Honesty and Bravery
Hari pertama kerja selalu jadi hal yang menegangkan sekaligus menyenangkan. Adanya kesempatan bertemu orang-orang baru, pelajaran baru, aktivitas baru, dan yang penting adalah pengakuan bahwa sekarang seseorang sudah mapan, sudah punya penghasilan sendiri. Jadi seseorang yang berbeda dengan yang kemarin masih duduk di bangku kuliah.
Tidak terkecuali oleh mereka
-Letta-
Pukul 5 Letta sudah siap. Berkemeja putih, mengenakan rok span hitam, rambut diikat ekor kuda, make up tipis (bb cream, bedak, lipgloss, dan tambahan alis), dan senyum terkembang di bibir. Meski jam masuk kantor masih 3 jam lagi, Letta sudah tidak sabar untuk berangkat. Ia memutuskan untuk berangkat pagi-pagi, butuh waktu kurang lebih 1 jam untuk menuju kantor barunya di daerah Kuningan, dari kost-nya di Depok. Ya, Letta memilih untuk tetap tinggal di daerah sekitar kampus meski dia telah lulus dari universitas negeri daerah Depok ini. Letta terlanjur cinta dan kost daerah Jakarta jauh lebih mahal. Belum cukup uangnya yang fresh grad ini.
Pukul 5.15, Letta berangkat.
-Nada-
Sudah pukul 6 dan Nada masih berbaring di kasur, menonton TV. Cowo ini termasuk kategori orang yang selow menghadapi hari pertama kerja. Jarak tempat kost dengan kantornya hanya 15 menit berjalan kaki. Mandi 15 menit, berpakaian 15 menit. Berangkat pukul 7.30 pun Nada tak akan terlambat. Apalagi kemarin malam ibunya sudah mampir ke kost dan membantu menyiapkan pakaian serta barang-barang untuk hari pertamanya bekerja. Macam anak SD masuk sekolah hari pertama.
Baiklah, pikir Nada, lanjut nonton berita dulu aja.
-Dito-
Dito tersenyum sejak ia bangun subuh tadi. Bahkan ia sempat bersiul saat mandi. Setelah selesai mandi, Dito mengenakan kemeja putih dan celana hitam serta sepatu pantofel hitam yang sudah disediakan Asisten Rumah Tangganya.
Dito turun ke ruang makan dan melihat ibu serta ayahnya sudah duduk di meja makan. Mereka sarapan bersama. Orang tua Dito banyak berpesan dan mendoakan agar hari pertama Dito bekerja bisa berjalan lancar. Dito tersenyum dan mengamino. Pukul 6, Dito mengeluarkan mobil dari garasi dan menyetir dari Pondok Indah menuju Kuningan.
-Letta-
Seperti sudah diduga, belum ada siapa-siapa saat Letta tiba. Ia memutuskan untuk duduk di lobby bersama security sambil membaca novel cheesy yang ia pinjam dari salah satu teman kampusnya.
1 jam berlalu dan masih belum ada siapa-siapa. Letta mendongak sekilas untuk melihat apakah sudah ada yang datang. Ada, namun karyawan berpakaian warna-warni, yang artinya bukan MT seperti dirinya. Mereka cuma lewat, beberapa tersenyum sedikit, lalu pergi begitu saja. Akhirnya Letta meletakkan novel kembali ke tas dan melihat-lihat lukisan serta tulisan-tulisan yang terpampang. Sejarah perusahaan, sampel produk dari sejak awal berdiri, beberapa penghargaan.
"Hei," tidak yakin dirinya yang dipanggil tapi Letta tetap menoleh. Ia melihat cowo berdiri menghadapnya sambil tersenyum lebar. Pakaiannya yang berwarna hitam putih membuat Letta ikut tersenyum.
"Halo," balas Letta.
"MT juga?" tanya cowo itu. Letta mengangguk.
"Lo?"
Cowo itu mengangguk juga. "Dito,"
"Letta," balas Letta, mengulurkan tangan dan saling menjabat.
Pintu lift berdenting terbuka dan seseorang masuk, mendekati Letta dan Dito, juga dengan seragam yang sama.
"Hai, Dito," sahut Dito tanpa ragu-ragu, mengulurkan tangan pada si pendatang baru.
Pendatang baru itu melirik Dito dan Letta bergantian. Menilai. Setelah yakin bahwa dua orang itu akan menjadi temannya karena mereka berada di kelompok yang sama, ia membalas uluran tangan Dito, menjabat tanpa senyum sama sekali.
"Nada,"
***
"Ditooooo, akhirnya teleponnya diangkat juga! Kamu dimana sekarang?" Letta merepet dengan suaranya yang serak-serak basah. Maya, Retno, Vika, Gina memperhatikannya sambil terkikik geli. Sementara Nada, Fandi, Iyus, Dera, para cowo hanya memperhatikan sambil diam. Apalagi Nada, ada hal yang lucu pun dia masih saja sulit berekspresi.
"Sorry, Let, sorry. Ini udah masuk daerah kantor kok. Pada keluar aja. Tadi gak ngangkat telepon karena lagi nyetir," jawab Dito di telepon yang diset loudspeaker oleh Letta.
"Ya udah tunggu diluar ya. Kami keluar sekarang," Letta memutus telepon dan melirik yang lain. "Yuk."
Kesepuluh orang itu mengangkat tas masing-masing. Mereka dan 10 orang lainnya (plus dua mentor kesayangan) akan bergerak menuju Sawarna. Perayaan atau bisa juga disebut sweet escape untuk masa pendidikan MT mereka yang baru selesai setelah sibuk 2 tahun terakhir ini.
Dilempar ke seluruh cabang di Indonesia, dari mulai Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Aceh, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara. Inclass training tentang seluruh proses bisnis perusahaan. Presentasi project dan aplikasinya. Karya tulis di akhir masa pendidikan. Belum lagi ditambah jadi panitia dadakan ulang tahun atau meeting nasional yang sepertinya sengaja diselenggarakan saat mereka di Kantor Pusat. Semuanya lulus, bagi Letta sendiri, dia begitu lega karena semua jerih payah 20 orang ini terbayar dengan kelulusan. Mereka sekarang adalah para Manager Junior di Divisi yang berbeda. Ditempatkan sesuai minat dan bakat serta kecocokan dengan bidang.
Letta mengambil karya tulis dengan topik "How Brand Essence Can Affect Non-Customers and Make Them A Loyal Customers. Case Study on Social Economic Status Level D and E on Rural Area." Terdengar ribet ya. Tapi Letta terinspirasi saat ia 'terlempar' di Lampung dan menghabiskan 2 bulan di daerah pedesaan yang produk food & beverages perusahaannya pun hanya dipajang di rak agak jauh. Membuat Letta tergugah untuk meningkatkan penjualan dengan strategi yang menyasar pada kalangan middle-low. Karya tulis ini dipresentasikan dengan bangga setelah Letta kembali ke Lampung dan mendapati penjualannya naik 500%. Untuk itulah Letta ditunjuk sebagai Junior Manager di Divisi Sales & Marketing.
Berbeda cukup jauh dengan Letta, Nada menyoroti praktek kerjasama yang dibuat perusahaannya dengan klien-klien, distributor, retailer. Banyak celah yang dibuat oleh karyawan, banyak pula penyimpangan aturan perusahaan yang dilakukan di cabang-cabang saat Nada 'roadshow' keliling Indonesia. Untuk itu Nada mengambil tema "Employee Engagement and Intention to Avoid Fraud Behavior." Berhubungan dengan studinya di bidang legal dan masterpiece-nya dengan kepegawaian, perusahaan memutus Nada jadi Junior Manager Bidang Industrial Relation.
Sedangkan Dito, kepribadiannya yang ceria dan supel mengantarkan ia menjadi Junior Manager Divisi Corporate Communication. Ia mewakili perusahaan dalam aktivitas-aktivitas yang terkait dengan imej perusahaan. Dito sudah menunjukkan ketertarikannya untuk masuk ke Divisi ini sejak presentasi pertama oleh Bapak Kepala Divisi. Selama roadshow ke cabang, Dito berusaha mencari topik yang sesuai passion. Ia menemukan saat berada di Lombok. Penjualan produk mereka terhitung baik, apalagi minuman berenergi yang banyak diminati oleh para wisatawan. Tapi Dito melihat itu saja tidak cukup. Ia ingin produknya dikenal juga oleh warga Indonesia asli. Untuk itu Dito mengerahkan strategi komunikasi yang mampu menyentuh warga lokal, membuat penjualan meningkat, imej membaik, dan market menjadi lebih luas.
Hari ini, sejak seminggu setelah dinyatakan lulus, kedua puluh anak MT angkatan 8 berangkat ke Sawarna, menikmati liburan yang sengaja disediakan waktunya oleh perusahaan. Mereka berangkat dalam dua kloter, kloter pertama sudah berangkat pukul 6 tadi. Kloter kedua berangkat agak terlambat karena Dito yang bertugas membawa mobil dan menunjukkan jalan, datang terlambat.
Begitu Avanza Veloz hitam muncul di area Drop Off, Letta langsung menghampiri bagasi dan menaruh barang-barangnya. Diikuti oleh yang lain.
"Lama banget!" seru Letta lalu duduk di bangku belakang supir.
"Maaf, tadi telat bangun. Padahal Ibu udah ketok kamar berapa kali," jawab Dito dengan rasa bersalah.
"Abis nonton bola deh pasti," ujar Letta lagi.
"Tau aja," Dito nyengir. "Chelsea main, Let. Masa gak nonton."
Letta mendengus. Satu per satu kawannya naik ke mobil. Di samping Dito sudah ada Nada yang akan bergantian menyetir dengan Dito.
