Cara Menemukanmu

Dea masuk ke rumah masih dengan berurai air mata hasil tangis-tangisan dengan teman-temannya karena hari ini adalah hari terakhir dia bekerja di perusahaan lamanya. Mulai Senin dia akan pindah ke tempat bekerja yang lebih dekat dari rumah, gaji dan benefit lebih besar, jabatan lebih tinggi, dan syukurlah, ke perusahaan FMCG yang sudah Dea idam-idamkan sejak lama. Akan tetapi, pengalaman 4 tahun bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang IT itu cukup membuat Dea berat untuk berpisah dari teman-teman yang 5 hari seminggu ia temui. Makan siang bareng, belanja-belanja cantik ke Tamcit (sekali-kali GI) setiap habis gajian, atau iseng jalan-jalan ke CFD saat weekend bakal sangat Dea rindukan. Dea tidak tahu bagaimana suasana di tempat barunya tapi Dea harus berani bergerak maju demi kehidupan yang lebih baik.

Saat Dea melangkah menuju ruang makan, siapa sangka ternyata disana sudah banyak orang. Biasanya, saat Dea sampai di rumah sekitar pukul 9 seperti sekarang ini, hanya ada adiknya Ines yang sedang makan karena pulang terlembat setelah aktivitas tambahan di kampus (ya aktivitasnya aktivis kampus semacam itulah). Namun sekarang di meja makan terisi penuh, Ines, Mami, dan Papi, ditambah tiga orang lain yang tidak Dea kenali sama sekali.

"Day," panggil Mami, melambai menuju Dea. Dea kebingungan, melirik satu per satu wajah tamunya. Satu pasangan suami istri yang sepertinya seumuran Mami dan Papi, serta satu cowo yang sepertinya seumuran Dea atau mungkin lebih tua beberapa tahun. Saat Dea memandang Ines, Ines menyeringai geli tapi buru-buru memasang tampang cool lagi.

"Titi, Karim, ini lho Friday, biasa dipanggi Dea," Mami menghampiri Dea dan mengajak Dea menghampiri tamu-tamunya. Mami memang orangnya ceria dan heboh, tapi hebohnya saat ini sepertinya agak berbeda, di mata Dea.

Dea selalu meringis setiap harus memperkenalkan nama dirinya ke orang lain. Mami Papi terlalu kreatif sampai memberi nama anaknya sesuai hari mereka lahir. Dea punya nama Friday dan Ines punya nama asli Wednesday. Sambil nyengir, Dea memperkenalkan diri dan mencium tangan kedua orang tua teman Mami.

"Dea,"

"Dan ini Jupiter, putranya Titi dan Karim. Dua tahun lebih tua dari Dea," Mami kembali memperkenalkan Dea ke tamunya yang lain. Cowo itu berdiri, badannya lebih tinggi dari Dea, membuat ia sedikit harus mendongak.

"Jo," sahutnya, mengulurkan tangan yang menunjukkan kulit putih dan tangan berotot. Apalagi saat itu Jo mengenakan kemeja slim fit dengan lengan digulung hingga ke siku.

"Dea," ulang Dea sekali lagi.

"Ayo duduk, Day," Mami kembali ke kursinya, membuat Dea bingung dia harus duduk dimana. Meja makan 6 orang ini terisi semua, masa Dea harus duduk di satu bangku dengan Ines? Tapi sebelum Dea bergerak menuju kursi Ines, Jo sudah menggeser kursinya.
 
"Duduk disini aja," panggil Jo. Dea menoleh, tersenyum ala mbak kasir supermarket.

"Gak usah, kamu tamu. Aku duduk bareng Ines aja," Bergeraklah Dea ke arah tempat duduk Ines yang sudah bergeser untuk memberi tempat pada kakaknya. Duduk berdua di satu kursi, agak konyol sih.

"Day, Karim ini salah satu temen deket Mami waktu kuliah. Yang fotonya ada dipajang di ruang tamu itu lho," Mami bersuara lagi, menoleh ceria antara Dea dan Om Karim, Tante Titi.

"Oh, Om Karim yang itu! Beda banget Om mukanya, aku sampe ga ngenalin. Padahal tiap hari aku lihat foto Mami dan Om rame-rame itu,"

Om Karim tertawa, "Jadi lebih gendut ya, Dea?"

Dea nyengir, sebeneranya karena wajahnya yang berbeda saja, dengan kumis dan jenggot serta kerutan. Soal gendut, nggak sama sekali. Mengingat (menurut Mami), istri Om Karim adalah ahli gizi yang benar-benar memperhatikan asupan gizi keluarganya.

"Bukannya katanya Om dan Tante tinggal di luar negeri?"

Setahu Dea, Om KAaim adalah diplomat yang tinggalnya pindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Dari 8 orang teman dekat Mami saat kuliah, mereka masih sering ketemu, arisan bareng, anak-anaknya aja sampai pada akrab. Yang paling akrab dengan Dea adalah Alinda, putri Om Yudha, temen Mami yang kerja di bank. Dea selalu takjub sih dengan hubungan pertemanan Mami ini. Geng yang terdiri dari 8 orang, 4 cowo 4 cewe, saat akan menikah selalu mengenalkan calonnya ke anggotanya yang lain. Bahkan semacam ada 'seleksi' untuk calon pasangan mereka, kalau-kalau gak cocok dengan ritme dan suasana pertemanan ini. Bertahun-tahun setelah menikah juga mereka masih sering ketemu. Untungnya, 4 cowo dan 4 cewe tambahan ke geng ini bisa akrab-akrab aja dengan anggota yang lain. Seperti Papi yang malah lebih akrab dengan anggota cowo geng ini daripada Mami. Minimal dua bulan sekali mereka berkumpul, tapi sudah 10 tahun (seingat Dea) Om Karim absen berkumpul karena tugasnya. Maka ketika Om Karim muncul di rumahnya, Dea cukup kaget.

"Iya De, tapi minggu kemarin baru pulang. Sebelum lanjut ke tempat baru tahun depan," jawab Om Karim.

Dea mengangguk-angguk.

"Jo sekarang sibuk apa?" Mami angkat bicara lagi. Tiba-tiba saja Ines menyenggol Dea. Membuat Dea melirik ke adiknya, matanya mengisyaratkan pertanyaan.

"Baru mau mulai kerja, Tante," jawab Jo sopan, tersenyum sedikit.

"Jo ini lulusan S2 penerbangan di Jerman ya Rim, Ti?" Mami menambahkan. Kedua temannya mengangguk. "Jadi kerja di Garuda, Jo?"

Jo tersenyum dan mengangguk.

"Kayak Habibie gitu ya, nanti kamu jadi Ainun-nya ya Day," Mami melirik ke Dea, lalu Mami, Papi, Om Karim, dan Tante Titi tertawa kompak. Wajah Jo datar tapi ia sedikit berusaha tersenyum dan gagal. Ines terkikik-kikik. Hanya Dea yang tidak mengerti.

"Hah?" Dea bengong, melirik ke sana kemari mencari jawaban. Tidak ada satupun di meja itu yang mau menjelaskan.

"Ndah, Yo, udah malem nih. Kami pulang dulu ya," Om Karim yang pertama bicara setelah tawa mereka semua berhenti.

"Oh iya Rim. Terima kasih mau mampir," timpal Papi. Para orang tua berdiri lebih dulu. Ines dan Dea ikut berdiri juga, Dea bersyukur akhirnya terlepas dari 'siksaan' duduk sebangku berdua Ines.

"Lusa jadi ke resepsi anaknya Sandy barengan kan?" tanya Mami kepada Tante Titi. Sandy adalah salah satu cowo/bapak anggota geng Mami, anggota geng asli, bukan pasangan.

"Iya, kita janjian dateng dari pagi kan ya?"

"Sip sip, nanti berkabar lagi aja ya," Mami menepuk pundak Tante Titi. Sesampainya di pintu pagar, Papi membukakann gembok supaya tamunya bisa keluar dengan leluasa, menuju mobil sedan Honda yang terparkir di luar. Sebelum berpamitan, para orang tua berjabat tangan dan cipika cipiki. Sementara Jo menyalami kedua orang tua Dea dan sebaliknya. Saat berjabat tangan dengan Dea, entah memang begitu gayanya, tapi Jo hanya menyentuh sebentar tangan Dea lalu berbalik menuju mobil.

Mobil Om Karim dan keluarganya tak terlihat lagi, Dea langsung berbalik menghadap Maminya. "Mami, tadi maksudnya apa sih?"

"Yang mana Sayang?" Mami menggamit tangan Dea, bersama mereka berjalan masuk kembali ke rumah. Ines dan Papi saling melirik.

"Yang soal Jo jadi Habibie terus Dea jadi Ainun,"

"Oh ya maksudnya begitu. Nanti kamu jadi istrinya Jo ya, dia pinter dan baik lho anaknya. Gak usah nikah sekarang, kenalan aja dulu," Mami berkata soal pernikahan seakan menyampaikan bahwa menu makan malam adalah udang goreng tepung.

"Mami!" pekik Dea kaget. Ines dan Papi tertawa.

***

Dea pikir Maminya bercanda. Setelah acara perkenalan Jumat malam itu keluarga mereka tidak pernah membahas soal itu lagi. Tapi saat acara resepsi Vernanda, putra Om Sandy, topik itu diungkit lagi. Dari rumahnya di daerah Depok, Dea, Mami, Papi, dan Ines bergerak menuju daerah Pasar Minggu menggunakan mobil Avanza Papi yang sengaja dibeli kalau ada acara pergi ramai-ramai, ke rumah Om Karim dan Tante Titi. Begitu sampai, ternyata Om Karim, Tante Titi, dan Jo sudah siap dan tinggal berangkat. Jo mengenakan kemeja dan jas yang sebenarnya membuat dia semakin gagah (mana ada sih cowo pake jas ga keren?) tapi alam bawah sadar Dea memberi peringatan bahwa memperhatikan Jo terlalu sering bisa berbahaya.

Dea yang duduk di bagian tengah mobil bersama Ines memang sengaja turun dari mobil dengan maksud akan duduk di deret belakang dengan Ines. Namun nyatanya Mami langsung menyuruh Dea pindah ke jok depan setelah Om Karim meminta Jo yang menyetir.

'Bisa banget nih Bapak Ibu,' pikir Dea sambil manyun. Dipaksa keempat dedengkot, membuat Dea langsung duduk manis di jok penumpang depan sementara yang duduk paling belakang adalah para bapak, di depannya istri masing-masing, dan Ines nyelip di samping. Sementara itu Jo tak banyak bicara dan memilih untuk menyetir saja.

Sepertinya Dea semakin bisa merasakan niat mengerikan dari kedua pasang orang tua ini. Karena sedikit sedikit, Dea selalu disuruh bersama Jo. Suatu waktu dia berhasil memisahkan diri dari Jo dan langsung menarik Ines menjauh. Saat ini acara resepsi belum dimulai dan tamu sedang beristirahat pasca acara akad.

"Nes, Mami sama Papi tuh serius mau jodohin aku sama Jupi ya?"

Mata Ines melebar lalu tertawa. "Nama bagus kok dipanggilnya Jupi kak? Kayak tukang ojek aja,"

Dea memutar mata, gak peduli. "Nama dia kan emang Jupiter. Jadi gimana?"

Ines mengangguk. "Pas acara makan malem itu disebutin kok. Mami bilang gini, 'Iya biarin Dea sama Jo saling kenal dulu aja ya, setelah lebih akrab baru deh acara tunangannya dibuat'. Yang diiyain sama Papi, Om Karim, dan Tante Titi."

"Oh My Goat! Terus si Jo-nya mau? Kok Mami gak kasih tau aku?"

"Kak Jo sih diem aja pas kemarin itu. Soal Mami gak ngasih tau, gak ngerti deh kenapa,"

"Hidih jaman iPhone udah gede gini masih ajah ada perjodohan. Mami gimana sih?" Dea berkacak pinggang, pura-pura marah pada Mami. Padahal kalau di depan orangnya beneran mana berani Dea begitu.

"iPhone banget perumpamaannya..." bisik Ines.

Malam itu, setelah selesai makan malam, Dea langsung mengkonfrontasi Mami di depan Papi dan Ines.

"Mami serius banget mau jodohin aku sama Jupi?"

Mami dan Papi berpandangan, Ines pura-pura asyik ngunyah bakwan udang.

"Jupi?" tanya Papi.

"Jupiter, Jo," dengus Dea.

"Iya Sayang. Mami pengen banget diantara anak-anak Mami atau temen deket Mami ini ada yang nikah. sepakat lah Mami dan Om Karim untuk menjodohkan kamu dan Jo. Jo anaknya baik kok, Mami dan Papi juga udah kenal orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Dia pinter banget juga, pekerja keras," jelas Mami macam presentasi produk MLM.

"Kenapa harus aku dan Jupi? Kan aku sebenernya lebih sering ketemu sama anaknya Tante Citra, Kevin. Seumuran juga,"

"Kevin baru selesai lamaran pekan lalu," jawab Papi. Kening Dea berkerut, berusaha mencari manuver lain.

