami berdua,”

Arbi tak berkata apa-apa tapi Candra tahu Arbi sangat ingin bertemu Rachel.

“Gue bilang lo akan tunangan sama Nadia Sabtu ini,” 

“Ha ha. Pinter. Kayak itu bakal mengubah suasana aja,” Arbi mencebik. Sangsi. Rachel kan tidak pernah benar-benar mencintai Arbi.

“Lo harus liat raut wajahnya. Dia benar-benar sedih. Tapi setelah itu dia senyum lagi. Dia nitip...ucapan selamat,”

“Yeah, like I care,” Arbi minum seteguk lagi. Setelah itu dia bangkit dan keluar. Candra menghela nafas.

***

Rachel

“Kakak yakin sendirian gak apa-apa?” tanya Moza untuk kesekian kalinya.

“Aku gak sendirian. Di sana kan udah ada Stefan dan Lala,” Rachel tersenyum. Dua minggu lagi pernikahan Radit dan Talita. Rachel sudah mengambil libur dari segala aktivitas. Liburannya kali ini akan dipakainya untuk berwisata ke Tokyo, menemui Stefan dan lala yang sedang foto prewedding. Setelah pulang dari Tokyo, Rachel akan membantu persiapan pernikahan kakaknya di Bali. 

Rachel harus cepat-cepat pergi dari Indonesia, terutama akhir pekan ini karena...Arbi akan bertunangan.

“Kabari kami kalau sudah sampai di sana ya, Sayang,” Mami mencium pipi Rachel. Diikuti Talita yang juga mengantar.

“Jangan lupa pulang, Dek,” Radit mengacak rambut Rachel. “Nanti gak ada bridesmaids Talita,”

“Iya, Kaak. Aku masuk dulu ya. Nanti aku telepon. Salam buat Papi. Jangan kerja terus,”

Rachel berpamitan lalu masuk untuk check in. 

Jauh-jauh dari Arbi supaya aku gak perlu denger berita dia tunangan.

***

Arbi

Salah satu syarat yang Arbi ajukan tentang pertunangannya dengan Nadia adalah tidak ada berita kemana pun. Acara hanya dihadiri kedua keluarga inti dan Candra sebagai teman terdekat Arbi. Foto-foto hanya seperlunya dan Arbi mewanti-wanti siapapun untuk tidak mengupload ke sosial media.

Nadia begitu senang saat cincin pertunangan sudah terpasang di jari manis tangan kirinya. Ia tidak henti memandangi cincin tersebut. 

“See you again, fiance,” bisik Nadia saat ia akan pulang dari gedung tempat acara pertunangan berlangsung. Setelah itu ia mencium pipi Arbi. 

Begitu ia masuk ke mobil ditemani Candra, sebelum mulai menyetir Arbi menyerahkan cincin kepada Candra.

“Lo aja yang simpen,”

“Lah kok gue. Gak mau lo pake aja?”

“Gak minat,” 

Candra menggeleng. Pelan-pelan ia mengambil cincin itu dan menaruhnya di dompet agar aman.

“Besok lo harus istirahat. Hari Senin berangkat ke Tokyo. Deal sama importir baru,” Candra mengingatkan

“Atur aja. Paling juga besok gue tidur seharian,”

***

Rachel 

Rachel memandangi kedua sahabatnya yang sedang berpose aneh-aneh di Shibuya. Di tengah keramaian orang yang lalu lalang ini Stefan dan Lala masih saja bisa berpose unik dan ditangkap oleh kamera.

“Chel, bentar lagi ya. Abis ini kita cari makan,” seru Stefan saat sang fotografer mengatur pencahayaan.

Rachel tersenyum, mengangguk. Ini hari keempat Rachel di Tokyo. Kemarin ia bermain sendirian di Disneyland Tokyo. Ditemani anak-anak kecil yang ditemuinya disana. Sebelumnya ia ikut foro prewed di GUnung Fuji dan Menara Tokyo. 

Rachel berdiri menunggu Stefan dan Lala sambil memegang botol susu. Menghirup sedikit demi sedikit agar tidak bosan menunggu.

“Udah nih. Yuk,” Lala tiba-tiba menggandeng lengan Rachel.

Mereka bertiga berpisah dengan tim fotografer. Berjalan sambil mengobrol menyusuri Tokyo di saat malam. Menuju Tokyo Ramen Street, dimana tersedia berbagai toko ramen. 

“Selalu seneng aku sama Jepang,” ujar Lala saat menunggu pesanan datang.

“Yoi. Rame, seru, unik, rap,” Stefan setuju.

“Kenapa kalian pilih Tokyo untuk prewed deh? Anti mainstream banget,” kata Rachel.

“Ya karena itu Chel. Biar beda sama yang lain,” Stefan membusungkan dada.

“Kalau gue sih mikir ya Paris gitu lebih cocok,” lanjut rachel.

“Lo mau prewed sama siapa emang?” Stefan mencondongkan tubuhya ke arah Rachel. Tersenyum iseng. Lala langsung menarik Stefan mundur, karena mereka semua tahu itu pertanyaan agak sensitif bagi Rachel. Cuma pada Stefan dan Lala, Rachel bilang bahwa ia tidak mau ada di Jakarta karena Arbi bertunangan.

“Entahlah, Stef,”

“Eh ini udah dateng. Makan yuk, buruan,” Lala menyela obrolan dengan suara bersemangat menyambut ramen.

Pukul 10 mereka sudah kembali ke Grand Hyatt Hotel. Besok tidak ada jadwa pemotretan sehingga Stefan, Lala, dan Rachel akan berwisata kuliner dan membeli oleh-oleh. 

Stefan dan Lala berjalan bersama di depan. Rachel agak ke belakang karena ia menerima pesan dari Mami, minta dibelikan oleh-oleh. Setelah membalas pesan Mami, Rachel kembali berjalan dan melihat seseorang di depannya menjatuhkan dompetnya.

“Eh,” cepat-cepat Rachel mengambil dompet itu dan menepuk pundak pria yang dompetnya terjatuh. “Sorry, Mr. Your wallet was dropped,”

“Eh, oh thank you,” Pria itu berbalik dan Rachel terkejut.

“Candra?”

“Rachel?”

Rachel langsung gugup. Cepat-cepat ia menyerahkan dompet itu kepada Candra, namun ada 1 benda lagi yang terjatuh. Sebuah cincin. Dengan sigap Candra mengambilnya sebelum menggelinding terlalu jauh.

“Cincin pertunanganmu sebaiknya dipakai, Candra,” usul Rachel. Ia sudah tahu bahwa Candra dan Ola bertunangan.

“Ah iya. Ini gue pakai kok, Chel,” Candra menunjukkan jari tangan kirinya. 

“Terus itu cincin si…”

“Can, nanti kita flight jam berapa ya?”

Belum sempat Rachel bertanya, ketakutannya muncul sudah. Suara yang sudah sebulan lebih tak didengarnya, terdengar dari belakang Rachel.

“Ini cincin dia, Chel,” jawab Candra pada Rachel. Rachel cuma mematung. Orang itu akhirnya mendekati Candra, menepuk pundak Candra. Sedetik kemudian dia baru sadar Candra tak sendirian. 

Arbi kaget, Rachel juga. Arbi bahkan hampir menjatuhkan iPhone-nya.

“Rachel,” kata Arbi.

“Permisi,” Rachel berbalik dan segera berlari meninggalkan Candra dan Arbi.

***

Arbi

“Ini beneran nyata atau saking kangennya sampai gue halusinasi?” Arbi menoleh pada Candra.

Candr menampar pipi Arbi.

“Woii! Sakit nyet!”

“Nah berarti asli,” kata Candra kalem.

“Dia ngapain disini?” Arbi menggosok pipinya.

“Suka-suka dia lah mau ngapain disini,” Candra tertawa melihat reaksi Arbi.

“Jodoh kali ya,” gumam Arbi, memandangi arah Rachel berlari tadi. 

“Ngomong-ngomong, tadi lo lagi nelepon siapa?” Candra menunjuk iPhone yang masih dipegang Arbi.

“Oh, nyokap gue. Eh udah diputus,”

Arbi menyimpan iPhone tersebut ke sakunya.

“Besok kita bisa ketemu vendor agak siang kan?”

“Iya, kenapa?”

“Gue mau nungguin Rachel dulu,”

“Sakit jiwa,” gumam Candra lalu menuju kamarnya.

Pagi-pagi sekali Arbi sudah berdiri di depan restoran. Cepat atau lambat pasti Rachel akan kesini untuk sarapan. Benar saja. Setelah 30 menit menunggu, Arbi melihat Rachel mendekat bersama Stefan dan Lala. Rachel belum melihat Arbi. Saat sudah hampir masuk, barulah Arbi keluar dari tempat persembunyiannya.

“Rachel,”

“Kya!” rachel berteriak. Stefan dan lala ikut melonjak. “Kamu..”

“Hai…” Arbi salah tingkah. Sudah lama mereka tidak bertemu. Arbi sangat ingin bisa mengobrol lagi dengan Rachel. 

