Pursuing the Damsel - Part 1

Arbi. 

“Who’s that girl? I’ve never seen her before,” Arbi menyesap minumannya sambil tetap menatap seseorang yang berdiri dengan anggun. Mengobrol dengan nyonya rumah penyelenggara pesta. 

“You dont know her?” Candra membelalak menatap ‘bosnya’, setelah itu dia terkekeh. Meski Candra adalah asisten pribadi Arbi, sebenarnya mereka adalah teman baik sejak SMA. Sehingga Candra sudah sangat paham pada sifat Arbi. Mereka pun sudah biasa saling mengejek.

Arbi hanya mengangkat alis mengomentari kalimat Candra. 

“Dia aktris yang lagi naik daun. Dalam satu musim, filmnya bisa ada 2 di bioskop. Katanya bisa jadi penerus Acha Septriasa,” 

“Oh ya?” Arbi pura-pura tidak terlalu tertarik. Padahal dia tak lepas memperhatikan gadis itu.

“Rachel Tarhan, 26 years old, graduated from Leiden for her master degree,” bisik Candra, memberikan efek dramatis. “Jarang terlihat bersama pria, tidak suka masuk infotainment, orangnya gak neko-neko.” 

Saat itu Arbi cuma diam. Tapi ia menyimpan informasi tersebut di dalam pikirannya. 

“Gue bisa minta nomer HP-nya kalau lo mau,” Candra menaikkan alisnya berulang-ulang. 

“Do it,” ujar Arbi. 

*** 

Rachel (baca: Reychel, seperti nama Rachel Berry di Glee)

“Seperti biasa ya Kak. Acara puncak belum mulai, kita udah nyampe sini lagi,” kata Moza begitu ia dan Rachel sudah sampai di apartemen. 

“Iya, Za. Karena…” 

“Yang penting udah dateng dan setor muka sama yang punya acara,” Moza menyelesaikan kalimat Rachel. Sesuatu yang pasti dikatakan Rachel setiap mereka pulang dari sebuah undangan pesta. Moza sang asisten sudah hafal kebiasaan Rachel si aktris. Malas lama-lama di pesta. Bahkan kalau bisa absen, Rachel akan absen. Kecuali kalau penyelenggaranya sudah sangat akrab dengan Rachel. Seperti Nyonya Annisa Karta Pitaloka ini. Orang yang berbakat membukakan jalan bagi karir Rachel. 

Rachel tidak suka pesta. Tidak suka kebisingan. 

“Besok ada acara apa aja, Za?” tanya Rachel sembari membersihkan make up di wajah. 

“Besok ikut lomba lari 10K. Kumpul jam 6 paling telat di GBK. Abis itu jam 10 ada ngajar di Manggarai. Jam makan siang makan sama papi mami di rumah Pondok Indah. Jam 3 sampai selesai ada shooting video klip sama band Marun,” jawab Moza yang sigap melihat agenda Rachel via iPad. 

“Thank God I'm sober,” gumam Rachel. Membuat Moza tersenyum. Moza selalu kagum pada Rachel. Dia ‘hanya’ anak tukang kebun keluarga Tarhan. Disekolahkan oleh kakek dan nenek Tarhan. Setelah Moza selesai kuliah D3 Sekretaris, bertepatan dengan Rachel pulang dari Belanda 3 tahun lalu. Sejak itu Moza menemani karir Rachel sebagai aktris. Meski sebelumnya Rachel juga sudah mulai banyak menjadi bintang iklan. 

Rachel adalah tipe artis yang pasti diidamkan setiap asisten. Ramah, tidak banyak meminta (kadang malah melakukan beberapa hal sendirian), sering mengajak Moza belajar (topik apapun), dan terutama Rachel amat jauh dari gosip. Ia benci masuk infotainment. Untuk itu Rachel menjauhi hal yang memungkinkan dirinya jadi sorotan infotainment. 

“Tidur yuk, Za,” kata Rachel, sudah mandi dan siap tidur. 

“Iya Kak, duluan aja. Aku masih ada yang harus diselesaikan,” 

*** 

Arbi

“Bi, lo yakin mau nolak tawaran ini?” Candra ngeloyor masuk ke ruangannya begitu saja. Membawa skrip dan story board. 

“Iyalah, Can. Masa iklan kopi diiklanin sama yang punyanya? Dibilang gak punya duit kita nanti. Minta aja itu siapa, Aliando kek, Stefan Williams kek,” 

Candra malah tertawa. “Apal banget lo sama idola remaja,” 

Arbi mendengus. “Kalau tiap pulang ke rumah yang dibahas Desya cuma GGS sama Anak Jalanan, lo juga pasti apal.” 

Desya adalah adik bungsu Arbi yang berusia 15 tahun. 

“Oke. Gue tolak lagi. Tapi kayaknya si tim kreatif ga akan berhenti minta lo sampai lo mau deh. Katanya imej lo tuh cocok banget. Dingin, kalem, tapi senyum lo hangat,” Candra terkekeh saat mengucap ulang kata-kata Ola, PIC pembuat iklan Whote Coffee dari Nesiacorp. 

Nesiacorp adalah perusahaan lokal besar yang bisnisnya menyaingi Unilever. Dari mulai makanan, minuman, sabun, sikat gigu, sampai berbagai peralatan rumah tangga. Tiga tahun lalu mereka baru menambah unit bisnis Nesiatel, perusahaan telekomunikasi. Sang CEO adalah yang duduk di hadapan Candra dengan wajah malas, Arbi Atmodikoro. 

“Gue sebagai CEO harusnya bisa melarang Ola,” 

“Tapi lo tau Ola kan. Cewek itu, bisa bikin iklan-iklan kota kreatif banget, bahkan tapi berlu kita nyewa agency. Dia juga karyawan loyal banget,” 

“Udah berapa lama kalian jadian?” potong Arbi. 

“Eh?” Candra kaget. 

“Udah berapa lama, gue tanya, kalian kadian?” Arbi menyeringai. Senang menjahili sahabatnya. 

“Wah gak gitu,” Candra jadi salah tingkah. Mengusap rambutnya dan menolak menatap Arbi. 

“Gak mau ngaku lo sama gue?” Arbi mulai tertawa. Candra akhirnya mengangkat tangan. 

“Oke, oke. Udah 3 bulan. Puas lo,” Candra mendengus sebal. Kesal ketahuan lebih dulu padahal ia berusaha pacaran diam-diam dengan Ola. 

“Selamat ya bro. Moga langgeng dan Ola kuat bgadepin lo,” Arbi menepuk pundak Candra dan berjalan menjauh. 

“Nah lo mau kemana?” 

“Toilet. Apa perlu jadwal gue kencing dicatet asisten juga?” 

*** 

Rachel. 

“Ada tawaran untuk shooting iklan kopi Nescoffee, white coffee-nya Nesiacorp, Kak,” Moza membaca email yang masuk ke akun khusus penawaran kerjasama untuk Rachel. 

“Kapan Za?” tanya Rachel sambil wajahnya dimake up untuk acara Talkshow. Rachel tidak keberatan diundang talkshow. Asalkan topik yang dibahas adalah seputar karyanya. Jangan kehidupan pribadinya. Seperti sekarang ini Rachel diundang untuk menghadiri talkshow membahas film Bisikan Pelangi. Dimana ia berperan bersama Dimas Anggara. 

“Dua minggu lagi. Shooting pertama. Di Singapore. Seminggu kemudian, tiga minggu dari sekarang, di Jakarta. Tapi ini tentatif katanya. Menyesuaikan jadwal Kak Rachel aja. Intinya mereka pengen Kak Rachel yang jadi bintang iklannya. Kapanpun Kak Rachel bisa, mereka ikut,” Moza membaca ulang email tersebut. 

Rachel tertawa. “Itu Ola bukan yang email?” 

“Iya,” Moza mendongak. “Kakak kenal?” 

“Pernah ketemu waktu ikut kumpul PPI se-Eropa dulu,” 

Moza mengangguk. 

“Jadwal kita gimana Za dua minggu lagi?” 

“Hmm, shooting film Kali Kedua di Singapore sama Kak Raisanya,” 

“Pas banget. Kita spare waktu sehari buat liburan kan? Coba tanya Ola, cukup gak sehari aja?” 

“Tapi itu kan kita mau main di USS, Kak,” Moza merengut. 

“Gak apa-apa. Aku udah biasa kok shooting iklan. Kamu kalau mau ke USS silakan aja,” Rachel mengedip. 

“Ah aku kan gak enak,” 

“Masih kaku aja sama aku. Kabari Ola ya dan tetep main di USS. Ada Gian juga kan?” 

Wajah Moza memerah saat Rachel menyebut Gian. Sang pengusaha muda pemilik konsultan IT, mereka saling mengenal saat Gian meminta Rachel jadi bintang iklan start up-nya. Sejak itu Gian PDKT dengan Moza dan sudah cukup lama mereka pacaran. 

“Aku ke depan dulu ya,” Rachel menepuk pundak Moza lalu mengikuti sang PD ke stage. 

*** 

Arbi 

Arbi dan beberapa direkturnya sedang meninjau lahan sawit di Bengkulu. Salah satu supplier Nesiacorp untuk minyak. Mereka cukup puas dan berharap pendapatan dari lahan ini akan stabil atau meningkat di tahun depan. 

“Pak,” sapa Candra dengan sopan. Di sekitar mereka ada para direktur yang akan mengambil flight 16.50 pesawat Batik Air kembali ke Jakarta.

“Ya?” Arbi mendongak dari Macbook yang dipakainya untuk membaca beberapa laporan. 

“Ada telepon dari Ola,” Candra mengulurkan iPhone-nya. Arbi mengernyit. Kenapa Ola harus langsung bicara dengannya? 

“Ya kenapa La?” sapa Arbi. 

“Maaf mengganggu Pak. Shooting iklan Nescoffee akan dimulai besok,” Ola memulai

“Saya gak bisa, La, malam ini mau…” 

“Tapi bintang iklan perempuannya Rachel Tarhan, Pak,” lanjut Ola. Membuat Arbi mendongak menatap Candra yang sok menyembunyikan senyum. 

“Dan maksud kamu…” 

“Kalau Bapak bisa aja sih. Shootingnya di Marina Bay Sands besok dari jam 8,” 

Ola menutup telepon tanpa mendengar jawaban Arbi. Toh Arbi pasti mau. Candra memberitahunya bahwa Arbi tertarik pada Rachel sejak pesta Nyonya Pitaloka tapi belum membuat langkah sama sekali. Kalau ada kesempatan seperti ini, Arbi seharusnya menyambut dengan semangat. Candra juga sengaja memberi info mendadak sebagai ganjaran karena Arbi sok jual mahal. 

“Hmm, dari sini ada flight langsung ke Singapore?” tanya Arbi dengan gaya sok cool. Candra menerima iPhone-nya dari tangan Arbi tanpa bisa menahan tawa. 

“Gak ada Pak. Harus ke Jakarta dulu,” jawab Candra stay cool.

“Hmm oke. Besok batalkan janji golf saya. Saya harus ke Singapore,” Arbi berdeham, membetulkan kemejanya. 

“Baik Pak,” Candra mengangguk. Tersenyum puas. 

Sementara itu Arbi sudah tak tahan ingin segera ke Jakarta dan langsung menuju ke Singapore. Candra dengan sigap langsung memesankan tiket ke Singapore malam itu juga. Arbi berdalih ia ingin sedikit liburan. Tak perlu lah para direkturnya tahu bahwa ia berangkat ke Singapore demi menjadi bintang iklan produknya sendiri, demi bertemu seorang Rachel Tarhan!

Arbi sampai di Jakarta pukul 8 kurang. Tanpa menunggu lama, ia dan Candra langsung menuju Terminal 3 Ultimate, bersiap menaiki pesawat Garuda Indonesia pukul 20.40 ke Singapore.

Candra dan Arbi sampai pukul setengah 1 dini hari di Changi. Mereka menyewa taksi dan langsung menuju Ritz-Carlton untuk beristirahat.

“Lokasi shootingnya deket kan?” tanya Arbi begitu sampai di depan kamarnya.

“Yes, di Marina Bay Sands sana,”

“Oke. Bangunkan gue jam 6 pagi,” kata Arbi sebelum Candra masuk ke kamarnya sendiri.

“Hmm,” Candra terdiam dulu, nyengir.

“Apa?”


“Gak yakin sih lo bakal bangun cepet abis flight bolak-balik begitu,” Candra tertawa lalu buru-buru kabur sebelum diketok atasannya.

***

Rachel.

Rachel sudah siap di lokasis ejak pukul setengah 8 pagi waktu Singapore. Dia sedang duduk dan dirias, ditemani Moza yang katanya belum mau berangkat meninggalkan Rachel sampai detik terakhir. 

“Lagian Gian juga masih di jalan kesini,” kata Moza. Gian menginap agak jauh dari Marina Bay Sands sehingga butuh waktu untuk menemui Moza sebelum mereka berangkat ke USS. “Kak, beneran gak apa-apa?”

“Iya Mozaaa. Emang aku biasa butuh apa sih kalau lagi shooting gini? Minum? Bisa ambil sendiri. Baju ganti? Wardrobe sini juga pasti sediain. Kamu main aja yang tenang sama Gian ya,” Rachel menepuk pundak Moza untuk menenangkan. Kemudian Rachel kembali membaca skrip untuk shooting iklan kali ini.

“Chel,” 

Rachel mendongak lalu tersenyum lebar. “Ola! Lama gak ketemu ya,” sapa Rachel.

“Banget!” Ola menyalami Rachel, mencium pipi kiri dan kanan. “Makin cantik aja artis kita satu ini.”

Rachel menanggapi dengan tawa. “Makasih ya udah ajak gue shooting,”

“Kita yang makasih karena lo mau,”

“Ngomong-ngomong, gue jadinya shooting sendirian? Di skripnya katanya ada temennya,”

Ola tersenyum jahil. “Ada kok. Orangnya masih di jalan. Tungguin aja bentar lagi ya,”

Rachel mengangguk. Kembali duduk, ketika tidak jauh darinya terdengar suara-suara.

“Maaf, maaf, saya terlambat. Shootingnya belum mulai kan?”

Rachel berdiri lagi. Ditemani Moza, mereka memandang dua orang yang baru datang. Cepat-cepat Moza berbisik kepada Rachel.