"Berangkat Dit," ujar Nada setelah memasang safety belt.
"Udah semua ya? Yang lain di mobilnya Iyus?"
"Yep. Jalan, Pak Pir!" Letta menepuk jok Dito.
"Siap Bu Bos!" balas Dito dan meteka pun meluncur.
***
-Dito-
Jalanan masih dipadati karyawan yang berangkat ke kantor di hari Jumat. Hal ini membuat Dito punya kesempatan untuk sekali-sekali mencuri pandang ke penumpang yang duduk di belakangnya. Lain dengan Maya yang sibuk memainkan smartphone dan Vika yang memilih membaca (lalu kemudian tidur), Letta memilih memperhatikan jalanan dan kadang-kadang menyanyi mengikuti lagu yang diputar di radio.
Dito selalu kagum pada Letta. Kagum akan Letta yang selalu tertawa. Letta yang sering cerewet dan merepet tapi tak pernah benar-benar marah. Kagum pada Letta yang begitu mudah bicara di depan orang lain. Kagum pada Letta yang tak ragu-ragu mengantarkan Retno dari Bandara Adi Sutjipto Surabaya ke cabang di Sidoarjo karena Retno belum pernah naik pesawat dan belum pernah keluar dari Jakarta. Padahal esok harinya Letta sendiri harus memulai tugasnya di Lombok. Kagum yang berubah jadi perasaan lebih dalam. Perasaan yang Dito putuskan disimpan dalam hati saja. Dito bukannya tak mau menjadikan Letta miliknya. Dito hanya ragu, apakah itu adalah hal yang tepat?
-Letta-
"Ku ingin kau tahu, diriku disini menanti dirimu. Meski kutunggu hingga ujung waktuku. Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya," Letta bersenandung mengikuti lagu yang terputar di radio. Lagu yang asal dia nyanyikan namun sedikit banyak menyuarakan isi hatinya.
"Pagi-pagi udah galau. Pindahin dong, Dit," pinta Letta. Namun Nada lebih cepat dan Nada yang mengubah channel radio.
"Thanks Nad," ujar Letta saat radio berhenti di lagu Uptown Funk.
Letta mengingat pertemuannya dengan Nada 2 tahun lalu. Setelah perkenalan informal mereka di lobby dan disaksikan security, seluruh peserta MT saling memperkenalkan diri di ruang kelas.
"Ardito Kusumah," panggil sang mentor. Dito mengangkat tangan.
"Arletta Princessa," lanjut sang mentor. Letta yang mengangkat tangan, senyum. Senyum yang ditangkap Dito dan langsung dibalas.
"Arnada Musika Gunawan," Nada mengangkat tangan dengan malas. Sengaja memandang lurus ke depan karena ia tahu dalam seperempat detik seisi ruangan akan memandangi dirinya karena nama yang unik.
"Bisa nyanyi?" tanya sang mentor, perempuan di usia 20an yang sepertinya seumur dengan sebagian besar orang di ruangan ini atau lebih tua beberapa tahun.
"Nggak. Saya main musik," jawab Nada dengan nada datar.
"Kapan-kapan main musik di acara kantor ya," usulan sang mentor ini disambut dengan riuh rendah tepuk tangan namun Nada masih saja datar. Waktu-waktu berikutnya Nada memang sering diminta bermain musik di acara kantor. Piano, drum, gitar, bass, dan saksofon.
"Kamu...anaknya pencipta lagu Gunawan Harahap bukan sih?" lanjut sang mentor. Nampaknya masih kepo.
Nada diam sebentar lalu mengangguk.
"Pantesan," sang mentor tersenyum bangga karena berhasil mengetahui hal ini. Sementara Nada cuma diam, jarinya memainkan pulpen.
Letta ingat momen setelahnya. Ketika mereka digabung dalam kelompok dan Letta, Dito, Nada (plus Iyus dan Vika) berada dalam satu kelompok karena sang mentor menganggap lucu nama mereka yang semua berawalan Ar.
Dito yang banyak menyumbang suara dalam kelompok. Mengucapkan jokes, menceritakan kisah seru, berdiskusi dengan Iyus tentag bola, memimpin diskusi kelompok tanpa disengaja. Namun Nada yang tertangkap mata oleh Letta. Cuma Nada, sejak itu. Hingga saat ini.
***
"Da," panggil Letta pada pemuda yang sedang berjalan di sampingnya. Mereka sedang berjalan menyusuri rumah-rumah penduduk dari homestay ke pantai. Berniat untuk duduk-duduk sambil menikmati minuman dan cemilan di pinggir pantai. Rombongan lain sudah berjalan di depan, meninggalkan Letta dan Nada yang sengaja berjalan agak lambat.
"Hmm," komentar Nada. Ia berjalan begitu cuek, dengan tangan dimasukkan ke saku jaket dan celana pendek, juga ekspresi yang tidak pernah berubah.
"Gimana perasaan lo?"
"Tentang?"
"Kerjaan kita setelah ini,"
"Hadapi aja Let. Mau apa lagi? Lakukan yang terbaik," jawab Nada bahkan tanpa memandang Letta.
Jeda. Angin malam berhembus, membuat Letta mengeratkan jaketnya.
"Arnada,"
"Hmm,"
"Gue suka sama lo," ucap Letta. Ia memang mencari momen untuk mengucapkan ini pada Nada. Terlepas dari seperti apa respon Nada nanti. Situasi di sekitar mereka memang kurang romantis. Disaksikan bulan yang mengintip malu-malu dan kucing yang lewat, dilatarbelakangi rumah penduduk dan angin malam yang berhembus.
Lette menghentikan langkahnya, memandang intens pada Nada. Namun Nada malah berjalan terus. Saat sadar Letta tak ada di sampingnya, ia menoleh.
"Kok berhenti?" tanya Nada. Letta jadi gemes.
"Gue suka sama lo," ulang Letta tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.
"I heard that," balas Nada.
"So?" Letta mulai berjalan mendekati Nada.
"What 'so'?"
"Your response is unbelievable, Nada!" Letta menggeleng.
"I know,"
"Know what?" seru Letta jengkel.
"I know you like me," jawab Nada, santai.
"What? How could you?!" Letta memekik, menutup mulut. Ia dan Nada melirik sekitar, khawatir obrolan mereka mengganggu penduduk.
"Your gesture, your eyes, your attitude towards me,"
"And you decide to act like you know nothing?" Letta tak percaya ternyata Nada tahu bahwa Letta menyukaimya sejak lama.
"What do you want me to do? Tell you that I know that you like me?"
"Oh geez of course not," Letta berjongkok, menenggelamkan wajah di tangannya.
"Bangun, Let. Kalau kelamaan disini nanti orang nyariin," Nada menarik tangan Letta dan Letta berdiri namun tak melepas tangan Nada.
"Terus gimana?" lanjut Letta. Nada melempar tatapan tak mengerti. "Gimana perasaan lo ke gue? Kita bakal menganggap ini gak pernah terjadi?"
"Gue ga bisa bilang bahwa kita jadian setelah ini. Gue juga menganggap lo sama pentingnya seperti anak-anak MT yang lain. Gue cuma mendengar pernyataan lo dan berterima kasih akan itu,"
"Lo gak mau coba dulu?" Letta masih bersikeras. Nada mulai berjalan, tangannya yang masih dipegang oleh Letta membuat Letta mau tidak mau bergerak juga.
"Perasaan bukan buat dicoba, Let. Ortu gue cerai. Gue udah cukup tahu gimana rasanya coba-coba sama perasaan."
***
"Letta, Nada, kok lama?" Dito menyambut kehadira Letta dan Nada begitu mereka tiba pinggir pantai tempat berkumpul.
"Tadi hape Letta sempet jatuh," jawab Nada cepat. Letta meringis, mengangguk.
"Udah ketemu?" Dito memandang Letta dengan agak sedikit prihatin.
"Udah kok," Letta menepuk saku celananya. Mengikuti alur kebohongan Nada.
"Syukurlah. Duduk yuk," Dito menunjuk api unggun dan teman-teman mereka yang sudah duduk mengelilingi api. Letta mengangguk, menghampiri teman-temannya bersama Dito. Nada mengikuti di belakang.
"Da, main gitar dong," Dera menyodorkan gitar yang entah ia temukan dari mana. Nada langsung menyambar gitar dan duduk di samping Dera.
"Jreeng," bunyi gitar yang coba dipetik Nada untuk melihat kualitas gitarnya. "Lagu apa?"
"Kisah romantis," seru Dito yang ditimpali seruan dari teman-temannya.
Nada mulai memainkan lagu, sekumpulan orang di sekeliling api unggun mulai bernyanyi. Nada memandangi Letta, Letta sekilas memandang Nada namun buru-buru mengalihkan perhatian, menyimpan sendiri harapan bahwa Nada akan menyanyikan lagu itu hanya untuknya. Sementara Dito, sepanjang lagu memandang Letta. Berharap Letta sadar lagu itu untuknya.
***
"Letta, makan siang dimana?" Dito menghampiri meja Letta saat dia sedang menghadapi laporan sales bulanan nasional.
"Dit, hey," mata Letta tak fokua antara memperhatikan Dito atau memandangi angka-angka. "Hmm makan siang ya."
"Lagi banyak kerjaan?"
"Gitu deh," komentar Letta. Memutuskan menunda dulu sesi pacarannya dengan angka dan memilih menghadapi Dito.
"Aku pesenin makan siang mau? Nanti makan disini aja. Kutemani," tawar Dito. Teman sebelah Letta senyam senyum penuh arti.
"Boleh deh Dit. Kamu mau pesen apa?"