“Kita masuk duluan ya Chel,” Lala tersenyum, menarik tangan Stefan lalu masuk restoran lebih dulu.

“Eh, Stef, tunggu,”

Arbi menahan tangan Rachel. 

“Bisa kita ngobrol sebentar? Sudah lama…”

“Kamu sudah tunangan, Arbi. Untuk apa ketemu aku lagi?” Rachel menarik tangannya.

“Dan kamu tahu itu semua paksaan,”

“Kamu tidak terlihat terpaksa,”

Arbi mengerang. “Erh, itu cuma kelihatannya saja. Harusnya kamu tahu hati aku terluka. Tersayat. Hancur. Apalagi setelah kamu meninggalkan aku begitu saja sepulang kita dari pesta Chelsea Islan,”

“Maaf,” Rachel menunduk.

“Kita ngobrol yuk…” ujar Arbi pelan. “Dengan kepala dingin. Tidak seperti dulu. Maukah?”

“Aku gak bisa kalau siang..”

“Makan malam?”

“Oke,”

“Oke? Oke. Kita ketemu lagi disini jam 6? Setelah itu kita berangkat bersama,”

“Oke,”

Arbi benar-benar terlihat bahagia. Rona wajahnya kembali lagi. “Er, kalau gitu. Sekarang kita sarapan? Eh maksudnya, kamu sarapan dengan teman-temanmu. Aku, aku akan menemui Candra.”

Rachel mengangguk. Arbi mundur perlahan, terus memandangi Rachel sambil tersenyum. Melambai penuh semangat menanti acara nanti malam.

***

Rachel

Untuk terakhir kalinya mungkin. Dia sudah akan menikah dengan orang lain. Tapi aku masih sangat merindukannya.

Rachel berdiri di lobby Grand Hyatt. Mengenakan gaun sederhana namun tetap membuatnya menawan. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai tertiup angin. Rachel merasa senang sekaligus takut. Namun dia memilih untuk menikmati saja apa yang akan dihadapinya bersama Arbi. Rachel sangat merindukan Arbi. Untuk sekali saja dia mengijinkan dirinya untuk berinteraksi lagi dengan Arbi. Karena setelah pulang dari sini, Arbi akan kembali jadi milik Nadia. 

“Hai,” Arbi menghampirinya. Tersenyum lebar. 

“Hei,” sapa Rachel pelan.

“Aku sudah pesan taksi. Kita berangkat pakai taksi ya,”

Rachel hanya mengangguk. Mengikuti Arbi menuju taksi yang sudah tersedia. Mereka tak banyak bicara saat di taksi. Hanya bertanya soal kabar satu sama lain dan apa tujuannya ke Tokyo. 

“Are you sure?” tanya Rachel begitu taksi berhenti. Ia terperangah melihat bangunan bercat putih di hadapannya. Chateau de Joel Robuchon.

“Yeah. Mari…”

Arbi mengulurkan tangannya untuk digandeng Rachel. Ragu-ragu Rachel menyambut uluran tangan tersebut. Namun akhirnya mereka berjalan berdampingan. Setelah diantar ke tempat duduk, mereka mulai memilih menu. 

Rachel dan Arbi kembali membahas hal-hal umum, seperti negara mana yang mereka senang kunjungi, apa yang mereka suka dari Tokyo. Bagi Rachel sendiri, ia tidak mau membahas urusan pribadi mereka disini. Karena hanya akan membawa kesedihan baginya.

“Bolehkah aku bertanya satu hal?” tanya Arbi dengan pelan saat mereka menikmati dessert.

“Yaitu?”

“Apa kamu mencintai aku, Chel?”

Tangan Rachel membeku di udara. Ia harus menjawab apa? Hatinya berkata ya, otaknya melarang untuk berkata jujur.

“A-aku, aku…” Rachel berusaha memandang Arbi. Arbi balas menatap Rachel dengan intens. “Kamu sudah punya tunangan.”

“Bukan itu pertanyaan aku, Rachel,” Arbi mengulurkan tangannya, menyambut kedua tangan Rachel. Rachel balas menggenggam tangan Arbi, meremasnya pelan.

“Aku harus jawab jujur?” 

“Tentu saja, Sayang,” Arbi tersenyum menenangkan. 

Rachel mengumpulkan segenap keberanian, memandang mata Arbi, menggenggam tangan Arbi yang besar dan hangat.

“Aku cintaaaaaa sekali pada Arbi Atmodikoro,” kata Rachel. Membuat Arbi langsung berbunga-bunga. Tangan Rachel ditarik dan diciumnya.

“Aku juga sangat mencintai kamu,”

Rachel terharu melihat pemandangan di depannya. Ia tidak mau mereka berpisah. Tapi Rachel tahu bahwa tidak benar bagi Rachel dan Arbi untuk bersama. 

Perlahan, Rachel menarik tangannya kembali.

“Kenapa?” Arbi bingung.

“Terlalu banyak rintangan yang kita punya, Arbi. Aku hanya menjawab pertanyaanmu. Tapi tak berarti kita bisa bersatu. Aku harap ini adalah pertemuan terakhir kita. Setelah ini kamu akan pulang, menikah dengan NAdia, membangun keluarga yang bahagia.”

“Kalau kamu mencintai aku, aku bisa membatalkan pertunangan aku,”

Rachel menunduk, hatinya benar-benar terasa sakit. Menyadari rasa cinta yang pertama kali tumbuh di dirinya. Tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang. Sedih saat dia berada jauh. Harus benar-benar merelakan berpisah dengan pria yang dicintai.

“Kamu akan lebih bahagia dengan Nadia,” Rachel berkata sambil menahan tangis.

“Kenapa kamu nangis? Kita kesini untuk ngobrol. Kita tahu perasaan masing-masing. Kita juga sudah bisa hadapi pemberitaan orang lain bersama-sama. Gak ada yang bisa halangin kita lagi kan?” Arbi mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Rachel.

“Tapi aku gak bisa. Aku gak bisa berhubungan dengan kamu, apalagi menikah dengan kamu,” Rachel berkeras.

“Bisa, Rachel. Asal kamu percaya,”

“Kamu gak ngerti,”

“Apa yang aku gak ngerti? Kasih tau aku. Rachel, jangan diam begini,”

Rachel menarik nafas. “Maaf, aku gak bisa,” 

Rachel memundurkan kursi dan berlari keluar. Arbi ingin mengejar tapi ia tertahan oleh makanan yang belum dibayar. Diambilnya segepok uang Yen dan ditaruh begitu saja di meja. Setelah itu Arbi mengejar Rachel yang belum berlari terlalu jauh karena gaun dan high heels-nya.

“Rachel, tunggu,” Arbi mengejar dan berhasil menahan tangan Rachel. “Apa yang gak bisa? Apa yang jadi halangan buat kita berdua?”

“Lupakan saja, Arbi,” Rachel menarik tangannya.

“Bilang Chel. Kumohon. Supaya aku tahu,”

“Aku gak bisa hamil! Kamu puas?!” Rachel berteriak. Arbi mematung. Sebuah berita yang mencengangkan bagi dirinya. Tak terbayang hal ini bisa terjadi pada orang yang dicintainya.

“Kamu bohong kan?” Arbi berkata lirih.

Rachel menatap Arbi dengan air mata berlinang sehingga seharusnya Arbi tahu bahwa Rachel tidak bercanda. Arbi menarik Rachel ke pelukannya. Membiarkan Rachel menangis disana.

***

Arbi

Sepanjang perjalanan dari hotel ke Bandara Narita, juga di pesawat, Arbi hanya diam. Candra pun tak berani banyak bertanya. Arbi bergerak seperti robot. Gerakannya kaku, tatapannya menerawang, bicaranya tidak fokus. 

Sampai akhirnya ketika sudah sampai di Jakarta dan Candra mengantarkan Arbi ke apartemen, Arbi masih diam. 

“Sebenarnya ada apa?” Candra memberanikan diri bertanya. 

Arbi menoleh ke arah Candra. Mencerna pertanyaan Candra lebih lama dari seharusnya. 

“Gak ada apa-apa,” jawab Arbi dan kembali memandangi jalanan. Candra tak berani bertanya lagi. Ia tahu bahwa suatu saat Arbi pasti akan bercerita. 

“Endometriosis,” kata Rachel dengan lirih. 

Rachel dan Arbi duduk di depan Chateau. Keduanya terduduk lesu. Arbi memandangi Rachel yang terus menunduk. 

“Sudah sejak lama aku sering merasa sakit saat datang bulan. Tapi selalu aku tutupi dan aku anggap sakit biasa. Toh banyak teman perempuanku merasakan hal yang sama. Puncaknya adalah saat aku kuliah di Belanda. Aku tidak bisa menahan rasa sakit sampai akhirnya pingsan pada salah satu periode datang bulanku. Dokter memvonisku penyakit tersebut. Aku mencoba mencari second opinion dan jawabannya tetap sama. Tidak ada yang tahu soal ini.” 