"Bisa jadi Jupi udah punya pacar kan?"

"Udah dikonfirmasi dan nggak punya,"

"Mami tau dari mana? Masa bertahun-tahun di luar negeri ga ada bule yang mau sama Jupi?"

Mami terkikik. "Menurut cerita Karim, Jo lebih milih ada di lab daripada cari cewe,"

"Jangan-jangan Jupi homo?" tanya Ines refleks, langsung menutup mulutnya. Ines tertawa, Papi nyengir. Mami langsung kaget.

"Nggak lah. Udah kamu gak usah menghindar. Mami gak minta kamu nikah besok sama Jo. Kenalan dulu aja,"

Dea cuma mau manyun aja.

***

Sepulang bekerja, pukul 5 sore, Dea memilih untuk menghampiri salon and spa yang berada dekat kantor barunya. Selain pusing karena perjodohannya dengan Jo yang benar-benar dipaksakan oleh Mami, Dea juga pusing karena pekerjaannya langsung seabrek meski dia terhitung anak baru. Oleh karena itu hari ini Dea memilih pulang tenggo dan langsung ngibrit ke salon. Hair Spa boleh juga. Untunglah salon ini menyediakan layanan pasca waktu kerja.

"Halo Mami," sapa Dea saat capster sedang memijat rambutnya, Mami menelepon.

"Kamu dimana sayang? Makan malam di rumah nggak?"

"Iya Mi makan di rumah tapi kayaknya telat. Ini aku lagi ke salon dulu, paling jam 7an baru pulang,"

"Salon dimana? Tanggal segini kok udah nyalon aja, hari kerja pula," Dea senyum mendengar komentar Mami. Dea, Mami dan Ines memang terhitung rajin nyalon bareng. Sebulan minimal 2x. Makanya saat Dea mendahului ke salon dan bukan di weekend, Mami jadi bertanya-tanya.

"Salon deket kantor Mi, pala Dea pusing banget nih. Jadi ke salon aja. Tapi nanti tetep nyalon bareng Mami dan Ines juga kok," Gak mau rugi banget nih Dea, soalnya memang kadang-kadang Mami yang bayarin biaya salonnya.

"Tapi bayar sendiri ya," yah Mami, keluh Dea dalam hati. Baru aja ngarep. "Nanti Jo jemput kamu ya,"

"Lho? Ngapain?"

"Ya daripada rambut kamu udah cantik gitu terus naik kereta? Mending Mami minta Jo jemput aja,"

"Gak usah ah Mi, ngapain deh. Ngerepotin aja," Dea langsung merasa tak enak hati. Dea gak keberatan kok rambut bagusnya diajak desek-desekan di kereta.

"Dah sayang, hati-hati di jalan ya," sambungan telepon pun ditutup. Mami Dea ini, meskipun orangnya ceria dan ramah, tapi saklek banget. Kadang mirip tokoh antagonis di film yang ngelakuin kejahatan sambil ketawa. Ya begitu juga Mami. Waktu kecil, pas Dea dan Ines susah banget disuruh mandi, Mami bisa nyubit nyuruh mandi sambil tersenyum lebar. Ngeri emang. Makanya, sekitar jam 7 nanti pasti Jo udah ada di luar buat jemput Dea.

Betul saja. Saat Dea melangkah keluar salon dengan rambut aroma Strawberry, sudah ada Jo berdiri menantinya sambil bersandar di mobil Nissan Juke warna abu-abu.

"Jupi, eh, Jo," sapa Dea.

"Friday," balas Jo. Ekspresinya benar-benar datar saat menyebut nama Dea.

"Masih hari Rabu kok," jawab Dea iseng. "Hmm, lo bisa pulang aja, Jup, eh, Jo. Biar gue pulang sendiri. Dari sini gue bisa naik ojek sampai stasiun kereta. Dari stasiun ke rumah gue juga bisa jalan kaki. Jadi lo ga usah nganter. Nanti gue bilang Mami kalau gue dijemput lo tapi lo gak bisa mampir. Masih lembur atau apalah."

Dea sudah sangat berharap Jo akan menuruti usulnya, karena Jo juga sebenarnya malas mengurusi hal-hal begini, termasuk perjodohan mereka. Ternyata...

"Gue anter sampai rumah. Gue juga gak ada kerjaan lagi," Jo berkomentar sambil membuka pintu bagian penumpang. Mau tidak mau Dea akhirnya naik. Jo memutari mobil, masuk, menyalakan mesin, dan mulai menjalankan mobilnya masuk ke keramaian jalanan ibukota yang masih padat. Mereka berdua saling diam.

"Lo tau bahwa kita dijodohin sama orang tua kita?" Dea yang pertama memecah keheningan di antara mereka.

"Tahu," jawab Jo tanpa memandang Dea. Tidak adanya suara radio di antara mereka semakin menambah kecanggungan.

"Terus lo gak nolak?" Dea berseru kaget, memandang langsung wajah Jo yang terlihat semacam Chicho Jericho. Hadeh, gak membantu.

Jo mengangkat bahu. "Gue nurut aja sama apa kata orang tua. Gue juga percaya pilihan mereka adalah yang terbaik."

"Ya ampun Jo, kirain tinggal di luar negeri bisa bikin lo agak rebel gitu ternyata nurut banget ya," Dea menggeleng. Mendadak sakit kepala yang tadi hilang karena hair spa sekaang muncul lagi.

Tak disangka, Jo tertawa. Pelan. Sebentar. Tapi tertangkap telinga Dea.

"Thanks to my parents. Pendidikan dan nilai yang mereka berikan jauh lebih ngena daripada budaya luar negeri,"

Dea manggut-manggut. Keren juga Om Karim dan Tante Titi.

"Lo gak punya pacar?" tanya Dea lagi.

"Nggak,"

"Lo homo?"

Jo mendadak menginjak rem. Memandang Dea dengan tatapan membelalak. Dea kaget, langsung menganga, menutup mulutnya dan memandang Jo dengan shock.

"Jadi lo homo?!" seru Dea.

"Ya nggak lah!" Jo balas berseru. Terbagi antara kaget, kesal, sekaligus geli.

"Oh," komentar Dea. "Single and straight. Oke,"

Jo berhasil mengontrol kekagetannya lalu menjalankan mobilnya dengan normal lagi.

"Lo sendiri? Setuju dijodohin? Udah punya pacar? Lesbi?"

"Heh mas, itu nanya apa nukerin kupon sembako? Banyak amat," Bukannya menjawab, Dea malah mendengus. Jo ketawa lagi.

"Biar gak lupa,"

"Gue lagi gak mikirin soal cowo jadi sulit memutuskan apakah gue setuju atau nggak. Gue baru putus setahun lalu. Syukurlah, gue masih suka cowo,"

"Single and straight. Oke," timpal Jo. Dea jadi gemes.

"Apa sih alasan perjodohan kita ini?"

Dea bisa merasakan Jo meliriknya sebentar saat Dea bertanya hal ini. Sebelum kembali ke jalan. "Lo belum tanya ke ortu lo?"

"Udah, tapi kata nyokap dia pengen anak-anak dari gengnya ada yang nikah," Dea menoleh ke Jo, ke jalan, menggerakkan kepalanya. Tanda-tanda kalau dia sedang tidak yakin akan sesuatu.

"Coba lo tanya lagi sama nyokap lo,"

"Lo gak mau kasih tau gue?"

Jo menggeleng.

"Fine then. Gue tanya langsung kalau udah sampai di rumah,"

Sepanjang dua jam perjalanan (terima kasih lho jalanan Jakarta Depok yang macetnya amit-amit), Dea dan Jo saling menanyakan hal-hal umum, mencoba mencari kenalan yang bisa membuat mereka membahas hal yang sama. Nyatanya, nihil. Tidak ada teman sekolah Dea yang dikenal Jo, juga sebaliknya. Tidak ada film favorit Jo yang juga disukai Dea (Dea suka romantic comedy dan actions ala-ala Avengers sedangkan Jo lebih milih film berat ala-ala Beautiful Mind). Dea lebih suka menghabiskan waktu dengan olahraga, sementara Jo lebih memilih tinggal di rumah, baca, tidur. Kesimpulannya, Dea merasa ga ada harapan pada hubngannya dengan Jo (kalau jadi).

Sesampainya di rumah, Mami langsung menyambut Dea dan Jo dari depan pintu. Senyum Mami terpampang begitu lebar sementara mulut Dea terkatup rapat. Jo sudah akan pamit pulang namun Mami mengajak bahkan agak menarik tangan Jo untuk masuk dan makan malam bersama. Bersama Dea maksudnya. Karena setelah Dea dan Jo duduk di ruang makan, Mami langsung ngabur. Katanya besok harus berangkat pagi ke kantor jadi mau buru-buru tidur. Bisa aja kan emang Mami ini. 

"Makan Jo, jangan malu-malu," ujar Dea sembari menyendokkan nasi ke piringnya. 

"Lo bukan golongan cewe anti makan malem ya?" timpal Jo. Menanti Dea meletakkan centong nasi. 

"Hmm, gue ga masalah dan ga mikirin soal itu sih Jo. Badan gue bukan tipe yang gampang melar tapi bukan juga yang makan banyak tapi tetep kurus. Kalau pengen makan ya makan, kalau nggak ya nggak. Yang jelas sarapan dan makan siang itu penting. Apalagi kalau udah dimasakkin gini. Ga tega kalau ga makan." 

Jo menyimak pemaparan Dea dengan khusyuk, meski tangannya meraih berbagai lauk pauk ya g tersedia di meja makan. 

Mereka berdua makan dalam diam. Dea sesekali mengecek iPhone sementara Jo fokus pada kegiatannya. Ketika Dea selesai makan, dilihatnya Jo juga sudah selesai. 

"Sini piringnya," Dea bangkit dan menjulurkan tangan. Jo malah ikut berdiri dan menarik piring bekas makannya mendekat, ikut menjulurkan tangan. 

"Gue aja yang cuci piring," 

Dea kaget. Jarang sekali menemukan cowo mau cuci piring sendiri. Menyadari Dea kaget, Jo menambahkan. 

"Gue biasa cuci piring, ngepel, beres-beres rumah. Cuma masak yang gue gak bisa," 

Senyum Dea mengembang. "Lain kali aja lo nunjukkin bakat lo itu ya. Sekarang biar gue aja," Dea menarik pelan piring dari tangan Jo lalu menuju bak cuci piring. Jo menyerah, memperhatikan Dea melakukan tugas cuci piring. 

"Lo udah ke negara mana aja Jo?" Dea bertanya sambil tetap mencuci piring. 

"Irlandia, Bosnia, Uruguay, Madagascar, Perancis, Jerman," jawab Jo tanpa ada nada membanggakan diri. 

"Wow cool. Bisa bahasa mereka semua?" Kali ini Dea berbalik, mendapati Jo sedang berdiri tidak jauh darinya. 

"Perancis, Jerman, Inggris. Itu aja,"

Dea refleks bertepuk tangan. Lupa tangannya belepotan sabun. 

"Susah gak adaptasi disana?" 

"Gampang-gampang susah. Tapi intinya ya gitu aja," 

"Kapan terakhir ke Indonesia?" 

"10 tahun lalu, waktu baru bikin SIM." 

"10 tahun lalu bikin SIM, sekarang udah expired dong?" Dea selesai mencuci piring. Ia berbalik memandang Jo. 

Jo nyengir, mengiyakan. 

"Untung deh ya ga ada polisi tadi," Dea menggeleng lalu menghampiri kulkas. "Mau apel?" 

"Boleh," Dea melempar apel dan ditangkap Jo seperti pemain rugby. 

"Di antara semua negara yang pernah lo kunjungi, lebih suka mana?" 

"Indonesia is always number 1," Jo menyeringai lalu mengigit apelnya. "Gue pamit ya. Ga enak udah malem banget. Salam buat Tante Indah dan Om Ryo."

"Oke, nanti gue sampein ke Mami dan Papi," 

Dea mengantar Jo sampai ke mobilnya. Dea merasa belum perlu untuk melambai atau berpesan 'hati-hati di jalan'. Cukup mengangguk saja. 

Setelah Jo pulang, Dea langsung mandi dan merebahkan diri. Saat itulah ada pesan masuk. 

"Sayang, Mami lupa. Ini nomor HP Jo. Catat ya. 0818xxxx." 

Zzzz, Mami katanya mau tidur. Dua jam kemudian masih kirim pesen aja. 

***

"Jadi lo tetep tipe cewe kebanyakan ya?" 

"Maksudnyaaaaaa?" Dea berbalik, tatapan matanya menyelidik ke arah partner belanjanya kali ini. 

Jo yang hari ini mengenakan jeans dan kaos santai serta bersendal jepit, mengambil salah satu botol saus dan membandingkan harganya dengan merk lain, ukuran sama. 