"Kamu maunya apa?"
"Hmm, gado-gado deh. Udah lama gak makan sayur,"
"Oke. Nanti kupesankan. Silakan lanjut lagi ya. Sampai ketemu Letta,"
"Thanks Diit," teriak Letta karena Dito sudah berjalan agak jauh. Dibalas dengan acungan kedua jempol dari Dito.
***
"Pengen belanja 👗👙👠💄👢👒👓👛💍🌂," ketik Letta di status Path. Iseng saja, mengingat seminggu terakhir ini dia dikejar deadline report dari atasannya. Memang sih ada Dito yang jadi rajin menemani Letta bekerja, terutama malam. Saat Dito juga perlu lembur, mereka lembur bersama.
Belum ada 1 menit status itu ditulis, notifikasi WhatsApp Letta berbunyi. "Mau belanja apa?" tanya Ardito Kusumah.
"Belanja tas Hermes, Chanel, sepatu Louboutin, gaun Vera Wang," jawab Letta asal.
Dibalas dengan serangkaian emot wajah datar dari Dito.
"Hahaha. Belanja apa aja Dit. Intinya aku butuh ke mall!"
"Ntar malem mau? Kemana?"
"Kokas?"
"Oke." Dito menyanggupi. Letta berjoged senang karena ada yang menemaninya belanja.
***
Dua jam berputar-putar dari satu toko ke toko lainnya dan Letta cuma membawa pulang 1 rok Mango. Karanya karena belum waktu gajian jadi tak banyak yang ia beli. Dito menemani dengan sabar meski tetap geleng-geleng saat Letta memutuskan hanya membeli 1 item.
Mereka memutuskan untuk makan malam. Dito yang memaksa, katanya ia butuh asupan gizi serelah menemani Letta kesana kemari. Mereka melewati Pesona Jewelry dan Dito berhenti.
"Kenapa Dit?" Letta menoleh.
"Mau masuk?" tanya Dito, menunjuk pintu masuk toko.
"Buat apa?" tanya Letta kebingungan.
"Supaya kamu bisa pilih cincin mana yang kamu mau melingkari jarimu," jawab Dito, tersenyum malu-malu.
Letta mengerutkan kening. Sadar bahaa Letta tak menangkap maksudnya, Dito menghampiri Letta.
"Cari makan dulu aja yuk. Aku jelaskan nanti," Letta mengikuti Dito berjalan menuju Ikkudo Ichi. Pilihan Dito yang pengen mie katanya.
Setelah memesan, Letta menghadap Dito. "Jadi tadi kenapa kamu ngajak-ngajak aku ke toko perhiasan?"
Dito tersenyum menanggapi pertanyaan Letta. Ia meletakkan tangannya di meja lalu memandang Letta lekat.
"Karena aku ingin cincin yang kuberikan untuk melamarmu adalah pilihanmu sendiri,"
Letta diam, mencerna kalimat Dito lalu memekik. "Oh," seru Letta. Matanya membelalak. Tangannya menutup mulutnya.
"Oh Dito," seru Letta lagi. Dito malah tersenyum lebih lebar. Belum sadar maksud respon Letta. "Can we talk about it in more proper place?"
Letta berbisik sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Agak malu membicarakan soal sepenting ini di restoran yang santai, bukan tipe fine dining.
"Sure," Dito masih tersenyum. Menganggap respon Letta adalah respon positif. Sementara Letta masij tersenyum ragu-ragu. Sepanjang makan, mereka memilih untuk membicarakan hal lain dan tidak menyinggung soal cincin sedikit pun.
"Er, Dito, tentang yang tadi," Letta sudah mengarahkan langkahnya langsung ke basement daripada Dito punya pikiran mengajaknya ke toko perhiasan lagi.
"Kamu yakin mau bahas tentang tadi di sini?" Dito terlihat excited, memandang mobil-mobil yang terparkir di sekitar mereka sambil tertawa.
Letta ikut tertawa. Sebentar. "Ya, setidaknya disini cuma ada kita."
"Oke," Dito memasukkan tangannya ke dalam saku lalu bersiap mendengar pernyataan Letta.
"Bagaimana mulainya ya," gumam Letta. Mulai salah tingkah.
"Biar aku yang mulai," Dito mengangkat tangan, menghampiri Letta dan menggenggam tangan Letta.
"Arletta Princessa, entah sejak kapan kamu mulai jadi putri di kerajaan hatiku. Awalnya aku gak berani untuk mengutarakan perasaan ini. Tapi lama kelamaan aku yakin bahwa kamulah jawaban atas semua pertanyaanku. Aku ingin kamu yang jadi pendamping hidupku selamanya. Orang yang aku lihat setiap bangun pagi dan sebelum tidur. Letta, mau menikah denganku?"
Letta meringis mendengar itu. Dito terlihat begitj yakin dan percaya diri. Sementara Letta, Letta sendiri masih belum bisa mengenyahkan Nada dari hatinya meski Nada sudah menolak dirinya.
"Selama ini kita cuma temen Dit," Letta menanggapi. Takut-takut memandang wajah Dito. "Agak awkward buatku kalau tiba-tiba kita bersiap buat menikah."
"Kamu mau kita pacaran dulu?" Dito menawarkan, masih senyum lebar. Letta mendengus tertawa.
"Entah apakah term pacaran masih cocok untuk seumur kita?"
Dito mengangkat bahu. "Gak aneh kok."
"Aku gak bisa menjanjikanmu apa-apa Dit. Kita juga baru saja dapet tugas baru yang lebih berat. Tantangan di depan gede banget. Mungkin aku ingin lebih fokus kesitu," Letta berkata pelan. Dito mulai paham, ia mengendurkan genggamannya di tangan Letta.
"Tapi..." Giliran Letta yang menarik tangan Dito kembali. "Aku akan berusaha. Jadi..."
Senyum Dito kembali mengembang. Lebih lebar dari sebelumnya. "Kita usaha sama-sama ya."
Letta mengangguk. Dito mengusap pelan rambut Letta lalu mencium keningnya. Letta memutuskan untuk mencoba dengan pria yang memutuskan mencintainya.
***
Tak butuh waktu lama untuk menyebarkan info bahwa Letta dan Dito resmi berhubungan lebih serius dari sekedar teman. Cukup 1 event kondangan bareng di akhir pekan setelah pernyataan di basement. Maka tersebarlah informasi tersebut. Dito menanggapinya dengan cuek tapi senang. Ia bilang bangga bisa menjadi kekasih Letta. Letta merespon dengan senyum dan sedikit rona di pipi. Ketika bertemu pertama kali dengan Nada setelah Letta 'jadian' dengan Dito, Letta berharap ada respon khusus dari Nada. Nyatanya tidak. Nada masih datar.
"Selamat ya," cuma itu yang diucapkan Nada pada Letta saat mereka tidak sengaja berada dalam 1 lift.
"Hmm, thanks," balas Letta, memandang Nada dari pantulan cermin di lift. Nada balas memandangnya.
"Dito orang yang keren. Dia cocok buat lo. Yuk, Let," Nada pun keluar lift lebih dulu.
"Makasih lho Nada," Letta menanggapi pada dirinya sendiri.
***
"Halo, Nada, lo masih bangun?" Ragu-ragu Letta menelepon Nada padahal sekarang sudah jam 1 dini hari.
"Ya Let. Masih. Ada apa?"
"Hmm sorry. Gue boleh nginep di tempat lo gak?"
"Nginep tempat gue?" Nada terdengar keheranan. Tentu saja. Perempuan minta menginap jam 1 dini hari adalah hal yang aneh.
Letta belum sempat menjawab tapi teleponnya keburu diminta Pak Hendi.
"Halo Arnada?"
"Eh, Pak Hendi ya?" Nada mengenali suara itu sebagai kepala divisi sales & marketing, atasan Letta.
"Iya. Saya sama Letta baru pulang dinas dari Singapore. Harusnya kami pulang besok tapi anak saya mendadak sakit jadi saya percepat pulangnya. Karena bingung di luar negeri sendirian, katanya Letta memilih ikut. Sekarang dia malah bingung gimana pulangnya. Jadi dia bisa ikut menginap? Kamu tinggal di apartemen kan?"
"Iya Pak. Boleh sih. Tapi kenapa saya?" Pak Hendi menyerahkan telepon kembali ke Letta sambil berkata tanpa suara 'kenapa nginep di Nada?'
"Halo Nada. Gue sebenernya udah neleponin anak-anak cewe yang lain. Udah mau nginep di tempat Vika tapi sekarang telepon gue ga diangkat. Gue takutnya dia ketiduran. Mau ke kosan sendiri, gue takut. Udah malem banget. Ini juga gue masih ditemenin Pak Hendi dan supirnya. Gimana?"
"Ya udah. Lo tau apartemen gue kan? Kalau udah deket, kabari. Nanti gue jemput di lobby,"
"Iya. Thanks berat ya. Nanti gue kabari lagi," Letta memutus sambungan telepon. Mengangguk pada Pak Hendi.
15 menit kemudian mereka sampai di Apartemen Setiabudhi. Nada sudah menunggu di lobby dan langsung bangkit begitu Letta turun dari mobil.
"Titip Arletta ya, Arnada," ucap Pak Hendi tanpa turun dari mobilnya.
"Iya Pak. Semoga anak bapak juga cepet sembuh," Nada membungkuk sedikit untuk bicara dengan Pak Hendi.
"Terima kasih. Saya berangkat ya Letta, Nada,"
"Iya Pak. Terima kasih. Maaf merepotkan," giliran Letta yang membungkuk. Pak Hendi menanggapi dengan lambaian lalu mobilnya pun keluar kawasan.