“Itu Arbi. CEO Nesiacorp. Jadi CEO sejak 3 tahun lalu menggantikan kakeknya. Karena ayahnya, Pak Wibi Atmodikoro, memilih karier jadi polisu. Mengingat Nesiacorp sebenarnya perusahaan keluarga. Aku gak tau kak kalau dia yang jadi partner shooting kali ini,”

Rachel menatap Arbi. Mencerna informasi yang diberikan Moza. Kebiasaan Moza memang mencari tahu mengenai klien-klien yang akan bekerja sama dengan Rachel. Ini agar Rachel dapat bersikap lebih tepat saat berhadapan dengan mereka.

“Aku juga gak tahu, Za,” Rachel memalingkan wajah.

***

Arbi.

Oke, dia disitu. Berdiri dengan anggun pakai baju hijau. Ngeliat gue dengan tatapan aneh. Mungkin dia bingung ini siapa, dateng tiba-tiba bikin rusuh.

“Maaf La, saya terlambat,” ujar Arbi pada Ola yang menyambutnya.

Ola menatap Candra, diam sejenak lalu tertawa. “Pasti telat bangun ya? Candra udah bilang kalau Pak Arbi telat tidur pasti bangunnya telat juga.”

Arbi menatap Candra. “Susah emang kalau punya asisten dan Promotions Manager pacaran,”

Ola dan Candra dua-duanya tertawa. Cepat-cepat Ola mengarahkan Arbi untuk berganti baju dan berdandan. Di samping Rachel.

“Halo,” sapa Arbi agak gugup.

“Halo,” Rachel berdiri. “Rachel Tarhan.”

Arbi memandangi tangan yang terulur padanya. Pelan-pelan menyambut uluran tangan tersebut dan menggenggamnya erat. “Arbi Atmodikoro.”

“Salam kenal. Semoga dapat kerjasama dengan baik,” kata Rachel lagi sembari membungkuk. Setelah itu dia kembali menekuni buku yang sedang dibacanya. Arbi sedikit bingung. Pun karena dia sedang dimake up, Arbi tak banyak menyapa Rachel.

Iklan ini berdurasi 1 menit dan seharusnya shooting berjalan dengan cepat. Rachel dan Arbi diceritakan berpasangan. Rachel diceritakan bertengkar dengan Arbi dan  Rachel pergi dari rumah. Arbi terlihat pusing mengelilingi kamar mereka. Sampai Arbi melihat bungkus kopi Nescoffee dan menyeduhnya. Setelah itu Arbi melakukan Facetime dengan Rachel yang membuat Rachel berhenti marah pada Arbi. Adegan terakhir ditutup dengan Arbi yang memeluk Rachel dan menikmati kopi bersama.

“Duh,” Arbi berjalan bolak balik sambil menunggu set disiapkan.

“Kenapa?” tanya Candra.

“Gue gak bisa akting,” keluh Arbi sambil menggaruk kepalanya. Membuat Candra tertawa terbahak-bahak. Untunglah Rachel sedang berdiri jauh dari mereka. Mengobrol dengan Moza dan Gian.

“Terus kenapa diterima tawarannya?” tanya Candra sok polos.

Arbi memukul lengan Candra dengan gulungan skrip.

“Jangan belagak bego lo,” kata Arbi. Membuat Candra tertawa makin lebar. 

“Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu, bro. Lagian lo susah amat kenalan sama cewe doang,” ujar Candra. Menepuk-nepuk pundak Arbi dengan gaya cukup menyebalkan.

“Ngomong-ngomong, dia tahu gak sih kalau gue itu CEO Nesiacorp?” tanya Arbi sambil melirik Rachel yang berdiri begitu anggun. Kali ini sedang tertawa. 

“Gue rasa dia tahu. Gitu-gitu Bapaknya kan businessman juga,”

Arbi menatap Candra, lama. “Jangan bilang…”

“Rachel Tarhan, putri sulung, anak kedua, dari Romeo Tarhan dan Risya Tarhan,” Candra membenarkan dugaan Arbi. Arbi langsung menepuk keningnya.

“Gue kira cuma namanya doang yang sama. Maklum, artis-artis kadang kan pengen nama yang bagus biar menjual,”

“Lo harus belajar untuk tidak menilai seseorang atas dugaan lo doang, Bi,” Candra menggeleng.

“Hmm. Berat berat,” Arbi menggeleng.

Keluarga Tarhan adalah pemilik beberapa bisnis yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka merupakan keluarga old money. Alias bisnisnya sudah diturunkan dari jaman Soekarno. Bisnis mereka menyangkut perbankan, supermarket, perkebunan, pertambangan, bahkan hal yang tidak dikira sama sekali, alat bangunan. Berarti Rachel adalah Tarhan generasi ketiga. 

“Tapi kenapa gue gak pernah lihat Rachel di pesta-pesta? Lo tahu kan, Desya aja semangat banget kalau ada undangan pesta. Ketemu temen-temen cewenya yang...gak usah dibahas..”

“Lo akan tahu bedanya anak dari keluarga kaya sejak jaman baheula, anak dari keluarga kaya baru-baru ini, dan anak dari keluarga baru kaya. Gak perlu datang ke pesta untuk dikenal orang. Orang cari tahu sendiri tentang dia,”

“Gue gak tahu dia,”

“Lo katro,” kata Candra. Jleb, menusuk langsung ke hati Arbi. 

“Tapi gue tahu ayahnya dan kakaknya. Romeo dan Raditya Tarhan,”

Candra mengangguk. “Gue rasa Rachel emang gak mau jadi sorotan publik. Jadi untuk keperluan bisnis, biar ayah dan kakaknya yang tampil. Dia ya begini, shooting, pemotretan, akting. Cuma itu hidupnya. Gue dapet cerita dari Ola. Dapeting jadwal Rachel tuh kebilang susah. Isinya shooting, pemotretan, acara sosial sama anak-anak jalanan. Untunglah dia mau nyelipin satu hari untuk jadwalnya hari ini,”

“Oh jadwalnya padat ya. Kapan pacarannya?” tanya Arbi iseng. Taktik jadul. Mengetahui apakah gebetan sudah punya pacar atau belum dengan pertanyaan menjebak.

“Gak punya pacar. Asistennya aja padahal punya. Itu yang lagi ngobrol. Rachel juga gak pernah terlihat jalan bareng sama seorang cowok. Paling ya rame-rame. Susah sih cari yang bisa digosipin dari dia. Anaknya terlalu baik,”

“Gue jatuh cinta,” Arbi memutuskan.

“Ah elah nada lo kayak bilang mau beli lahan 50 hektar,” Candra menggeleng.

“Bener, Can. Ini pasti jawaban nyokap gue yang tiap hari tiap malem doain gue supaya cepetan nikah,”

Candra tertawa. “Tante Indira pasti seneng. Anaknya udah terlalu lama jadi bujang lapuk,”

Lagi-lagi Candra membuat Arbi memukulnya dengan gulungan kertas. “Gue baru 34. Lo juga,”

“Pak Arbi, mari,” panggil Ola. Ia sudah memperhatikan Arbi dan Candra sedari tadi dan tertawa dalam diam melihat obrolan pacar dan atasannya. Namun Ola baru menyela saat ini, sebelum Arbi menyiksa Candra lebih jauh.

“Oh oke,” 

“Kalau ngadepin tender depan para buaya aja bisa, masa ngadepin bidadari satu gak bisa?” goda Candra sebelum Arbi masuk ke set. Membuahkan tatapan menusuk dari Arbi.

***

Rachel.

“Aku pergi kalau gitu ya Kak. Kalau butuh apa-apa, semua udah ada di tas gede disitu. Udah digembok, kuncinya di saku celanan Kak Rachel. Hubungi aku atau Gian kalau kakak butuh apa-apa,” pesan Moza.

“Kamu kayak baby sitter aku deh. Ngalah-ngalahin Mami,” Rachel tersenyum.

“Nyonya Risya pasti bilang yang sama kalau ada disini. Ah, apa Nyonya Risya marah ya kalau aku ninggalin Kak Rachel?” Moza tiba-tiba khawatir. 

“Nanti aku telepon Mami. sana sana pergi. Biar bisa main yang lama. Gian jagain Moza ya,” Rachel mendorong pundak Moza ke arah Gian.

“Siap Kak,” Gian mengangguk.

“Tunggu!” Moza meninggalkan mereka berdua lalu berlari menuju Ola.

“Kak Ola, aku dan Gian akan pergi. Jadi Kak Rachel gak ada yang nemenin disini. Tolong kakak jagain Kak Rachel ya. Kebutuhan Kak Rachel ada di tas di sana.”

“Mozaaa,” Rachel merengut. Menghampiri Moza, ganti kali ini Rachel yang ditatap geli oleh Ola dan ditatap penasaran oleh Arbi. “I’m fine. Sana kamu pergi. Gian nungguin,”

Moza menggenggam tangan Rachel lalu memberi hormat. Setelah itu Moza dan Gian pergi.

“Maafin Moza. dia suka overprotective,” Rachel menunduk.

“Seluruh kru disini bakal jagain lo kok Chel. Kalau perlu, bahkan nyicipin minuman dan makanan lo dulu, khawatir ada racunnya,” kata Ola.

“Lebay ah. Yuk mulai,” ajak Rachel.

***

Arbi

“Gue gak mau jadi artis. Gila,” keluh Arbi, mengelap peluh di kening yang tercipta karena lampu dan rasa gugupnya.

Candra menghampiri dan menyodorkan minuman. “Itulah kenapa lo mending jadi CEO,”

“Hanya demi dia..” Arbi menoleh ke arah Rachel yang juga beristirahat. Yang dilihat Arbi saat itu adalah Rachel sedang membuka gembok tas yang tadi ditunjuk Moza, dengan kunci kecil. Setelah itu ia mengeluarkan botol minuman dan mulai minum. Setelah minum beberapa teguk, Rachel mengeluarkan iPhone-nya dan seperti menelepon.

Arbi tergugah untuk bergerak. Masih sambil menenteng botol minum, Arbi menghampiri Rachel.

“Boleh duduk disini?” tanya Arbi.

Rachel mendongak. “Oh silakan,” Rachel memasukkan kembali iPhone dan botol minumnya ke dalam tas, mengunci, menyimpan kembali kunci ke dalam saku. Tas yang sudah aman itu ia pindahkan ke lantai agar Arbi bisa duduk di sampingnya.

“Saya baru tahu ada artis yang bisa mandiri tanpa asistennya,” ujar Arbi.

“Oh. Ini hal biasa kok. Dari kecil sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri,” jawab Rachel, tersenyum. Arbi makin meleleh.

“Dan Anda membiarkan asisten Anda untuk berjalan-jalan dan tak menemani Anda disini,”

Rachel tersenyum sopan. “Sebelumnya saya ada shooting film disini. Sampai kemarin. Saya sudah terlanjur berjanji pada Moza bahwa hari ini kami akan bermain di USS. Bersama Gian, pacar Moza. Tapi kemudian ada tawaran dari Ola untuk shooting iklan. Saya setuju karena Ola termasuk orang baik yang saya kenal. Saya tidak mau membuat Moza mengurungkan rencananya juga. Jadi biarlah Moza tetap berangkat ke sana bersama Gian.”

“Anda tidak perlu ditemani?”

Rachel memandang berkeliling. “Banyak orang disini. Kalau untuk teman mengobrol, sekarang saja saya sedang mengobrol dengan Anda. Kalau Moza harus membatalkan rencananya hanya untuk menyediakan saya minum, saya rasa Moza terlalu berharga untuk itu.”

Arbi benar-benar terpana dengan kata-kata Rachel ini. 

“Kapan Anda kembali ke Indonesia?” dari sekian banyak pertanyaan yang ingin Arbi utarakan, inilah pertanyaan paling aman.

“Besok pagi,”

“Maukah malam ini makan malam dengan saya?” ajak Arbi. Rachel tampak terkejut sebentar.

“Boleh. Dengan siapa saja?”

Arbi yang sudah akan melonjak kegirangan saat Rachel berkata ‘boleh’, berubah kaget mendengar kalimat berikutnya.

“De-dengan siapa?”

“Iya,”

“Dengan.. Dengan Candra. Juga Ola,” seru Arbi. Candra yang memang sedang menghampirinya jadi kebingungan. “Ya kan Can? Nanti malam kita bisa makan malam bersama?”

“Oh iya iya bisa,” Candra mengangguk cepat. Ia akan bertanya setelahnya.

“Oke. Kalau begitu saya akan ajak Moza dan Gian,”

“Nice,” sahut Arbi. “Anda menginap di?”

“Marina Mandarin,” 

“Saya di Ritz-Carlton,” ujar Arbi. Padahal Rachel tak bertanya. Sadar bahwa Rachel tak menanggapi, Arbi melanjutkan. “Bagaimana kalau kita makan malam di Marina MAndarin? Ada restoran bagus disana setahu saya.”

“Aquamarine?” usul Rachel.

“Perfect. Aquamarine, 8 pm?”

“Oke,” Rachel setuju.

“Nah, shootingnya akan dilanjut, supaya semuanya cepat selesai,” ujar Candra.

***

Rachel.

“Iya Moza senang sekali katanya,” ujar Rachel setelah kembali berada di kamar hotel. Moza sedang dalam perjalanan pulang. Tadi Rachel sudah meminta Moza untuk pulang agak cepat karena jam 8 mereka ada janji makan malam. Rachel sendiri tadi pulang mengenakan taksi sendirian. Arbi menawarkan untuk mengantar tapi Rachel menolak.

“Besok pagi aku pulang, Mami. Mungkin sampai di Jakarta sekitar jam 10. Jadwalku besok kalau gak salah ada latihan buat pertunjukan di TIM bulan depan,”

“Malamnya kamu ada acara, Sayang?” tanya Risya Tarhan di telepon.

“Sorenya aku ada janji di 20 Fit. Biasanya sampai jam 7. Kenapa Mami?”

“Pulang ke rumah ya. Katanya Radit ada pengumuman penting,”

“Kenapa gak Kak Radit aja yang telepon aku?”

“Radit masih di kantor sejak kemarin. Belum pulang. Jadi Mami yang mengingatkan kamu,”

“Oke,”

“Shootingnya gimana, Sayang?”

“Lancar, Mam. Satu hari selesai kok,” Rachel sekarang sedang memandangi lemari. Melihat pakaian apa yang cocok dipakainya untuk makan malam. 

“Sama siapa shootingnya?”

Rachel tahu Mami akan bertanya hal ini. Walaupun untuk kali ini sebenarnya Rachel malas menjawab. Masalahnya, partner Rachel kali ini bukan artis. “Arbi, Mam.”

“Mami baru tahu ada artis namanya Arbi. Pendatang baru?”

“Arbi Atmodikoro,”

“Apaaa?” Mami berseru kencang. Membuat Rachel menjauhkan telepon. “Dia merambah dunia akting sekarang?”