"Buat beli kecap aja lo mikir lama bener. Bandingin kira-kira harga naik atau gak, ada promo atau gak, diantara yang sama-sama bermerk mana yang lebih murah. Makanya kita belum beranjak dari pajangan kecap ini dalam 5 menit," 

Dea buru-buru menaruh botol kecap dengan tutup hijau yang sedari tadi dia bandingkan dengan merk lain yang tutup merah, kembali ke rak. Setengah melempar, botol kecap tutup merah ia taruh ke troli dan dia dorong trolinya menuju rak lain. Tanpa Dea sadari, Jo tertawa tanpa suara. 

"Memangnya kenapa sih kalau banding-bandingin harga? Kan bisa lebih efisien," kata Dea pada Jo kali ini mereka berada di depan rak nugget. 

"Ya gak apa-apa. Cuma nunjukkin berarti lo cewe kebanyakan aja," timpal Jo. Dia ikut melihat berbagai jenis nugget yang bungkusnya warna-warni. 

"Hmm, sulit untuk setuju bahwa gue seperti cewe kebanyakan. Tapi gue akuin umumnya cewe memang gitu," Dea menghela nafas lalu mengambil nugget yang biasa dia makan. 

Jo diam kali ini. Soalnya raut muka Dea jadi agak suram. Jadilah Jo cuma mengikuti kemana Dea mendorong trolinya. Sabtu ini Jo menemani Dea berbelanja bulanan karena tentu saja dipaksa oleh Mami dan Tante Titi. Pagi-pagi sekali Jo mengantar Tante Titi ke rumah Dea karena mereka ada janji kunjungan sosial bersama. Setelah itu langsunglah Jo disuruh menemani Dea belanja. Jo yang saat itu rencananya cuma mengantar lalu pulang, jadi nurut dan ikut Dea ke supermarket. 

"Udah yuk ah," celetuk Dea tidak lama kemudian. 

"Udah?" Jo melongok ke troli yang hanya setengah terisi. 

"Kalau menurut daftar sih emang cuma segini belanjanya," Dea ikut-ikutan melihat barang belanjaan dan mengaitkan dengan daftar yang dia pegang. 

"Kalau gak menurut daftar?" pancing Jo. Dea membalas tatapan Jo lalu menyeringai. 

"Masih mau nunggu, setengah jam, eh 15 menit deh?" 

Jo mengulurkan tangannya. "Silakan. Gue tunggu disini aja ya," 

Dea langsung tersenyum lebar lalu berbalik kembali ke 'hutan rimba' supermarket. 20 menit kemudian Dea kembali dengan troli yang lebih penuh dan langsung menuju kasir. Jo menghampiri dan cuma menggeleng. Selesai membayar, Dea mendorong troli menuju mobil Jo. Jo membantu menaruh barang-barang ke bagasi. Lalu ia bergerak ke arah pintu pengemudi namun Dea menarik kaosnya. 

"Mau kemana?" Tanya Dea. 

"Pulang kan?" 

"Lo gak lapar? Udah jam 12 lho ini." Dea memamerkan giginya. 

"Ya udah, mau makan dimana?" 

Dea melepas pegangannya di kaus Jo dan berbalik kembali masuk ke mall. Dalam perjalanan menuju tempat makan (yang entah apa), banyak sekali Dea mampir. Melihat baju yang lucu, sepatu yang cantik, tas elegan, parfum yang unik, dan masih banyak lagi. Hingga akhirnya ketika Jo melirik jam, mereka baru masuk restoran pukul setengah dua. Berapa barang yang dibeli Dea? Satu. 

*** 

"Mih, mamih," panggil Dea. Mami sedang merem melek keenakan dipijat. Dea, Ines dan Mami sedang di spa, rutinitas mereka. 

"Apa Day?" 

"Mami ceritain deh ke aku kenapa Mami mau jodohin aku sama Jo?" 

"Kan Mami udah bilang.."

"Pasti ada alasan lain deh," paksa Dea. 

"Udah Mih, ceritain aja," Ines menimpali dari sebelah kiri Dea. 

"Hmm," Mamih tampak berpikir sejenak. Dea menunggu dengan sabar. "Dulu Mami sempet suka sama Om Karim." 

"Apaaaaaaa?" seru Dea refleks. Langsung dihadiahi pelototan oleh Mami dan ditimpali tawa Ines. 

"Biasa aja responnya," Mami manyun. Persis seperti Dea kalau sedang sebal. "Mami ga bilang tapi Karim tau aja. Sampai pas dia mau kuliah di Jepang itu, dia nanya, Mami iyain tapi Mami tau ga ada akhir bahagia dari kita selain temen." 

Dea terpana mendengar cerita Mami. Agak cheesy sih mendengar kisah cinta orang tuanya. Tapi ini menunjukkan bahwa Mami juga pernah muda. 

"Setelah itu Mami dan Karim ga pernah bahas soal perasaan Mami lagi. Tapi Karim mungkin agak ngerasa ga enak, jadi dia ngusulin untuk kalau kita punya anak, kita jodohin aja. Maka jadilah kami menjodohkan kamu dengan Jo." 

"Duh Mami..." Dea menenggelamkan wajah ke lubang. Pusing. 

"Btw, kenapa sama Kak Jo, Mi? Kan Kak Jo punya kakak juga," kali ini Ines yang bertanya. 

"Kakaknya Jo umurnya agak jauh dari Dea. Kalau Jo kan cuma beda 2 tahun. Lagian sebelum mereka sempat kembali ke Indonesia, Bumi udah nikah," 

"Hmm," 

"Mami rasa Karim udah cerita sejak dulu sama Jo soal ini," 

"That's why he don't even refuse this arranged marriage," gumam Dea. 

"Jo memang ga nolak. Tapi Mami juga sebenernya ga tau dia betul setuju atau gak," Mami menanggapi gumaman Dea. 

"Jo ga yakin, aku ga yakin. Kenapa tetep dilanjut?" Dea menoleh lagi ke arah Mami. 

"Karena kami berempat yakin, Day," Mami senyum, membuat Dea makin gusar. Tapi dia lebih gusar karena Mami sempat naksir sahabatnya. 

"Papi tahu soal Mami suka Om Karim? Tante Titi?" 

"Titi tahu. Papi nggak. Ga usah bahas ke papi ya," 

"Hhh, Mamiiiii..."

*** 

Sebulan setelah perkenalannya dengan Jo, belum pernah sekalipun Dea menghubungi Jo. Begitu juga sebaliknya. Mereka seperti mau tak mau menjalani perjodohan ini. Untuk Dea sendiri, dia tidak mau memikirkan soal perjodohan karena dia sedang tidak tertarik pada soal cowo untuk sementara waktu. Kalau disuruh menerima, Dea mungkin akan minta waktu. Kalau ternyata batal, bagi Dea pun tak masalah. 

Dea menyeret koper yang dia bawa untuk perjalanan dinas ke Yogya seminggu kemarin. Sabtu ini dia baru saja kembali dan berniat untuk tidur ketika Dea heran rumahnya kedatangan tamu. Bahkan di ruang tamu banyak terdapat koper. Dea menarik kopernya sendiri dan meletakkannya di dekat tangga, agar terpisah dari koper di depan dan mudah diangkat ke kamarnya di lantai 2.

"Mamiiiii, Ineeess, Papiiii," panggil Dea. Bingung karena rumah kok tampak sepi. 

"Belakang Kaaak," sahur suara Ines. 

Dea berjalan menuju halaman belakang rumahnya. Letaknya berdampingan dengan dapur dan tanamannya cukup banyak. Kadang ketika Malam Tahun Baru, keluarganya berkumpul disini dan barbeque-an. Such a very cozy place to talk and being lazy. 

Dea pikir hanya ada orang tua dan adiknya di halaman belakang. Ternyata sudah ramai. Ada Om Sandy dan istri, Tante Citra dan suami, Om Karim dan Tante Titi juga Jo, orang tua Dea, Tante Maya dan suami, Om Yudha dan istri, juga Om Vicko dan istri. Hanya Tante Rena dan suami yang absen. Dea tidak merasa ingat Mami dan Papi pernah bilang bahwa ini adalah hari berkumpul rutin mereka. 

"Hai Dea," Tante Wuri, istri Om Yudha yang menghampiri Dea lebih dulu dan mengecup pipi Dea. 

"Halo Tante. Alinda apa kabar?"

"Baik. Dia titip salam buat kamu," 

"Salam balik, Tan. Ingetin juga besok hari terakhir sale Mango," bisik Dea yang membuat mereka berdua tertawa. 

Dea menghampiri satu per satu teman dekat Mami. Saling menanyakan kabar dan kesehatan. Saat melihat Jo, Dea cuma nyengir yang dibalas dengan senyum tipis dari Chicho Jo-richo ini. 

"Nih berhubung pemeran utamanya udah dateng..." Mami mendentingkan sendok ke gelas, membuat semua orang memperhatikannya. Papi, Om Karim dan Tante Titi menghampiri Mami. "Gue dan Ryo dengan bangga mengumumkan bahwa pertunangan Friday dan Jupiter akan segera dilangsungkan." 

Dea langsung batuk rejan. Jo malah jatuh dari kursi tinggi yang didudukinya. Mereka berdua sama-sama tak menyangka perjodohan akan diumumkan secepat ini. Teman-teman Mami pun kaget, tapi mereka malah bertepuk tangan senang. Berseru menyelamati Dea dan Jo. Keduanya cuma nyengir kuda. Sama-sama gak berani bicara apapun. 

Sore hari semua tamu pulang kecuali keluarga calon tunangan Dea. Calon tunangan, kedengaran sangat aneh di telinga Dea. Konsep pernikahan bukannya tak pernah terlintas dalam benak Dea tapi tiba-tiba disodorkan eligible bachelor (menurut Mami dan Papi) di hadapannya membuat Dea merasa...aneh. 

Dea memandangi Jo yang sekarang sedang menatap layar smartphone. Matanya terlihat fokus, hanya sesekali menyentuh layar. Dea menyimpulkan Jo mungkin sedang membaca. Sementara itu, Mami, Papi, Om Karim dan Tante Titi masih mengobrol di halaman belakang. Ines sudah ngibrit malem mingguan sama teman-temannya. 

"Dea," cuma Papi di rumah ini yang panggil Dea, Dea. Maka Dea langsung menoleh dan mendapati Papi berdiri di sebelahnya. 

"Kenapa Pi?" 

"Mulai malam ini Jo ikut menginap di rumah kita ya," kata Papi. Santai sih, tapi ada ekspresi agak canggung juga di wajah Papi. Sepertinya mengijinkan orang asing, cowo pula, menginap di rumahnya adalah hal yang tidak biasa. 

"Apaah?" Dea berseru, tangan menutup wajah ala poster film Home Alone. Dea menatap Papi dan Jo bergantian. Kali ini Jo sudah tidak fokus pada smartphone, melainkan berdiri dan menghampiri Papi dan Dea. Ia juga tampak tidak enak. "Berapa lama?" 

Papi menoleh ke Jo. Saat itu Mami, Om Karim dan Tante Titi bergabung dengan mereka. 

"Sampai Om Karim dan Tante Titi kembali ke Indonesia," Mami yang menjawab. 

"Dan itu adalah..." 

"Sekitar 1 tahun," jawab Mami. 

"Eh buset," seru Dea. Satu tahun Jo tinggal di rumahnya? Gila. 

"Mungkin gak akan selama itu," Jo menyambar. Terlihat sangat tidak nyaman dengan ide ini dan terutama reaksi Dea. "Keberangkatan Ayah dan Ibu ke Swiss harus dipercepat 2 bulan, ga jadi tahun depan. Sementara rumah disewakan selama 1 tahun karena kurang efektif kalau gue sendiri yang tinggal di rumah sebesar itu. Tapiiii, gue juga akan mulai mencari rumah untuk gue sendiri. Sampai saat itu, gue mohon maaf karena akan merepotkan lo, De, dan Tante Indah dan Om Ryo. Juga Ines." 

Mami menghampiri Jo dan menepuk pundaknya. "Ga usah ga enak gitu Jo. Anggap aja rumah sendiri." 

Jo malah semakin merasa ga enak. 

"Mami sama Papi ini kenapa sih? Tiba-tiba jodohin Dea sama Jo, ga bilang-bilang sama Dea, ga minta persetujuan Dea. Ini Dea lho yang jalanin! Dea juga udah 26 tahun. Udah dewasa. Bukan lagi Dea usia 5 tahun yang masih harus Mami tentukan mau pakai baju apa waktu Lebaran. Sekarang tiba-tiba Jo tinggal disini, dalam waktu yang lama juga. Sorry to say, Tante Titi dan Om Karim, meski kalian temen akrab Mami dan Papi, tapi buat Dea, Jo tetep cowo asing, cowo de-wa-sa asing yang bakal tinggal di rumah ini. Dan untuk ini pun Mami Papi gak minta persetujuan Dea sebagai anak sulung. Beneran deh Dea gak ngerti lagi." 