Arbi tidak berkata apa-apa. Rachel tetap melanjutkan masih dengan sedikit demi sedikit menahan tangis. 

“Mereka menyarankan pengobatan. Aku coba. Tapi hasilnya nihil. Mungkin memang sudah ditakdirkan begini. Sehingga aku takkan pernah bisa hamil,” Rachel terisak. Arbi ingin sekali memeluk Rachel tapi ada hal yang membuatnya ragu. 

“Cukup kan? Cuma kamu yang aku ceritakan,” Rachel menghapus air matanya dan bangkit. 

“Mau kemama?” Arbi mengejar. 

“Pulang,” Rachel menoleh dan tersenyum sedikit. Belum pernah Arbi melihat Rachel seperti itu. Tersenyum tapi penuh kepedihan. 

“Aku temani,” Arbi meraih tangan Rachel dan berusaha menghentikan taksi. Mereka berkendara ke hotel dengan berdiam diri. 

Begitu sampai di hotel, Rachel berjalan lebih dulu. Arbi mengikuti di belakang masih dengan tak percaya. 

Rachel menoleh ke belakang, melihat Arbi masih mengikuti dengan pandangan kosong. 

“Selamat tinggal,” unar Rachel. Membungkuk memberi hormat. Setelah itu berbalik memuju kamarnya. 

Arbi tidak mengejar. 

“Besok berangkat kerja lo?” tanya Candra setelah memarkirkan mobil Fortuner Arbi di basement apartemen. Candra akan pulang menggunakan taksi. 

“Gak tau, Can. Gue merasa perlu istirahat. Lo aja yang besok laporan hasil meeting kita di Tokyo ke BOD,” Arbi turun dari mobil, menarik kopernya dan meninggalkan Candra begitu saja. 

“Oke,” sahut Candra pada dirinya sendiri. 

*** 

Rachel 

“Aku masih punya 2 hari di sini, Mami,” unar Rachel dengan suara agak serak sisa menangis tadi malam. 

“Itu suara kamu serak kenapa?” 

“Karaokean sama Stefan dan Lala semaleman,” Rachel berbohong. Untuk kali ini ia berbohong dan merasa tidak enak. Meski Rachel melakukan itu agar tidak membuat Mami khawatir. 

“Ya udah. Enjoy the trip ya. Jamgan lupa pulang lho. Kalau nggak, Radit sendiri yang mau seret kamu dari Tokyo,” 

Rachel tertawa. 

“Mana mungkin aku lupa datang ke nikahan Radit,” 

“Ya mungkin aja. Kalau kamu udah nemuin mas-mas Jepang cakep,” 

“Masa di Jepang ketemunya mas-mas lagi?” 

“Iya apa deh itu sebutannya. Ya udah cepet pulang ya. Kabari Mami namti Mami kirim jemputan,” 

“Iya, Mamii,” 

“Chel, you know that Mami and Papi anf Radit loves you so much right?” 

Rasanya Rachel ingin memangis mendengar itu. Mami seperti tahu perasaannya yang sedang sedih. Apalagi setelah menceritakan hal penting kepada Arbi. 

“Rachel loves you all, too,” 

“Have fun,” 

Telepon ditutup. Rachel namgun dari tempat tidurnya. Hari ini dia dan Stefan Lala akan berjalan-jalan ke Osaka menggunakan Shinkansen. 

“Enjoy the trip and forget your problem,” gumam Rachel meyakinkan dirinya sendiri. 

*** 

Arbi 

3 hari setelah pengajuan mencengangkan Rachel, akhirmya Arbi kembali ke kantor. Mengurung diri di apartemen tetap tidak memberikan jalan keluar bagi Arbi. Otaknya seakan beku dan sulit memberikan solusi. Arbi memilih mengalihkan perhatiannya pada hal lain saja. 

“Gimana performa semuanya?” tanya Arbi begitu ia sampai di kantor. 

“Ada beberapa hal yang harus ditingkatkan,” Candra menyerahkan laporan berupa grafik-grafik dan analisa. 

“Kumpulkan BOD dan semua kepala unit bisnis. Meeting 2 jam lagi,” ujar Arbi lalu masuk ke ruangannya. 

“Siap,” Candra membungkuk lalu bergegas menghubungi semua pihak terkait. 

Adbi berhasil mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan. Ia bahkan menghasilkan satu usulan produk baru dan beberapa strategi penjualan. Dalam meeting itu juga akhirnya disetujui Chelsea Islan sebagai brand ambassador Nesiacorp yang baru. 

“Ah shoot,” Arbi memijat keningnya. Ia baru bisa bernafas pukul 8 malam. Rasanya banyak sekali hal yang ia kejakan seharian ini. 

Arbi sudah membuka jas dan dasinya. Begitu juga Candra yang sedang duduk di depan Arbi sambil mengetik. 

“Hectic, huh?” 

“Super!” Arbi menggeleng. “Things to do gue udah beres semua kan?” 

“Soal kerjaan udah,” 

“Apa lagi yang belum?” 

“Nadia. Dia ngerecokin gue terus. Nanya kabar lo. Katanya dia ke apartemen lo tapiga ada orang,” 

“Ah,” Arbi tahu Nadia mendatangi apartemennya. Tapi Arbi biarkan saja. Ini pasti Ayahnya yang memberikan alamat apartemen Arbi. “Gue bahkan gak tau mesti gimana ngadepin dia.” 

Candra melihat atasannya. “Coba aja cintai dia,” 

“Kayak gampang,” gumam Arbi. Ingatannya menerawang ke acara pasca makan malam di Tokyo. 

“Can,” panggil Arbi. 

“Hmm?” Candra menanggapi tanpa mengangkat wajah dari laptop. 

“Gue mau nanya. Serius. Lo liat gue,” 

“Apa?” Candra mengangkat kepalanya. Menutup laptop sekalian. 

“Kalau nih ya, kalau,” Arbi berdeham. “Kalau Ola tiba-tiba dateng ke lo dan dia bilang bahwa dia gak bisa hamil, apa yang akan lo lakukan?” 

“Nadia gak bisa hamil?” 

“Bukan,” 

“Rachel?” 

“Udah jawab aja,” 

“Hmm bener Rachel,” Candra memberi jeda. Memperhatikan ekspresi Arbi yang memang terlihat makin pusing saat Candra menyebut nama Rachel. “Tergantung beberapa hal, bro,” 

Arbi diam, memperhatikan. Candra memperbaiki posisi duduknya sebelum menjawab. 

“Kalau gue tahu itu sebelum kami menikah, ada kemungkinan gue akan membatalkan pernikahan dan putus sama dia. Salah satu tujuan hidup manusia tuh berkembang biak kan?” 

Arbi masih tak menanggapi. 

“Tapi, karena ini Ola, Cewek yang gue cinta setengah mati. Mau dia bilang sebelum atau setelah kami nikah pun, gue akan tetap menerima dia. Karena gue udah tahu gue jadi versi terbaik diri gue saat bersama dia. Gue sangat nyaman bersama dia. Masalah anak, gue bisa adopsi, atau kita bisa pancing, atau bayi tabung, atau apalah. Tapi lo gak akan menemukan perempuan lain yang cocok sama lo. Lagian gue tau Ola juga pasti sedih ga bisa punya anak. Bukan keinginan dia. Disini, gue mau jadi kekuatan dia. Jangan sampai dia sedih karena ga bisa hamil ditambah sedih karena diputusin juga.” 

Arbi terenyuh mendengar penjelasan Candra tersebut.

“Eh tapi jangan sampai itu kejadian sama Ola lho ya. Kami udah tes dan subur dua-duanya kok,” 

Arbi tersenyum. “Thanks bro. You inspire me “ 

Arbi mengambil barang-barangnya dan bersiap pergi. 

“Eh lo mau kemana?” 

“Gue mau cari Rachel,” teriak Arbi. 

Arbi bergegas turun dari lift dan menelepon Rachel. Tidak diangkat. Ganti, Arbi menelepon Moza. 

“Halo Pak Arbi?” 

“Rachel sudah pulang dari Tokyo, Za?” 

“Sudah, Pak. Sekarang kami sedang di Bali,” 

“Bali?!” Arbi memekik. 

“Iya. Pernikahan Kak Radit dan Kak Talita kan besok,” 

“Oh damn. Jam berapa pernikahannya?” 

“Akad nikah jam 4 sore Pak. Resepsi jam 7 malam,” 

“Lokasi?”

Arbi yang tadinya ingin menuju apartemen Rachel, terpaksa berganti arah menuju bandara. 

“Ada di undangan kan Pak?” 

“Saya gak diundang, Moza.” Arbi menghela nafas. 

“Oh,” Moza merasa salah bicara. 

“Tapi saya perlu ketemu Rachel. Sangat sangat perlu. Ini gak bisa ditunda. Kamu mau bantu saya?” 