“Aku juga gak ngerti kenapa dia yang jadi pasangan aku,”

“Kalau ketemu lagi, titip salam dari Mami ya,”

Rachel mungkin akan menolak karena itu berarti dia mendapatkan amanah dari Mami untuk memberikan salam. Tapi mengingat dia memang akan bertemu Arbi lagi, maka Rachel setuju.

“Enjoy your dinner, honey,” ujar Risya lagi.

“Kok Mami tahu?”

“Mami sudah jadi Mami kamu 26 tahun. Biasanya kalau Mami titip salam ke cowok, kamu suka nolak. Sekarang kamu diam aja. Berarti kalian bakal ketemu lagi. Entah dinner atau…”

“Udah Mami udah ah,”

“Dress up well, beautiful,” seru Risya Tarhan lagi. Membuat Rachel merengut. 

***

Arbi

Arbi bukannya tak pernah berkencan dengan perempuan. Dia punya beberapa mantan pacar yang jumlahnya menyamai pemain sepak bola (plus pemain cadangan). Tapi cuma perempuan ini yang tidak terlihat sebegitu semangatnya berinteraksi dengan Arbi. DAN mengajak orang lain saat diajak makan malam.

Karena itulah Arbi lebih gugup. Berbeda dengan Candra yang santai mengobrol dengan Ola di sebelahnya.

“Mana sih?” tanya Arbi tak sabar. Diliriknya arloji Rolex berkali-kali. Dia sudah menunggu Rachel sejak puku; setengah 8.

“Sekarang baru jam setengah 8 lewat 10, Pak,” goda Ola. “Lagian cewek kan dandannya lama.”

“Harusnya kita bisa datang agak santai. Lo gak sabaran sih Bi,” kata Candra.

“Ritz ke sini tuh jauh. Jangan sampai dia yang nunggu,”

Candra dan Ola berpandangan. Sejauh-jauhnya di Singapore, tak akan seperti Jakarta yang butuh waktu tempuh satu jam meski dekat.

“Nah itu dia,” tunjuk Ola.

Dibalut gaun berwarna coklat muda, Rachel melangkah dengan percaya diri ke dalam Aquamarine. Di belakangnya diikuti Moza dan Gian. Arbi langsung menelan ludah.

“Selamat datang,” ujar Arbi. Dibalas dengan senyuman Rachel.

“Terima kasih sudah mengundang kami untuk makan malam,” ujar Rachel.

“Terima kasih karena sudah menerima undangannya,” ucap Arbi.

“Langsung memesan saja?” tawar Candra. Disetujui oleh semua orang disitu.

Sepanjang makan malam, Arbi tak hentinya mengagumi Rachel. Dia tak banyak bicara. Begitu berbeda dengan aktris yang Arbi tahu, yang selalu berusaha mencuri perhatian orang dengan berbagai cara. Sedangkan Rachel, hanya duduk dan makan namun dia sudah bisa menarik perhatian Arbi dengan sendirinya. Apalagi Candra sibuk mengobrol dengan Ola dan Moza dengan Gian. 

“Rachel,” panggil Arbi. 

“Ya?”

“Bisakah kalau setelah ini kita bertemu lagi?”

“Kita akan bertemu lagi kan? MAsih ada shooting di Jakarta dan…”

“Maksudku. Di luar urusan pekerjaan.”

“Oh,” Rachel nampak terkejut. “Maaf. Aku tidak biasa bertemu dengan klien selain urusan pekerjaan.”

Dang! Rasanya Arbi seperti ditampar. Jelas-jelas dia ditolak.

“Berarti kalau ada urusan pekerjaan, bisa?”

“Maksud Anda?” Rachel mengernyit. Namun Arbi malah tersenyum, menyenggol Candra yang duduk di sebelahnya.

“Can, Nesiacorp baru selesai kerjasama dengan Bunga Citra Lestari kan sebagai brand ambassador nasional kita?”

“Ya, Pak,” Candra buru-buru menanggapi Arbi, menghentikan sejenak obrolannya dengan Ola.

“Bisa kan kalau saya secara langsung minta Rachel Tarhan untuk jadi brand ambassador berikutnya?”

Candra menatap Rachel yang langsung membelalak. Moza menatap Rachel juga. 

“Bisa, Pak. Kalau penawaran kita disetujui oleh Miss Rachel,” Candra mengangguk. Mengerti apa yang diinginkan Arbi.

“Gimana, Rachel?”

Rachel tampak bingung. Ia belum pernah menghadapi hal terang-terangan begini. Memang ada beberapa orang yang sengaja PDKT kepadanya dengan dalih pekerjaan. Tapi Moza selalu bisa menyaring hal itu sehingga Rachel tidak pernah terjebak. Kali ini, Rachel seperti ditembak ditempat.

“Boleh saya minta dulu penawarannya?” sela Moza.

Seluruh perhatian berpindah ke Moza dan rachel tampak bersyukur.

“Bisa kirim ke sini aja,” Moza mengulurkan kartu nama. “Kalau sekiranya sesuai, kita bisa meeting lagi untuk lebih jelas.”

“Trims, Moza,” ujar Candra.

Arbi memandangi Rachel yang terus menunduk. Merasa senang.

***

Rachel.

“Stef,” sapa Rachel begitu panggilan telepon diangkat. 

“Hei, Chel! How was Singapore?” sapa Stefan ceria. 

“Busy,” jawab Rachel. Tersenyum di mobil menuju TIM, sepulang dari bandara. 

“Yah kapan sig lo gak busy. Ada apa?” tanya Stefan. 

“Lo gak lagi ribet kan?” 

“Lagi makan sama Lala, mau cerita sesuatu?”

Rachel meringis. Sahabatnya ini tau aja. Apa Mami dan Stefan selalu bisa membaca Rachel dengan mudahnya? 

“Sekalian sama Lala deh,” 

“Bentar gue pasang headset dulu,” tidak ada suara Stefan terdengar sampai beberapa saat. 

“Halo Rachel,” kali ini suara perempuan yang terdengar. Suara Lala, pacar Stefan. Mereka satu kantor jadi sering makan siang bersama. 

“Hei, La,” 

“Ada berita apa dari negeri sebrang?” tanya Lala. 

“Ada yang ngajak gue makan malam…” Rachel memulai. 

“Terus?” Stefan bingung. Kan memang banyak yang mengajak Rachel makan malam. Klien, partner, teman. 

“Maksud gue. Ngajak makan berdua gitu,” 

“Terus?” Lagi-lagi Stefan bertanya hal yang sama. 

“Stef,” tegur Rachel. “Kemarin kita makan malam. Sama Moza juga. Terus malam ini dia ngajakin lagi.” 

“Bentar bentar. Gue sebenernya bingung. Coba lo cerita dari awal deh Chel,” Lala menyela. 

Rachel menarik nafas lalu mulaibercerita. Sampai ketika Arbi mengajaknya bertemu lagi malam ini. 

“Gue bilang gak bisa. Karena gue diminta Mami untuk pulang ke rumah. Tapi…” 

“Chel,” Stefan mengambil alih. “Lo tuh udah berjuta kali diajak dinner sama cowok. Kenapa sekarang lo salting gini?” 

“Ah gak tau ah. Gue aneh emang. Eh gue udah sampe di TIM. Ntar ngobrol lagi ya,” Rachel memutus sambungan telepon. Iya ya, kenapa juga dia harus ambil pusing dengan ajakan dinner dari Arbi?

*** 

Arbi

“Tante Indira minta lo pulang ke rumah malam ini,” ujar Candra saat mereka berada di mobil menuju kantor pusat Nesiacorp. 

“Oh ya? Kenapa?” 

“Gak bilang. Dia cuma memastikan lo sudah pulang jam 5 dan segera menuju rumah,” 

“Karena Rachel menolak ajakan makan malam gue malam ini, oke gue setuju pulang ke rumah,” 

“Yah, harusnya juga lo nolak Rachel demi Tante Indira,” 

Arbi mengangkat bahu. Di hadapannya masih terbayang wajah Rachel yang malu-malu menolaknya. Setelah itu Rachel langsung balik kanan untuk naik ke pesawat. Lebih dulu dari Arbi. 

“Gila emang ya,” gumam Arbi. 

“Akhirnya lo sadar lo gila,” Candra menghela nafas lega.

“Kutu. Bukan gue. Cinta…” 

“Cinta itu gak pernah salah Bro. Ngapain lo salah-salahin cinta? Diamuk Rangga lho,” 

“Ish garing candaan lo Can,” Arbi menggeleng. Bersandar pada kursi tanpa peduli Candra yang menyetir. 

“Lo harus gerak cepat kalau mau Rachel. Mana tau kan dia udah dijodohin?” 

“Tapi dia kayak gak mau deket sama cowo,” 

“Dia cuma males digosipin. Gue yakin. Rachel Tarhan anti infotainment. Ditambah larar belakang keluarganya, gampang aja supaya hal pribadi tetap terjaga. Tapi bukan berarti dia seenaknya umbar kehidupan pribadi kesana sini,” 

“Usul lo apa supaya gue bisa jadian sama Rachel?” 

“Deketin orang tuanya? Sebagai sesama businessman, harusnya bisa lah,” 

“Deketin Romeo Tarhan untuk urusan begini? Wah mending gue ketemu Bosnya Gudang Garam buat bikin sabun kretek,” Arbi menggeleng. 

“Cemen lo. Cepat atau lambat lo akan ketemu bokapnya Rachel lah. Menurut lo, dia bakal diijinin nikah kalau cowoknya ga ketemu bokapnya dulu?” 

“Gue tau. Tapi lo pernah ketemu Romeo Tarhan gak sih?” Candra menggeleng. “Tinggi, gede, mukanya galak, berkumis. Khas orang Turki,” 

“Kenapa Turki?” 

“Kakeknya Rachel, bapaknya Pak Romeo, orang Turki,” 

“Pantesan Rachel cantik banget,” gumam Candra. 

“Ehem! Cuma gue yang boleh bilang Rachel cantik,” Arbi mendelik. 

“Ngomong lo sama Chelinta,” Candra tertawa. 

“Apa tuh Chelinta?” 

“Nama fans clubnya Rachel Tarhan. Rachel Cinta. Isinya mayoritas laki. Kalau gue liat forum diskusinya,” 

“Sebelum ngadepin Om Romeo, gue yakin bakal babak belur duluan ngadepin Chelinta ini,” Arbi menggelengkan kepala. Semakin pusing. 

“Intinya lo jangan mudah menyerah. Berjuang aja belum lo,” 

“Iya. Buat apa gue masuk top 10 most eligible bachelor versi Cosmopolitan kalau udah jiper duluan,” seru Arbi membusungkan dadanya. 

*** 

Rachel 

“Jadi gimana Arbi Atmodikoro?” tanya Mami saat Rachel, Mami, dan Papi makan malam. Kakaknya, Raditya, yang katanya punya pengumuman penting, malah belum tiba. 

Rachel tersedak. Makin takut ketika ayahnya tampak begitu tertarik. 

“Apanya? Aktingnya? Biasa aja,” 

“Kamu tahu bukan itu yang Mami maksud,” kata Mami, menaikkan alisnya. 

“Atmodikoro yang punya Nesiacorp?” tanya Papi. Pelan-pelan Rachel mengangguk tanpa memandang Papinya. “Kenapa dengan dia?” 

“Rachel shooting iklan sama dia Pi di Singapore ini,” malah Mami yang menjawab. 

“Cuma shooting kok,” 

“Abis itu jadi kan makan malamnya?” 

Rachel mengangguk terhadap pertanyaan Mami. “Berenam kok Pi!” 

“Kenapa kamu sewot gitu sih Chel? Kan gak apa-apa kalau kamu dinner sama Arbi. Belum nikah juga kan dia? Ya gak Pi?” 

Papi menggeleng. “Terus ngapain lagi?” 

Rachel menelan ludah susah payah. Ini seperti dulu ketika Rachel keluar untuk acara prom SMA. Begitu sampai di rumah ia lamgsung diinterogasi oleh Papi. Padahal Rachel gak ngapa-bgapain. Berangkat dari rumah dehgan geng cewenya. Pulang memang diantar Kevin sih, Prom King saat itu. Membuat Papi bertanya macam-macam. Itulah kenapa Rachel malas berhubungan dengan cowo. Selain karena belum ada yang benar-benar membuatnya tertarik, Rachel malas kalau harus diinterogasi. Pacar-pacarnya selama ini lebih banyak direkomendasikan Mami. Jadi Mami yang banyak diinterogasi Papi. 

“Kemarin cuma shooting Pi. Abis itu makan malam. Udah. Berenam pula sama Moza,Gian, candra, dan Ola. Pagi ini Rachel kembali ke Indonesia. Gak kontak apa-apa lagi,” 

“Hmm,” cuma itu yang dibilng Papi. 

“Direstuin kan Pi kalau sama Arbi Atmodikoro?” tanya Mami penuh semangat. 

“Ya kalau dia serius gak apa-apa,” jawab Papi. Mami bersorak kegirangan. Rachel hanya geleng-geleng kepala. 

“Maaf maaf terlambat,” terdengar suara Raditya. “Hei Sissy, so glad you can make it.” 

“Miss you, brother,” sapa Rachel, mengecup pipi kakaknya. 

“Miss you too, Chel. Mam, Pap,” Radit beepindah menyapa orang tuanya. 

“Jadi ada apa?” tanya Mami begitu Radit diduk di sebelah Rachel. 

“Tunggu. Aku lapar. Makan dulu ya,” Radit mengangkat tangan. Makanan disajikan dan sementara Radit makan, Mami kembali menginterogasi Rachel. 

“Kapan ketemu Arbi lagi?” 

“Minggu depan Mam. Shooting lanjutan,” jawab Rachel 

“Arbi siapa? My little sisdy dinally have a boyfriend?” Radit nimbrung. 

“Arbi Atmodikoro Diiit,” kata Mami semangat. 

“Wah, saingan aku di top 10 most eligible bachelor Cosmopolitan,” ujar Arbi. Membuahkan tatapan ‘apa sih’ dari Rachel dan Mami. “Dia peringkat 6, aku peringkat 8.” 

“Yang ngasih ranking harus ditinjau ulang,” ukar Mami singkat. Ia kembali ke Rachel. “So?” 

“Jadi Rachel pacaran sama Arbi?” sela Radit lagi. 

“Nggak! Apaan sih. Cuma shooting bareng. Lagian kenapa bahas aku terus deh? Kan Kak Radit yang mau cerita penting,” 

Radit nyengir. Ia menghentikan makannya lalu mengeluarkan iPhone. Menguliknya sebentar lalu menunjukkan sebuah video kepada keluarganya. 