Selesai ngamuk, dengan nafas terengah-engah karena capek dan sedikit berdosa ngambek pada orang tuanya di depan orang lain, Dea buru-buru kabur, masuk ke kamarnya di lantai 2. Mengunci pintu dan tidur. Hal yang ingin dia lakukan sejak tadi mendarat dari Yogya. 

***

Hari Minggu Dea tidak turun sama sekali, bahkan untuk makan. Ia hanya keluar kamar untuk mandi di kamar mandi lantai 2. Untunglah di sebelah kamarnya ada kamar mandi sehingga Dea tidak perlu turun untuk bertemu Mami Papi atau Jo. Hanya Ines yang Dea temui saat adiknya itu mengantarkan makan siang. Ines bertanya ada masalah apa tapi Dea menggeleng dan hanya membawa nampan makanan ke dalam kamar dan menguncinya lagi. 

Dea bangun di hari Senin dengan perasaan gak karuan. I Hate Monday deh perasaan Dea saat itu. Tapi ia tetap menunaikan kewajibannya di waktu subuh dan turun ke dapur untuk melakukan rutinitas. 

Pintu kulkas dibuka, Dea mengeluarkan telur, ikan, sayur, cabai, dan berbagai bahan masakan lain. Mencuci bahan masakan, memotong-motong sayur dan bawang. Tidak lupa sebelumnya Dea menaruh iPod di speaker dan menyalakan musik dengan volume sedang. Suara The Script mulai mengalun. 

Dea mulai memasak sambil menyanyi. Hal ini bisa membuat perasaan Dea lebih lapang sebenarnya. Tanpa Dea sadari, Jo mendengar suara musik dan mencium wangi masakan sehingga ia keluar dari kamar sudah dengan pakaian rapi dan siap berangkat kerja. Jo pelan-pelan duduk di meja makan dan memperhatikan Dea. 

Dea berbalik, bermaksud menaruh masakannya di meja makan. 

"Ya ampun Jo! Lo ngagetin gue!" Tangan kiri Dea memegang dadanya yang berdebar kencang karena kaget dan tangan kanannya mencengkram erat piring tumis cah kangkung dengan telur puyuh. 

"Sorry," Jo mengangkat tangan. 

Kekagetan Dea mereda sehingga ia bisa menaruh mahakaryanya di meja dan bermaksud memindahkan ikan dari tisu penyerap minyak, ke piring. 

"Lo masak?" tanya Jo, menghirup wangi kangkung dan ikan. 

"Nggak, sirkus," jawab Dea kalem. 

Jo tertawa. "Setiap hari?" 

"Hampir. Senin-Jumat gue masak buat bekel. Weekend kadang masak kalau mau explore menu baru," Dea menata hasil masakannya ke wadah sembari diperhatikan Jo. 

"Banyak juga masaknya," komentar si eligible bachelor versi Mami ini. 

"Sekalian buat Ines. Dia suka bekel juga," 

"Buat Om Ryo dan Tante Indah?" 

Dea mendongak, nyengir pada Jo. "Mami udah bangun lebih subuh lagi. Langsung masak buat Mami dan Papi trus berangkat kerja deh." 

"Wow luar biasa. Sejak kapan lo sering masak?" 

"Sejak gue mulai kerja, berarti sekitar 4 tahun lalu," Dea selesai mengepak masakan untuk bekal makan siangnya. Sisanya masih ada di piring, biar Ines yang menentukan sendiri dia mau bawa sebanyak apa. 

"Kalau gue minta dimasakkin juga boleh gak?" pikiran random Jo mulai berulah. Sekedar ingin tahu skill kerumahtanggaan perempuan yang katanya akan jadi istrinya ini. 

"Mau bayar berapa?" wajah Dea langsung serius. 

"Lho kok bayar?" 

"Kan beli bahan masakannya juga pake uang," 

"Hmm, sekali makan di kantor gue bayar minimal 20 ribu. Karena gue belum tahu seenak apa masakan lo, gue bayar 15ribu sehari gimana?" Jo mencondongkan tubuhnya ke arah Dea dan meletakkan dagunya di tangan. Sadar bahwa posisi Jo jadi lebih dekat, Dea mundur sedikit. 

"Kemahalan itu. 10ribu sehari oke deh. Plus lo yang temenin gue belanja bahan masakan tiap dua minggu sekali," usul Dea, tangannya ngacung ala anak SD jawab pertanyaan guru. 

"Boleh. Mulai besok gue kasih uang 300 ribu buat biaya makan gue sebulan," Jo nyengir lebar. Nampaknya dia juga geli dengan ide ini. 

"Berarti 30 hari? Gue masakin weekend juga?" Mata Dea membelalak. 

"Nggak. Senin-Jumat aja, samain kayak lo masak buat lo dan Ines. Lebihnya anggap aja memang gue dimasakin pas weekend tapi nyatanya ga usah." 

"Oke deh. Deal," seru Dea, tangannya mengacungkan jempol. Jo, berlainan, malah mengulurkan tangan mengajak bersalaman. 

"Deal?" 

Dea tidak menyambut lengan Jo, malah mengangguk dan menarik tangannya menjauh. Selama sedetik begitu awkward, akhirnya Jo memutuskan untuk berangkat kerja. 

"Gue berangkat dulu ya," 

"Eh masih jam 6 kurang lho ini. Lo ga mau sarapan dulu?" 

"Kantor gue jauh. Gue sarapan di kantor aja," 

"Kalau gitu, 300ribu itu termasuk sarapan aja ya. Gue bikinin kopi atau roti atau omlet apa deh yang ada, sebelum lo berangkat," usul Dea. Karena Dea merasa perjanjian 300 ribu itu lebih banyak dari yang sebenarnya Dea minta. 

Jo menatap Dea dan tersenyum. "Boleh. Yuk gue berangkat ya," 

Begitulah pagi hari Senin antara dua insan yang dijodohkan, berlangsung.

***

Awalnya Mami tidak tahu perjanjian antara Dea dan Jo. Tapi lama kelamaan informasi itu sampai ke telinga Mami, sepertinya melalui Ines, yang tidak sengaja bangun pagi (Ines biasanya tidak turun ke bawah sampai pukul 7) dan mendapati Jo sedang menunggui Dea memasak. Saat itu Ines ikut-ikutan duduk di samping Jo dan memperhatikan Dea. Setelah itulah Mami tahu dan bahkan sampai mendadak mengajak Dea dan Jo ke Carrefour lalu menyuruh Jo membeli apapun bahan masakan yang dia mau. Dea sebagai koki cuma meringis, dalam hati mengeluh, kan aku yang masak, kok Mami yang heboh.

Dea memang masih belum benar-benar berhenti marah pada Mami tapi buat apa juga marah atau nyuekin Mami dan Papi lama-lama. Jo juga gak akan tiba-tiba pergi dari rumahnya atau perjodohan mereka dibatalkan. Jadilah Dea berharap soal perjodohan ini akan dilupakan dan Jo sudah mendapatkan rumah baru untuk dia tempati.

Sepertinya Mami berpikir Dea sudah mulai membuka hati pada Jo karena persetujuan Dea memasak untuk Jo hampir setiap hari. Padahal perasaan Dea masih sama, datar-datar saja. Adanya Jo berseliweran di rumahnya sama sekali tidak menggoyahkan pendirian Dea. Jo memang anak yang baik, dia memperlakukan Mami dan Papi seperti orang tuanya sendiri. Minta ijin kalau mau lembur atau ada urusan di luar sepulang kerja atau di akhir pekan. Kadang Jo menemani Papi golf atau sekedar beres-beres halaman belakang. Jo seperti anak laki-laki yang selalu diinginkan Mami Papi dan baru sekarang mereka miliki. Beruntunglah Jo juga behave, gak seliweran di rumah dengan hanya mengenakan handuk saat Mami dan Papi gak ada.

***

"Bekel lagi bro?" Dean, salah satu teman sedepartemen Jo, menepuk pundak Jo dan melongok ke kotak bekal yang dibawa Jo. Mereka sedang makan siang di kantin kantor, yang lain memesan makan dan hanya Jo yang membawa bekal sendiri, cuma memesan minum saja.

"Yoi," sahut Jo sambil berseri-seri.

"Lo belum married kan? Masak sendiri?" timpal Erwin.

"Belum, dimasakin bro," jawab Jo, senyum lebar.

"Gue aja udah married gak pernah dimasakin istri," Erwin melirik ke teman-temannya dan semuanya tertawa. "Dimasakkin pembantu?"

"Dimasakin calon bininya dia," kali ini Yuda yang menjawab untuk Jo. Yuda melirik ke arah Jo dan menyeringai, Jo ikut nyengir.

"Wah baik amat," komentar Dean.

"Tiap hari dia nganterin bekel gitu apa gimana?" Erwin jadi penasaran.

"Jo kan tinggal serumah ama calon bininya itu," Yuda menjawab lagi. Macam juru bicara Jo saja dia.

"Wah gilaaa, menang banyak dong lo," Erwin bertepuk tangan.

"Gak kayak yang kalian pikirin dan belum jadi calon istri," jawab Jo kalem. Mulai menyuap makan siangnya. Saat disadari teman-temannya masih menunggu komentar Jo, Jo menelan makanannya dan melanjutkan. "Gue cuma numpang tinggal di rumah dia karena rumah gue dikontrakin selama ortu tugas ke Swiss. Sementara sampai gue dapet rumah baru. Lagipula kami baru dijodohkan, belum beneran tunangan." 

"Hari gini masih dijodohin?" Dean melirik teman-temannya, heran dengan keputusan yang menimpa Jo. 

"Kemauan orang tua. Gue nurut aja," jawab Jo. 

"Lo suka liat dia pake hot pants atau apaa gitu kalau di rumah?" Mata Erwin berkilat-kilat jahil. 

Jo malah tertawa. "Kalau di rumah, dia seringnya pake celana pendek selutut sama kaos gombrong gitu. Lagian dia tidur di lantai 2, gue di lantai 1." 

"Ah, sayang sekali," Erwin pura-pura tampak kecewa. Padahal Jo biasa saja. 

Bukannya berpikir untuk curi-curi pandang pada Dea saat dia 'lengah', Jo malah lebih terpukau akan kebiasaan Dea. Bangun pagi dan memasak. Lari pagi saat weekend. Memasak kue atau menu spesial demi keluarganya. Sharing dengan Mami dan Ines. Bantu mengurus anak-anak tetangga saat acara di kompleks. Bagaimana Dea begitu serius saat menonton film drama. Itu yang melekat di benak Jo. Entah apa yang melekat di benak Dea setelah satu bulan tinggal seatap dengan Jo. 

***

"Ines! Ines!" Dea masuk ke rumah setengah berlari. Dia lempar begitu saja sepatunya dan langsung mencari adik bontotnya. 

"Friday, manggilnya biasa aja bisa kan?" Mami yang menimpali teriakan Ines dengan mata mendelik. Di ruang keluarga ada Mami sedang menonton variety show pemilihan bakat menyanyi, Ines sedang selonjoran sambil mengetik, Papi pasti belum pulang, selain itu ada Jo yang sedang membaca. 

"Halo Mami," seru Ines lalu mengecup pipi Mami dan duduk di samping Ines. 

"Batman vs Superman udah ada di bioskop nih!" seru Dea bersemangat, bertepuk tangan sambil bergoyang-goyang. 

"Oh yah?! Ayok nontooon!" Ines ikut berseri dan tepuk tangan. 

"Kabar bagusnya, barusan aku ditawarin tiket gratis sama Alinda. Nonton bareng temen-temen kampus juga. Yuk!" 

"Ayoookkkk!!! Horeee," Ines berjoged-joged kegirangan. Bersama Dea, mereka begitu bersemangat menyambut acara menonton film yang mereka tunggu-tunggu. Apalagi gratis. 

"Jo diajak juga kan?" Mami tiba-tiba menyela kedua putrinya. 

Dea dan Ines berpandangan. Pelan-pelan Dea memandang Jo. 

"Ga usah, Tante," ujar Jo

"Nanti gue minta tiket lagi ke Alinda," tambah Dea. 

Mereka bicara bersamaan. Membuat keduanya saling melirik. Mami bertepuk tangan kegirangan. 

"Titip princess Anna dan Elsanya Tante ya Jo," kata Mami ditambah dengan kedipan sebelah mata segala, ala Jaja Miharja gitu. Setelah itu Mami pun langsung berlalu. 

"Aku mandi dulu," Dea berbisik pada Ines lalu beranjak. 

***

"Ciiiinnn," panggil Alinda begitu Dea, Ines, dan Jo sampai di XXI. Dia mengecup pipi kakak beradik dan mengulurkan tangan ke Jo. 

"Halo Jo," sapa Alinda. 

Jo ragu-ragu tapi menyambut jabatan tangan Alinda. 

"Alinda ini putrinya Om Yudha, salah satu anggota geng Mami dan Om Karim." Dea menjelaskan pada Jo. Tidak heran Jo tidak akrab dengan anak-anak anggota geng orang tua mereka. Mengingat Jo lebih lama tinggal di luar negeri. 