“Rumah Luwih, Pak,” 

“Thank you, Moza. Thank you,” 

Selesai menelepon Moza, Arbi ganti menelepn Candra. “Gue otw bandara. Carikan penerbangan ke Bali hari ini juga. Dan kasih tau siapapun orang Nesiacorp di Bali untuk jemput gue dan antar ke hotel terdekat dari Rumah Luwih punyanya Yoris. Oh iya, ingetin dia juga untuk beliin gue baju dan jas buat ke acara pernikahan. Nanti gue ganti 2x lipat,” 

“Oke,” sahut Candra. 

Arbi ngebut ke bandara. Dalam 10 menit Candra sudah mengirimkan e-ticket ke email Arbi, Garuda Indonesia pukup 10 malam. Disertai pesan, ‘dijemput Pak Ngurah, Marketing Manager Area BNT’ 

“Lo selalu bisa diandalkan, Can,” Arbi mengangguk dan memacu kencang mobilnya. 

Begitu sampai di terminal 3, Arbi bergegas untuk cek in. Tak berapa lama ia sudah sampai lounge karena tak banyak barang yang dibawa selain dompet, ponsel, charger, dan kunci mobil. Arbi menunggu penerbangan dengan perasaan tak tenang. 

Panggilan akan penerbangan GA-652 membuat Arbi melonjak. Ia menunjukkan boarding pass dan setengah berlari menuju pesawat. 

2 jam perjalanan bagi Arbi terasa sangat lama. Ia sudah benar-benar tak sabar bertemu Rachel. 

Keluar dari Bandara Ngurah Rai, Arbi melihat Pak Ngurah mengenakan kaos putih dan jeans, tersenyum kepadanya. Arbi sudah beberapa kali bertemu dengan dia dan tahu bahwa orangnya dapat diandalkan. 

“Maaf mengganggu tengah malam begini,” sapa Arbi pertama kali. 

“Gak masalah, Pak. Kalau mendadak ada telepon untuk jemput Pak Arbi di weekend begini, pasti urusannya penting dan saya gak bisa santai-dantai. Mari,” 

Pak Ngurah mengajak Arbi menuju mobilnya, Avanza putih. 

“Ada beberapa hotel rekomenfasi dekat Rumah Luwih. Saya sudah reservasikan di Mara River. Kebetulan pemiliknya masih saudara saya. Jadi bisa dapat kamar meski sudah agak mepet weekend,” 

“Oke Pak. Gak masalah,” Arbi mengangguk. 

Pak Ngurah terus menyetir dan Arbi juga masih tak sabar. 15 menit kemudian mereka sampai di tujuan. Pak Ngurah berbicara sebentar dengan resepsionis. 

“Ini kunci kamarnya Pak. Oh iya dan ini baju pesenan Bapak. Nanti Bapak mau dijemput jam berapa biar kabari saya saja,” 

“Ah ya, hmm, mungkin siang. Saya perlu, er, siap-siap dulu,” Arbi menjawab sambil memgangguk-angguk ala orang Jepang. 

“Siap. Ini kartu nama saya. Silakan hubungi ke nomor itu aja pak kapanpun dibutuhkan,”

“Terima kasih Pak Ngurah. Terima kasih,” 

“Saya tinggal dulu ya Pak,” 

Pak Ngurah berlalu. Arbi diantar menuju kamar. Awalnya dia tidak bisa tidur karena terlalu khawatir. Namun karena faktor kelelahan, akhirnya Arbi tertidur juga 

Biasanya Arbi akan bangun lebih siang kalau tidur terlambat. Namun ini dia sudah bangun pukul 6 pagi. Saat melihat bayangannya di cermin, Arbi mengakui wajahnya kacau sekali. 

Arbi memutuskan untuk mandi. Apalagi saat melihat ternyata Pak Ngurah memberikan pakaian santai juga. Celana pendek dan kaos. 

Arbi turun untuk sarapan dengan pakaian itu. Pikirannya masih dipenuhi dengan bagaimana ia akan memulai saat bertemu Rachel. 

Rencana gilanya, Arbi akan minta Rachel menikah dengannya saat itu juga. Mumpung ada penghulu dan kedua orang tua Rachel. 

Orang tua! 

Arbi belum menghubungi ayahnya. 

Omelet yang sedang dimakannya mendadak tidak menarik. Pelan-pelan Arbi mengeluarkan ponsel, menekan nomor telepon ayahnya. 

“Yah,” 

“Ada apa kamu menelepon pagi-pagi, Bi?” 

“Arbi ingin membatalkan pertunangan dengan Nafia,” ujar Arbi tanpa basa basi. 

“Apa?” seru Ayah. 

“I'm 100% serious. Please understand me, Yah. I love you and Bunda, I do. But for this one, I cant. I love Rachel and she’s the only one for me,” 

“Kamu pulang dan kita bicarakan di rumah,” ujar Ayahnya dengan tegas. 

“Arbi sedang di Bali. Saya akan menemui Rachel dan meminta dia untuk menikah, di depan orang tuanya. Kalau perlu, saya akan menikahi dia sekarang juga,” 

“Arbi! Jangan sembrono kamu!” 

“Ayah, maaf. Maaf sekali,” Arbi mengisak. Tak mengira ia akan menangis di depan Ayahnya. “Ayah boleh mengambil alih Nesiacorp atau mencoret Atbi dari ahli waris. Tapi mohon jamgan untuk yang satu ini. We need each other, Yah. Arbi tidak mau membuat kesalahan dengan menikahi Nadia. Sebelum semuanya terlambat…” 

“Arbi…” kali ini suara Bunda yang trrdengar. “Lakukan yang terbaik, Nak. Jangan lupa kamu jelaskan juga ke Nadia. Orang tua Nadia akan jadi urusan Ayah dan Bunda. Ya?” 

“Terima kasih, Bunda, Ayah. Arbi sayang kalian,” 

Arbi mematikan telepon. Ia menghentikan dulu tangisnya sebelum menelepon Nadia. 

Nadia terdengar gitang sekali saat ditelepon Arbi. Mengira Arbi akan mengajaknya bertemu atau apa. Nyatanya Arbi meminta penghentian pertunangan. Nadia marah-marah. Bilang Arbi tidak berperasaan. Membuat Arbi meminta maaf berkali-kali. 

“Gue pastikan gue akan nikah fengan cowok yang JAUH LEBIH BAIK DARI LO!” teriak Nadia lalu menutup teleponnya. 

Arbi tersenyum. Satu urusan selesai. Satu lagi yang utama. 

Pukul 3 sore Arbi tiba di lokasi pernikahan Raditya Tarhan dan Talita Pradja. Setelah mengumpulkan segenap keberanian dan merangkai kata-kata, Arbi turun dari mobil Pak Ngurah yang mengantarnya. Ia meminta Pak Ngurah untuk tidak menunggui Arbi. 

“Sore,” sapa Arbi dengan ramah kepada Security yang berjaga. Tanpa menunggu jawaban, Arbi melangkah masuk. 

“Maaf Pak,” salah satu Security yang berbadan tinggi, menahan Arbi. “Undangan?” 

“Undangan?” Arbi mengernyit. Ia melirik sekilas ke sekitar dan melihat ada alat scan barcode. Arbi menduga bahwa siapapun tamu undangan harus menunjukkan undangan ber-barcode agar bisa masuk. Arbi bahkan tidak memikirkan hal itu. Tapi ini acara pernikahan seorang keluarga Tarhan! Jauh-jauh di Bali agar suasana aman, nyaman, dan pribadi tetap terjaga. Tentu mereka ingin memastikan yang datang adalah benar-benar yang diundang. 

“Oh ya ampun! Undangan saya ketinggalan di Jakarta! Saya buru-buru ke sini dari kantor,” pengalaman membintangi iklan dengan Rachel sedikit memberi Arbi pelatihan untuk berakting. 

“Sayang sekali. Artinya Anda tetap tidak boleh masuk,” Security itu berkeras. 

“Beneran nih? Serius? Saya kenal Radit lho,” 

“Dan semua orang yang lain juga,” kata Security, tersenyum ramah yang membuat orang lain seharusnya makin tertohok. 

“Ayolah, satu orang saja. Oke?” 

“Kalau Anda kami ijinkan, nanti akan ada yang lain juga,” 

“Saya telepon Radit ya?” Arbi mengeluarkan iPhone. Padahal ia tidak tahu nomor Radit. 

“Telepon Pak Radit dipegang asistennya,” jawab Security kalem. 

“Oh ya ya. Saya bukannya gak tahu sih,” Arbi mengangkat bahu lalu memasukkan iPhone kembali ke saku celana. “Ya sudah, mau gimana.” 

Arbi berbalik, bermaksud terlihat kabur lalu kembali menerobos. Setelah tiga langkah, Arbi memutar dan berlari. 

“Maaf Anda gagal, Pak,” kedua Security menahan tubuh Arbi dengan ekspresi geli. 

“Ayolah. Saya butuh banget ketemu Rachel hari ini. Penting penting penting!” Arbi mulai tidak sabar. 

“Kenapa nih?” Dari belakang terdengar suara baru. Arbi menoleh ke belakang security, begitu juga kedua security itu, tanpa melepaskan Arbi. 