"Yuk," ujar Nada lalu berbalik masuk. Letta mengikuti sambil menarik koper. Nada tiba-tiba berhenti lalu menarik koper dari tangan Letta lalu menggeretnya ke arah Lift.
"Thanks Nada,"
Mereka berkomunikasi dalam diam selama perjalanan menuju kediaman Nada. Saat di lift, hanya satu pertanyaan yang dilontarkan Nada.
"Dito?"
"Lagi press conference di Bali sampai lusa,"
Dan keheningan kembali menyertai mereka. Nada membimbing Letta menuju kamarnya, membuka pintu dengan kartu lalu mempersilakan Letta masuk.
"Apartemen gue cuma single bedroom. Jadi ntar lo tidur di dalem, gue di sofa aja." Nada menunjuk sofa yang sudah ditara dengan bantal dan selimut.
Letta mengangguk, mengikuti Nada ke kamar.
"Kamar lo rapi," komentar Letta. Nada cuma mengangguk menanggapinya.
"Silakan istirahat. Kamar mandi ada di seberang. Kunci pintunya sebelum tidur,"
Letta senyum. "Thanks again, Arnada."
Letta mengangguk, berbalik dan menghampiri sofa. Tanpa banyak bicara dia menyusup di balik selimut dan memejamkan mata. Sementara itu, Letta memandang sosok yang ia cintai, tersenyum sedih lalu mundur dan mengunci pintu.
***
Letta baru saja keluar untuk mandi ketika dilihatnya Nada sedang beraksi di dapur.
"Pagi, Nada,"
Nada menoleh. "Hei, Let,"
Betapa inginnya Letta memiliki momen seperti ini di setiap hari selama hidupnya.
"Breakfast?" tanya Letta, berdiri di samping Nada.
"Iya. Lo mau sarapan apa?" tawar Nada.
"Samain kayak lo aja,"
"Oke."
Nada kembali menekuni kegiatannya. Letta berdiri kaku. "Perlu gue bantu?"
"Gak usah," jawab Nada tanpa memandang Letta.
"Oke. Gue mandi dulu kalau gitu,"
Letta mandi secepat kilat, berpakaian, membereskan barang, lalu kembali ke dapur dan mendapati Nada yang juga sudah berpakaian rapi. Ia sedang membaca sesuatu dari iPad, di hadapannya terhidang dua piring nasi goreng dan dua gelas orange juice.
"Wangi," seru Letta lalu duduk di hadapan Nada. Nada mendongak dan mengesampingkan iPad-nya.
"Thanks," komentar Nada. Padahal maksud Letta yang wangi adalah Nada.
"Lo setiap hari bikin sarapan sendiri?"
Nada mengangguk. Mulai menyuapkan nasi goreng.
"Cool. Gue coba ya," Letta menyuapkan nasi goreng jatahnya lalu mengedip. "Enak banget Nada! Lo hebat!"
Nada tersenyum sedikit lalu melanjutkan makan. Meski hanya ada hening di antara mereka, tapi Letta sangat bahagia.
Nada selesai makan lebih dulu dari Letta. Ia langsung menghabiskan jusnya dan berbalik untuk mencuci piring.
"Eh gue aja yang nyuci," seru Letta sambil menelan dengan susah payah.
"Lo selesein dulu aja makannya," balas Nada tanpa berhenti mencuci.
Letta buru-buru menghabiskan sarapannya dan membawa piring dan gelas kotor ke bak cuci. Nada menggeser berdirinya untuk memberi ruang bagi Letta.
"Jangan sampai Dito tahu lo nginep disini," ujar Nada tiba-tiba. Letta terdiam, mengangguk. Nama Dito langsung membuyarkan kebahagiaan yang Letta rasakan.
"Gue akan bilang nginep di kosan Vika. Tadi subuh dia nelepon dan minta maaf karena ketiduran. Gue minta dia kompromian aja," kata Letta, kepada piring.
Mereka berdua berangkat kerja menggunakan mobil Nada yang jarang dia pakai. Hanya karena ada Letta dia mengeluarkan mobil. Biasanya jalan kaki atau naik ojek. Nada menyuruh Letta turun dari mobil lebih dulu. Letta setuju, dia akan menunggu Vika sehingga terlihat mereka datang bersama. Bersamaan dengan turunnya Letta dari mobil Nada, berakhir pula masa indah yang singkat antara Letta dan Nada.
***
-Nada, 1 bulan lalu-
Para pria MT sedang berkumpul di rumah Dito. Mereka sengaja bermalam bersama demi menyaksikan final Liga Champion sekaligus sharing menjelang pengumuman kelulusan mereka.
"Nada," panggil Dito saat Nada sedang di dapur, mengambil minuman. Dito sengaja menyusul Nada agar mereka bisa mengobrol berdua saja.
"Apa?" balas Nada, mendongak dari kulkas. Dito bersandar di kulkas dan menatap pesaingnya.
"Kalau gue dinyatakan lulus besok, gue akan bilang pada Letta bahwa gue cinta dia," ujar Dito, wajahnya serius.
"Oke," balas Nada. Wajahnya tanpa ekspresi. Dito berharap ada tanggapan lebih dari Nada namun Nada diam saja. Maka Dito mengangguk lalu berbalik.
"Semoga sukses," lanjut Nada, memandang kulkas. Dito menoleh, tersenyum kecil dan melanjutkan langkah menuju ruang TV.
Sebuah deklarasi telah diucap. Dito harus memenuhinya. Saat itu Dito dan Nada sudah sama-sama tahu siapa yang sebenarnya dipilih Letta. Tapi Dito memilih untuk maju. Nada memilih untuk tidak peduli.
***
Letta buru-buru menghampiri mejanya pagi itu. Ada bahan meeting yang harus disiapkan untuk breakfast meeting hari ini. Letta sudah menyiapkan bahannya sejak kemarin namun ada permintaan tambahan dari direksi yang membuat Letta harus segera mengedit presentasi tersebut. Mata Letta tertuju pada sebuah amplop berwarna coklat dengan tulisan emas. Di depannya tertulis 'Invitation'.
"Nikahan siapa nih?" pikir Letta. Amplop dibuka dan di dalamnya muncul kertas karton coklat dengan desain senada dengan amplopnya. Undangan lelang ternyata, di rumah pribadi daerah Menteng.
Ketika Letta bingung kenapa dia diundang ke acara seperti ini, selembar kertas muncul dari dalam amplop.
"Please come, alone. -Nada"
Apa ini tandanya Letta harus menyembunyikan undangan dari Dito?
***
Letta mengenakan gaun merah maroon dengan potongan V neck dan rok berbentuk tissue serta heels merah menyala setinggi 7 senti. Wajahnya dirias dengan make up tipis namun menyala di bagian mata dan bibir. Letta juga menenteng coat dan clutch bag warna senada dengan gaunnya. Tidak lupa, rambut diurai dengan sedikit kepangan di sebelah kiri.
Letta ingin menghubungi Nada, bertanya apa yang harus dia lakukan sekarang. Namun Nada tidak mengangkat teleponnya. Akhirnya Letta memberanikan diri menghampiri security dan menunjukkan undangannya. Security mempersilakan Letta masuk, menyimpan coat Letta, dan mengarahkan Letta pada halaman belakang rumah yang luas dan sudah didekorasi dengan begitu apik. Cahaya temaram dari lampu-lampu serta musik yang mengalum dari grand piano menambah keromantisan suasana. Orang-orang mengenakan gaun dan tuksedo, mengobrol di halaman belakang tersebut. Letta bersyukur dia tidak jadi mengenakan baju sederhana yang dia sempat pikirkan. Letta berkeliling sambil menyesap orange juice yang sempat diambilnya tadi. Tidak ada satu pun orang yang Letta kenal. Kecuali orang yang sedang berada di atas panggung.
Letta berhenti di depan panggung dan memperhatikan Nada bermain piano. Dia tampak fokus dan menghayati permaiannya. Perlu beberapa saat sampai Nada mendongak dan melihat Letta sedang memperhatikannya.
Letta tersenyum dan melambai. Nada balas tersenyum lalu bicara tanpa suara. Letta tidak mengerti namun ia mengangguk saja.
Acara lelang dimulai dan Nada masih mengiringi acara lelang dengan permainannya. Maka dari itu Letta harus puas dengan memperhatikan peserta dan barang-barang yang dilelang, sendirian. Sesi pertama lelang berakhir, begitu pula dengan tugas Nada. Ia turun dan menghampiri Letta yang sedang berdiri di dekat pajangan barang-barang lelang.
"Glad you came," ujar Nada.
"Glad you invited me to come," sambut Letta sambil mengangguk sedikit ala gadis Inggris abad ke-17.
"Datang pakai apa?"
"Taksi. Tadinya mau helicopter, tapi kayaknya ga ada tempat mendarat," jawab Letta dengan wajah serius. Otot di sekitar mulut Nada bergerak sedikit tapi kemudian diam lagi. Saat itu Nada mengenakan tuksedo, rambutnya disisir rapi. Sukses membuat Nada terlihat seperti model Executives. Bahkan lebih ganteng (bagian ini didukung oleh adanya perasaan kasih dan sayang di diri Letta).
"Hei son. Nice play as always," seorang bapak yang tidak kalah gaya menghampiri dan menepuk pundak Nada. Rambut yang sudah memutih dan agak gondrong diikat ekor kuda. Senyum yang merekah dan energi yang tampak meluap tidak menunjukkan bahwa usianya sudah lanjut.
"Thanks, Dad," gumam Nada.
Letta memperhatikan bapak itu lebih jauh. 'Ini ayah Nada? Gunawan Harahap itu?'