Awalnya video itu menunjukkan pemandangan pantai, laut, langit. Raja Ampat rupanya. Lalu menyorot seorang gadis, Talita Pradja, pacar Radit, yabg sedang tertawa dan mengobrol dengan teman-temannya. Kamera terus mengikuti Talita sampai di pantai, ada tulisan ‘will you marry me?’. Dengan Radit berlutut dan mengulurkan cincin. Talita tampak kaget bahkan sampai menangis. Radit memasangkan cincin lalu memeluk Talita diiringi tepuk tangan teman-teman mereka. 

“Oh Tuhan, berarti…” Mami memekik. 

“Yes, Mam,” Radit tersenyum lebar. 

“Congrats Kaaaak,” Rachel berseru girang. Ia memeluk Radit. Mami sampai memutar yntuk ikut memeluk putranya. Sedangkan Papi hanya tersenyum. 

Setelah Rachel dan Mami selesai memeluk Radit, Papi berdiri, Radit juga. Papi menyalami dan memeluk Radit. 

“Selamat Nak. Karena sudah berani mengambil langkah besar sebagai pemimpin rumah tangga,” 

“Ya Pap. Mohon doa dan dukungannya,” 

“Jaga Talita. Usahakan kebahagiaan kalian selalu,” pesan Papi. 

“With all my life, Pap,” Radit terharu. 

Malam itu bahasan dilanjut dengan rencana lamaran resmi dan pernikahan antara Radit dan Talita. Talita bilang dia ingin pernikahan sederhana dan cantik seperti di Bali. Meski itu cukup sulit mengingat relasi bisnis keluarga Tarhan dan relasi politik (ayah Talita adalah salah seorang menteri) keluarga Pradja, namun Papi setuju dan akan mengusahakannya. 

Rachel sangat sangat senang akan berita ini. Talita adalah gadis yang anggun, bisa menjaga diri dari pergaulan berlebihan, pintar, jago Tarkwondo, bisa memasak, dan terutama sangat mencintai Radit. 

Entah kenapa pikiran Rachel berkelana ke Arbi. 

*** 

Arbi 

“Bun,” sapa Arbi saat masuk ke rumah dan melihat Indira Atmosikoro menyambutnya. 

“Kamu kurus sekali, Nak,” ujar Bunda saat mencium pipi amaknya. 

“Perasaan Bunda aja,” Arbi nyenfir. “Desya mana?” 

“Lagi teleponan di belakang,” 

“Ngomongin Aliando?” 

“Bukan. Tdi sih Bunda dengernya kayak Sar sar Rixky Pasar apa gitu…” 

Arbi tertawa. 

“Ayah udah pulang?” tanya Arbi lagi, kali ini sembari bergandengan dengan Bundanya menuju ruang keluarga.

“Belum. Masih di jalan sepertinya. Tadi ada kasus yang harus diurus dulu,” 

“Jadi ada perintah apa sampai Arbi harus pulang segala?” 

“Lho ya ini kan rumahmu toh. Kamu udah lama gak pulang dan ketemu Ayah dan Bunda,” Indira Atmodikoro mencubit hidung putranya. Selalu menganggap seperti anak kecil padahal Arbi sudah 34 tahun. 

“Iya BUnda. Kan Bunda tahu Nesiacorp itu…”

“Besar. Jadi kamu butuh waktu banyak untuk ngurusin Nesiacorp. Iya Bunda paham. Itu yang dibilang Bapak hampir tiap hari,” sekali lagi Bunda mencubit Arbi, di pipi. Bapak yang disebut adalah Pak Rahmat Atmodikoro, kakek Arbi, mertua Bunda. “Makanya kamu belum nikah juga sampai sekarang.”

“Mulai deh Bunda,” kata Arbi, melengos. Ia agak keberatan kalau membahas soal pernikahan. Karena memang belum ada yang pas di hatinya. Memang ia mulai jatuh hati pada Rachel. Tapi mereka bahkan baru sekali bertemu. Belum bisa diceritakan kepada BUnda.

“Kerja sukses, masa rumah tangga nggak? Yang kamu cari tuh apa sih nak?” Bunda mengelus rambut Arbi.

“Pengen ngebahagiain Ayah sama Bunda dong,”

“Ayah sama BUnda bahagia kalau kamu nikah,” kata Bunda lagi. Membuat Arbi berpikir keras.

“Betul itu,” sahut sebuah suara. Ketika Arbi dan Bunda menoleh, dilihatnya Pak Wibi Atmodikoro melangkah mendekat.

“Ayah,” Arbi bergegas bangkit. Menyalami ayahnya, Komjen Wibi Atmodikoro.

“Jadi gimana, kamu pulang sudah bawa calon istri?” Ayah duduk di sofa, diikuti Arbi dan Bunda.

“Arbi pulang karena diminta Bunda,”

“Kalau gak diminta, gak pulang?”

“Yah…” Arbi menggaruk kepalanya. Malas menjawab.

“Nak, lihat ini,” Ayah mengeluarkan ponselnya. Mengulurkan kepada Arbi sebuah foto. Bunda ikut melongok. Foto gadis berparas ayu dan terlihat ramah. “Namanya Nadia Kuncoroputri. Usianya 27 tahun. Anak keduanya Utomo Kuncoroputra. Teman Ayah sewaktu kuliah di UGM. Sekarang jadi pengacara terkenal. Nadia juga lulusan Leiden dan sekarang sedang meniti karier mengikuti ayahnya.”

Arbi menyerahkan kembali ponsel ayahnya tanpa berkata apa-apa.

“Gimana?” tanya Ayah.

“Gimana apanya?” Arbi bertanya sok polos.

“Cantik gak?”

“Cantik,”

“Pinter kan?”

“Pinter,”

Lalu hening. Ayah, Arbi, Bunda, tak ada yang bersuara.

“Jadi kamu mau gak?” lanjut Ayah.

“Mau apa Yah?”

Ayah bersandar, menggeleng. Bunda antara ingin tertawa dan menjitak putranya.

“Mau gak Ayah kenalkan dengan Nadia?”

“Gak usah Yah. Pasti dia sibuk,” kata Arbi santai.

“Bun ini tolong anaknya digetok dulu supaya otaknya agak fokus,” kata Ayah. Membuat Bunda benar-benar tertawa dan menjitak pelan kepala Arbi.

“Ayah dan Bunda sudah pengen kamu menikah Nak. Menurut Ayah, Nadia itu cocok buat kamu. Ayah sudah kenal ayahnya pula,”

Arbi menggeleng. “Arbi cari istri sendiri aja Yah,”

“Sampai kapan?”

“Sampai dapat,” kata Arbi keras kepala.

“3 bulan. Ayah kasih waktu kamu 3 bulan. Kalau sampai 3 bulan itu kamu gak berhasil mengajak perempuan baik-baik untuk jadi istri kamu, Ayah akan nikahkan kamu ke Nadia.”

“Lho Yah, Nadianya juga belum tentu mau sama Arbi?” Arbi memprotes. Jaman apa ini, dia sebagai laki-laki malah sibuk dijodohkan?!

“Lho wong Nadia yang nanyain kamu duluan ke Ayah,” kata Ayah lalu berdiri dan melangkah pergi. Bunda tersenyum-senyum saja lalu mengikuti Ayah. Arbi, sementara itu, menggelosor di sofa dengan wajah aneh.

***

Rachel

Belum pernah Rachel menghadapi shooting dengan perasaan aneh seperti ini. Kali ini shooting kedua Nescoffee. Yang artinya Rachel akan bertemu Arbi lagi. Bukan karena kemampuan akting Arbi yang payah yang membuat mereka harus take berkali-kali. Melainkan kesempatan untuk bertemu pria itu lagi membuat Rachel jadi agak serba salah.

Kali ini shooting berlokasi di apartemen Pacific Place. Iklannya akan bercerita lagi-lagi tentang pasangan Arbi dan Rachel. Arbi dikisahkan sedang pergi untuk dinas dan Rachel menghabiskan beberapa waktu sendirian. Ia tidak mau menghubungi Arbi meski rindu karena tidak mau mengganggu pekerjaannya. Hanya Nescoffee yang setia menemani. Ketika Rachel sedang memandangi Jakarta sambil menyeruput Nescoffee, Arbi tiba-tiba datang. Setelah itu mereka akan minum kopi bersama di sofa sambil berpelukan.

Shooting dimulai sejak jam 9. Rachel dan Moza sudah tiba sejak pukul 8. Dirias dan diarahkan oleh Ola untuk shooting kali ini. Belum terlihat tanda-tanda Arbi.

“Jadi gimana soal penawaran untuk jadi brand ambassador Nesiacorp? Kakak mau?” tanya Moza.

“Hmm, kontrak 2 tahun ya? Dan wajib pakai semua produk Nesiacorp. Campaign ke beberapa tempat terkait program CSR mereka, datang gala dinner, pembukaan, dan lain-lainnya,” Rachel meringkas hal-hal yang akan dijalaninya kalau setuju jadi brand ambassador Nesiacorp.

Moza mengangguk.

“Aku pasti gak bisa kabur dari acara-acara sosialnya kalau jadi brand ambassador. Pulang cepet juga gak bisa,” gumam Rachel. Moza mengangguk lagi. “Kayaknya akan kutolak aja, Za.”

“Oke,” Moza setuju.

Rachel sebenarnya cukup ingin mengambil tawaran itu. Tapi ia tidak mau kalau sampai harus ‘merelakan’ kebiasaannya kabur dari pesta. Lagipula Rachel lebih senang berakting daripada jadi wajah untama sebuah brand. Bukannya tidak mau, itu adalah pencapaian besar. Apalagi kalau untuk brand sebesar Nesiacorp. Tapi ya…

“Rachel?” 

Rachel mendongak. Dilihatnya Arbi sedang berdiri memandangnya.

“Oh hai,” sapa Rachel, tersenyum.

“Sudah lama?” Arbi duduk di kursi sebelah Rachel. Siap didandani juga.

“Belum,” Rachel menjawab masih dengan senyum terpampang di wajah. Moza dapat melihat bahwa senyum Rachel kali ini cukup berbeda dari biasanya. 

“Anda selalu datang lebih dulu dari waktu yang ditentukan ya?”

“Ya. Saya sangat berusaha untuk tidak terlambat,” Rachel mengangguk. Diam-diam Rachel memandangi Arbi lebih intens. Hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih, pipinya yang tirus, bibirnya yang… Rachel menelan ludah. Arbi terbilang kurus. Rachel dapat merasakannya ketika Arbi memeluknya saat shooting di Singapore pekan lalu. Tangannya yang tertutup kemeja terasa tidak terlalu berisi.

“Nice. Begitu seharusnya kerja secara profesional,” Arbi mengangguk.

“Anda sendiri?”

“Saya? Saya apa? Oh…” Wajah Arbi sedikit memerah. “Saya berusaha untuk datang tepat waktu. Tapi kalau terlambat, itu pasti diluar kebiasaan.”

Rachel tertawa. Ingat kejadian shooting pekan lalu.

***

Arbi

Damn dia ketawa! Cantik banget! Rasanya bunga-bunga bertebaran di sekeliling dia. Ya Tuhan…

“Pekan kemarin itu saya baru pulang dari Bengkulu untuk keperluan Nesiacorp. Jadi boleh dibilang saya cukup lelah. Jadi ya…”

“Iya, paham,” Rachel tersenyum. Membuat Arbi merasa seluruh masalahnya terangkat. Dia bisa berada disini diam saja dan merasa semua tujuan hidupnya tercapai.

“Anda sepertinya orang yang pantang menyerah ya,” lanjut Rachel.

“Oh ya? Kenapa bisa berpikir begitu?” Arbi tertarik, menggeser duduknya lebih dekat. Membuat sang Make Up Artist ikut bergeser.

“Anda tidak terlihat terbiasa berakting,” Rachel memulai. “Tapi Anda terlihat sekali membaca skrip berulang kali dan bolak balik berlatih berakting. Di take pertama dan take terakhir, kemampuan akting Anda berubah.”

Arbi terpana. Rachel begitu memperhatikannya. 

“Apa Anda selalu memperhatikan orang sampai begini?”

“Ya. Terutama orang-orang yang bekerja dengan saya,” Rachel menjawab dengan nada biasa saja. Arbi kecewa karena bukan hanya dia yang diperhatikan.

“Siapa partner kerja yang paling Anda senangi?”

“Dalam hal?”

Arbi berdeham. Rachel tidak mudah dijebak rupanya. “Cara bekerjanya, tentu.”

“Rata-rata rekan kerja saya semuanya profesional. Saya bersyukur akan itu. Tapi kalau boleh berkata, saya paling senang bekerja dengan Reza Rahadian. Dia sangat piawai berakting, tingkah lakunya baik, ramah, dan juga profesional. Ya,”

Jadi saingan gue Reza Rahadian?

“Anda sendiri? Senang bekerja dengan orang seperti apa?”

“Yang cantik,” Arbi refleks menjawab. Rachel bengong. Bahkan bengongnya pun cantik. “Eh maksud saya…”

Arbi berdeham. Rachel kembali menguasai kekagetannya.

“Ya tentu bertemu dengan klien yang rapi dan cantik akan lebioh baik daripada yang berpenampilan serabutan kan?” Rachel setuju. “Yang bisa bekerja dengan cepat dan jujur. Itu yang saya suka.”

“Tipikal pebisnis sekali ya,” Rachel tersenyum.

“Ya. Kalau saya, tipe Anda kah?” celetukan Arbi membuat Rachel kaget lagi. “Oh maksud saya…”

“Saya tidak punya tipe khusus, kalau itu yang Anda maksud,” Rachel menyela, senyum lagi. 

“Oh, hahaha, ya bagus. Semua tergantung kecocokan,” Arbi merutuk. Untuk apa dia membahas ini.

“Iya,” ujar Rachel singkat. 

“Mari kita mulai shootingnya,” Ola menyela Rachel dan Arbi. Membuat Arbi tertolong dari kebodohan lebih dalam.

***

Rachel

Rachel memperhatikan bahwa kali ini Arbi berakting lebih leluasa, lebih santai. Dalam adegan kilasan kebersamaan Rachel dan Arbi sebelum Arbi pergi dinas, Arbi begitu santai tertawa, menyentuh tangan Rachel, menatap Rachel seakan-akan ia benar kekasih Arbi. 

Luar biasanya, saat mereka break makan siang, Arbi dan Rachel lanjut mengobrol seperti sudah akrab sejak lama. Mereka membahas karier masing-masing dan hobi disela melakukan aktivitas rutin. Arbi lebih senang membaca. Sedangkan Rachel lebih senang ke gym, ke salon, atau berbelanja.