“Lho, Arbi?” Radit muncul, mengenakan jas putih, rambutnya rapi, tangannya dimasukkan ke saku celana. 

“Hai, Dit,” Arbi nyengir. Malu juga ketauan tuan rumah. “Gue perlu ketemu Rachel,” 

Arbi menyela sebelum Radit bilang soal tamu tak diundang atau semacamnya. Radit mengernyit sebentar. Berpikir. 

“Lepasin Pak. Dia pacarnya adik saya. Mungkin undangannya ketinggalan,” Radit memutuskan. Arbi tersenyum lega. Menepuk pundak kedua security dan mengangkat jempolnya. 

“Untung ada lo,” ujar Arbi begitu ia hanya tinggal dengan Radit. 

“Gue lagi jalan-jalan karena nervous. Terus gue denger agak ribut di luar,” Radit menatap Arbi. “Sorry ya Bi, tapi gue gak ngasih undangan kan? Soalnya ini bener-bener cuma keluarga dan sahabat terdekat. Waktu gue tanya Rachel apa perlu ngasih undangan ke lo, dia bilang kalian putus,” 

Arbi menggaruk kepalanya. “Iya. Gue memang gak diundang Dit. Tapi gue perlu banget ketemu Rachel. Ada kesalahpahaman antara kita dan gue gak mau Rachel berpikir buruk lebih lama lagi. Gue janji gak akan merusak hari bahagia lo. Gue cuma butuh ketemu Rachel.” 

“Rachel lagi sama Talita. Jadi bridesmaid Talita bareng Yolanda, adiknya Talita. Kalau mau, lo bisa ketemu Rachel setelah acara akad. Tapi inget ya, jangan bikin rame,” ancam Radit. 

“Siap. Gue cuma akan ngobrol,” Arbi berjanji.

“Ya udah. Lo tunggu di dalem aja. Bareng Mami tuh. Dia pasti seneng,” Radit menepuk pundak Arbi. 

Mereka berdua memasuki sebuah ruangan tempat akad akan dilaksanakan. Sudah didekor sederhana mamun elegan. Radit berjalan lebih dulu menuju barisan depan, dimana Risya dan Romeo Tarhan sedang mengobrol bersama orang tua Takita. 

“Here comes the groom,” seru Risya Tarhan dengan penuh kebahagiaan. “And oh, Arbi!” 

Arbi menghampiri Mami, menyalamibya. 

“Sore, Tante. Sore, Om,” 

“Mami kira Arbi gak dateng. Kata Rachel…” 

“Makanya Arbi kesini. Mau ketemu Rachel dia, Mam,” sela Radit. 

“Oh. Sini sini. Duduk sama Mami. Nanti Rachel juga duduk disini setelah iringi Talita,” Mami mengarahkan Arbi ke salah satu kurai di deretan depan. Sementara itu Papi tak bilang apa-apa. 

“Terima kasih, Tante,” 

Pembawa acara tiba. Ia menyuruh Radit untuk segera duduk. Berhadapan dengan ayah Talita. Ibu Talita berpindah ke dereta kursi untuk pihak pengantin wanita. Sementara di deretan depan pihak pengantin pria, duduk Romeo Tarhan, Risya Tarhan, Arbi, kursi kosong untuk Rachel, dan satu kursi untuk adik Romeo Tarhan yang pertama. Asisten Radit yang tadinya akan duduk di depan, berpindah ke barisan kedua. Di samping, berderet para bodyguard keluarga Tarhan. 

Arbi duduk dan diam. Ia tak berani berkata apa-apa. Ia hanya khawatir Rachel tak mau bertemu dengannya dan membuat keributan disini. 

Acara dimulai. Sambutan dari kedua keluarga, pembacaan doa, pembacaan ayat suci, pemberian khutbah nikah, sampai kemudian acara utama, yaitu ijab kabul. Talita belum keluar disini. Sepertinya ia akan keluar setelah Radit selesai menjalankan ijab kabul. 

“Saya terima nikahnya Talita Pradja binti Yusuf Pradja dengan mas kawin 1 kilogram emas dan seperangkat alat shalat dibayar tunai,” ujar Radit dengan lancar. 

“Sah!” ujar saksi.

Semua hadirin bersyukur dan berdoa. Tidak berapa lama kemudian pintu dibuka dan masuklah sang pengantin wanita dalam balutan gaun putih sederhana. Dia memegang buket bunga yang cantik namun tak mengalahkan wajahnya yang berseri-seri. Di belakangnya, berjalan wanita paling cantik menurut Arbi, Rachel Tarhan. Dia juga tersenyum senang mengiringi kakak ipar, bersama Yolanda, adik Talita. 

Rachel dan Yolanda terus mengiringi Talita sampai duduk di samping Radit. Setelah itu Yolanda berjalan ke sebelah kanan dan Rachel ke sebelah kiri. Saat itulah Rachel baru melihat siapa yang duduk bersama orang tuanya. 

Rachel ingin kabur dan berpindah tempat duduk, tapi jelas tak mungkin. Maka ia terpaksa duduk di kursi kosong satu-satunya. Di sebelah Arbi. 

“Hai,” sapa Arbi pelan. 

Rachel tak menjawab. Berusaha fokus pada Radit dan Talita yang sekarang sedang melanjutkan acara. 

“Aku mau ngobrol sama kamu,” bisik Arbi lagi. 

Rachel masih diam. 

“Sebentar saja. Kamu harus dengar, Rachel,” 

Rachel menoleh kepada Arbi, menatapnya tajam. 

“Hanya sebentar. Setelah acara akad ini selesai,” 

“Tentu,” Arbi tersenyum. 

Setelah itu Arbi tak lepas memperhatikan Rachel. Berusaha agar Rachel tak kabur.

“Sudah?” tanya Arbi setelah Rachel kembali dari foto keluarga bersama mempelai. 

“Belum,” jawab Rachel datar. 

“Tadi kata MC acaranya sudah selesai. Pengantin akan beristirahat dan…” 

“Iya iya ayo,” Rachel mengangkat tangannya agar Arbi diam. Rachel berjalan lebih dulu keluar dari ruangan, menuntun Arbi menuju halaman belakang yang menghadap pantai. Tempat resepsi nanti malam akan berlangsung. 

“Kamu cantik,” adalah kata-kata pertama Arbi begitu mereka hanya berdua. 

“Tolong, langsung saja,” Rachel memotong.

Arbi menghela nafas. Ia memandang Rachel lekat-lekat. Seluruh rangkaian kata yang dia siapkan mendadak terbang dan Arbi hanya mengucapkan satu hal yang sebenarnya sudah ingin ia ucapkan sejak dulu.

“Ayo kita menikah,”

Rachel terbelalak. Seakan tak percaya mendengar ucapan Arbi. 

“Jangan bercanda,” Rachel memalingkan wajahnya, tubuhnya mendadak terasa membeku. Kata-kata Arbi memberikan harapan di hatinya namun di saat yang sama Rachel tahu itu mustahil.

“Ada nada bercanda di kata-kataku? Atau ekspresi tidak serius di wajahku?” Arbi menggeser posisinya berdiri menjadi kembali di hadapan Rachel.

“Kalimat kamu sendiri sudah bercanda, Arbi,” Rachel mendorong pelan pundak Arbi, meninggalkan Arbi. Rachel mulai berjalan menyusuri pantai. 

“Apa yang membuat kamu berpikir aku bercanda?” Arbi mengikuti Rachel, berjalan di sampingnya.

“Kamu sudah bertunangan dengan Nadia. Meski tidak semua orang tahu, tapi aku tahu,” 

“Aku sudah membatalkan tunangan dengan Nadia. Dia marah-marah, tentu. Dia bilang dia akan menikah dengan orang yang lebih baik dari aku,” Arbi mengangkat bahu. Rachel memandangnya dengan tak percaya. “Nih,”

Arbi merogoh sakunya dan mengambil iPhone. Menekan nomor Nadia yang tidak lama langsung tersambung. 

“Apa lagi? Kan kita udah putus tunangan. Buat apa lo hubungi gue lagi?” kata Nadia dengan ketus.

Arbi melihat ke arah Rachel, seolah mengatakan ‘aku tidak bohong kan?’ Sedangkan Rachel membelalak tidak percaya.

“Sorry, Nad. Kepencet,” dan tanpa rasa bersalah Arbi memutus telepon.

“Percaya?”

“Kamu gila ya Bi. Selain itu kan ayah kamu gak suka kamu pacaran dengan artis,” Rachel kembali berjalan. Kali ini sambil menenteng sepatu Louboutin yang tadi ia kenakan.

“Selalu ada hal yang tidak disukai seseorang. Meski mungkin itu baik untuknya. Aku sudah pernah bilang bahwa aku akan memperjuangkan kamu. Sekarang pun kalimat itu masih berlaku.

“Aku sudah bilang tidak mau diperjuangkan, Arbi. Kamu tahu alasannya,”

“Gimana kalau aku gak peduli? Bahwa apapun yang terjadi ke kamu, aku siap,” Arbi meraih tangan Rachel, meminta Rachel menghentikan langkahnya.