"Oh halo Alinda," sapa Jo dengan lebih ramah. 

"Gimana kelanjutan hubungan kalian? Kapan tunangan?" Alinda melirik Dea dan Jo sambil cengar cengir iseng. Tentu saja Alinda tahu, pasti Om Yudha dan Tante Wuri yang memberi tahu. 

"Apaan sih Al," Dea melengos dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saat itulah Dea melihat orang itu. "Alinda! Jangan bilang DIA ikut nonton juga?!"

"Siapa sih?" Alinda ikut melirik ke arah yang tadi dilihat Dea. Saat sadar, Alinda memekik. "Oh My Goat. Kenapa dia ada disini? Gue emang ngasih tiket ke Idan tapi ga nyangka Idan ngajak dia daripada cewenya atau temennya yang lain. Ya ampun dia kesini De."

"Mati gueee," Dea berbisik kesal. Dia berdiri membelakangi dua orang yang sedang menghampiri mereka. Jo memandang Ines, heran dengan sikap Dea yang tiba-tiba grogi. Ines memberi isyarat agar Jo mendekat. 

"Ada mantannya Kak Dea," bisik Ines. Jo mengangguk. Paham. Fokusnya pada kedua orang itu semakin meningkat. 

"Dea," sapa salah seorang diantara dua, yang memakai kemeja biru. Namun Dea malah memandang yang satunya, yang memakai kaos coklat. 

"Hei Idan," 

Ini mengkonfirmasi Jo bahwa dia lebih harus mewaspadai yang berkemeja biru. 

"Eh Dey," sapa Idan. 

"Lo ngapain ke sini Zi?" tanya Alinda ketus. 

"Gue diajakin Idan," jawab Fauzi cuek. Seakan tak peduli sikap ketus Alinda dan resahnya Dea. "Halo Dea. Halo Ines."

Disapa kedua kali, Dea masih memalingkan muka. Ingin kabur saja. Ines mengangguk saja disapa mantan calon kakak iparnya itu. 

"Lo jangan ganggu Dea lagi dong. Dea dateng sama cowonya nih," seru Alinda lalu menarik lengan kaus Jo. Jo kaget, begitu pula Dea. Tapi Jo tetep kalem dan langsung mengulurkan tangan ke Fauzi. 

"Jo," suara Jo mendadak berkali lipat lebih cool. Fauzi tersenyum sinis, menyambut uluran tangan Jo. 

"Fauzi," balas sang mantan Dea lalu melirik Dea lagi. Kali ini Dea belum sempat memalingkan wajah dari Fauzi. "Cepet juga kamu nemu pengganti aku ya." 

"Kamu yang lebih dulu cari pengganti aku," Dea mendesis lalu menghentakkan kaki dan menerobos keramain menuju studio entah berapa. Ia bisa tanya nanti studio mana yang akan mereka masuki. 

Meski tela menunggu film ini begitu lama, Dea tidak menikmatinya sama sekali. Ia berkali-kali melirik jam dan menghela nafas lega saat filmnya selesai. Dea langsung bangkit lebih dulu dan keluar. Ines dan Jo buru-buru menyusul. 

"Cin," panggil Alinda saat Dea sudah hampir keluar kawasan XXI. "Kita mau makan dulu. Lo mau ikut?" 

"Dengan ada dia disini?" desis Dea, melirik Fauzi dan Idan yang baru keluar studio. "Big no, Al." 

"Gue ngerti sih. Sori ya De," 

"Bukan salah lo kok. Gue balik duluan ya cin. Thanks lho tiketnya. Salam buat yang lain ya," Dea dan Alinda bertukar ciuman di pipi lalu Dea berjalan cepat keluar XXI sementara Alinda kembali ke kerumuman teman-teman kampusnya. Jo dan Ines mensejajari langkah Dea. 

"Kamu jadi mau cari sepatu? Kalau iya, cari aja. Ditemenin Jo. Kakak pulang duluan," tanya Dea pada Ines. 

"Bisa nanti aja. Yuk kita pulang," Ines merangkul lengan kakaknya. Bersama, mereka menuju parkiran. Pulang. 

Sepanjang perjalanan, wajah Dea ditekuk. Dia tidak bicara apa-apa. Begitu pula Ines yang memilih tidur saja. 

"Memangnya kenapa kamu putus sama dia?" Jo bertanya pelan. Sekedar penasaran. Tidak sadar bahwa itu pertanyaan sensitif. 

Dea memandang Jo dengan tatapan sinis dan mata berkilat. Suaranya menandakan dia sangat kesal. "Salah satu temen deket gue nyuruh gue putus sama Fauzi karena katanya Fauzi selingkuh. And you know what, that's true! Siapa yang jadi selingkuhannya? Temen deket gue yang nyuruh gue putus! Kurang kesel apa coba gue!" 

Dea meremas tasnya dan sedikit memukul. Diputuskan untuk memandang jendela saja. 

"Sorry," 

"Dan mereka masih pacaran lho ampe sekarang. Fine!" Dea masih menambahkan. 

"Dan lo masih sayang dia?" pelan-pelan Jo bertanya. Antara ingin dan tidak ingin mendengar jawabannya. 

"Boro-boro. Bawaannya kesel liat dia dan cewenya itu. Ga mau gue ketemu mereka lagi," 

Mendengar itu, Jo pelan-pelan menghela nafas lega. 

"Lo ga akan mau punya istri pemarah kayak gue," kali ini Dea bergumam pelan. Tiba-tiba teringat bahwa mereka sedang dijodohkan dan dengan marah-marah begini bisa menurunkan 'harga' Dea di mata Jo 

Jo tidak menanggapi apa-apa di mulut. Tapi di hati dia menjawab, "Try me." 

*** 

"Lo udah cari rumah baru?" tanya Dea pada Jo saat malam hari pasca insiden XXI tadi siang. Mereka dan Ines sedang makan malam. Minus Mami Papi yang sedang ke kondangan. Hasil masakan Dea. Begitu sampai rumah Dea langsung masak untuk meredakan amarahnya. Jo dan Ines senang-senang saja. Senang karena makan enak dan senang karena Dea sudah tidak uring-uringan lagi. 

"Belum," jawab Jo, mendadak badannya terasa kaku. Sebenarnya Jo memang belum mencari. Awalnya karena tidak sempat. Lama-lama karena dia ingin memperlama waktu tinggalnya di sini. "Belum sempet De." 

"Besok gimana? Mau gue temenin?" Dea hanya bertanya, menawarkan, tanpa maksud apapun. "Lo mau cari rumah daerah mana?" 

"Depok mungkin," jawab Jo tak jelas. 

"Gue tau beberapa perumahan daerah Depok sih. Ya udah, besok abis sarapan langsung cabut aja ya, biar bisa lama nyarinya." 

"Oke,"

"Kamu mau ikut Nes?" 

"Gak ah. Aku mau tidur lagi abis sarapan. Abis itu belajar. Udah mau UAS," jawab Ines. 

*** 

Dea dan Jo mengunjungi beberapa perumahan. Bertanya soal keamanan, pembiayaan, kondisi lingkungan, fasilitas perumahan, ijin renovasi, tetangga, dan lain sebagainya. Ada beberapa rumah yang halamannya asri dan menarik perhatian Jo. Tapi sebenarnya dia masih belum mau pindah. 

"Gimana Jo, kayaknya yang kedua terakhir bagus deh. Halaman belakangnya ada. Lo juga bisa gabung dua rumah kalau mau. Air dan listrik lancar. Security juga 24 jam," Dea kembali melihat-lihat brosur yang mereka bawa dari survey tadi. Mereka sedang dalam perjalanan pulang. 

"Nanti gue pikirin lagi," timpal Jo. 

"Oke. Brosurnya jangan lupa disimpen ya. Biar gampang kalau mau hubungi marketingnya," Dea merapikan brosur itu lalu menaruhnya di pangkuan. Setelah itu Dea kembali menikmati perjalanan. 

Beberapa kali mereka dikira pasangan baru yang sedang mencari rumah. Dibalas dengan gelengan penuh senyum dari Dea dan didukung anggukan dari Jo. Dea masih belum memikirkan lebih jauh soal perjodohan. Sementara Jo, pemain drum di jantungnya makin heboh dari hari ke hari. 

*** 

Malam tahun baru mereka berkumpul di rumah Tante Citra yang halamannya luas dan ada gazebo berisi bantal-bantal. 7 dari 8 anggota geng dan anak-anaknya berkumpul. Om Karim diwakili Jo. Suasananya begitu ramai, mengobrol, berfoto, makan, main games. Para pria mengobrol di dekat meja makan sambil beberapa merokok. Termasuk Jo. Dea baru tahu ternyata Jo merokok, padahal tidak ada tanda-tanda Jo tipe cowo perokok. Di rumah pun Jo tidak pernah merokok. Sementara para wanita lebih memilih mengobrol di gazebo atau memasak. 

Menjelang pukul 12, kembang api dibagikan, Dea memilih untuk menyalakan kembang api yang bisa dipegang saja. Kembang api yang dilempar ke langit dipegang bapak-bapak atau anak-anak yang lebih dewasa, seperti Vernanda. Setelah memegang kembang api, Jo tiba-tiba berdiri di samping Dea. 

"Ready?" tanya Jo. 

"Bring it," balas Dea, tertawa kegirangan. 

Saat Om Yudha memimpin countdown, Jo sudah bersiap menyalakan kembang api Dea. Dea juga tak sabar memainkan kembang api. Di hitungan 2, Jo menyalakan kembang api. Sehingga saat hitungan nol, kembang api di tangan Dea sudah menyala. 

"Happy New Year!" seru Dea dan yang lainnya. Dia menggerakkan kembang api sehingga membentuk huruf-huruf. Jo memandangi Dea sembari terus tersenyum. Senang melihat Dea senang. Seketika itulah ide tersebut melintas di pikiran Jo dan langsung mengontrol tubuhnya. 

Jo menghampiri Dea yang kembang apinya baru padam. Dengan cepat menyentuh pipi Dea dan bermaksud mencium bibir Dea. Belum sempat niat Jo terwujud, Dea sudah mendorong tubuh Jo dan menampar pipinya. 

"Berani-beraninya lo Jo! Dan lo bau rokok! Gue gak suka!" teriak Dea. Beberapa orang memperhatikan mereka tapi tidak paham apa penyebab Dea begitu marah. Sedangkan Jo tidak berbuat apa-apa. Menyesal kenapa dia begitu random ingin mencium Dea. 

Dea melemparkan kembang api yang sudah padam ke arah Jo dan masuk ke dalam rumah. Alinda dan Ines buru-buru menyusul Dea. 

Malam itu Dea menolak pulang bersama keluarganya selama Jo berada dalam satu mobil dengan mereka. Berhubung mereka berangkat dengan mobil keluarga Dea, jadilah Jo mengalah dan memilih naik taksi. 

"Stupid," bisik Jo di dalam taksi. Ia memegang pipi yang sekarang terluka karena tadi Dea menamparnya dengan tangan yang masih memegang kembang api. Kawat kembang api menorehkan luka di pipi Jo dan mengucurkan darah cukup deras. Namun lukanya sudah dibersihkan dan diperban, oleh Tante Maya yang perawat. Jo tidak peduli dengan lukanya. Dia hanya mengkhawatirkan perasaan Dea yang sepertinya begitu terluka karena Jo mendadak ingin menciumnya. Mami dan Papi berkali-kali bertanya ada apa dengan Jo dan Dea sampai Dea begitu marah. Jo cuma menjawab bahwa tadi dia berkata hal yang menyakiti hati Dea. 

"Bodoh, bodoh," Jo mengacak rambutnya dan bersandar di jok. Supir taksi melirik Jo dari kaca spion tapi tak berkata apa-apa. Jo memejamkan mata, berharap Dea akan segera memaafkannya. 

*** 

Ternyata tidak. Dea tidak keluar dari kamarnya selama libur tahun baru. Tidak mau makan di meja makan. Menolak membaca pesan dari Jo. Me-reject telepon dari Jo. Bahkan sampao bertengkar dengan Mami saat Mami meminta Dea turun dan bersikap biasa pada Jo. 

Jo berpikir bahwa ini sudah saatnya dia keluar dari rumah Tante Indah dan Om Ryo. Maka Jo membeli rumah yang diusulkan oleh Dea saat mereka survey dulu. Sehari sebelum libur tahun baru berakhir, Jo sudah siap untuk pindah. 

"Sayang sekali kamu jadinya harus pindah ya Jo," Mami sedikit tersedu, sedih melihat Jo akan pergi. "Mana masih berantem sama Dea."

"Maaf Tante saya malah bikin banyak masalah disini. Kebaikan Tante dan Om, juga Dea dan Ines cuma Tuhan yang balas," Jo membungkuk, mencium tangan Mami dan Papi. 

"Maaf juga ya kalau selama kamu tinggal disini ada perlakuan kurang enak dari Om dan Tante," ujar Papi, menepuk pundak Jo. 