"And who's the pretty girl you're talking to?" Bapak Gunawan menoleh ke arah Letta masih dengan senyum lebar. Letta agak tersipu lalu mengangguk.
"Arletta," jawab Letta lalu menjulurkan tangan.
"Gunawan. Ayahnya Nada," Bapak Gunawan membalas jabatan tangan Letta dengan erat bahkan sampai menepuk tangan Letta dengan tangan kirinya. Letta tertawa sementara wajah Nada masih datar bahkan agak canggung.
"Nada has never seen talking or being close to a girl since high school. Right, son?" Bapak Gunawan menoleh kepada anaknya dan nyengir. Nada berjengit dan menggaruk kepalanya.
"Stop it Dad,"
Bapak Gunawan hanya tertawa melihat tingkah anaknya. "Enjoy the party," ujarnya. Lalu menepuk pundak Nada dan Letta lalu bersosialisasi dengan tamu lain.
"Never seen with girl since high school, heh?" celetuk Letta sambil menyenggol Nada.
"That was the time when my parents got divorced," jawab Nada datar.
"Oh, sorry," kata Letta tulus. Merasa bersalah.
Nada mengangkat bahu. "I'll show you the party," Nada menunjuk ke arah kerumunan dan menjelaskan beberapa hal.
Ini adalah acara tahunan dari sekumpulan orang-orang kaya (Nada sendiri yang bilang begitu), termasuk ayah Nada. Mereka bergantian menjadi tuan rumah dan rutin menyumbangkan barang apapun yang bisa dilelang. Hasilnya bisa disumbangkan ke yayasan yatim piatu, jantung, kanker, difabel, atau untuk korban bencana. Nada diminta ayahnya untuk mengisi acara karena permintaan teman-temannya.
"Luar biasa," komentar Letta. Dia akhirnya tahu mengapa orang-orang ini terlihat begitu sophisticated. Barang-barang yang dilelang pun keluar minimal dengan nilai 100juta.
"Untuk amal, semua orang berlomba terlihat baik," gumam Nada. Memperhatikan orang-orang di sekitar mereka.
"Arnada!" Panggilan dengan suara melengking tertangkap telinga Nada dan Letta. Letta menoleh ke asal suara diikuto Nada yang berbalik ogah-ogahan.
"I've been searching for you the whole night. Where have you been?" seru perempuan cantik bergaun cream. Mirip model luar negeri. Tanpa ragu dia mencium pipi Nada begitu mereka dalam radius kurang dari 30 senti. Letta mengernyit.
Nada tidak menjawab apa-apa. Perempuan itu melanjutkan lagi. "Udah lama banget aku gak ketemu kamu. Kamu terlalu sibuk sih sampai gak pernah ikut kumpul-kumpul."
Nada masih tidak berkomentar apa-apa. Letta diam seperti bodyguard di samping Nada. Ada, terlihat, namun tak dianggap.
"Tadi aku sempat lihat kamu main. Memukau seperti biasa. Bikin aku inget waktu aku datengin kamu jauh-jauh dari London ke Sydney demi lihat kamu manggung."
Letta memutar mata. Orang kaya mana yang bela-belain menyebrangi benua demi menonton konser seseorang? Orang kaya ini.
"Thank you," balas Nada, mengangguk. Masih belum menyerah meski tanggapan Nada begitu dingin (tapi Nada memang selalu dingin), sekarang ia menggamit lengan Nada.
"Keliling yuk,"
"I'm sorry, Vienna. Gue sudah keliling beberapa putaran dan sekarang mau pulang." Nada menarik tangannya dari rangkulan Vienna.
"Kok gitu? Baru juga jam 10," Vienna melirik arloji emasnya.
"Sudah jam 10. Permisi," Nada berbalik, Letta mengikuti.
"Wait, who are you?" Vienna menarik tangan Letta sampai Letta memekik dan Nada langsung berbalik, waspada. Vienna buru-buru melepas pegangannya.
"Who are you?" ulang Vienna. Matanya menyipit. Letta curiga sebentar lagi muncul tanduk dan ekor melecut lantai.
"Arletta,"
"My girl,"
Letta dan Nada menjawab bersamaan. Jawaban Nada membuat Letta mengernyit dan memandangnya keheranan. Vienna pun ikut kaget. Nada memanfaatkan kesempatan itu untuk merangkul pinggang Letta dan menariknya pergi.
"What a lie," ujar Letta saat mereka berjalan di luar, menghampiri mobil Nada. Letta mengeratkan coat untuk menghalau angin dingin yang menerpa. Nada menoleh namun tidak berkata apa-apa. "Cewenya nembak, ditolak ama yang cowo. Terus sekarang tiba-tiba diakuin jadi pacar. Boys."
Nada tidak berkomentar apa-apa. Ia berjalan terus sampai menghampiri HRV hitamnya.
"Antar gue sampai stasiun kereta aja," pinta Letta. Nada mengangguk, membukakan pintu penumpang supaya Letta bisa masuk.
Mereka berkendara dalam diam. Nada memang tak banyak bicara sementara Letta tiba-tiba merasa lelah.
"Lho, ini udah lewat stasiun deh. Lo mau nganter gue sampe mana?" Letta melihat melalui kaca dan sadar sudah jauh dari Stasiun Gondangdia yang tadi ia ingin tuju. Daerahnya tampak agak asing.
"Gue anter sampai kost aja," jawab Nada kalem.
"Depok lho, Arnada!" seru Letta. Nada mengangkat bahu dan tetap menyetir. Letta menyerah, kembali bersandar dan memperhatikan Nada.
"You are always unpredictable," kata Letta, mencubit lengan kiri Nada yang sekarang tertutup kemeja. Jasnya sudah ditanggalkan sedari tadi.
Nada menghentikan mobilnya karena lampu stopan berwarna merah. Ia lalu menarik tangan Letta yang masih dekat dengan lengannya lalu mencium bibir Letta. Mata Letta membelalak kaget namun Letta diam. Diam dan memejamkan mata. Seketika itu pula kelebatan wajah Dito muncul. Letta langsung menarik tubuhnya menjauh dan memalingkan wajah dari Nada. Nada tidak berkata apa-apa dan mereka kembali tenggelam dalam diam.
Nada menghentikan mobilnya di depan rumah kost Letta. Begitu kunci dibuka, Letta langsung bergegas turun namun masih sempat mendengar Nada bicara "dont tell Dito about anything."
'Of course,' pikir Letta. 'How the hell I tell him about this, especially the kiss.'
***
-Letta-
Letta tidak bisa melupakan kejadian di mobil sepulang dari acara lelang. Tentu saja. Dia masih sering melamun dan mengulang kejadian tersebut dalam pikirannya. Kadang Letta tidak habis pikir mengapa Nada bisa melakukan hal itu. Padahal sebelumnya Nada tidak menerima perasaan Letta.
Belum lagi ada Dito. Sudh terhitung 4 bulan mereka berstatus pacaran. Tapi bagi Letta itu hanya status palsu. Letta berusaha, mencoba untuk memiliki perasaan lebih. Tapi Letta selalu melihat Dito sebagai temannya. Teman seperjuangan management trainee yang paling ceria, paling loyal, paling peduli pada teman-temannya.
Dan saat ini Letta selalu menghindari Nada. Mereka memang jarang bertemu di kantor. Tapi Letta pun sering mengabaikan pesan yang dikirim Nada via WhatsApp atau email. Meski pesannya hanya sekedar sapaan. Letta ingat Dito. Letta selalu ingat Dito.
***
-Nada-
Nada memutar pulpennya untuk kesekian kali. Mengabaikan dokumen yang harus dia review. Ingatan Nada berlalu pada kejadian 2 minggu kemarin dan perasaannya tercabik antara menyesal sekaligus senang.
Konsekuensi dari tingkahnya malam itu adalah Letta mengabaikannya. Completely. Letta tidak pernah mau membalas pesannya. Letta tidak pernah ada saat Nada menghampiri mejanya. Tapi di sisi lain Nada merasa puas. Dia berhasil memenangkan egonya, mencium perempuan yang spesial baginya, walaupun perempuan itu milik orang lain.
Ya, bagi Nada, Letta selalu berbeda. Dia selalu bersinar lebih dari yang lain. Nada tak pernah memikirkan apa yang membuat dia melihat Letta seperti itu. Nada tidak mau peduli. Nada tidak mau jatuh cinta. Dia selalu ingat cinta yang mengawali pernikahan orang tuanya dimana itu semua berakhir dengan pertengkaran dan tangisan. Ayahnya selalu marah besar, ibunya akan ikut marah, namun setelah itu menangis. Suara tangisannya masih memilikan Nada hingga saat ini. Hilang sudah kebahagiaan dan tawa yang Nada rasakan di masa kecilnya. Perhatian dan kasih sayang yang diberikan seutuhnya pada Nada sebagai anak tunggal bagai hilang dan sirna menjelang ia dewasa. Nada masih bersyukur dia bisa lulus SMA dengan kondisi keluarga kacau balau. Sudah 8 tahun berlalu, memang masa kelam itu masih sering mengganggu Nada, namun ia bersyukur karena kedua orang tuanya sekarang hidup bahagia dengan caranya masing-masing. Ayahnya kembali bersinar di dunia musik dan ibunya mengelola bisnis furniture keluarga di Jepara.
Itulah mengapa Nada tidak ingin mencari tahu apa arti sinyal-sinyal yang muncul dalam dirinya terhadap Letta. Itu juga yang membuat Nada hanya berani mencium Letta, bukan berusaha untuk menjadikan Letta lebih dari seorang teman. Apalagi ada Dito yang menyatakan lebih dulu bagaimana perasaannya pada Letta. Dito, temannya.