“Kayak kamu mau aja sama cewek yang gak bisa punya anak,” Rachel memalingkan wajah namun tak menolak tangannya dipegang Arbi. Wajahnya mulai menunjukkan bahwa ia akan menangis.

“Kalau orang lain, aku gak mau. Kalau kamu, aku mau,”

“Ini bukan masalah sepele, Arbi. Kamu bisa, keluarga kamu?”

“Yang menikah kan kita. Kenapa harus ribut dengan pendapat orang lain?”

“Ini bukan sekadar ‘orang lain’, ini keluarga kamu,”

“Iya iya aku tahu. Tapi Chel...I can do everything to make them sure that you’re the one. I just need you to let me try,” pegangan tangan Arbi semakin erat.


“I’m afraid, Bi. I’m so afraid,”

“Afraid of what?” Arbi memajukan tubuhnya mendekati Rachel. Mengelus pipi yang merona merah tersebut.

“Kamu akan pergi karena kekurangan aku,”

“Itu bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan kan, Chel. Kita akan berusaha. Terus menerus. Kalaupun memang sudah tak ada jalan untuk memiliki darah daging sendiri, masih banyak cara lain. Aku jatuh cinta padamu dan aku memilih untuk terus mencintai kamu. Aku tahu kamu sedih karena dibilang tidak bisa punya anak. Dan aku tidak mau kamu makin sedih karena tidak punya aku. Aku mau jadi kekuatan kamu. Jalani ini semua bersama,”

Rachel mendengus sedikit ketika Arbi bilang ‘tidak mau Rachel makin sedih karena tidak punya Arbi’. Walaupun itu benar adanya. Rachel sangat merasa sakit hati ketika mereka berpisah setelah Rachel mengaku itu.

“Ngomong kan gampang, Bi,” Rachel masih keras kepala.

Arbi menempelkan keningnya ke kening Rachel. 

“Iya. Ngomong akan selalu gampang. Jaga janji yang sudah aku ucapkan, itu yang susah,”

Rachel diam.

“Aku tidak bisa berjanji bahwa aku tidak akan menyakiti kamu atau membuat kamu sedih. Aku cuma bisa berkata bahwa apapun yang aku lakukan nanti, semuanya adalah usahaku membuat kamu bahagia. Bersama kamu, aku ingin membuat sebuah keluarga yang benar-benar bahagia, dunia dan akhirat. Cuma denganmu aku yakin semua bisa terjadi,”

“Arbi, aku gak bisa…” Rachel menunduk, menangis.

“Apa perlu aku lamar kamu sekarang di depan kedua orang tua kamu? Kita bisa nikah disini juga kalau perlu,” 

Rachel memukul pelan pundak Arbi. 

“Aku mencintai kamu, Rachel. Sejak pertama aku melihat kamu. Seberapa kuat pun usahaku untuk menjauhi kamu, selalu ada cara untuk kembali. Keyakinanku saat melihat kamu, bahwa kamu adalah satu-satunya, juga tidak pernah berhenti. Percayalah,”

Arbi memeluk Rachel. Rachel menyerahkan dirinya untuk dipeluk Arbi. Perlahan, lengan Rachel merangkul Arbi. Rachel tidak menangis lagi. Ia menguatkan diri dan meyakinkan bahwa ini memang pilihan terbaik.

“Aku sayang kamu, Arbi. Stay with me for the rest of our lives,”

“I will,” Arbi berjanji, mengelus kepala Rachel. Menciumi rambut wanita tersayangnya.

“I love you,” gumam Rachel. Memejamkan mata, berdoa banyak-banyak bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Bahwa mereka akan bersama selamanya, berusaha yang terbaik untuk satu sama lain.

Arbi mengendurkan pelukannya. Mengangkat Rachel sampai Rachel memekik. 

“We will look good if someone took a picture of us now,” kata Arbi.

Rachel menyadari bahwa matahari sedang tenggelam. Jika dilihat dari jauh, siluet Arbi mengangkat Rachel dilatarbelakangi matahari terbenam akan tampak bagus.

“Akan lebih baik lagi kalau begini,” Masih sambil Arbi mengangkat Rachel dan Rachel mengaitkan kakinya di pinggang Arbi, Rachel mencium bibir Arbi. Arbi tersenyum, membalas ciuman Rachel tanpa perlu khawatir ditampar. 

***

Rachel

“Ada apa dengan anak-anak Mami ini ya,” kata Mami sambil memperbaiki hiasan di kepala Rachel.

“Kenapa memangnya, Mam?” tanya Talita yang sedang memperhatikan Mami dan Rachel.

“Kita kan dari keluarga terpandang. Apalagi Rachel kan artis. Tapi kalau nikah kenapa pada maunya sepi-sepi aja sih?” Mami menggerutu.

Rachel memandangi Talita sang kakak ipar dan keduanya tersenyum.

“Yang private kan lebih nyaman, Mi,” jawab Talita.

Mami mengangkat bahu. “Yang penting anak-anak Mami ini seneng deh,” Mami memeluk Rachel dan Talita bersamaan. “Mami keluar dulu ya. Nanti WO yang kasih tahu kapan kamu keluar,”

Mami mengecup pipi Rachel lalu keluar dari ruang tunggu pengantin perempuan. Rachel kembali memandangi bayangannya di cermin. Tidak percaya bahwa sekarang ia mengenakan kebaya nasional berwarna putih. Tampil cantik dan tidak terlihat seperti dirinya.

Tok tok tok.

“Masuk,” jawab Talita.

Desya melongok dari pintu, melirik takut-takut. “Boleh masuk?”

Rachel tersenyum. “Boleh,”

Desya masuk ke ruang tunggu dan terpana melihat Rachel. 

“Kak Rachel bahkan lebih cantik daripada di film,”

“Thank you,” Rachel tersenyum.

“Kak Arbi must be very lucky to have you,” ujar Desya lagi.

Rachel menatap Talita. Teringat kata-kata Talita dulu. “We are so lucky to have each other, Desya,”

“Misi, pengantin perempuan keluar sekarang ya,” ujar sang WO.

Rachel berdiri, memperbaiki kebaya panjangnya agar dapat berjalan dengan mudah. Diapit Talita dan Desya, Rachel melangkah keluar. Berjalan pelan dari ruang tunggu, menyusuri lorong, hingga ke venue acara. Pintu dibuka dan tampaklah di ujung sana Arbi Atmodikoro duduk dengan gugup di hadapan Romeo Tarhan. Namun begitu Rachel tampak, Arbi bisa menyunggingkan senyum sedikit. Rachel balas tersenyum, berjalan menghampiri lelaki yang sebentar lagi jadi suaminya.

Dibantu Desya dan Talita, Rachel duduk di samping Arbi. Arbi meliriknya sekilas, tersenyum gugup. MC kembali melanjutkan acara. Rachel seakan tak sadar dengan apa yang terjadi karena dia juga gugup. Yang Rachel ingat jelas dan membuatnya kembali sadar akan kondisi sekitar adalah ketika Arbi mengucapkan kalimat penting dalam satu tarikan nafas.

“Saya terima nikahnya Rachel Alifia Tarhan binti Romeo Ibrahim Tarhan dengan mas kawin 500 gram emas dan seperangkat alat solat dibayar TUNAI.”

Resmilah Rachel menjadi istri seorang Arbi. Komitmen berbakti sebagai istri dan membangun keluarga bersama orang ini resmi melekat dalam diri Rachel. Dilihatnya Arbi yang tadi tersenyum gugup jadi tersenyum lega sekarang.

Wajah inilah yang akan dilihat Rachel selama sisa hidupnya. Dan semoga hingga di surga kelak. Rachel bersyukur karenanya.

-THE END-

Bonus part!

“Jemput aku di studionya Ini Talkshow yang Hon,” ujar Rachel di telepon. Di sebelahnya, Moza tersenyum-senyum.

“Kamu selesai shooting jam berapa memang?” sahut Arbi.

“Jam setengah 10,”

“Iya. Tunggu ya. Jangan kemana-mana sebelum aku datang,” 

“Iyaaa,”

Rachel menutup teleponnya, menyerahkannya pada Moza karena sebentar lagi Rachel akan LIVE di Ini Talkshow. Moza memandangi Rachel. “Mesra teruuuussss,”

Rachel tersenyum. Usia pernikahannya sudah 1 tahun sekarang. Mereka belum dikaruniai anak karena memang sejak awal mereka tak berharap banyak akan itu. Rachel dan Arbi masih sering bersikap seakan mereka baru menikah.

“Harus dong Za. Kamu juga sama Gian harus mesra terus ya,”

Giliran Moza yang tersipu malu. Baru kemarin Moza dilamar Gian. 

Rachel dipanggil oleh PD. Shooting pun dimulai. Rachel senang datang kesini karena sering ada hal-hal unik dan lucu dari duet Sule dan Andre. 

“Ini dia, Rachel Tarhan!” seru Sule. Pintu dibuka dan Rachel melangkah menuju set. Senyum lebar terpampang di wajahnya. Ia melambai dan memberi salam kepada para penonton.