Rachel mulai merasa nyaman mengobrol dengan Arbi. Arbi terlihat antusias mengenal Rachel dan mengetahui lebih dalam tentang Rachel. Bukan tentang keluarganya atau ketenarannya.  Apalagi wangi Arbi benar-benar enak dicium. Oke, lewati bagian itu.

Adegan terakhir. Setelah Arbi tiba-tiba muncul saat Rachel minum kopi, mereka diceritakan duduk meringkuk di sofa, Rachel bersandar ke pundak Arbi. Semua berjalan sesuai arahan. Sampai ketika Arbi tiba-tiba mengelus rambut Rachel dan mencium puncak kepala Rachel. Ola yang melihat adegan itu langsung tersenyum. Melirik Candra yang juga memperhatikan shooting. Mereka berdua tersenyum senang. Sementara Rachel berhasil menyembunyikan kekagetannya dan terus melanjutkan sampai sutradara menyebut ‘cut’!

“Bagus banget! Beres ya shooting kita hari ini,” seru Ola. Ia langsung memerintahkan semua kru untuk beres-beres.

Rachel dan Arbi masih duduk di sofa. Pelan-pelan Rachel memandang Arbi. 

“Sudah….bisa improvisasi…” gumam Rachel.

Arbi nyengir. “Karena Anda begitu berbakat, saya jadi tidak boleh kalah.”

Rachel mengangguk. Cepat-cepat ia bangkit berdiri menghampiri Moza. Rachel meminta baju aslinya untuk diganti dengan baju ini. Ia harus cepat-cepat pulang. Rachel masuk ke salah satu kamar. Berganti pakaian dengan kilat. Setelah itu ia meminta Moza menyerahkan baju ke tim wardrobe. Tanpa menunggu Moza dan berpamitan, Rachel menuju lift. Menekan tombol lift dengan tidak sabar. Begitu pintu terbuka, Rachel buru-buru menekan tombol menuju basement. Setelah sampai di basement, Rachel berlari menuju mobilnya. Ketika sadar bahawa kunci mobil dibawa Moza, Rachel cuma bersandar.

“Ya ampun ya ampun ya ampun,” Rachel mengusap dadanya berkali-kali. 

“Kak, kenapa?” Moza akhirnya muncul. Terangeh-engah juga, seperti berlari demi bisa cepat menghampiri Rachel.

“Zaa..” Rachel memeluk Moza. “Kayaknya aku…”

Rachel memang sering bersentuhan dengan pria karena pekerjaannya. Rachel juga sering dipeluk dan dicium pria. Dicium rambutnya seharusnya tidak menimbulkan gelenyar hebat di seluruh tubuh Rachel seperti sekarang ini.

“Aku suka Arbi,”

***

Arbi bingung. Tadi mereka masih bersikap biasa-biasa saja. Kenapa Rachel tiba-tiba menghilang? Setelah selesai shooting, Rachel seperti pergi untuk berganti pakaian. Setelah itu Arbi tak tahu ia kemana. Moza juga buru-buru pamit. Apakah Arbi salah saat improvisasi tadi?

“Rachel mana ya Can?” tanya Arbi setelah berganti baju. 

“Kayaknya udah pulang pas lo ganti,” 

“Tiba-tiba aja gitu?” Arbi mengernyit. 

“Yeah,” Candra mengangkat bahu. Mereka berpamitan pada oramg-orang lalu melangkah turun. Hari sudah malam, saatnya makan malam. 

Arbi mengeluarkan iPhone. Mengabaikan beberapa pesan seputar pekerjaan dan meluncur menuju nama Rachel Tarhan. 

Dering pertama, tidak diangkat. Dering kedua, juga tidak diangkat. 

“Nelepon siapa?” Candra menoleh

“Rachel,” kata Arbi kalem. 

“Udah berani nih sekarang? Setelah itu nomor disimpen dari jaman ketemu di pesta Nyonya Pitaloka, baru berani nelepon sekarang?” Candra terkekeh. 

“Sstt,” dering keempat dan masih tidak diangkat. Dering kelima… 

“Halo,” sapa suara disana. 

“Rachel?” Arbi menyapa, antusias. Tidak dijawab. “Ini Arbi. Anda sudah pulang?”

“Y-ya..” 

“Sayang sekali. Padahal saya masih ingin mengobrol. Apakah…” 

“Maaf saya sedang menyetir. Maaf,” 

Telepon ditutup. Arbi memandang Candra. Heran. 

*** 

Rachel 

“Jadi?” Moza bertanya hati-hati setelah telepon ditutup. Sebenarnya Moza yang menyetir sedari tadi. Rachel tidak tahu siapa yang menelepon namun ia punya feeling Arbi yang akan menghubunginya. Ternyata betul. Tadi Rachel menyalakan speakerphone sehingga Moza juga mendengar suara Arbi. 

“I'm screwed up,” Rachel menggeleng. 

“No, you’re not, Kak,” sebenarnya Moza agak geli melihat sikap Rachel ini. Seperti ABG yang malu-malu saat dihubungi gebetan. Apalagi sepertinya ini memang perasaan Rachel yang pertama. 

“Aku gak bisa ketemu Arbi lagi,” 

“Yakin kak? Katanya kalau suka sama orang, maunya ketemu terus,” goda Moza. 

“Ahhh no, Moza. Nooo. Aku mau pulang aja. Eh tapi nanti Mami pasti tanya-tanya. Aku mau ketemu Stefan dan Lala saja,” Rachel benar-benar terlihat tak karuan. Moza bisa digetok banyak orang kalau Rachel sampai ketahuan hilang arah begini. 

“Stef, dinner with me okay? Yeah with Lala too, of course. I-I need advice,” 

*** 

Arbi 

“Did I do wrong? If yes, I'm sorry. Please forgive me,” Arbi mengeja SMS yang akan dia kirimkan ke Rachel. 

“Kayak anak ABG lo. Mau ngirim SMS aja pake konsultasi segala,” cibir Candra sambil menyetir. 

“Gimana kalimatnya?” Arbi mengabaikan ehekan Candra. 

“Gue gak tahu sebenernya kenapa lo harus minta maaf segala. Salah dimana coba?” 

“Mungkin waktu gue nyium dia tadi?” 

“Come on, Bi. Its Rachel Tarhan we’re talking about. She has been kissed by many men in her movie. Does one kiss, on her head, have different effect?” 

“Gue bakal minta dia ga ngelakuin adegan ciuman kalau kita udah nikah nanti,” Arbi bertekad. Candra mendengus. 

“Masih jauh itu. Itu juga kalau setelah ini Rachel mau ketemu lo. Kalau gak, Nadia yang lo larang cium-cium cowo lain,” 

“Ergh,” Arbi merengut. “Gak usah lo ingerin gue tentang dia. Masih ada 3 bulan waktu gue cari istri. Cuma Rachel Tarhan yang gue Mau.” 

“Usul gue gini aja. Ajak dia ketemu. Banyakin ngobrol. Kenalan dulu. Kalau dia udah nyaman sama lo, baru lo tembak atau apalah,” 

“jadi lo bikin Ola nyaman dulu ya?” Arbi menyeringai. 

“Kunyuk. Ini kan lagi bahas lo,” 

Arbi tertawa. “Iya iya maaf. Oke gue harus buat Rachel nyaman dulu sama gue. Ah kalau dia jadi brand ambassador…” 

“Dia nolak,” potong Candra. 

“Nolak?” Arbi duduk tegak di kursi. “Serius lo?” 

Candra mengangguk. “Tadi Moza kabari gue pas kalian shooting. Katanya Rachel tidak siap untuk beberapa tugas seBagai brand ambassador.” 

“Tugas apa? Emng tugas dari kita apa sih? Cuma pemotretan kan? Datang acara-acara sosial? Ikut gala dinner?” 

“Moza gak bilang secara spesifik. Tapi intinya dia menolak dengan tegas,” Candra mengangkat bahu. 

“Cari cara lain!” 

*** 

Rachel 

Rachel berguling di kasurnya. Berubah arah dari kanan ke kiri. Lalu ke kanan. Ke kiri. Ke kanan lagi. Bayangan wajah Arbi masih jelas terlihat di benak Rachel. Tawa Arbi, senyumnya, suaranya, wabginya. Apalagi saat Arbi mencium kepalanya tadi.

Rachel bercerita kepada Stefan dan Lala sebagai dua sahabat terdekatnya. Sebenarnya hanya Stefan sahabat Rachel sejak dulu. Mereka kenal karena rumahnya bersebelahan sebelum orang tua Stefan pindah ke Australia. Namun sejak Rachel mulai menapakai karier menjadi artis, Rachel keberatan untuk terlihat dekat, apalagi berduaan dengan Stefan sekalipun. Rachel tidak mau Stefan digosipkan. Orang-orang jaman sekaranf ini suka melebih-lebihkan sesuatu dan tidak mudah percaya. Apalagi saat itu Stefan mulai menjalin hubungan dengan Lala. Rachel juga menghormati Lala. Jadilah mereka bersahabat melalui telepon. Bertemu jika ada orang lain, seperti Lala dan Moza. 

Tadi Stefan dan Lala kaget mendengar cerita Rachel dan melihat reaksinya. Betapa anehnya sikap Rachel ini. Gugup, pipi merona, bicara serabutan, kadang gemetar. Mereka ‘memvonis’ Rachel menderita penyakit ‘meriang’ alias merindukan kasih sayang. 

Mereka bilang agar Rachel mau membuka diri untuk Arbi. Berani bergerak lebih dulu pun tak masalah. Tapi bagi Rachel, ini pertama kali. Ia tidak tahu harus bersikap apa. 

Rachel membuka iPhone. Tadi Ola mengiriminya beberapa foto saat shooting Singapore maupun Jakarta. Foto-foto Arbi sendiri, Rachel sendiri, dan mereka berdua. Ada sebuah foto saat Arbi sedang membaca skrip dengan serius. Rachel membesarkan foto itu hingga fokus pada wajah Arbi. 

“Ya Tuhan…” Rachel mengelus layar iPhone-mya. Begitu sadar ia berlaku aneh, dilemparkannya benda tersebut dan Rachel meringkuk. Tidur. 

*** 

Arbi 

Arbi berdiri di balkon apartemennya. Menghirup kopi, Nescoffee, sambil memandangi lalu lintas Jakarta yang masih saja padat. Hari ini hari Sabtu. Mungkin mereka yang berada di jalan adalah mereka yang baru akan berangkat menghabiskan malam yang panjang. Atau malah baru pulang? 

Berbeda dengan Arbi. Sepulang dari shooting, Arbi memilih menyendiri di apartemen. 

Arbi mengambil iPhone-nya. Membaca ulang draft SMS yang ingin dikirimkan ke Rachel. Apa Rachel akan membalasnya? Seharusnya Arbi mencoba dulu. 

“Rachel. Ini Arbi. Saya dengar Anda menolak tawaran untuk menjadi brand ambassador. Betulkah? Maafkan saya jika ada perilaku saya yang kurang membuat Anda nyaman. Ijinkan saya untuk meminta maaf. Dinner?” 

Arbi mengirimkan pesan tersebut. Semenit. Dua menit. Tak ada balasan. Mungkin Dachel sudah tidur. Ini pukul 10 malam. 

Arbi menyerah. Menghabiskan kopi lalu berusaha tidur. 

*** 

Rachel 

Rachel bangun pagi dengan perasaan tak karuan karena semalam ia memimpikan Arbi. Apalagi begitu mengecek iPhone, ada pesan juga dari Arbi. 

Untuk mengurangi rasa kaget, Rachel bergegas ganti baju, mengambil iPod, lalu meluncur ke gym di apartemennya. 

Pukul 9 Rachel baru kembali. Dilihatnya Moza keluar kamar sambil menguap. 

“Mas Candra nelepon aku, Kak,” 

Deg! 

“Dia nanya apa?” 

“Mewakili Pak Arbi, minta ketemu Kak Rachel,” 

“Abaikan Za,” Rachel mengibaskan tangan lalu berhalan ke kamar mandi. 

“Kak, kalau suka bukannya…” 

“Aku ada jadwal mengajar di Depok kan? Satu jam perjalanan semoga cukup,” Rachel memotong kalimat Moza. Jarang Rachel menyela seperti ini. Artinya, Moza memanf harus diam. 

*** 

Arbi

“Rachel masih ga balas pesan lo?” tanya Candra saat ia dan Arbi hanya berdua di ruangan Arbi. Membahas pencapaian Nesiacorp dalam kwartal pertama. 

“Not yet,” Arbi menggeleng. Grafik-grafik mendadak kabur di matanya. “Kalau dengan cara lunak gak bisa, cara hardcore harus gue lakukan.” 

Candra tertawa. “Contohnya?” 

“Gue culik dia dari tempat shooting,” 

*** 

Rachel 

Rachel baru menyelesaikan shooting film Kali Kedua bersama Nicholas Saputra. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam dan Rachel lelah sekali. Ia sangat senang karena semuanya berjalan lancar. Semua rekan kerja yang bekerja disini bersikap baik sehingga semuanya terasa menyenangkan. 

Berkebalikan dengan Rachel yang sudah teler, Moza masih segar. Itu karena saat Rachel shooting, Moza curi-curi waktu untuk istirahat. Supaya ketika selesai shooting, Moza bisa tetap menyetir dengan kondisi prima sementara Rachel beristirahat. 

“Yuk pulang, Za,” ajak Rachel. Mengambil tasnya dari tangan Moza. Dia sudah berpamitan dengan pemain dan kru lain. 

“Emm,” Moza mendengung seperti lebah. 

“Apa?” 

“Kalau bukan aku yang antar pulang, gimana?” Moza menggandeng lengan Rachel, seperti merayu kalau Moza ada mau. 

“Lho memang kamu mau kemana?” 

“Mau pulang juga….” 

“Ya udah terus…” 

Rachel tiba-tiba berhenti melangkah. Dia terkejut sampai menutup mulut dengan tangan. 

Arbi berdiri di depannya. Tampak ceria meski pakaiannya sudah tak serapi 17 jam lalu. 

“Sudah selesai shooting?” sapa Arbi ramah. 

Rachel memandang Moza, minta penjelasan. Moza malah melepas tangannya dari Rachel. Mundur perlahan seperti meminta maaf. 

“Apa yang Anda lakukan disini?” Rachel berusaha tetap santai meski hatinya mulai berdentam-dentam. 

“Menjemput Anda, tentu,” Arbi tersenyum. 

“Ada Moza yang akan mengantar saya pulang,” Rachel melirik Moza sambil menyipit. Moza nyengir. 