"Apalagi itu luka belum sembuh bener. Tante ga enak banget sama Karim dan Titi. Dea kenapa sih bisa sampai bikin luka kayak gitu," Mami menyentuh pipi Jo, berusaha untuk tidak menyentuh luka yang masih merah sepanjang 5 senti itu. 

"Salah saya kok Tante. Titip salam buat Dea," Jo senyum, mengabaikan lukanya yang kadang masih berdenyut sakit. Jo melirik ke dalam rumah, sedikit berharap Dea akan melepas kepergiannya. Ternyata memang iya. Entah sejak kapan Dea berdiri di ambang pintu. Memandangi Jo dengan tatapan kaget, kesal, bersalah, namun gengsi. 

"Kak," Ines memanggil Dea, mengajak keluar. Namun Dea malah berbalik dan masuk kembali ke kamarnya. Mami dan Papi menggeleng melihat kelakuan putri sulung mereka. 

"Ya udah, hati-hati di jalan ya Jo. Kabari kalau sudah sampai di rumah," Mami kembali menatap calon menantunya. Kalau jadi. 

"Iya Tante. Makasih banyak. Saya pamit dulu," Jo berjalan mundur perlahan, mengangguk, tersenyum, melambai. Masuk ke mobil dan membuka jendela. Berharap sekali lagi akan melihat Dea, namun nihil. 

"Mampir ya Jooo," seru Mami, melambai heboh seperti ditinggal anak sendiri. 

Sementara itu Dea berbaring diam di kamarnya. Ngeri melihat luka besar di pipi Jo yang disebabkan oleh dirinya. 

***

"Hai, Son," sapa Ayah Jo, Om Karim, melalui Skype. Di sampingnya, Ibu Jo, Tante Titi ikut melambai penuh semangat pada putra bungsunya. 

"Hai Yah," balas Jo. Tersenyum sedikit. 

"Gak kemana-mana hari Minggu gini?" tanya Om Karim. 

"Nggak Yah. Abis beres-beres aja seharian," 

"Sama Ryo, Indah, Dea dan Ines?" Ibu Jo yang kali ini bertanya. 

"Hmm," Jo diam. Ia belum bercerita bahwa dirinya sudah pindah. "Jo sudah beli rumah baru, pindah dari rumah Tante Indah dan Om Ryo." 

"Lho kenapa?" Kedua orang tua Ryo berpandangan, heran. 

"Ga enak Yah, Bu, tinggal di rumah orang lain lama-lama. Lebih enak begini aja. Belajar mandiri," jawab Jo dengan yakin. Padahal alasan utama dia pindah adalah karena Dea marah pada dirinya. 

"Kamu gak bikin masalah kan di rumah mereka?" Ibu Jo menelisik, memandangi wajah anaknya. 

"Nggak kok. Semua baik-baik aja," kecuali sama Dea, tambah Jo dalam hatinya. "Ngomong-ngomong Yah, Bu." 

Kedua orang tua Jo diam, menunggu kelanjutan kalimat putranya. 

"Sebentar, Ibu baru sadar. Itu pipi kamu kenapa?" Ibu Jo menyentuh layar laptop, yang kalau di sana sepertinya menunjuk pipi Jo. Refleks, Jo menyentuh pipinya. 

"Gak sengaja jatuh di parkiran," 

"Ya ampun. Ga mulus lagi wajah anak Ibu," 

"Jo kan bukan artis Bu. Luka segini ga masalah lah," Jo berusaha senyum, menggosok-gosok pipi seakan dengan begitu bekas lukanya bisa hilang. 

"Tadi kamu mau ngomong apa?" Ayah Jo mengembalikan topik ke alurnya. Sementara Ibu Jo masih memandang ngeri luka melintang di pipi Jo. 

"Jo mau minta perjodohan dengan Dea dibatalkan saja," 

Kedua orangtuanya berpandangan. "Kenapa?" tanya ayahnya. 

"Maaf karena kali ini Jo ga bisa mematuhi permintaan Ayah dan Ibu. Selama beberapa bulan kenal Dea, Jo ga yakin kami bisa cocok lebih dari teman," Jo bercerita. Bohong besar, sementara di hati Jo sebenarnya sudah mulai tumbuh asa kepada Dea. Hanya saja Dea yang menolak keberadaan Jo. 

"Kan bisa kenalan lebih dalam," Ibu Jo terlihat cemas dan khawatir. 

"It ain't gonna work, Bu. Jo harap Ibu sama Ayah bisa ngobrol sama Om Ryo dan Tante Indah untuk menghentikan rencana ini." Jo memaksa, hal yang sangat jarang dia lakukan. 

"Ayah gak ngerti. Kamu dulu setuju aja sama rencana ini. Kenapa sekarang malah nolak? Dea bikin ilfeel? Dia ngiler waktu tidur apa gimana?" 

Jo tertawa mendengar ayahnya. Awalnya sih serius, belakangnya bikin ketawa. 

"She's good, Yah. Rajin masak, sayang anak, sayang ortu. Tapi ya...kita ga cocok aja. Lagian Jo udah punya pacar." 

Another lie, pikir Jo. Tapi untuk bisa menghindar, hanya alasan itu yang terpikir di benak Jo. 

"Jo!" Ibunya memekik. "Sejak kapan?" 

"Sejak masuk kerja," Memang ada yang PDKT dengan Jo saat ini di kantor. Mungkin dia bisa jadi pacar bohongan Jo. 

"Ayah bakal ga enak banget rasanya dengan Indah. Tapi kalau itu mau kamu, ayah akan bicarakan dengan Indah dan Ryo," Ayah Jo menggeleng, memijat keningnya. 

"Maaf Yah. Tapi terima kasih," 

Orang tua Jo mengangguk. Di satu sisi, Jo lega karena bisa 'mengabulkan' keinginan Dea menjauh dari dirinya. Di sisi lain Jo kecewa dan menyesal. Karena tingkah lakuknya yang membuat dia memiliki jarak dengan perempuan yang begitu luar biasa. 

***

Dea belum pernah mampir ke kantor Jo. Memang ga ada urusan. Buat apa juga. Tapi kali ini Dea memaksakan diri untuk datang, bermaksud minta maaf karena sudah membuat Jo terluka besar di pipi. Dea membawa bekal makan siang juga. Penuh dengan berbagai lauk, sayur, dan buah. 

Pukul 12 Dea sudah menunggu di lobby. Agak bingung juga apakah harus masuk atau menunggu Jo tiba di lobby. Dea tidak mengabari Jo bahwa dirinya datang ke kantor. Memang ada kemungkinan Jo tidak keluar kantor untuk makan siang. Tapi ya worth to try deh, menurut Dea. 

Harapan Dea rupanya terkabul. Jo muncul di lobby setelah 10 menit Dea menunggu. Namun Jo tidak sendiri. Dia berjalan bersama seorang perempuan yang menggandeng tangannya. Jo mendengarkan perempuan itu bicara sambil sesekali menanggapi atau tersenyum. Dea mematung di tempat. Matanya tidak lepas dari Jo dan perempuan itu. Sedangkan tangannya pelan-pelan menyembunyikan rantang Tupperware yang dia bawa. 

Awalnya Jo tidak sadar ada siapa di lobby kantornya. Ketika sudah semakin mendekat ke pintu kaca, barulah Jo sadar ada Dea sedang berdiri memperhatikannya. 

"Dea," panggil Jo dengan suara serak. Buru-buru dia menarik lepas lengannya dari rangkulan perempuan itu. Jo menghampiri Dea tapi Dea mundur. Setiap langkah maju yang Jo ambil sama dengan langkah mundur dari Dea.

"Ada apa?" Jo akhirnya memilih bertanya, jarak 2 meter memisahkan mereka. 

Dea memutuskan untuk tersenyum, walau dalam hatinya dia merasa kecewa. 

"Mami...." Dea memilih untuk menyebut nama Mami, supaya tidak dicurigai Jo. Padahal Mami sama sekali tidak tahu niat Dea datang ke kantor Jo. "Mami nyuruh gue minta maaf ke lo." 

"Ga usah dipikirin," ujar Jo. Kakinya ingin sekali bergerak menghampiri Dea. 

"Yeah oke. Hmm," Dea melirik Jo dan perempuan yang datang bersamanya, yang sekarang melirik kebingungan antara Jo dan Dea. "Ya udah gue pulang dulu." 

Jo sadar bahwa Dea melihat adegan temannya merangkul lengan Jo. Dia langsung ingin menjelaskan bahwa mereka tidak ada apa-apa. Namun Dea sekarang sudah berbalik dan pergi. 

"Day, Dea, Friday," Jo memanggil Dea, mengikuti Dea hingga keluar. Dea sekarang berlari, membuat Jo ikut berlari. 

"Friday," Jo berlari dan hampir berhasil menghampiri Dea tepat saat sebuah taksi yang sudah dicegat Dea berhenti. Tangan Jo gagal meraih Dea dan Dea keburu masuk. Jo buru-buru menarik tangannya sebelum terjepit pintu taksi. Taksi pun melaju pergi. Meninggalkan Jo yang frustasi. 

Di dalam taksi, Dea cuma diam. Dia kesal sekali melihat Jo bermesraan dengan perempuan lain. Dea tidak mau menangis tapi air mata jatuh juga. 

"Jo nyebelin banget sih!" bisik Dea pelan. Supir taksi sepertinya mendengar ucapan Dea karena kemudian dia berkata. 

"Mba, ini tisunya," dan menyodorkan tisu bentuk travel pack. 

"Makasih Pak," kata Dea pelan. 

Sepanjang perjalanan pulang, Dea menangis tanpa suara. iPhone nya berdering terus dan Dea tahu itu dari siapa. Tapi dia mengabaikan. 

"Pak, udah makan siang belum?" tanya Dea begitu taksi sudah sampai di depan rumah Dea. 

"Belum sih Mba," jawab sang supir, menoleh pada penumpangnya yang dari tadi cuma menangis. 

"Ini buat Bapak aja. Tadi saya masak cuma ga dimakan. Komplit, sehat dan enak kok Pak," Dea mengulurkan Tupperware-nya kepada pak supir. 

"Wah makasih Mba. Ini saya balikin tempatnya gimana?" 

"Bawa aja. Saya udah banyak Tupperware di rumah," jawab Dea sambil menyerahkan beberapa uang 50ribuan lalu turun dan berlari menuju kamarnya. 

***

Another weekend and Jo choose to being lazy in his new house. Teman-temannya mengajak untuk kongkow di daerah Kemang namun Jo belum mengiyakan. Sepagian ini Jo hanya sarapan nasi uduk yang dibeli di depan kompleks lalu berbaring di kamar, menonton TV. 

"Gini amat orang patah hati," gumam Jo sambil membuka kulkas. Yang kosong. Hanya ada beberapa butir apel, pir, dan setengah semangka. Jo mengambil apel dan bermaksud kembali ke kamarnya untuk mandi dan entah keluar untuk nonton atau apapun yang penting tidak lumutan di rumah. Ketika bel rumahnya berbunyi. 

"Tumben," Jo melongok ke arah pintu. Selama dia menempati rumah baru, hanya 3x ada yang mendatangi rumahnya. Pertama adalah Pak RT, kedua ibu-ibu yang membawa makanan selamat datang, ketiga developer yang mengecek saluran listrik, air, telepon. 

Jo membuka pintu dan mendapati ayahnya berdiri di luar. 

"Ayah," seru Jo. Kaget. Jo langsung mencium tangan ayahnya dan ayahnya balas merangkul putranya. "Kok di Indo? Sama ibu? Tahu dari mana rumah Jo?" 

"Satu-satu," cuma itu jawaban Ayah Jo. Beliau melangkah masuk ke rumah dan memperhatikan rumah yang dibeli anaknya. "Rumahmu rapi ya." 

Jo meringis. Tentu saja rapi karena belum ada furniture apa-apa. Lebih tepat dibilang kosong. 

"Di dalem ada karpet kok Yah," Jo membimbing ayahnya ke ruang tengah. Tempat dimana ada satu karpet menghadap TV yang sekarang dimatikan. 

Ayahnya duduk di karpet diikuti Jo. 

"Ayah sampai Indonesia tadi pagi. Sengaja gak kasih tahu kamu. Ibumu cemas sekali lihat pipi kamu yang luka kayak Samurai X itu," 

Jo meringis lagi. Menyentuh pipinya yang masih berwarna merah. 

"Apalagi kamu minta perjodohannya dibatalkan. Makin panik lah ibumu. Ayah juga bingung. Kebetulan sedang ada waktu luang dan ada urusan di Kedutaan Besar Swiss di Indonesia, ayah pulang. Jadi sebenarnya ada apa?" 

Jo menyerah. Meski niat Jo adalah menyembunyikan cerita sebenarnya dari ayah dan ibu, Jo tidak bisa. Ia dan Bumi, kakaknya, terbiasa untuk menceritakan apapun pada ayah. Sama seperti Dea selalu cerita pada Mami. Maka sekarang pun Jo langsung menceritakan kejadian di malam Tahun Baru. 