“Gimana kabarnya? Denger-denger baru menikah ya,” sapa Sule.

Rachel menyalami Sule lalu tertawa. 

“Udah setahun Le,” Andre menimpali.

“Kan baru setahun, gue udah belasan tahun nah itu lama,” celetuk Sule. “Silakan duduk, duduk,”

Rachel duduk di sofa. 

“Rachel. Sekarang kan jamannya sosial media nih ya. Sebenernya kamu punya akun sosmed gak sih?” Sule mulai bertanya. 

“Awalnya aku gak punya,” Rachel memulai. Iya, dia tidak pernah berminat untuk memiliki akun sosial media apapun. KArena Rachel tidak mau terlalu banyak kehidupan pribadinya terekspos. “Aku baru punya Twitter dan Instagram pun setelah nikah.”

“Nikah bawa berkah ya,” ujar Sule. Rachel tertawa.

“Iya. Tapi Twitter yang megang itu Moza, asisten aku. Isinya juga lebih banyak ke promo film atau iklan aku,”

“Kalau Instagram? Kalau gak salah Instagram kamu diprotect ya?”

Rachel tersenyum. “Aku malu sih kalau dibuka ke publik,”

“Kan cantik, kok malu sih,” Andre berusaha menggoda. 

“Isinya foto aku semua. Paling sama suami dan keluarga,” rachel terkikik.

“Nah ini ya foto-fotonya,” Sule menunjuk ke layar. Disana ditampilkan beberapa foto yang Rachel post di Instagram. Fotonya di San Fransisco saat shooting film Your Destiny bersama Abimana Aryasatya. Ada pula fotonya saat mengenakan pakaian pengantin, diberi caption Throwback. Ada pula foto Arbi mencium pipi Rachel saat ulang tahun Rachel 2 bulan lalu.

“Kok punya sih?” Rachel menutup mulutnya, malu.

“Ini Talkshow gitu lho,” ujar Sule. Rachel tertawa lagi.

“Itu nama akunnya bukan Rachel Tarhan gitu ya?” tanya Andre.

“Iya,” Rachel mengalihkan pandangan dari layar. “Karena kan aku sejak dulu gak punya sosmed. Pas mau buat dengan nama Rachel tarhan ternyata udah banyak banget akun fake gitu.”

“Banyak yang ngaku-ngaku gitu ya,” 

Rachel tertawa, mengangguk. “Jadinya aku pake username-nya @rachel.atmodikoro aja. Atmodikoro itu nama belakang suami aku,”

Diskus masih berlanjut terus sampai pukul setengah 10. Begitu selesai, Rachel langsung pamit pulang. Rupanya Arbi sudah menunggu di belakang panggung bersama Moza.

“You looks more confident in TV,” kata Arbi, mengecup pipi istrinya 

“Thanks to you,” balas Rachel. “Yuk pulang,”

Rachel dan Arbi berjalan keluar diikuti Moza. rachel menuju mobil Arbi sedangkan Moza membawa mobil Rachel. Setelah Rachel menikah, ia tinggal d Raffles bersama Arbi. Apartemen Arbi dijual dan dia membeli apartemen lain di Casablanca. Apartemen itu ditempati Moza agar mudah menjemput Rachel di Raffles.

“See you tomorrow ya Za. Hati-hati di jalan,” ujar Rachel.

“Eh, Za. Hari Minggu ini saya berangkat ke Milan. Sekitar dua minggu di sana. Kamu nginep di Raffles aja ya, temani Rachel,” ujar Arbi.

“Oh boleh, Kak,” Moza sudah berganti memanggil Arbi dari Pak menjadi Kak setelah Arbi dan Rachel menikah. 

Mereka bertiga berpisah menuju tempat masing-masing.

***

“Ini diaaa, Rachel Tarhan!” Danang dan Darto kompak menyebut nama rachel. Rachel keluar diiringi suara saksofon.

“Cantiknya bidadari satu ini,” adalah sapaan Darto begitu Rachel berdiri diantara duo D ini.

“Makasih,” balas rachel dengan lembut.

“Haduuuh, suaranya itu lho Pak,” Danang berpaling, memijat keningnya seakan suara Rachel membuatnya mabuk.

“Kamu punya pacar gak sih?” tanya Darto sok serius.

“Nggak sih,” jawab Rachel iseng. Membuat semuanya bersorak.

“Tapi punya suami Pak,” Danang menimpali. Menunjuk jari tangan kanan Rachel. Semuanya kembali bersorak, namun kali ini sedih. Musik berubah jadi Sayonara, seakan mengusir Rachel.

Namun itu hanya bercanda, Rachel tetap dalam set. Tertawa-tawa.

“Mana suaminya mana mana?” tantang Darto, menyingsingkan lengan jasnya. 

“Lagi ada urusan,” kata Rachel malu-malu. 

“Mending pilih aku atau suami kamu?” Danang berpose ala cover boy dengan wajah serius. Lalu di layar tiba-tiba muncul foto Arbi saat jadi cover majalah Indonesia Tatler beberapa bulan lalu. Arbi berpose sambil memasukkan tangan ke saku, wajahnya tertawa, dilatarbelakangi ruang kerjanya di kantor Nesiacorp.

“Ya pilih dia laaaah,” ujar Darto puas. Danang langsung terduduk di lantai. Rachel tertawa geli. “Lo kemana-mana ketemu jualannya dia, Nang.”

“Aku mah apa atuh,” sahut Danang lesu.

Taping dilanjut hingga beberapa segmen. Rachel senang karena disini dia banyak terhibur. Pukul 3 taping selesai. Rachel menuju mobil, menghampiri Moza. 

“Nyonya Risya dan Nyonya Indira nunggu di Pacific Place katanya,”

“Oh iya. Ayo langsung aja,” 

Moza mengangguk. Langsung menjalankan mobil menuju Pacific Place. Mereka akan berkumpul untuk berbelanja. Kebetulan jadwal Rachel setelah ini kosong.

Rachel mengeluarkan iPhone dan menekan nomor Arbi. Sekarang pukul 15 WIB yang artinya di Milan pukul 10 pagi. Seharusnya Arbi sedang coffee break atau apalah.

“Halo, Babe,” sapa Arbi.

“Hei, Hon,” kata Rachel dengan nada manja.

“Kenapa?”

“No, just wanna hear your voice. Lagi sibuk?”

“Nggak. Lagi coffee break aja. Kamu lagi apa?”

“Baru selesai taping The Comment tadi. Sekarang mau ke PP ketemu Mami sama Bunda,”

“Belanja lagi ya?”

Rachel tertawa. Arbi tidak suka menemani Rachel belanja tapi ia setuju saja kalau Rachel belanja dengan para ibu. “Gak tau. Liat nanti aja. Kamu pulang kapan?”

“Kamu udah nanya itu begitu aku sampai di Milan. 3 hari lagi ya Sayang,”

“Kangen,” ujar Rachel singkat.

“Sama. Kamu mau dibawain apa dari sini?”

“Mau kamu aja pulang cepet-cepet,”

“Ya udah, aku tadinya mau beliin tas Louis Vuitton katanya cuma dijual di Itali. Gak usah berarti ya,”

“Eh, kalau rejeki kan gak boleh ditolak, Hon,”

Giliran Arbi tertawa. “Bisa aja,”

“Eh aku udah mau nyampe. Nanti telepon aku ya,”

“Iya aku telepon sebelum kamu tidur. Love you,”

“Love you too, Hon,”

Rachel menutup teleponnya dan memasukkannya ke tas.

“Kak, aku tunggu di Starbucks aja boleh? Kebetulan ada beberapa proposal yang masuk jadi mau aku review,” tanya Moza begitu mereka selesai parkir.

“Iya Za gak apa-apa,”

Rachel berjalan memasuki PP sendirian. Katanya Mami dan Bunda sudah menunggu di Biyan. Rachel memasukki toko ini dan langsung disambut. Rachel hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia mencari Mami dan Bunda. Rachel langsung diantar menuju Mami yang sedang mencoba beberapa pakaian. Ternyata ada Talita dan Desya juga. 

“Perutnya udah gede banget yaaa,” Rachel mengelus perut Talita.

“Iya, makanya aku ikut. Kan aktanya biar melahirkan lancar, harus banyak jalan,” Talita nyengir. Padahal ia memang senang belanja juga. Radit, seperti Arbi, paling malas menemani perempuan belanja. 

Rachel melihat-lihat pakaian. Ada yang menarik hatinya namun tidak sampai membuat dirinya terdorong membeli.

Selesai di Biyan, keliman wanita tersebut menelusuri toko-toko lainnya. Menjelang sore, mereka melewati Guardian dan Rachel merasa ada sesuatu yang mendorongnya untuk masuk.

“Kalian duluan aja, nanti aku nyusul. Cork & Screw kan?” kata Rachel pada Desya yang sedang berjalan di sebelahnya. Mami, Bunda, dan Talita di depan. Desya mengangguk.