***
-Dito-
'She's mine but she will never be mine. Probably,' begitu pikiran Dito saat melihat Letta sedang memotong steak dan menyuapkan ke mulutnya.
"Kamu diem aja dari tadi. Udah kenyang?" Letta menggoyangkan jarinya di depan wajah Dito. Dito tersadar dari lamunan lalu tertawa.
"Nggak. Mana ada bahasa kenyang buat Dito. Baru juga ronde 1," jawabnya. Letta ikut tertawa. Ingat kebiasaan makan Dito yang bisa sampai 2x bahkan tambah cemilan. Tapi masih saja kurus. Bakat kurus dari leluhurnya.
"Kalau kamu ga mau, aku mau ngabisin kok," mata Letta berkilat-kilat jenaka. "Laper banget tadi ga sempet makan siang,"
"Nih," Dito memotong steak bagiannya dan menyodorkan ke arah Letta. Letta menyambut dengan sukacita dan mengunyah dengan gembira. "Kalau kurang kan tinggal pesen lagi."
Kalimat Dito disambut anggukan dari Letta. Dito selalu menyukai saat Letta makan. Selalu habis dan rapi. Banyak perempuan yang jarang menghabiskan makanannya. Maka Dito selalu menghargai mereka yang menghabiskan apa yang mereka pesan. Selain itu Letta juga rapi. Tidak meninggalkan piring bekas makannya dengan remah nasi berserakan, sendok dan garpu terbuka, atau tulang ikan berserakan. Sepele memang, tapiitu yang pertama membuat Dito memperhatikan Letta. Memperhatikan kebiasaan-kebiasaan Letta yang membuat Dito bersedia melakukan apa saja untuknya.
Selama 2 tahun awal perkenalan mereka, Dito tahu, Nada pun tahu, seluruh teman MT mereka juga tahu, kepada siapa Letta selalu memandang dengan tatapan berbeda. Siapa yang Letta perhatikan lebih intens saat bicara. Tapi seharusnya semua juga tahu bahwa saat ini Letta adalah milik Dito. Seharusnya hati Letta juga milik Dito. Seharusnya.
***
"Letta sama Dito kesini ga sih?" Retno menoleh pada teman-temannya.
"Kesini. Masih di jalan. Tadi Dito ama Letta ada acara bareng dulu. Jadi agak telat kesininya," jawab Iyus tanpa menoleh dari game Clash of Clans.
"Kita udah lama gak kumpul rame-rame. Sekalinya kumpul, malah perpisahan lo ya, Nada," ujar Vika dengan sedih. Yang dimaksud cuma tersenyum.
"Sorry," ujar Nada.
"Malah minta maaf. Kita sedih lo bakal resign, tapi kita juga seneng kalau lo dapet kerjaan lebih bagus," Dera menepuk pundak Nada.
"Thank you," Nada mengangguk. Mulai minggu depan Nada akan pindah bekerja. Ke perusahaan yang menemukannya via website terkenal berinisial L. Organisasi yang Nada akan tuju bergerak di berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Asuransi, mall, finance, bank, perumahan. Salah satu alasan mengapa Nada menyetujui penawaran ini salah satunya adalah karena dia ingin menjauh dari Letta dan Dito.
"Tuh mereka dateng," Vika menunjuk pintu kafe dimana Dito dan Letta baru saja melangkah masuk.
"Maaf terlambat," kata Letta.
"Duduk, duduk," Iyus sudah meninggalkan sejenak CoC-nya dan sekarang membantu Letta dan Dito untuk duduk.
"Yuk kita mulai aja. Berdoa dulu buat Nada supaya makin sukses dan makmur, supaya cepet kawin," bagian ini langsung disambut tawa dari semuanya. "Makin sukses lah."
Sambutan Dera sebagai yang dituakan diamini oleh para geng MT ini. Sementara Nada mengangguk dan mengamini. Letta memandang intens pada Nada. Hubungan mereka belum benar-benar membaik sejak kejadian malam itu dan ini adalah pertama kalinya mereka bertemu langsung.
"Dari lo ada yang mau disampaikan?" Dera menoleh pada Nada.
"Gue cuma mau bilang makasih. Tim yang solid dan akrab di tempat kerja pertama gue. Semoga kalian semua juga sukses, makmur terus."
"Kalimat terpanjang yang pernah lo ucapkan, Bro," sahut Fandi yang duduk di sebrang Iyus. Semua tertawa. Hanya Letta yang nyengir, ingin ikut tertawa tapi hatinya sedih. Ia akan sangat jarang bertemu Nada.
Mereka makan malam dan mengobrol dengan sukacita. Vika sebagai perempuan yang dituakan, menyerahkan kenang-kenangan kepada Nada berupa foto tim MT sejak dulu hingga sekarang, juga sebuah dasi. Para perempuan yang membeli kado dan untuk dasinya, semua meminta Letta yang tentukan.
Foto bersama dilakukan sebagai kenang-kenangan. Letta hanya memperhatikan tanpa berani berbuat apa-apa. Dia terlalu sedih akan kenyataan bahwa jarak dirinya dengan Nada akan semakin jauh.
"Letta?" Vika memanggil, menyadarkan Letta dari lamunan. Vika menunjuk sebelah kanannya, dimana Nada sedang berdiri, ikut memandang Letta. Di depannya ada Retno yang masih berdiri memegang kamera.
Perlahan Letta berdiri lalu menggantikan posisi Vika yang baru saja foto kenang-kenangan dengan Nada. Vika beralih berdiri di samping Retno. Melihat Nada dan Letta melalui layar kamera.
Letta dan Nada berdiri canggung. Ada jarak di antara mereka.
"Geser lagi dong," seru Retno. Letta melirik seberapa jauh jarak antara dirinya dan nada, lalu bergeser hingga lengan mereka bersentuhan. "Oke, 1, 2 ..."
Nada melirik secepat kilat ke arah Dito. Dito sedang mengobrol dengan Fandi, tidak memperhatikan mereka. Buru-buru Nada menggerakkan tangannya dan merangkul pinggang Letta. Letta kaget tapi tetap berusaha berekspresi maksimal. Tepat pada hitungan ketiga tangan Nada melingkari pinggang Letta. Jepret! Seperempat detik kemudian Nada menarik tangannya kembali. Letta tidak berkomentar apa-apa, ia langsung pergi, kembali ke kursinya. Vika dan Retno yang memperhatikan foto Nada dan Letta, tercengang. Geli tapi juga was-was karena mereka semua tahu dengan siapa sebenernya Letta berpacaran.
Sementara Nada masih sibuk berfoto dengan teman-temannya, ia tidak memperhatikan smartphone yang ia tinggal di meja. Ada pesan masuk dan membuat layarnya menyala. Dito yang berpindah duduknya ke dekat Fandi, dimana Fandi duduk dekat Nada tadi, menangkap kelebatan wallpaper di smartphone Nada. Dito diam sebentar lalu memberanikan diri menyalakan kembali smartphone Nada. Terkunci. Tapi ia masih bisa melihat siapa yang menjadi objek wallpaper smartphone Nada.
Letta dengan gaun merah maroon sedang tersenyum sambil memandang beberapa barang antik.
"Shit," gumam Dito. Ia bangkit berdiri dan menghampiri Nada. "Bisa kita ngobrol sebentar?"
Nada bingung tapi ia mengangguk. Dito berjalan keluar, mencari tempat yang lebih sepi.
"You are out of this race, Arnada," Dito memulai.
"Sorry?"
"Lo sudah tidak ikut perlombaan mendapatkan hati Letta. Lo sudah mundur," desis Dito.
"Ya, lalu?"
"Lalu maksud lo apa majang foto Letta di HP lo?" suara Dito mulai meninggi.
"She's pretty, I can't resist," jawab Nada.
"She's my girl, for damn sake," Dito sudah benar-benar geram sekarang. Dito tidak pernah marah, sehingga emosi Dito saat ini cukup mengagetkan Nada.
"Does she really loves you?" Nada bertanya, pertanyaan yang lebih menyulut api amarah pada diri Dito.
"She will,"
"I'll back to the race. Lo mungkin menang karena sudah berlari lebih jauh. Tapi hasil akhir tetap belum diketahui siapapun. Biar Letta yang memilih secara adil siapa yang akan dia cintai," Nada pun tidak kalah tegasnya. Setelah berkata itu, Nada mundur. Namun Dito lebih cepat dan melayangkan tinjunya ke pipi Nada.
"Oke, she'll decide," seru Dito. Nada kaget ditonjok begitu oleh Dito. Merasa tersaingi, dia segera membalas tonjokan Dito.
"Deal," seru Nada. Kedua laki-laki itu saling berpandangan. Memegang pipi masing-masing yang memerah dan sedikit mengeluarkan luka. Genderang perang ditabuh.
Nada masuk kembali lebih dulu, membuat semua berseru kaget karena wajahnya yang babak belur. Letta buru-buru menghampiri Nada dan menyentuh pipinya.
"Lo kenapa? Sini dikompres dulu," Letta memekik khawatir. Nada menyingkirkan tangan Letta dari pipinya.
"Gue pulang duluan," bisik Nada pada Letta. "Lo urusin Dito."
Nada menyeruak diantara kerumunan yang kebingungan. Mengambil barangnya lalu pergi tanpa bicara apa-apa. Tidak lama kemudian Dito masuk. Dengan kondisi yang sama.
"Ya ampun! Kamu sama Nada kenapa sih? Sama-sama bonyok gini," Letta menghampiri Dito, mengajaknya duduk, mengambil begitu saja tisu dan es untuk mengompres pipi Dito.