"Karena itu Dea marah, menampar kamu, lalu kalian ga saling ketemu selama dua minggu ini?" 

"Kemarin Dea ke kantor Jo sih Yah. Lalu lihat Jo...." Jo ragu-ragu, menatap ayah yang balik menatapnya dengan tenang. "Lagi dirangkul sama temen kantor Jo. Yang Jo maksud jadi pacar bohongan Jo." 

"Son..." Ayahnya menggeleng. Heran kenapa anaknya yang belum pernah berhubungan dengan wanita, sekalinya ada hubungan jadi memusingkan begini. 

"I guess you are already knew what you should do now," kata Ayah Jo lagi. 

"Yeah, minta maaf sama temen Jo karena Jo manfaatin," 

"Then?" 

"Minta maaf sama Dea karena berusaha mencium Dea dan pura-pura pacaran sama temen di depan Dea," 

"Lalu bilang apa?" 

Jo diam. Merasa tidak ada lagi yang perlu disebutkan. Ayahnya mulai senyum-senyum. 

"Oh Yah, do I really need to say it in front of you?" Seru Jo, pipinya mulai memerah, dia mengacak rambutnya. 

"Of course. In case we think about different things," 

"Aahhh," Jo menutup mukanya selama dua detik lalu memandang ayahnya lagi. "Bilang pada Dea bahwa Jo mencintai Dea." 

"Great. Ayo berangkat ke rumah Dea. Ibumu juga ada di sana. Ayah tahu alamatmu dari Indah." Ayah Jo langsung berdiri sedangkan Jo masih duduk. 

"Jo belum mandi Yah," kata Jo sambil cengengesan. 

"Ya sudah. Mandi dulu terus kita ke mall," ayah Jo kemudian duduk lagi sambil menanti anaknya mandi. 

"Ke mall ngapain?" tanya Jo polos. 

"Ya beli bunga, boneka, coklat, cincin, apapun. Kamu mau menyatakan perasaan sama perempuan tapi ga bawa apa-apa?" 

"Oh. Oke Yah," Jo nyengir lagi lalu berdiri. 

"Gini amat orang patah hati. Anak siapa sih," 

"Anak Ayah," teriak Jo dari tangga. 

***

Hari ini Dea berencana mampir ke rumah belajar di daerah rumahnya. Sudah lama dia tidak berkunjung dan bertemu dengan anak-anak yang lincah itu. Mereka biasa belajar hal-hal melalui permainan. Untuk itulah Dea butuh kesana. Dea butuh hiburan, Dea butuh tertawa. 

Namun saat dia bersiap untuk berangkat sejak pagi, mungkin bantu-bantu Dini sang ketua rumah belajar untuk menyiapkan materi, tiba-tiba rumahnya kedatangan tamu. Tamu yang membuat Dea tidak bisa kabur bagaimana pun alasannya. Om Karim dan Tante Titi tiba-tiba berkunjung meski mereka seharusnya ada di Swiss. 

"Titi! Karim! Ya ampuunn," Mami berseru-seru kaget saat melihat teman-temannya tiba. Papi yang sedang berkebun pun tergopoh-gopoh ke pintu depan. Dea cuma mesam-mesem, bingung. 

Tante Titi, Om Karim, Mami, dan Papi langsung bersalaman dan berpelukan. 

"Kok tiba-tiba ada di Indonesia aja?" Tanya Mami

"Ada urusan di Kedubes Swiss di Indonesia. Sekalian mau nanya beberapa hal nih tentang anakku," jawaban Tante Titi membuat Dea dihujani tatapan menyelidik Mami. Dea memutar bola mata dan masuk rumah duluan. 

"Ayo ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam saja," sahut Papi sambil merangkul pundak Om Karim. 

Dea langsung berinisiatif membuatkan teh untuk para orang tua. Setelah itu Dea kembali ke dapur untuk membuat kue sederhana. Brownies, yang ada di pikiran Dea. 

"Gagal deh ke rumbel," ujar Dea pelan. 

Ines membantu kakaknya di dapur setelah bersalaman dengan Om Karim dan Tante Titi. Mami Papi dan Om Karim serta Tante Titi langsung terlibat obrolan seru: Jo. 

"Jadi sejak kapan Jo punya rumah baru? Dia baru cerita ke kami beberapa hari lalu," kata Tante Titi. Diam-diam Dea menguping dari dapur. 

"Awal tahun ini banget kok Ti. Kirain udah cerita langsung ke kalian sejak proses beli rumahnya," jawab Mami. 

"Nggak tuh. Tiba-tiba aja pas Skype, baru sadar aku kalau latar belakangnya agak beda dari rumah ini," timpal Tante Titi lagi. 

"Kenapa ya Jo tiba-tiba pindah gitu? Dia melakukan kesalahan?" Om Karim yang angkat bicara. Mami dan Papi berpandangan. Dea sudah cerita kenapa dia dan Jo bertengkar sampai Dea tidak mau bertemu Jo. Ines menyikut kakaknya. 

"Sst," bisik Dea. 

"Hmm, ada sedikit masalah sama Dea tapi ga besar-besar banget kok," jawab Mami pelan. 

"Dia ngapain kamu, Dea?" Om Karim berbalik menghadap Dea. Ditodong begitu, Dea langsung gelagapan. 

"Eh, er, anu. Me-mending Om Karim tanya langsung sama Jo deh," Dea menjawab lalu buru-buru menghadapi adonan brownies-nya lagi. 

"Rumah Jo dimana? Kalian punya alamatnya?" Om Karim berbalik lagi ke Mami dan Papi. 

"Ada, ada. Bentar kuambil handphone dulu ya," Mami masuk ke kamarnya, mencari HP yang di dalamnya ada alamat rumah Jo. Sementara itu Papi mengajak mengobrol soal urusan politik. 

"Nih, nemu Rim. Aku kirim via WhatsApp aja ya," Mami sudah kembali ke ruang keluarga. 

"Oke. Ku pinjam mobil kalian boleh? Mau langsung kuhampiri anak itu dan kalau perlu dibawa langsung kesini." 

Mendengar Om Karim bicara begitu, jantung Dea langsung deg-degan. Dia harus segera menyelesaikan brownies-nya dan langsung kabur. 

"Pake aja Rim," Papi berdiri, diikuti Om Karim. Sementara Tante Titi memilih menunggu di rumah Dea. 

"Buruan Nes," bisik Dea. 

*** 

Pintu pagar terdengar bergeser bersamaan dengan suara orang mengucapkan salam, tepat ketika Mami dan Tante Titi sedang mencicipi brownies buatan Dea. Sadar siapa yang tiba, Dea langsung berlari ke lantai 2. 

"Dea, kamu mau kemana?" Teriak Mami. 

"Mules, Mi," Dea balas berteriak. Padahal dia langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Childish banget memang kelakuan Dea ini. Tapi dia belum siap bertemu Jo lagi. Apalagi kalau mengingat Jo menggandeng lengan perempuan lain. Ralat, sebaliknya. 

Di bawah, Jo masuk ke rumah sambil membawa buket bunga dan sebuah boneka beruang putih. 

"Ooohh, ternyata anak Ibu romantis juga yaa," komentar Tante Titi begitu melihat Jo. 

"Diajarin Ayah, Bu," balas Jo lalu mencium tangan ibunya dan Mami. 

Tante Titi melirik Om Karim, yang dilirik tersenyum bangga. 

"Gimana rumah barunya Jo?" tanya Mami. 

"Masih kosong, Tante. Tapi enak kok. Tetangganya baik-baik," jawab Jo diplomatis. Ia duduk di sofa masih dengan tangan memegang bunga dan boneka. 

"Mau cari Dea kan pasti? Karena ga mungkin itu bunga buat Tante," Mami menunjuk 'seserahan' di tangan Jo lalu tertawa bersama Tante Titi. 

Jo mengangguk, masih agak malu dan salah tingkah. 

Di atas, di kamar Ines, Dea sudah menjajah kamar adiknya. 

"Kak Jo bawa bunga gede banget sama boneka lucu banget," lapor Ines pada kakaknya yang sedang berbaring. 

"Terus?" 

"Terus mukanya salting banget," Ines terkikik. Dea lempeng aja. 

"Lukanya masih merah gitu lho Kak,"

"Errrr," Dea bangkit duduk. "Aku masih merasa bersalah gara-gara itu. Tapi aku belum bisa ketemu Jo." 

"Ketemu aja sih, Kak Jo juga gak akan ngapa-ngapain Kakak. Kalian cuma perlu ngobrol." 

"Itu yang aku belum bisa. Apalagi sekarang Jo bawa bunga segala. Kalau dia nyatain perasaannya gimana? Aku belum bisa bilang iya," 

"Bilang aja sejujurnya," 

"Emangnya gampang?" Dea manyun lalu merebahkan diri lagi di kasur Ines. 

"Kenapa sih ga bisa? Masih inget Kak Fauzi?" 

"Idih males banget. Gak Nes, emang belum bisa aja. Belum trilili gitu kalau liat Jo," 

"Yee, tralala trilili emangnya?"

"Dea, Mami tahu kamu di kamar Ines. Soalnya di kamarmu ga ada. Turun yuk," Tiba-tiba ada suara Mami dari luar kamar Ines.

"Udah dikunci kan?" bisik Dea pada Ines.

"Udah," Ines ikut berbisik.

"Gak mau Mi. Dea masih gak mau ketemu Jo," teriak Dea dari dalam kamar.

"Ayolah. Jo mau minta maaf sama kamu," balas Mami dari luar.

"Dea belum siap ketemu Jo,"

"Separah apa sih emang kesalahan Jo? Cuma gitu doang kok. Kamu malah yang bikin dia luka parah gitu,"

"Mami! Jo itu mau cium Dea! Deanya gak mau. Itu kan termasuk pelecehan seksual!"

Mendengar kakaknya bicara begitu, Ines malah tertawa yang membuatnya langsung dihujani tatapan galak dari Dea.

"Iya, percobaan pelecehan seksual," Mami menyerah, mengikuti istilah putrinya. "Tapi kan gak kejadian. Ayo dong Dea, turun yuk."

"No way, Mi,"

"Dea..." kali ini suara Mami melembut. Sebuah isyarat berbahaya sebenarnya. "Keluar kamar sekarang atau Mami buang semua koleksi handbag kamu."

"Buang aja, Dea beli lagi yang baru," Rupanya ancaman Mami tidak berhasil. Mami pun benar-benar menyerah. Tidak ada lagi suara Mami di luar dan Dea pun kembali mengurung diri di kamar Ines. Tidak peduli kalau Mami betul-betul membuang koleksi handbag Dea.

"Yakin gak apa-apa handbag-nya dibuang? Termasuk yang Michael Kors yang kakak suka itu?" Ines melirik kakaknya yang sedang berbaring menatap jendela.

"Eh," Dea langsung waspada. "Semoga Mami gak serius deh."

"Cek deh,"

"Gak mau. Nanti diseret ke bawah,"

Sekitar pukul 3, Ines diutus Dea untuk mengecek apakah Jo, Om Karim, dan Tante Titi masih ada atau sudah pulang. Ternyata sudah pulang.

"Kak, cek deh ke kamar," Ines melongok ke kamarnya, memberi isyarat supaya Dea keluar.

Dea menuruti usul Ines dan masuk ke kamarnya. Lemari berisi handbag Dea sekarang kosong melompong. Digantikan bunga dan boneka yang sepertinya dibawa Jo. Perasaan Dea sebenarnya langsung hangat saat melihat pemberian Jo itu. Boneka yang sangat lucu dan bunga yang begitu cantik dan wangi. Saat Dea memeluk boneka, Dea baru ingat bahwa dia sebenarnya ingin protes pada Mami. Berbalik 180 derajat, Dea langsung turun.

"Mami! Handbag aku beneran Mami buang?" Dea menghampiri Mami yang sedang membaca majalah.

"Memangnya Mami pernah pura-pura ngancam kamu?" Mami balik bertanya sambil mendelik.

Gak pernah, pikir Dea. Masih sambil memegang boneka pemberian Jo, Dea keluar rumah, mencari dimana kira-kira Mami membuang koleksi handbag-nya. Keliling seisi rumah, nihil. Handbag koleksi Dea ga ada dimana pun. Akhirnya Dea kembali menghadapi Mami.

"Mami kok tega banget sih?!"

"Kamu yang tega banget. Itu kamu udah lukain pipi Jo kayak gitu kamu gak minta maaf," Mami balas lebih galak.

"Jo lukain hati Dea,"

"Itulah kenapa dia kesini mau minta maaf, bawa bunga. Bawa boneka yang sekarang kamu pegang-pegang," Mami menunjuk boneka yang sekarang terkulai lemas di tangan Dea. "Terlepas dari Jo tunangan kamu atau bukan, belajarlah untuk menghadapi masalah kamu Day. Kamu yang waktu itu minta diperlakukan dewasa. Sekarang kamu juga yang bertingkah seperti anak kecil."