Rachel masuk ke Guardian dan agak ragu-ragu. Akhirnya ia langsung menghampiri penjaga saja.

“Bunda, Bunda,” panggil Desya. “Kak Rachel masuk Guardian. Beli apa ya?”

Bunda dan Mami langsung menoleh. Melihat Rachel masuk ke toko yang mayoritas obat, mereka langsung panik. Cepat-cepat dihampirinya Rachel. Talita menyusul pelan, dibantu Desya.

“Kamu beli apa Sayang?” tanya Mami tiba-tiba.

Rachel ingin menyembunyikan, tapi Bunda bergerak cepat dan menarik tangan Rachel.

“Test pack? Ya ampuuuun. Senangnya. Ayo ayo diliat,” Bunda berteriak hampir membuat semua orang menoleh.

Rachel meringis. Ia tahu ia belum tentu bisa hamil dan membeli test pack pun ia tak berharap apa-apa. 

“Mami, Bunda. Gak usah heboh,”

“Ayo ayo kita ke toilet,” Mami ikutan heboh. Mereka langsung menggiring Rachel ke toilet terdekat.

Rachel terpaksa menyerahkan kantung belanja Diane von Furstenberg miliknya dan masuk ke salah satu bilik. Di luar, Mami, Bunda, Talita, dan Desya menunggu dengan tak sabar. Rachel menarik nafas dalam berkali-kali. Ia siap kalaupun hasilnya hanya satu strip.

Ritual pengetesan dilakukan. Sambil menunggu hasilnya keluar, Rachel memejamkan mata. Ia tahu dirinya tidak bisa hamil. Namun ia berharap keajaiban juga. 

“Sayang?” panggil mami. Sepertinya mulai khawatir.

“Sebentar, Mami,” balas Rachel. Pelan-pelan Rachel membuka matanya. Betapa terkejutnyaia ternyata stripnya dua. Rachel membelalak namun sedetik kemudian dia menangis. Benar-benar bersyukur akan keajaiban ini. Rachel langsung menangis saat itu juga. 

“Rachel?” Kali ini suara Bunda yang mulai khawatir. 

Masih sambil menangis, Rachel membuka pintu bilik toilet dan langsung memeluk Mami. Bunda kebingungan, diliriknya testpack di tangan Rachel. Saat dilihatnya testpack itu menunjukkan strip dua, Bunda memekik. Ia langsung memeluk Rachel dan Mami. Desya ikut memeluk dan melompat-lompat. Hanya Talita yang bertepuk dari tepi karena kondisinya yang sedang hamil besar tidak memungkinkan. 

*** 

“Nanti aja Mami. Tunggu Arbi pulang. Dan Mami atau Bunda jangan kabari Arbi dulu ya. Biar dia surprise,” 

Pesan itu berkali-kali diucapkan Rachel kepada Bunda dan Mami. Mereka berkeras mengajak Rachel ke dokter obgyn. Namun Rachel berpikir bahwa Arbi pasti ingin jadi orang pertama yang menemani Rachel ke donter. Untuk itu Rachel menolak ke dokter. Ditambah, Arbi pasti sangat senang ketika tahu Rachel hamil. Rachel khawatir Arbi tidak konsentrasi bekerja jika dikabari sekarang. Jadi Rachel diam saja. 

“Moza, besok kita gak ada agenda apa-apa kan?” tanya Rachel begitu ia sudah sampai di apartemen

“Ada taping talkshow aja Kak sore-sore,”

“Oh ya udah. Aku mau istirahat duluan ya, Za. Thanks for today,” 

“Ya Kak. Istirahat yang baik,” Moza mendengar berita kehamilan Rachel dan ia sangat senang. 

*** 

Selesai taping, Rachel langsung menuju rumah. Ia ingin beristirahat karena entah kenapa badannya terasa ekstra lelah. Baru saja Moza menutup pintu apartemen di belakangnya, pintu itu terbuka kembali. 

Moza dan Rachel menoleh kaget.

“Yang!” panggil Arbi, wajahnya super sumringah.

“Hon, kok kamu disini? Bukannya pulangnya masih lusa?” Rachel menghampiri suaminya dan Arbi tanpa ragu menggendong Rachel. 

“Gimana aku bisa tenang-tenang disana begitu tahu istriku lagi hamil?” 

Rachel mengernyit. “Siapa yang bilang?” 

“Desya. Dia kirim foto ke aku katanya testpack kamu,” 

Rachel menepuk keningnya. Ia lupa mengingatkan Desya. 

“So?” 

“So...iya kamu mau jadi ayah,” Rachel mencolek pipi Arbi. 

“Yeaaah!” Arbi berteriak lalu memeluk Rachel erat. “Terima kasih, terima kasih.” 

Rachel memeluk Arbi juga. Suara Arbi yang penuh semangat lama-lama terdengar sendu. Ya mereka berdua sudah siap ketika pernikahan mereka tak dikaruniai seorang bayi. Namun ketika Tuhan memberikan anugeah tak terkira ini, Arbi dan Rachel rasanya bersyukur luar biasa. 

*** 

9 bulan tanpa aktivitas shooting film maupun iklan. 9 bulan tanpa ngidam yang berarti, kecuali ketika Rachel iseng menjahili Arbi, bilang ingin makan pempek jam 2 subuh. 9 bulan aktivitas Rachel hanya photoshoot terkait kehamilan atau produk untuk ibu dan bayi, ditambah yoga hamil, kadang mengajar untuk membiasakan bayinya diajak mengobrol teman-temannya, juga ikut kelas persiapan melahirkan. 

Arbi selalu pulang cepat. Mendengarkan musik bersama sang bayi, dari Mozart sampai Coldplay dan kadang-kadang Calvun Harris. Mengobrol macam-macam, dari mulai para atlet kebangfaan Indonesia sampai produk baru Nesiacorp.

Para keluarga juga tidak mau kalah. Setelah membanjiri rumah Radit dan Talita dengan berbagai perlengkapan, giliran kamar di apartemen Rachel dan Arbi yang diisi barang dari Mami Papi dan Ayah Bunda. Dari baju, box bayi, stroller, bahkan Lego pesawat unruk anak usia 6 tahun. 

2 minggu menjelang HPL, Rachel pindah ke rumah Mami Papi di Pondok Indah. Agar lebih mudah jika Rachel harus mendadak ke rumah sakit. Jalan-jalan pagi juga lebih nyaman. 

“Aku kayak ikan paus ya Mi,” kata Rachel saat jalan-jalan pagi ditemani Mami. 

Mami tertawa. “Mami dulu lebih gede dari kamu. Ya perutnya, ya badannya,” 

Rachel tersenyum. Ia sesungguhnya tak peduli bagaimana penampilannya. Banyak orang bilang ia makin cantik. Namun dengan diijinkan untuk hamil saja Rachel audah sangat bahagia. 

“Ngomong-ngomong, kok kaki aku basah?” celetuk Rachel. 

Mami membungkuk dan dilihatnya darah mengalir di kaki Rachel. 

“Ya ampun! Telepon Arbi! Telepon! Ayo ke rumah sakit!” 

Di rumah, Arbi masih memejamkan mata. Tangannya gelagapan mencari ponsel yang berdering. 

“Yaaa?” sahut Arbi.

“Ini Rachel udah pendarahan! Cepet bawa mobil! Mami sama Rachel di depan rumah Pak Utoyo!” Mami berteriak membuat Arbi melek 100%. 

“Oke oke,” 

Belum sempat mandi apalagi ganti baju, Arbi melompat turun dari tempat tidue. Menyambar kunci mobil dan tas oerlengkapan yang sudah ia siapkan. Siap dibawa kapan saja begiru Rachel akan melahirkan. 

Ngomong-ngomong, rumah Pak Utoyo itu dimana ya? 

Arbi memutar dua kali sampai menemukan rumah bercat coklat dimana di depannya sudah ada Mami dan Rachel yang tampak kesakitan. Buru-buru Arbi menghenikan mobil dan menggendong Rachel ke jok belakang. Mami memgikuti dan duduk di samping Rachel. Beruntunglah saat iru hari Minggu sehingga jalanan tak terlalu macet. 

Rachel langsung dibawa ke IGD. Arbi menemani selama proses persalinan. Khawatir melihat Rachel yang berteriak kesakitan. Wajahnya tak karuan. Arbi sebusa mungkin memegang tangan Rachel dan membisikan doa. 

Tepat pukul 11 siang bayi laki-laki itu lahir. Setelah dibersihkan, bayi itu diserahkan kepada Arbi untuk diadzani. Sambil menangis, Arbi adzan di telinga putranya. Rasanya sungguh luar biasa, tak terucapkan dengan kata-kata. 

Bayi tersebut kemudian ditaruh di dada Rachel untuk proses inisiasi dini. Kali ini Arbi dan Rachel menangis bersama. 

“Welcome to the world, Faza Putra Tarhan-Atmodikoro,” bisik Arbi. Rachel tersenyum. Faza menggeliat, seakan menunjukkan bahwa ia suka nama itu. 

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?