"I love you, we love you," gumam Dito, memandang langsung pada Letta. Seketika itu Letta tahu apa yang menyebabkan luka di pipi kedua pria tersebut.
***
-Nada-
Sebulan bekerja di tempat baru dan fans Nada sudah bertambah jadi ratusan. Ia selalu berjalan diiringi tatapan kagum dari para karyawan wanita. Pak Arnada cool banget, katanya.
"Kalila," Nada memanggil salah satu staf di timnya. Perempuan seumur Nada yang mungil.
"Ya Pak," Kalila masuk kembali ke ruangan Nada. Padahal dokumen yang harus ditandatangan Nada sudah lengkap semua.
"Kamu sudah menikah kan ya?" tanya Nada.
"Iya Pak," jawab Kalila malu-malu, melirik jari di tangan kanannya.
"Boleh saya tanya sesuatu?" tanya Nada lagi.
Kalila mengangguk. Nada mempersilakan dia duduk.
"Saya...saya suka pada seseorang," Nada memulai. Membuat Kalila membelalak. Tak menyangka atasan barunya yang dingin ini ternyata menyukai seseorang dan bahkan menceritakan pada dirinya. "Tapi saya takut untuk berbuat lebih karena....orang tua saya bercerai."
Kalila tersenyum. "Menurut kamu gimana?"
"Menurut saya ya Pak," Kalila membetulkan posisi duduknya. Merasa lebih penting. "Bercerainya orang tua memang berdampak pada psikologis anak-anaknya. Jadi takut berkomitmen karena khawatir hubungannya akan hancur juga."
Nada mengangguk.
"Tapi Pak, yang menikah kan Bapak. Yang menjalani kehidupan kan Bapak. Bapak yang tentukan pernikahan akan jadi seperti apa. Ini urusan Bapak dan istri bapak nanti. Bagaimana Bapak akan menentukan aturan-aturan di keluarga, berkompromi dengan istri saat ada masalah, dan lain sebagainya. Itu pesan orang tua dan mertua saya pada saya dan suami Pak. Kami memang mengacu pada kehidupan orang tua yang masih langgeng hingga saat ini. Tapi saya dan suami punya cara dan aturan sendiri. Ini kapal rumah tangga kami soalnya Pak."
Jawaban Kalila mencengangkan Nada. Ia tidak terpikir ke arah sana. Nada mendeham.
"Oke. Selanjutnya," Kalila mendengarkan lagi. "Dia sudah punya pacar."
Kalila langsung mendesah kecewa. "Masih banyak perempuan yang single pak. Disini aja yang ngefans sama Bapak banyak banget. Memang sih baru pacaran, tapi merebut orang lain itu gak baik lho Pak. Jadi kalau Bapak tanya saya, mending Bapak cari perempuan lain."
"Saya gak gampang akrab sama perempuan, Kalila,"
"Selalu ada jalan untuk bertemu jodoh, Pak. Meski saat ini dia milik orang lain, kalau sudah takdirnya jadi istri Bapak, pasti ada jalannya. Yang penting Bapak berdoa dan berusaha. Berdoa dulu untuk diyakinkan dia yang terbaik atau bukan. Setelah itu berdoa untuk dimudahkan jalannya. Lalu bapak berusaha deh. Berusaha untuk jadi diri Bapak yang terbaik. Sehingga tanpa perlu bapak merebut dia dari pacarnya, kalian akan bersatu dengan sendirinya."
Nada tidak mengerti bagian 'tanpa perlu merebut, akan bersatu sendiri'. Tapi Nada mengangguk, berterima kasih pada Kalila dan mempersilakan Kalila kembali bekerja.
"Semoga sukses, Pak," ujar Kalila.
***
-Letta-
Letta sedang bersiap untuk tidur. Lampu kamar sudah dimatikan, selimut sudah menutupi hingga dagu. Letta akan segera memejamkan mata ketika smartphone-nya berbunyi. Letta menggeram dan bangkit kembali. Khawatir itu pesan dari Pak Hendi yang 'meneror' Letta sejak dari kantor hingga di kost.
Ternyata bukan Pak Hendi. Melainkan video dari Nada. Pelan-pelan Letta mengunduh video itu. Menanti dengan sabar apa yang dikirimkan Nada untuknya. Sepertinya di sisi lain Nada pun sedang menanti, karena statusnya masih online.
Video sudah terunduh sempurna. Letta menekan tombol play. Muncullah Nada sedang memegang gitar.
"I wanna make you smile whenever you're sad..."
Letta memekik, menutup mulutnya. Letta menonton video dengan perasaan yang sulit didefinisikan. Mulutnya mengikuti setiap lirik yang dinyanyikan Nada. Video ditutup dengan adegan Nada tersenyum ke kamera. Pemandangan sangat langka.
'Suara lo jelek banget,' tulis Letta begitu videonya selesai diputar. Letta cuma bisa berkomentar itu padahal banyak yang ingin ia ungkapkan, termasuk ungkapan bahagia.
'Iya memang. Maaf ya,' balas Nada.
Letta terkikik. Ia sedang mengetikkan balasan ketika pesan dari Nada muncul lagi.
'Can we meet?'
Letta terdiam.
'When?'
'This weekend? Anytime you wanted,'
'I gotta go to Bandung this weekend,'
'I'll pick you up,'
'You're crazy. Dito will find out,'
'No he won't. I'll pick you up at 7 pm on Friday?'
'Lo nekat ya Nada,' Letta menggeleng dalam gelap. Tidak mengira Nada bisa nekat juga.
Balasan Nada hanya satu buah emot tersenyum.
'Gue ngantuk,' tulis Letta.
'Ya, good night,'
***
-Letta dan Nada-
Biasanya Dito akan mengantar Letta hingga travel jika Letta akan pulang ke Bandung setiap Jumat malam. Tapi malam ini tiba-tiba Dito absen karena ada ajakan kumpul dengan teman-temannya.
Letta heran kenapa waktunya bisa pas. Ketika kemudian Letta sadar bahwa yang mengajak Dito kongkow adalah teman-teman MT. Maka tidak sulit melihat campur tangan Nada disitu.
"Lo licik abis," ucap Letta begitu ia duduk di kursi penumpang mobil Nada. Sesuai janji, pukul 7 Nada sudah menanti Letta di area drop off.
"Its fair in love and war," komentar Nada lalu menjalankan mobilnya. Ikut serta dalam kemacetan Jakarta.
"So this officially became a war of love?" tanya Letta, cukup geli dengan istilahnya.
"It was always is,"
Letta sedang tidak ingin membahas lebih dalam tentang itu. Dirinya belum bisa menentukan siapa yang akan dia pilih. Jadi Letta lebih memilih membicarakan hal-hal umum seperti pekerjaan baru Nada, kegiatan sosial ayahnya, pekerjaan Letta, kondisi perekonomian.
Mereka sampai di Bandung hampir pukul 12. Nada mengantarkan Letta sampai ke depan rumah, sampai Letta bertemu dengan ayahnya yang menanti di depan rumah.
"Can I see you tomorrow?" bisik Letta saat akan kembali menjalankan mobilnya, menginap di rumah saudara.
"Come here tomorrow," jawab Letta. Nada mengangguk.
***
Kedatangan Nada disambut oleh keponakan Letta yang berumur 4 tahun. Bocah laki-laki itu langsung memamerkan mainannya kepada Nada.
"Harry, beresin yuk mainannya. Kita berangkat," Letta berjongkok di depan keponakannya sebagai Captain America yang sedang berperang melawan Nada sebagai Wolverine.
"Horeee," Harry langsung meninggalkan Nada, mengambil jaket dan sepatu.
"Harry?"
"Kakak gue Potterheads," jawab Letta dengan agak malu. Tapi Nada tertawa. Membuat Letta juga tertawa.
Letta, ibu, Nada, Harry dan orang tuanya berangkat menuju Trans Studio Bandung. Mereka memang berencana mengajak Harry bermain. Ayah Letta tidak ikut karena memilih pergi memancing dengan teman-temannya.
Awalnya Letta ikut menikmati permainan tapi lama-lama ia dan Nada memilih memisahkan diri dan berjalan berdua.
"Gimana perasaan lo?" Letta menoleh pada sosok yang sedang berjalan di sampingnya. Nada tampak begitu fokus dengan pikirannya.
"Tentang apa?" Nada balas memandang Letta.
"Apapun," Letta mengangkat bahu. Menghentikan langkahnya. Nada ikit berhenti.
"I'm good. Gue senang bisa ada disini. Main. Kumpul keluarga yang udah lama gak gue rasakan. Ngobrol sama lo tanpa takut ditonjok Dito,"
Letta tertawa. "Kalian kok bisa tonjok-tonjokan gitu sih?"
"Karena gue memutuskan untuk berusaha mendapatkan lo, Letta," jawaban Nada sukses membuat Letta termenung.
Nada mulai canggung, Letta juga.
"Gue selalu ragu apakah gue harus mendekati lo dan memupuk perasaan yanh sedikit demi sedikit tumbuh di diri gue. Gue memutuskan untuk tidak mempedulikannya. Gue masih ingat betapa tidak harmonisnya hubungan orang tua gue dan jujur, itu membuat gue malas dan takut berkomitmen."
Letta diam, kaget karena Nada mau menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi ini.
"Kemudian Dito bilang bahwa dia akan menyatakan perasaannya ke lo kalau dia lulus MT. Dia lulus, dan memang dia nyatain kemudian kalian pacaran."
"Tapi sebelum gue dan Dito jadian, gue bilang perasaan gue ke lo," Letta menyela.