“Oke saya jujur. Saya ingin bertemu Anda. Anda menolak ajakan saya bertemu dengan tidak kunjung membalas pesan saya. Jadi saya pikir ini cara yang tepat untuk bertemu Anda.” 

“Kita sudah bertemu sekarang,” 

“Ayolah, Rachel. Hanya mengobrol. Saya antar Anda pulang. Moza bisa menyetir di belakang mobil saya dan menelepon siapapun, termasuk polisi, kalau saya terindikasi melakukan hal diluar kewajaran.” 

Rachel mulai goyah. Dia kembali melirik Moza. 

“Wartawan?” tanya Rachel tanpa suara. Moza menjawab dengan gelengan. 

“Oke. Langsung ke apartemen saya,” 

“Dengan senang hati,” 

Arbi menunggu Rachel menghampirinya lalu menuntun Rachel untuk naik Fortuner hitamnya. 

*** 

Arbi 

Meski sudah pukul 1 malam. Meski gue tahu dia lelah setengah mati. Dia tetap cantik dan behave. Gak meninggalkan gue nyetir sendirian. I love her! 

“Apa yang ingin Anda bicarakan?” todong Rachel begitu mobil meluncur ke jalan. 

“Kita,”

“Kita?” 

“Saya suka Anda, Miss Rachel,” 

Yeah, tembak langsung! 

Rachel kaget. Sangat. Dia menatap Arbi seperti Arbi baru bilang bahwa dirinya adalah Batman. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Dicampur rasa ingin menertawakan. 

Tapi Rachel hanya menjawab, “terima kasih.” 

Giliran Arbi yang bengong. 

“Cuma itu?” 

“Anda mengharap saya menjawab apa?” 

“‘Saya suka Anda juga’. Itu jawaban yang saya harapkan,” Arbi cemberut. 

Tak disangka Rachel malah tertawa. 

“Kita baru mengenal selama sebulan. Bertemu pun beberapa kali. Saya khawatir kata-kata Anda sudah diucapkan ribuan kali pada banyak wanita yang baru Anda kenal,”

Arbi merasa tertusuk. Karena kata-kata Rachel ada benarnya. Beberapa mantan pacarnya ditembak ketika baru mengenal selama 2 bulan. Prinsip Arbi saat itu, untuk apa lama-lama PDKT? Tapi sekarang Arbi tahu bahwa perasaannya ke Rachel bukan main-main. Ia menginginkan Rachel untuk jadi partner hidupnya. Bukan sekedar pemuas kekosongan jiwa. 

You know what? You just know that you’re looking at your soulmate. With no reason. Thats what I feel about Rachel. 

“Saya yakin Anda hanya perlu diyakinkan,” kata Arbi lagi. 

“Oh ya? Bagaimana caranya?” 

“Kasih saya kesempatan. Bertemu dengan Anda, mengobrol, beberapa kali makan bersama, berkencan…” 

“Saya tidak bisa seperti itu..” wajah Rachel mendadak murung. 

“Kenapa? Anda sudah dijodohkan?” 

Rachel menggeleng. “Saya hanya tidak mau memberi kesempatan kepada orang untuk menggosipkan saya,” 

“Kenapa takut digosipkan kalau ternyata memang benar?”


Rachel memiringkan kepalanya.

“Maksud saya,” Arbi melanjutkan, berdeham, lalu menatap Rachel. “Kita benar-benar berkencan dan orang lain tahu itu. Lalu salahnya dimana?”

“Tidak ada yang salah…” Rachel memelankan suaranya.

“Jadi?”

“Sudah mau sampai,” Rachel mengalihkan pembicaraan, menghadap ke depan.

“Selamat malam,” sapa petugas keamanan Raffless, Ascott, dan Somerset.

“Malam, Pak,” Arbi menurunkan kaca dan menyapa. Di sampingnya, Rachel mencondongkan tubuh agar bisa melihat petugas itu.

“Selamat malam Pak Rudi,” sapa Rachel dengan ramah.

“Eh Nona Rachel. Yang anter beda nih,” Pak Rudi tersenyum penuh arti. Dibalas dengan senyuman juga oleh Rachel. “Neng Mozanya mana, Nona?”

“Di belakang, Pak,”

Pak Rudi tampak menoleh ke belakang dan melihat Vellfire Rachel yang dikendarai Moza.

“Oh iya. Silakan masuk Non. Selamat istirahat,”

Arbi menjalankan kembali mobilnya. “Semua orang disini kenal Anda?”

“Saya mengenal mereka,” jawab Rachel tanpa memandang Arbi.

Arbi mengantar sampai ke lobby dan menurunkan Rachel disana. Tidak dilihatnya Moza karena sepertinya Moza langsung mengarahkan mobil ke basement untuk parkir. 

“Terima kasih untuk kesempatannya,” ujar Arbi setelah dia dan Rachel turun dari mobil.

“Ya, terima kasih sudah mengantarkan saya dengan selamat,”

“Pikirkanlah… Dan saya akan terus berusaha untuk Anda…”

Rachel mengangguk. “Terima kasih..”

“Saya pamit,” Arbi tampak berat untuk pergi. Namun tidak ada yang bisa menahannya untuk tetap berdiri bersama Rachel dini hari ini. Pelan-pelan Arbi mundur, kembali ke mobil. Rachel menunggu sampai mobil Arbi pergi. 

***

Rachel

Aku tidak tahu apa yang mendorong aku melakukan ini. Aku tahu apa yang akan terjadi kepada kami kalau seandainya semua hal ini bocor ke publik. Tapi…. 

Rachel berdiri dengan sabar di luar lokasi shooting. Ia baru selesai shooting film terbaru dengan Deva Mahenra. Shooting masih berlangsung namun bagiannya untuk hari ini sudah selesai. Waktu menunjukkan pukul 9 malam yang artinya jam kerja sudah selesai namun jalanan Jakarta masih ramai dan menimbulkan kemacetan.

“Memangnya mau datang jam berapa?” tanya Moza di samping Rachel. Sudah dengan tas dan segala keperluan Rachel.

“Katanya setengah 9,” jawab Rachel pelan.

“Kena macet mungkin ya,” Moza mencoba berpikir positif.

“Iya…” Rachel setuju. Ia masih berdiri dengan sabar. Seperti anak sekolahan menunggu jemputan sambil ditemani Bu Guru. 

“Nah itu dia, Kak,” Moza menunjuk Fortuner hitam yang baru masuk.

Rachel tersenyum sedikit. Sesedikit mungkin. Agar orang tidak tahu dia senang. Namun Rachel tidak benar-benar bisa menutupi rasa senangnya.

“Maaf. Menunggu lama?” Arbi turun dari mobil dan menghampiri Rachel. 

“Belum. Baru selesai,” jawab Rachel lembut.

Moza sudah ingin protes bahwa Rachel sudah menunggu selama setengah jam. Tapi ia mengatupkan bibirnya begitu Rachel menjawab.

“Tadi ada kerjaan tambahan. Jadi saya agak terlambat. Ditambah jalanan macet…”

“Tidak apa,”

“Ayo kalau begitu,” ajak Arbi. Rachel mengangguk lalu menoleh kepada Moza.

“Kamu langsung pulang aja ya Za, dan istirahat. Aku bawa kunci juga kok,”

“Siap Kak!”

“Besok ada jadwal lagi?” tanya Arbi saat mereka melangkah menuju mobil.

“Ya, shooting jam 6,”

“Berarti kita gak boleh pulang malam-malam?”

Rachel tertawa pelan. “Sewajarnya saja.”

Arbi senang melihat wajah itu menunjukkan ekspresi positif. “Jadi kita mau kemana? Ada restoran Perancis dekat sini…”

“Nasi goreng Sabang?” potong Rachel. Arbi bengong.

“Serius?”

“Disana sedikit orang yang akan peduli siapa Anda dan siapa saya. Lagipula mungkin mereka hanya akan menganggap kita dua orang pegawai yang baru pulang lembur. Resiko kita akan difoto dan masuk berita lebih kecil dari makan di tempat mewah dimana yang datang mayoritas mengenal Anda dan saya. Selain digosipkan di media, digosipkan juga di pergaulan. Saya...tidak suka itu.”

“Wow,” Arbi terkejut. “Wow,”

“Itu penawaran saya untuk acara kita yang pertama ini. Dan mungkin kedepan-depannya, jika Anda masih berminat untuk..”

“Siapa takut?” Arbi memotong. “Siapa takut…”

“Baiklah,” Rachel tersenyum. 

“Dan bolehkah mulai sekarang kita mengganti panggilan Anda-Saya ini menjadi lebih akrab?”
“Seperti?”

“Aku dan kamu..”

***

Arbi

A month! Arbi pun tidak menyangka ia sudah lebih dekat dengan Rachel dalam sebulan ini. Sepulang bekerja, Arbi menjemput Rachel di tempat shooting. KAdang menemani Rachel saat talkshow. Dengan catatan Arbi tidak parkir dekat lokasi. Ikut Rachel saat shooting ke luar negeri. Bahkan menemani Rachel ngegym. Hanya ke salon dan belanja yang Arbi menolak untuk menemani. Selain karena ia tidak suka menunggu dan menemani belanja, resiko dilihat orang banyak juga akan lebih besar.

“Kamu gak sibuk kah? Sebagai seorang CEO bukannya harusnya sibuk?” tanya Rachel suatu saat, ketika mereka menikmati Ketoprak Ciragil sepulang Rachel shooting video klip.

“Aku hanya bekerja sesuai waktunya. Pukul 8 dimulai. Selesai pukul 5 sore. Kalau ada pekerjaan mendesak, baru aku lembur. Hmm, kayak minggu depan sepertinya aku sulit bertemu karena ada proses closing. Jadi aku mau stand by di kantor.”

Sebaliknya, Saat Rachel sedang tidak sibuk, ia kadang ikut saat Arbi dinas ke luar kota. Ia dan Moza akan berlibur sementara Arbi bekerja. Setelah arbi selesai bekerja, mereka makan malam bersama.

“Kamu yakin mau pulang saja?” Arbi melirik arlojinya. Baru jam 7. 

“Iya, maaf. Lagipula Mami mau ke apartemen hari ini,”

“Baiklah..” Arbi agak sedih karena mereka tidak jadi makan malam bersama setelah Rachel pemotretan untuk filmnya tadi. Dalam sekejap mobil Arbi sudah sampai di Raffless Residence. Rachel turun tanpa menunggu Arbi membukakan pintu. Seperti biasa. 

“Chel,” panggil Arbi. 

This is the time!

“Ya?” Rachel menoleh. Secepat kilat Arbi menarik Rachel ke pelukannya dan mencium bibir Rachel. 

Sedetik kemudian Arbi merasakan tubuhnya didorong dan PLAK!

“Awww,” Arbi meringis, merasakan pipinya nyut-nyutan. Ditatapnya Rachel yang balas menatapnya dengan marah. Tanpa berkata apa-apa lagi Rachel berlari meninggalkan Arbi.

“Ouch. Sakit banget!” Arbi merutuk. Ia memegangi pipinya dan masuk kembali ke mobil. 

“Dimana lo?” Arbi menghubungi Candra segera, sembari menyetir keluar dari daerah Raffles Residence. MAsih memegangi pipinya.

“Lagi pacaran sama Ola,”

“Bisa-bisanya lo pacaran saat-saat begini,”

“Lho kenapa? Kan malem Minggu. Lagian bos gue juga lagi pacaran,” Candra tertawa.

“Pacaran gigi lo. Dimana buruan,”

“Loewy, Oakwood,” jawab Candra.

“Bagus. Deket. Tunggu gue kesitu,”

Setengah jam kemudian Arbi sampai di Loewy. Masih dengan memegangi pipinya, dia menghampiri Candra dan Ola lalu duduk begitu saja di kursi yang kosong.

“Malam Minggu yang buruk, gue rasa,” celetuk Candra. 

“Pipinya kenapa, Pak?” Ola mengernyit.

“Ditampar Rachel,” kata Arbi sambil merengut.

“Wah kok bisa? Kenapa?” tanya Candra dan Ola.

“Karena gue cium dia…”

Candra dan Ola yang tadinya prihatin, berubah jadi tertawa terbahak-bahak. 

“Wei ini gue harusnya dikasihani. Bukannya diketawain,” Arbi memprotes, menjitak Candra karena ia tidak berani menjitak Ola.

“Abisan, alasan lo kocak sih. Jadi dia gak terima lo cium makanya nampar lo?” Candra berusaha berhenti tertawa.

“Ya gitu..” Arbi mengacak rambutnya.

“Memangnya nyiumnya kasar gitu apa gimana, Pak?” Ola mulai berhenti tertawa.

“Ya kayak di film aja gitu. Gue panggil dia, dia noleh, gue cium. Terus gue ditampar. Sakit lagi. Udah biasa jadi pendekar kali ya dia di film,” Arbi menggosok lagi pipinya.

“Namanya juga film. Kalau mau cium tuh yang lembut dong,” Candra menggeleng.

“Emangnya lo kalau mau cium Ola kayak apa?” tanya Arbi separo mengejek. Langsung membuat Candra dan Ola memerah wajahnya.

“Intinya… lo harus yakin dulu dia gak akan nolak waktu lo cium..” Candra menggeleng, mengembalikan ke topik.

“Maksud gue, Can. Kita kan udah deket hampir sebulan terakhir ini. Jalan bareng, ngobrol. Gue juga udah bilang gue suka dia. Harusnya udah oke dong kalau gue cium dia.”

“Kan cuma jalan bareng, Pak,” sela Ola. Arbi menoleh. “Abis sering jalan bareng itu Bapak udah pernah bilang suka lagi belum? Apa tiba-tiba nyosor aja gitu?”

“Langsung aja sih. Gak bilang lagi…”

“Nah perempuan itu harus dikasih kepastian, pak. Setelah sebulan ini apa memang perasaan bapak itu masih sama? Apa Bapak beneran mau serius? Jangan cuma jadi temen jalan terus nganggap bisa diapa-apain. Perempuan kan gak gampangan, apalagi Rachel Tarhan. Harusnya Bapak nyatain lagi. Abis itu baru boleh cium Rachel. Itupun kalau Rachel nerima Bapak. Kalau gak, ya jangan..”

“Bener juga sih, La,” Arbi belum mengutarakan perasaannya lagi pada Rachel setelah mereka sering jalan bersama. 

“Sekarang mending lo telepon Rachel dan minta maaf gih,” Candra mengusulkan.

“Nanti Pak. Rachel juga pasti masih agak bete. Besok pagi aja,”

“Kalau gini terus, mending lo mulai kenalan sama Nadia,” Candra nyengir.

“Siapa Nadia?”

“Cewek yang bakal dijodohin sama Arbi kalau dalam 3 bulan dia gak berhasil ajak perempuan baik-baik ke hadapan Wibi Atmodikoro,”

“Jangan bikin gue tambah pusing. Ngapain kenalan sama cewek lain kalau cewek yang benar-benar mau gue kenal malah pergi? Udah ah. Sekarang gue lapar.”

Arbi pun memesan Tom Yam Soup, Chicken Wellington, Crispy Kailan, Cheese Fondue, dan Dory Meuniere. Membuat Candra dan Ola geleng-geleng kepala.

***

Rachel

“Ayo ayo perawan harus bangun pagi,” Mami menggoyangkan badan Rachel agar bangun. Tadi malam Mami menginap di rumah. Sehingga Rachel, Mami, dan Moza mengobrol sampai lewat tengah malam. Menceritakan apapun kecuali Arbi. 

Diliriknya jam di tempat tidur. Pukul 6 dan Mami sudah rapi saja. Wangi masakan juga sudah tercium. Artinya Mami sudah mulai masak sarapan.

“Ngantuk, Mi,” Rachel mengucek matanya lalu membalikkan badan, menarik kembali selimut.

“Bangun dulu. Mandi. Nanti tidur lagi. Eh, gak bisa deng. Kan kita mau arisan keluarga. Ayo ayo,” Mami menarik tangan rachel sampai Rachel terduduk. 

“Yaaaa,” Rachel turun dari tempat tidur. Mengenakan sendal kamarnya lalu bersiap ke kamar mandi. Namun entah kenapa ia terdorong ke ruangan depan, tempat TV utama dinyalakan dan ada Moza yang sedang minum susu. Sepertinya baru bangun juga.

“Ada berita apa Za?”

“Kak…” Moza berkata pelan. Rachel melihat sendiri bahwa sekarang wajahnya yang terpampang di TV 60 Inch itu. Potongan-potongan fotonya berjalan bersama Arbi (yang wajahnya tidak terlalu kentara). Pembawa berita infotainment itu bercerita dengan antusias mengenai Rachel yang akhirnya terlihat berduaan bersama pria.

“Tuh kan…” Rachel merengut. 

“Apa sih? Ini anak perawan dua bukannya pada mandi,” Mami tiba-tiba muncul sambil membawa spatula. “Lho itu bukannya kamu, Sayang?”

Rachel mengangguk.

“Sama siapa? Lhoooo, itu Arbi kan?” Rachel mengangguk lagi. Setelah ini Mami pasti akan menginterogasi, dan… “Kok bisaaa? Kamu deket sama Arbi? Ayo ceritaaaaa…”

“Gak Mami gaaak,” Rachel lalu kabur untuk mandi.

***

Arbi

Arbi bangun di tempat tidur di rumahnya. Harusnya ia bisa tidur lebih lama kalau tidak mendengar Desya menggedor pintunya.

“Berisik, desyaaa,” teriak Arbi.

“Ada Kakak di inpotemen. Liat deh,” teriak Desya. 

“Apa?” Arbi bergegas turun dari kasur. Membuka pintu dan melihat Desya cengar cengir. Arbi segera turun ke TV di bawah dan melihat fotonya bersama Rachel sedang ditayangkan. “Mati gue mati…”

“Aku lagi nonton infotainment karena katanya ada Rizki Nasar. Eh pas di depan-depan gitu katanya ada berita tentang Rachel Tarhan. Terus fotonya kok mirip Kakak. Ternyata bener ya..” Desya cengar cengir di sebelah Arbi.

“Ayah BUnda mana? Mereka gak liat kan?” Arbi celingukan.

“Ayah sih masih lari pagi. Bunda masih ke pasar,”

“Jangan bilang apa-apa sama Ayah Bunda. Kamu pura-pura gak tau aja. Kalau ada siapapun yang tanya, jangan bilang apapun juga.” Arbi memperingatkan adiknya. Desya senyum dan mengangkat jempolnya. “Dan jangan kebanyakan nonton infotainment!”

Arbi bergegas kembali ke kamar. Berharap Rachel belum tahu bahwa mereka ‘akhirnya’ masuk infotainment. Arbi harus meminta maaf dulu soal tadi malam. Supaya masalah yang satu selesai sebelum muncul masalah lainnya.

Arbi mendial nomor telepon Rachel. Menunggu beberapa dering sampai akhirnya telepon itu diangkat.

“Rachel?”

“Bukan, ini Maminya Rachel,” sapa Risya Tarhan dengan ceria. “Arbi ya? Rachelnya gak mau angkat telepon.”

“Oh. Halo Tante. Er, maaf ganggu pagi-pagi,”

“Gak apa-apa. Mau ngobrol sama Rachel kan? Sebentar ya,”

Jeda sebentar. Tidak terdengar apa-apa kecuali bunyi kresek-kresek.

“Halo,” akhirnya suara Rachel terdengar.

“Hai, er, apa kabar?” sapa Arbi. Garing. Dan Arbi langsung menyesal. “Aku minta maaf atas kejadian kemarin…”

Jeda lagi. Arbi bingung apa yang sedang Rachel lakukan sebenarnya. 

“Aku juga minta maaf. Sakitkah?” akhirnya rachel bersuara.

“Hatiku? Oh, pipi. Hati dan pipi sama-sama sakit,”

Terdengar dengusan tawa Rachel.

“Maaf ya. Kali lain, aku akan bilang dulu sebelum….sebelum melakukan apapun,” lanjut Arbi.

“Kita...jangan bertemu lagi,”

Dar! Arbi tertohok. “Kenapa? Kan kita udah maaf-maafan,”

“Ada berita kita di infotainment. Aku gak mau itu jadi semakin viral,”

Ya ampun ternyata Rachel udah liat. Gue telat!

“Serius, Chel? Masa karena…”

“Maaf…”

Dan telepon pun ditutup,

“Susah amat macarin artis,” gerutu Arbi lalu menjatuhkan diri ke kasur.

***

Rachel

“Kamu beneran gak mau ketemu Arbi, Sayang?” tanya Mami saat mereka bertiga sarapan.

“Udah lah Mam. Rachel lagi gak mau bahas. Pusing. Rachel mau fokus karier dulu aja,” Rachel memainkan brokoli rebus di piringnya.

“Ya udah,” Mami melirik Moza yang juga mengangkat bahu. “Minggu depan jangan lupa datang di soft opening mall baru kita ya. Jadwal kamu sudah dikosongkan kan?”

“Sudah, Nyonya,” Moza yang menjawab. “Hari Sabtu, seharian, jadwal Kak Rachel kosong. Khusus untuk opening Mall Tahrang Mall.”

“Nice. Nanti kita pilih baju bareng-bareng ya. Koleksi Vera Wang baru kayaknya bagus-bagus deh, Sayang,” ujar Mami lagi.

Rachel tidak mendengarkan.

***

Arbi

Arbi memasukkan kedua tangan ke saku celananya. Ragu-ragu apakah harus masuk atau tidak. 

“Kenapa diam saja? Ayo masuk,” Rahmat Atmodikoro, kakek Arbi, menyenggol lengan cucunya dan menunjuk ke lobbiy Tahrang Mall.

“Kek, Arbi diwakilkan saja oke?”

“Kamu sudah disini. Berarti kamu harus datang. Minimal bertemu orang yang mengundang kamu,” ujar Kakek Rahmat dengan tegas. Meski sudah berusia 81 tahun, Kakek Rahmat masih amat sangat segar bugar. Sejak muda dia menghindari rokok dan minuman keras. Mengalihkan waktu senggangnya untuk berolahraga. Lari, berenang, berkuda, tenis, kadang triatlon. Sehingga saat usia senjanya, ia bisa sama gagahnya dengan putra tunggalnya, Wibi Atmodikoro, ayah Arbi.

“Ya…”

Arbi melangkah malas-malasan. Itulah masalahnya. Ia sebisa mungkin tidak bertemu orang yang mengundangnya, yaitu keluarga Tahrang. Ini adalah mall besar di daerah Tangerang yang baru dibuka oleh Tahran Group. Dugaan Arbi, Romeo dan Risya Tahran, juga Raditya Tahran pasti ada. Tidak menutup kemungkinan putri mereka, sang pujaan hati Rachel Tarhan juga ada. Arbi tahu Rachel masih tidak ingin bertemu dengannya.

Nesiacorp mendapat undangan karena menjadi supllier utama hampir seluruh interior mall. Itulah kenapa Arbi dan kakeknya datang. Arbi karena ia CEO saat ini dan kakeknya diundang sebagai tamu khusus. 

Arbi dan kakeknya berjalan menuju ballroom yang terletak di lantai dasar. Ballroom ini diperuntukkan untuk acara pernikahan atau meeting korporat. Letak di lantai dasar agar mudah bagi pengunjung untuk langsung masuk ke ballroom tanpa harus melewati mall dan terlihat ‘aneh’ jika berpakaian resmi dan berbeda dari pengunjung mall kebanyakan.

Arbi harus mengakui bahwa meski mall ini megah, suasananya tetap terasa hangat. Terima kasih untuk tim Dekornesia yang memberikan layanan sebagus ini.

“Selamat datang,” sapa penerima tamu. Langsung mengenali Arbi dan kakeknya. “Bapak Arbi Atmodikoro dan Rahmat Atmodikoro silakan ke sebelah sini.”

Mereka mengikuti penerima tamu sampai ke meja mereka. Sudah ada banyak undangan yang tiba dan panggung yang sederhana. Arbi melirik ke arah meja paling dekat ke panggung. Meja yang diisi pemilik acara. Baru terlihat Romeo, Risya, Raditya dan seorang gadis yang sepertinya anak salah seorang politikus. 

Arbi duduk di kursinya. Dari situ dia bisa melihat meja keluarga Tarhan.

Pukul 8 acara dimulai. Dibuka oleh sambutan dari Romeo Tarhan, menjelaskan konsep dari Tahrang Mall ini, berterima kasih kepada pihak-pihak terkait. Kemudian Romeo Tarhan memotong tali imajiner yang menunjukkan bahwa Mall ini resmi beroperasi. Selanjutnya di panggung diisi hiburan dari Cascade Trio. Romeo Tarhan ditemani jajaran direksi dan managernya berpindah ke ruang kecil untuk konferensi pers. Sementara para pengunjung dipersilakan untuk berdansa di ballroom ini. Dansa pertama dibuka oleh Raditya Tarhan dan tunangannya, Talita Pradja. Begitu yang disampaikan pembawa acara. 

Kakeknya sudah berkeliling untuk bersosialisasi. Sedangkan Arbi menyesap cocktail dan berdiri di samping lantai dansa. Memperhatikan Rachel yang masih duduk. Begitu cantik mengenakan gaun Fall 2016 koleksi Vera Wang. Gaun yang anggun namun tetap membuat dia terlihat seksi. Arbi sudah sangat sangat sangat ingin menghampiri Rachel.



Rachel tidak bergerak dari mejanya, hanya menyesap minuman sambil mengobrol dengan Moza. Arbi menelan ludah. Menguatkan diri dan menghampiri Rachel.

Belum sampai di meja Rachel, Arbi keburu berhenti karena Rachel terlihat diajak seseorang untuk berdansa. Kalau tidak salah, Josef Heriando, putra pemilik beberapa bisnis bioskop dan perfilman. Rachel menolak awalnya. Tapi ia didorong Moza dan akhirnya setuju. Arbi langsung merasa cemburu. Melihat Rachel begitu dekat dan dirangkul dengan intim oleh Josef.

Beberapa orang menyapa Arbi dan mengajaknya mengobrol. Arbi teralihkan perhatiannya sementara namun ketika ia sudah lelah mengobrol, ia melihat Rachel masih mengobrol dengan Josef. 

“Damn!” Arbi tidak senang sama sekali melihat Rachel mengobrol dengan Josef. Apalagi Josef yang terlihat begitu tertarik pada Rachel. Dengan langkah-langkah besar, Arbi menghampiri Rachel dan Josef.

“Rachel,” sapa Arbi. Rachel terkejut melihat dirinya. 

“Arbi..”

“Iya ini aku. Sibuk?” Ada nada menyindir di suara Arbi ini. Ia melirik Josef yang terlihat tidak gentar dilirik dengan galak oleh Arbi.

“Dia lagi ngobrol sama gue,” kata Josef. 

“Dan gue gak boleh ganggu?” tantang Arbi. Mata Josef menyipit.

“Stop. Josef, terima kasih untuk tawarannya. Akan kubicarakan dengan Moza. Nanti aku kabari lagi. Bolehkah?” Rachel menatap Josef. Josef mengangguk dan bersiap untuk berbalik. Namun sebelumnya ia menatap Arbi dengan sebal.

“Rachel kita harus bicara,” Arbi menoleh kembali pada Rachel namun Rachel berbalik meninggalkannya.

“Rachel,” panggil Arbi.

“Aku gak mau bahas apapun dengan kamu,” Rachel berjalan cepat keluar ballroom. 

“Aku kan sudah minta maaf. Kamu juga. Kenapa kita masih bertengkar begini?” Arbi mengejar Rachel, mensejajarinya.

“Iya dan aku sudah bilang supaya kita tidak bertemu lagi,”

“Tapi…”

Tepat saat Arbi akan berkata, kaki Rachel terlipat karena wedges 12 sentinya. Rachel kehilangan keseimbangan.

“Kyaaaa,”

Hap. Dengan sigap Arbi menahan pinggang Rachel sebelum jatuh ke tanah. Rachel pun langsung mencengkram lengan Arbi.

“Ada yang sakit?” Arbi khawatir, apalagi wajah Rachel langsung mengernyit.

“Kaki,” bisik Rachel.

Rachel menarik sedikit gaunnya dan Arbi bisa melihat kaki kirinya mulai memerah. Terkilir.

“Ayo kita pulang aja,” 

Arbi langsung mengangkat Rachel, menggendongnya seperti Pangeran Philip menggendong Putri Aurora. Arbi melangkah terus keluar mall menuju petugas valet. Tidak peduli di luar sudah banyak wartawan yang baru selesai press conference bersama Romeo Tarhan.

Sambil menunggu mobilnya diambilkan, wartawan menghampiri Rachel dan Arbi. Mereka bertanya mengapa Rachel perlu digendong seperti ini. Arbi menjawab hanya dengan tiga kata, “kaki Rachel terkilir.” Setelah itu ia kembali menatap ke depan. Meski tubuhnya kurus tapi Arbi tetap bisa menggendong Rachel tanpa kesulitan. Rachel sendiri memilih memeluk Arbi agar tidak jatuh dan membenamkan wajahnya ke dada Arbi. Malu sekali dilihat wartawan dalam kondisi seperti ini. 