"Ya. Gak mungkin kalau saat itu gue menerima lo sementara gue tahu Dito akan menyatakan perasaan dia. Jadi gue memilih untuk tidak peduli."
Letta mendengus, ia melipat tangan di dada, memandang arah lain kecuali Nada.
"Namun ternyata gue laki-laki yang egois. Gue rupanya tidak bisa menerima lo jadian dan terlihat begitu romantis dengan Dito. Gue mulai ingin mempeejuangkan perasaan gue juga. Dimulai dari gue mengundang lo ke acara charity dan mencium lo setelahnya."
Letta membeku. Teringat kejadian di dalam mobil.
"Dito sadar gimana perubahan tanggapan gue terhadap perasaan gue. Di malam perpisahan sebelum gue pindah kerja, dia melihat HP gue yang ada lo sebagai wallpapernya."
Letta bengong, memandang Nada. 'Cowo ini masang foto gue jadi wallpaper?'
"Cheesy ya? Dito marah dan dia nonjok gue disitu. Gue balas. Akhirnya kita sama-sama berusaha buat mendapatkan lo."
Letta menurunkan lengannya, dalah tingkah memainkan rambutnya yang diikat ekor kuda.
"Tapi selalu ada hal yang mengganjal di diri gue. Yaitu tentang orang tua. Ketakutan gue,"
Nada memandang Letta dengan sorot mata sayu, sedih, yang membuat Letta ingin menghambur ke pelukan Nada dan mengatakan semuanya baik-baik saja.
"Gue mengobrol dengan tim gue, gue juga ngobrol dengan orang tua gue. Jawaban mereka sama, gue yang mengusahakan kebahagiaan gue sendiri. Gue yang menentukan seperti apa masa depan gue dan istri. Mereka bilang jadikan kegagalan mereka sebagai pelajaran. Jangan takut,"
Perasaan Letta langsung luluh saat itu juga. Nada yang biasanya begitu dingin sekarang terlihat sangat rapih namun memiliki tekad keras untuk bangkit dan berusaha lebih baik.
"Jadi gue cuma mau bilang betapa gue mencintai lo, Arletta, dan gue mau lo yang menemani gue sampai akhir hayat nanti," Nada menutup ceritanya dengan anggukan, lalu pelan-pelan menatap Letta.
Tanpa pikir panjang, Letta menghampiri Nada yang langsung membuka lebar tangannya. Letta mencium Nada dan Nada balas menciumnya. Mereka saling mentransfer perasaan yang tersimpan dalam diri masing-masing. Keduanya tahu ada Dito di antara mereka, tapi untuk saat ini, yang Letta dan Nada tahu, adalah mereka memeluk orang yang mereka cintai.
***
Malam itu juga Nada mengutarakan keinginannya untuk meminang Letta. Ibu dan Kakak Letta kaget karena yang mereka tahu, pacar Letta bukan Nada. Sementara ayah Letta hanya mengatakan dua hal, jika memang serius, ajak orang tua Nada kemari dan keputusan ada di tangan Letta.
Nada mengangguk, ia berjanji akan segera mengajak orang tuanya untuk datang. Sementara itu Letta dan Nada tahu masih ada 1 urusan yang harus diselesaikan.
Mereka kembali ke Jakarta dengan kesepakatan tidak akan mengatakan apapun pada Dito tentang mereka. Letta yang menentukan apa yang dia lakukan terhadap hubungannya dengan Dito.
"Terima kasih," ujar Nada saat mereka sampai kembali di depan rumah kost Letta.
"Untuk?" tanya Letta, berbalik memandang Nada. Sekarang ekspresi Nada tidak sekaku dulu. Dia lebih sering tersenyum dan berdialog lebih panjang.
"Semuanya," Nada menjawab lalu mengelus pipi Letta. Letta menyentuh tangan Nada lalu mengelusnya.
"Sama-sama," kata Letta sambil senyum tipis.
"Selamat istirahat ya, sampai ketemu di mimpi," ujar Nada. Letta langsung tertawa.
"Geli ih, gak Nada banget,"
Nada nyengir.
***
-Letta dan Dito-
"Gimana Bandung? Ibu Ayah sehat?"
"Sehat, Dit. Seru seperti biasa," jawab Letta sambil berseri. Seperti biasa kalau dia ingat keluarganya.
"Kapan ya aku ketemu mereka?" Dito bertanya selewat, matanya tertuju pada buku menu untuk makan malamnya. Dito tidak melihat Letta yang mendadak kaku.
"Terserah kamu," akhirnya Letta berani menjawab. Namun belum berani mengutarakan bahwa Nada sudah menuju rumahnya terlebih dahulu.
Letta dan Dito makan sambil mengobrol. Sebenarnya Letta berencana menceritakan perihal perasaannya dan bagaimana rencana yang ia miliki dengan Nada. Tapi Letta takut, tak berani menyakiti perasaan Dito.
"Nada akrab ya sama keluarga kamu?" tiba-tiba Dito bertanya.
"Eh," Letta mendongak kebingungan.
"Ada temenku liat kamu dan Nada di Bandung. Sama keluarga kamu juga," Dito menjelaskan bahkan sambil agak tersenyum.
Deg. Perasaan Letta langsung tidak enak.
"Itu..."
"Aku memang bodoh dan pemaksa ya Let. Pemberani sekaligus nekat," Dito menggeleng, wajahnya terlihat sedih. Senyum yang disunggingkannya begitu pahit.
"Seharusnya aku tahu bahwa gak pernah ada kesempatan buatku mendapatkanmu seutuhnya. Selama 6 bulan kita pacaran, matamu selalu tertuju pada Nada, rasa sayangnu cuma buat dia,"
"Kamu tahu?" tanya Letta, suaranya serak.
Dito mengangguk. "Kami semua tahu. Aku, Nada, teman-teman MT. Tapi kami memilih untuk diam. Mereka hanya heran ketika kamu memutuskan menerima aku jadi pacarmu."
Letta menggeleng tak percaya. Tak mengira bahwa semua orang sebenarnya tahu perasaan dia pada Nada.
"Its time to let you go, I think. Ini akan jadi makan malam terakhir kita sebagai pasangan. Terima kasih untuk semua kesempatan yang kamu berikan dan usaha yang kamu keluarkan. We just cant make it, right? Semoga kamu lebih bahagia dengan Nada," Dito memaparkan ini semua dengan senyum. Tapi Letta tahu senyumnya dipaksakan dan ada kepedihan di hatinya. Letta pun merasa sangat tidak enak hati. Bagaimanapun Dito adalah orang yang super baik hati.
"Kamu yakin, Dito?"
"100%. Dont worry about me, Letta," Dito memajukan tubuhnya dan mengenggam tangan Letta. "I'll find another woman sexier than you."
Letta tertawa, Dito juga.
"We still can be friends, right?" tanya Letta, tangannya menggerakkan tangan Dito.
"Of course. Anak-anak MT kita hubungannya sudah terlalu solid untuk diputus," Dito nyengir. Letta mengangguk, bersyukur.
"Terima kasih Dito, dan maaf," bisik Letta. Dito hanya tersenyum.
***
Nada rupanya benar-benar serius dengan niatannya. Seminggu setelah bertemu orang tua Letta, ia berangkat ke Jepara untuk meminta restu ibunya. Ayahnya sendiri sudah diberitahukan segera setelah Nada kembali ke Jakarta. Dua minggu setelah Nada menemui ibunya, ia dan kedua orang tuanya kembali menemui keluarga Letta di Bandung.
Letta memang mencintai Nada dan begitu juga sebaliknya. Namun tidak jarang tiba-tiba Letta merasa ragu akan keputusannya. Ia bisa tiba-tiba menangis karena pusing. Ia juga bisa marah karena hal sepele di persiapan pernikahannya. Jika sudah begitu, Nada akan duduk di samping Letta lalu memeluk Letta sampai tangis, pertanyaan, atau amarahnya reda. Setelah itu, tanpa banyak bicara Nada akan membantu Letta menyelesaikan apapun masalah yang membuat Letta berantakan.
***
Satu tahun kemudian.
"Cintaaa, mami nanti siapa yang jemput di bandara? Jangan lupa nanti minta Ujang bantu beres-beres angkat kursi sama pasang karpet," Pagi-pagi Letta sudah berseru, suaranya memenuhi rumah mungilnya.
Pelan-pelan Letta menuruni tangga dengan satu tangan memegang selusur tangga dan tangan lainnya memegang kandungannya yang berusia 7 bulan.
"Cinta?" Letta memanggil lagi. Bingung kemana suaminya pergi sepagi ini.
"Hei," Nada tiba-tiba muncul di sebelah kanan Letta. Sedikit berkeringat tapi ekspresinya tetap sumringah.
"Mami siapa yang jemput nanti?" tanya Letta.
"Ada supir papa yang mau jemput di bandara," jawab Nada. Ia melangkah semakin dekat ke arah istrinya.
"Wah tumben. Oiya nanti siapin karpet buat pengajiannya sama Ujang aja ya. Aku udah bilang sama Mba Mira. Pinjem ART kesayangannya dulu," Letta lalu melirik ke arah ruang tamu dan baru sadar bahwa sofa-sofa sudah diangkat dan sekarang sudah tersedia karpet untuk pengajian dan syukuran nanti sore. "Eh, udah beres?"
Nada tersenyum dan mengangguk. Ia bergerak ke arah perut Letta dan menciumnya lama, Letta mengelus rambut suaminya.
Setelah puas mencium bayi dalam kandungan, Nada mendekati sang istri
"I show, dont tell, honey," bisik Nada lalu ganti mencium ibu dari anaknya.
-THE END-
Komentar