“Apa yang membuat Pak Arbi mau berkorban untuk Nona Rachel seperti ini?” pertanyaan dari seorang wartawan yang paling terdengar oleh telinga Rachel.

“Rachel calon istri saya,” Arbi menjawab. Jawabannya membuat wartawan itu bersorak kegirangan dan sibuk mencatat. Untunglah saat itu mobil Arbi tiba. Petugas Valet cepat-cepat membukakan pintu penumpang. Dengan hati-hati Arbi meletakkan Rachel di kursi dan berputar ke kursi supir. Melajukan mobilnya dari Tahrang Mall.

***

Rachel

“Wartawan akan semakin yakin ada apa-apa diantara kita,” adalah kalimat pertama Rachel saat mereka sudah meninggalkan Tahrang Mall.

“Memang kenapa? Kamu mau aku meninggalkan kamu dengan kaki seperti itu? Atau bilang kepada wartawan bahwa aku sebenarnya mengejar kamu tapi kamu menghindari aku?”

Rachel kaget karena Arbi berbeda dari biasanya. Terlihat marah.

“Setelah ini akan banyak orang mengikuti kita. Membahas hidup kita,”

“Terus kenapa?” Arbi membentak. Namun arbi langsung menyisir rambutnya, menyesal. “Aku khawatir sama kamu, Rachel. I care. Dan yang kamu pikirkan adalah bagaimana tanggapan orang lain terhadap kita.”

“Aku sudah bilang kan sejak awal bahwa aku tidak mau kita disorot orang banyak.” Rachel merengut. Sedikit tidak terima dibentak.

“Kamu artis, Rachel. Mana mungkin tidak disorot,”

“Itulah,” suara Rachel terdengar sedih. “Aku senang berakting. Aku senang menyibukkan diri. Semua orang bilang bahwa jadi artis berarti hidupmu akan disorot terus menerus. Tapi aku tidak mau hal itu terjadi. Sebisa mungkin hal itu jangan terjadi. Aku bukan seperti Mami yang senang masuk majalah karena lingkungan sosialitanya. Aku lebih senang berada di belakang layar. Dan aku juga bukan orang yang baik, Arbi.”

Arbi menjalankan mobilnya dengan lebih lambat. Supaya bisa mendengarkan suara Rachel.

“Aku anak yang manja. Sangat manja. Aku kadang malas melakukan sesuatu. Kadang juga aku bisa tiba-tiba marah kalau ada sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Aku tahu bahwa kalau aku jadi artis, banyak yang akan mengidolakanku, menjadikan aku role model mereka. Dan aku takut! Aku takut kalau orang-orang meniru aku, meniru perilaku aku yang jelek. Sehingga kelakuan buruk mereka dibenarkan karena contoh mereka berlaku jelek. Maka dari itu aku tidak mau kehidupan pribadiku diketahui orang lain.”

Rachel menangis. Alasannya menjauhi wartawan dan infotainment rupanya seperti itu. Ia khawatir akan dampak buruk yang mungkin terjadi. Sehingga ia hanya menampilkan sisi positif dalam hidupnya dan mati-matian menutupi kekurangannya.

“Rachel, sayang, cantik,” Arbi merayu Rachel yang masih menangis. Menarik kedua tangan Rachel yang menutupi wajahnya. Bahkan saat menangis saja Rachel masih terlihat memukau. “Dengarkan aku ya. Kamu manusia. Aku juga manusia. Tidak ada yang sempurna diantara kita. Wajar kalau kamu tiba-tiba gak mood. Wajar kalau kamu senang bangun siang ketika malamnya sibuk shooting. Wajar kalau kamu marah karena ada yang tidak sesuai ekspektasi kamu. Misalnya mau makan mie ayam tapi ayamnya gak ada.” 

Rachel tertawa saat Arbi berkata ini. 

“Jadi pada intinya. Kekurangan kamu itu manusiawi kok. Setidaknya kamu gak suka gonta-ganti pacar, gak suka konsumsi narkoba, gak suka mabok-mabokan gak jelas, gak suka gosipin orang. Kamu baik Rachel. Kamu gak perlu takut.” 

“Aku gak mau orang-orang terdekatku terganggu karena aku,” 

“Contohnya apa? Pernah kejadian temen kamu gitu dilemparin telor gara-gara deket kamu?” 

Rachel menggeleng. 

“Itulah. Pada dasarnya kepribadian kamu sendiri cantik dan baik. Jadi seburuk-buruknya kamu, inner beauty kamu akan tetap keluar. Juga yang tidak kalah penting. Baik keluarga kamu, teman-teman kamu, atau aku sekalipun, kita semua sudah tahu bahwa kami berhubungan dengan Rachel Tarhan. Seorang aktris kebanggaan tanah air. Berarti kami juga harus siap disorot. Walaupun gak berarti seluruh perhatian ada ke kami.” 

Rachel menatap Arbi. 

“Percayalah Rachel. Kamu gak harus menanggung semuanya sendirian. Kita berjuang sama-sama. Kita berbuat baik sama-sama,” 

Arbi tersenyum. Genggaman tangannya juga terasa hangat. Membuat Rachel merasa tenang. Perlahan Rachel mengangguk dan memeluk Arbi.

“Nah sekarang boleh cium?” 

“Nggak!” Rachel melepaskan pelukannya pada Arbi, mendorong Arbi menjauh. 

“Yah kirain..” 

Not yet, Bi. Not yet. 

*** 

Arbi 

Arbi kembali ke apartemen dengan perasaan lega. Tadi Arbi mengantar Rachel ke rumah sakit untuk merawat kakinya yang terkilir. Setelah itu Arbi mengantar Rachel ke apartemen. Ternyata Moza sudah pulang. Panik karena Rachel menghilang dan wartawan ribut membahas Rachel dan Arbi. 

Moza bahkan menunjukkan video yang berisi Arbi menyebut Rachel sebagai calon istrinya. Arbi kaget tapi dia cuma cengengesan. Sedangkan Rachel meminta Moza membahas besok saja karena Rachel sudah lelah. 

Arbi dan Rachel baikan. Masalah apapun yang ada, Arbi tak peduli. Yang jelas dia sudah lega. 

Setelah mandi, Arbi baru mengecek iPhone-nya. Ada banyak pesan dan telepon rupanya. Belum sempat Arbi membuka kunci, Desya meneleponnya. 

“Apa Sya?” 

“Ada yang mau ngomong sama kakak,” lalu hening. Sepertinya Desya menyerahkan telepon ke… 

“Pulang kamu!” seru Wibi Atmodikoro dengan suara menggelegar. 

Ayahnya. 

Arbi menepuk keningnya. Tak memperhitungkan reaksi ayahnya.

“Besok pagi boleh Yah? Arbi capek sekali hari ini. Sudah jam 11 malam juga,” 

“Kalau jam 7 pagi kamu belum di rumah, ayah pecat kamu dari anak dan CEO,” 

Telepon ditutup. Arbi langsung lemas. 

“Mati gue Pak Polisi ngamuk,” 

Cepat-cepat Arbi menghubungi Candra, alarm manusianya. 

“Bro. Lo harus bangunin gue jam 5 pagi,” 

“Hah apaan tiba-tiba,” Candra bingung. 

“Pak Polisi ngamuk. Gue udah harus di rumah jam 7 pagi. Kalau gak, dipecat jadi anak sama CEO,” Arbi berjalan bolak-balik. 

“Ya lo pulang aja sekarang,” 

“Badan gue remuk. Lemes banget. Ngangkat Rachel berapa menit aja capek banget gue,” 

“Ngapain lo ama Rachel udah angkat-angkat aja?” Candra curiga, diam-diam tertawa. 

“Banyak nanya lo Can. Udah ikutin aja permintaan guee,” 

“Iya iya. Gue usahain. Ini aja gue masih di luar. Hari Minggu kan biasanya gue juga kebluk,” 

“Ini perintah bos, Can!” 

*** 

Rachel 

Setelah Arbi mengantarnya pulang ke apartemen kemarin, Rachel langsung mandi lalu tidur. Tubuhnya lelah secara mental. Apalagi adegan nangis dan curhat di mobil Arbi. 

Rachel bangun pukul 5 pagi rupanya. Padahal ini hari Minggu. 1 jam lagi Rachel akan turun ke gym dan berolahraga. Mungkin berenang juga. 

Entah terdorong apa, Rachel meraih iPhone-nya. Memilih sebuah nama dari ratusan kontak. Ragu-ragu, Rachel menekan tombol Call. 

Tuuut

Tuuut

Tuuu

“Iya Can iya gue bangun,” sahut Arbi disana. 

“Can? Candra?” Rachel menyahut. 

“Bukan Candra?” Jeda. “Oh, Rachel. Hai sayang. Kenapa nelepon pagi-pagi?” 

Suara Arbi yang tadi terdengar mengantuk jadi lebih bulat. 

“Kamu baru bangun?” tanya Rachel

“Yaa, ada, er, urusan jadi harus bangun cepet. Tadinya minta Candra yang bangunin. Hehe,” 

“Oh gitu. Tadi malam sampai jam berapa?” 

“Jam 11. Kamu telepon aku kenapa? Kangen?” 

Dalam hati Rachel ingin mengiyakan.

“Semoga lancar urusannya. Sampai ketemu,” 

Dan Rachel pun menutup telepon. Blushing. 

*** 

Arbi 

‘Iklan Nescoffee yang di Singapore sudah mulai tayang, Pak. Silakan dilihat. Komentarnya juga positif.’

Begitu isi pesan Ola yang dibaca Arbi sambil menggigit roti dan berjalan menuju mobil. Ia berhasil mandi dan bersiap dalam setengah jam. Dalam satu jam Arbi akan sampai di rumah. 

“Selain iklannya bagus, bintang iklannya kece, timingnya juga pas,” kata Arbi sendirian. Arbi penasaran akan pemberitaan wartawan mengenai dirinya dan Rachel. Iseng, Arbi membuka Twitter dan portal berita online. 

Seruntunan berita dan artikel tentang dirinya dan Rachel muncul. Ada yang judulnya ‘Rachel Tarhan bertunangan dengan CEO muda’, ada juga ‘Gendongan romantis Arbi Atmodikoro untuk si cantik Rachel Tarhan’, sampai ‘Cinta muncul dari biji kopi. Dari iklan bareng ke hidup bareng?’ 

Arbi menggeleng. Tidak heran Rachel spaneng menghadapi berita semacam ini. Tidak semua fakta yang tertulis melainkan banyak bumbu-bumbu agar beritanya laris. Bahkan ada yang kurang ajar menyebut Arbi menggendong Rachel yang lelah karena kehamilannya.

“Mau cium aja digeplak. Apalagi dihamilin. Ngaco nih berita…” Arbi mengunyah rotinya dengan berapi-api. Berharap Rachel baik-baik saja. 

“Des?” sapa Arbi begitu sampai di rumah. Desya sedang menonton TV dengan wajah membelalak. 

“Kakak! Ya ampun kakak muncul di TV banyak banget,” Desya memandanf kakaknya dengan takjub. Padahal Arbi bukan membuat prestasi, melainkan masuk inforainment. 

“Mending liat iklan Nescoffee aja,” usul Arbi. 

“Udah! Itu juga bagus banget! Chemistry-nya dapet banget deh. Aku suka banget adegan terakhirnya. Ciye peluk cewe,” Desya menyenggol Arbi. Arbi sendiri menggaruk kepalanya sambil tersenyum. 

“Sejak kapan kamu bertunangan? Kenapa Ayah tidak tahu?”

Mati gue. 

“Halo, Yah. Udah sarapan?” Arbi mencium tangan Ayahnya. 

“Duduk,” Ayah mengedikkan kepala ke arah kursi. Arbi duduk, diikuti Desya yang wajahnya takut-takut.

“Dalam semalam, anak Ayah sudah jadi arris. Iklannya tayang dimana-mana, wajahnya masuk infotainment, berita online juga banyak. Pertama, sejak kapan kamu berubah peofesi dari CEO ke artis? Kedua, apa benar kamu sudah bertunangan dengan artis itu?” 

Arbi bingung mau menjawab bagaimana. Pertanyaan itu akan berawal dari pesta Nyonya Pitaloka. 

“Arbi diminta jadi bintang iklan Mescoffee karena katanya imejnya cocok. Bareng Rachel. Cuma itu. Setelah itu kami dekat, mengobrol. Tapi soal pertunangan, itu memang karangan Arbi saja. Karena akan lebih aneh jika kami bukan apa-apa tapi Arbi sudah bersikap seperti itu pada Rachel.” 

Ayah mendengus, bersandar pada sofa dan melipat tangannya. “Ayah gak setuju kamu menjalin hubungan dengan Rachel. Dengan artis siapapun. Karena begini akibatnya. Wajah kamu ada di seluruh media nasional karena dekat dengan seorang artis. Bertahun-tahun kamu mengurus Nesiacorp, pernah diberitakan seperti ini?” 

Arbi diam. 

“Ayah tidak suka. Maka dari itu, hentikan hubungan kamu dengan Rachel. Ayah akan siapkan pertunangan kamu dengan Nadia,” Ayah berdiri, tanda pembicaraan selesai. 

“Gak bisa gitu Yah. Arbi sayangnya pada Rachel. Hanya saja profesinya sebagai artis. Selain itu, ini kan belum tiga bulan dari waktu yang Ayah tetapkan!” Arbi ikut berdiri. Cukup tidak terima dengan keputusan Ayahnya. 

“Sayang bisa tumbuh seiring jalannya waktu. Lagipula, dengan beritamu dimana-mana, Ayah anggap kamu sudah mengulurkan calon ke Ayah. Sayangnya, Ayah tidak setuju.” 

Wibi Atmodikoro mengangkat tangannta dan meninggalkan putra sulungnya dalam kondisi marah dan kesal. 

“Argh,” Arbi melempar bantal yang ada di sofa sesuka hati. Desya terpekik. Khawatir bantal itu menyentuh vas keramik milih Bunda. 

“Kaaak… Kak Nadia baik kok…” Desya coba membujuk. 

“Mau dia baik, mau dia bidadari, mau anaknya raja minyak, yang Kakak mau cuma perempuan bernama Rachel Tarhan.” 

Arbi mengambil dompet dan kunci mobil lalu berlari keluar. 

*** 
Karena cerita ini terhitung panjang, jadi agar bacanya tidak terlalu melelahkan, dibagi 2 yaaa :))

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?