Dea termenung. Mami bener juga. Dea harus mau menghadapi masalahnya. Dea harus berani bertemu Jo.

"Tas-tas kamu ada di mobil yang dibawa Papi buat nganter Karim, Titi, dan Jo. Mami sih minta Papi taro tas-tasnya di rumah Jo aja sekalian,"

Dea melenguh. Itu artinya dia harus mampir ke rumah Jo demi mengambil koleksinya. Mami ini emang cerdik ya kadang-kadang.

***

Dea masih belum berani untuk mendatangi rumah Jo, baik untuk meminta maaf ataupun untuk mengambil tas-tasnya. Akibatnya selama beberapa hari bekerja, Dea terpaksa meminjam tas Ines yang rata-rata berbentuk ransel. Sangat tidak Dea. Membuat dia ditanyai oleh teman-teman sekantornya.

Mami masih suka jutek sama Dea gara-gara Dea masih belum make a move. Jo juga seakan-akan lupa untuk menghubungi Dea. Dua-duanya diam-diaman. Pada suatu malam, Dea iseng mencari kontak Jo di iPhone-nya. Melihat deretan nomor dan masih ragu apakah ia harus membuat keputusan untuk menemui Jo.

Dea bermaksud untuk mengklik Assistive Touch agar bisa keluar dari menu Kontak tapi ternyata dia malah menyentuh tanda telepon. Tersambunglah telepon tersebut ke Jo. Dea yang panik butuh waktu beberapa detik untuk bisa mengklik tombol merah.

"Haduh,"

***

Jo baru selesai mandi dan sedang bersiap untuk tidur ketika tiba-tiba smartphone-nya berbunyi. Jo pikir itu telepon dari bosnya maka dia memutuskan untuk mengabaikan. Setelah mengenakan piama dan menyetel TV sebelum tidur, Jo mengecek smartphone miliknya dan terbatuk mendadak karena melihat nomor siapa yang menghubunginya.

"Dea," gumam Jo.

Pikiran Jo langsung berkecamuk apakah ia harus menghubungi Dea atau mengabaikan saja. Namun perasaannya menyuruh dia untuk menghubungi Dea. Nada sambung terdengar dua, tiga kali. Belum diangkat.

***

"Aduuuh Jo nelepon balik," Dea berseru, gelagapan memegang iPhone. Bagaimana ini, angkat gak ya.

Bunyi terus dan terus, akhirnya Dea memilih untuk mengangkat. Digenggamnya telepon tipis panjang itu dan diletakkan di telinga tapi Dea tidak bicara apa-apa.

"Dea," panggil Jo di ujung sana. Dea masih diam saja.

"Kamu...nelepon?"

"Kepencet," akhirnya Dea bersuara.

"Oh, oke," Jo kecewa. Ternyata Dea bukan menghubunginya karena ada maksud. Keduanya terdiam. Saat Jo ingin memutuskan hubungan telepon, Dea bersuara lagi.

"Jo,"

"Ya Dea," sambut Jo cepat.

"Makan kamu gimana?" tanya Dea dengan lembut. Sudah lama Jo tidak mendengar suara ini dan sungguh Jo sangat rindu pada pemiliknya.

"Beli terus, Day,"

"Oh. Jaga kesehatan,"

"Iya,"

Diam lagi.

"Aku mau ketemu kamu," Jo memberanikan diri. Membuat jantung Dea berdetak makin cepat.

"Boleh..." respon Dea membuat Jo refleks melonjak berdiri. Senang.

"Aku jemput sepulang dari kantor besok gimana?"

"Oke,"

"Nice,"

"Malam, Jo,"

"Iya, selamat istirahat Dea,"

***

Jo menutup sambungan telepon dan langsung berguling ke tempat tidur.

"Yes!"

Jo bisa tidur nyenyak malam ini.

***

Jo sampai niat pulang cepat demi bisa sampai di kantor Dea pukul 5. Sebelumnya Jo sempat mampir di The Harvest dan membeli cake untuk Dea. 

"Aku tunggu di lobby," Jo mengirimkan pesan begitu ia sampai. Jantung Jo deg-degan ala anak SMA menunggu kecengannya lewat. 

15 menit menunggu, Dea masih belum membalas. Jo mulai khawatir bahwa Dea sudah pulang duluan dan sebenarnya tidak benar-benar mau menemui Jo. Namun ternyata tidak lama kemudian Dea muncul. Dengan mengenakan rok selutut dan kemeja warna salem, rambut diikat ekor kuda dengan poni rata, juga handbag (beli baru juga kemarin saat Dea memutuskan untuk sedikit make over) dan heels 5 senti, Dea menghampiri Jo dan tersenyum sedikit. 

"Maaf lama," 

"Its okay," Jo memandangi wajah Dea lekat-lekat. Masih terpana. Antara mengagumi penampilan Dea dan takjub karena Dea mau bicara dengannya lagi. 

"Ini aku beliin cake buat kamu. Semoga kamu suka," Jo mengulurkan kantung The Harvest dan disambut Dea dengan berseri-seri. 

"Thanks," 

Keduanya kemudian diam lagi. Jo memandangi Dea dan sebaliknya. Kemudian tangan Dea terulur begitu daja. 

"Lukanya masih belum hilang ya," bisik Dea sambil mengelus pelan luka di pipi Jo. 

Jo langsung panas dingin disentuh begitu oleh Dea. "Iya. Gak apa-apa. Biar preman pada takut," 

Jo berusaha bercanda. Dea tersenyum. Masih belum melepas tangannya dari pipi Jo. 

"Maaf ya. Bener-bener minta maaf. Aku gak menyangka jadinya begini. Saat itu aku refleks nampar kamu karena aku kaget di....dibegitukan. Aku juga ga sadar tanganku masih pegang kembang api. Sekali lagi maaf ya Jo," Dea menarik tangannya dan meremas handbag barunya. Cukup salting karena meminta maaf memang bukan hal yang mudah. 

Ketika Dea menarik kembali tangannya, sedikit perasaan kecewa melintas di diri Jo. 

"Sudah kubilang gak apa-apa. Nanti juga hilang. Lukanya juga gak infeksi atau apa," 

"Gimana ngilanginnya?" 

Jo mengangkat bahu. "Salep dari dokter, Dermatix, apa pun bisa," 

Dea mengangguk. Dalam hati berjanji membelikan Jo salep atau obat apapun untuk menghilangkan bekas luka. 

"Aku sudah berhenti merokok," Jo melanjutkan ke topik baru. Dea menyimak. "Gara-gara kamu bilang gak suka bau rokok." 

"Ah," wajah Dea tersipu. "Bagus buatmu. Bisa lebih sehat," 

"Iya," senyum Jo mengembang. Apalagi melihat Dea juga tersenyum. "Dan perempuan yang kamu lihat di kantorku, itu cuma temen. Dan cuma sekali itu dia rangkul tanganku." 

"Oke," Dea percaya, mengangguk. 

"Kalau gitu, kita pulang sekarang?" Jo menunjuk ke luar, arah mobilnya diparkir. 

"Boleh," Dea melangkah, diikuti Jo yang berjalan di sampingnya. Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Jo hampir meraih jemari Dea tapi batal karena ingat bahwa saat ini dia baru saja mendapatkan separo maaf dari Dea. Jangan sampai menambah kesalahan lagi. Ya, separo. Karena Jo belum meminta maaf soal usaha ciumannya. 

Mobil bergerak memasuki keramaian jalan. Suara musik mengalun perlahan dari radio yang Jo nyalakan. 

"Jo," panggil Dea.

"Ya?" Jo menoleh, beruntunglah karena jalanan sedikit macet sehingga Jo bisa memandang Dea agak lama. 

"Aku gak pernah tahu wajahmu sebelumnya. Aku cuma tahu bahwa Om Karim punya dua anak laki-laki. Dan aku juga lebih gak tahu bahwa aku akan dijodohkan dengan salah satu anak Om Karim. Kamu?" 

"Aku... Sudah diceritakan Ayah bahwa aku akan dijodohkan dengan salah satu putri sahabatnya. Tapi aku gak tahu siapa, aku gak tahu gimama wajahnya." 

"Tapi kamu setuju," ini lebih ke pernyataan yang Dea utarakan darpada pertanyaan. 

"Iya. Aku sekedar memenuhi permintaan orang tua," 

"Kalau misalnya ternyata yang dijodohkan denganmu itu jelek, galak, suka ngobat, gimana? Masih setuju dijodohin?" 

Jo tertawa. Pertama kalinya puas tertawa sejak bertengkar dengan Dea. 

"Untungnya nggak kan? Yang dijodhin sama aku cantik, baik, emang agak galak sih, tapi pinter masak,"

Kalau mereka tidak baru berbaikan, mungkin saat ini Dea bisa bebas tersipu. Nyatanya Dea berusaha untuk tidak mengubah ekspresi karena pujian Jo itu. 

"Kalau kayak gitu gimanaaaa?" Dea keukeuh akan pertanyaannya. 

"Pertama, Ayah dan Ibu pasti ga akan milihin jodoh yang kualitasnya gak baik. Aku tahu teman-teman dekat Ayah dan Ibu orang-orang berpendidikan tinggi. Kedua, kalaupun cewe itu tidak sesuai dengan yang aku pikirkan, aku tetap akan setuju karena aku percaya pilihan orang tuaku selalu baik. Dalam 28 tahun hidup, selalu seperti itu."

"Dan bagaimana pendapat kamu setelah bertemu perempuan yang akan dijodohkan denganmu?"

"She's more than I could expect," bisik Jo. Menatap lekat Dea saat bicara ini. Tapi Dea malah memalingkan wajah. "Kamu?" 

"I have nothing to expect," gumam Dea. Bagaimana dia bisa berharap, tahu soal perjodohan saja tidak. 

Jo mendadak memarkirkan mobilnya di pom bensin terdekat yang dia temui. Sungguh suasana yang tidak romantis untuk mengatakan apa yang akan Jo katakan tapi topik pembicaraan mereka sudah terlanjur mengarah kesitu. 

Dea menoleh kebingungan. "Bensinnya habis?"

Jo menggeleng. "Aku sungguh minta maaf atas perbuatanku di tahun baru yang membuat kamu marah besar padaku. Sungguh perbuatan yang lancang memang. Aku juga ga akan membenarkan perbuatan itu. Kamu bersedia memaafkan aku?" 

Dea memandang Jo begitu intens namun tidak berkara apa-apa. Saat Jo hampir menyerah, Dea mengangguk. Jo menghela nafas, super lega. 

"Berikutnya, aku mau bilang. Aku mencintaimu, Dea," 

Mata Dea membesar. Tak mengira kata-kata itu akan keluar dari mulut Jo saat ini. Jo semakin kaku, wajahnya bingung harus berekspresi seperti apa. 

"Bukan karena aku dijodohkan denganmu maka aku cinta padamu. Aku pikir itu hanya jalan yang harus kita, aku tempuh untuk jatuh cinta. Semua orang yang berjodoh akan saling bertemu. Entah bagaimana caranya. Dan cara kita bertemu ya begini. Tak tahu apa dan kenapa tapi hari demi hari keberadaanmu di hidupku jadi begitu besar, Day. Sepertinya aku jatuh sejak melihat kamu memasak." 

Dea bingung berkata apa. Kata-kata Jo itu begitu jujur. Begitu polos. 

"Jo..." 

Suara Dea memanggil namanya terdengar begitu merdu di telinga Jo. 

"Ya..." Jo merasa begitu lega setelah mengutarakan perasaannya. Terlepas bagaimana tanggapan Dea nanti. 

"Thank you," kata Dea. 

"Just that?" tanya Jo. Dia berharap Dea akan menanggapi dengan lebih dramatis. 

"Iya," jawab Dea. Memangnya dia harus bilang apa lagi? 

"Oh God," Jo bersandar ke jok. Tangannya memijat kening. 

"I can promise you nothing, Jo. But one thing for sure, I know I'll try," komentar Dea. Mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Jo. Jo balas memandangi Dea kemudian mengangguk. 

"I guess thats the best answer I can get for now," 

"Iya. Pulang yuk," 

Jo menjalankan mobil kembali ke rumah Dea. Saat mereka sampai, Dea mengajak Jo masuk ke rumah dan ini membuat Mami begitu bahagia.

"Wah kalian udah baikan yaa," 

Dea mengangguk, Jo tersenyum. 

"Berarti nanti aku bisa minta dimasakin kamu lagi?" bisik Jo pada Dea saat mereka berjalan beriringan menuju ruang makan, setelah disuruh Mami. 

"Asal bayarannya sesuai aja," Dea mengedip. Jo tertawa senang. 

***

"Handbag-mu gak kamu ambil ke rumahku?" Jo bertanya pada Dea saat mereka berdua berada di dapur rumah Dea. Hari Minggu pagi, Dea memutuskan untuk memasak masakan dan kue-kue. Ditemani Jo yang senang memperhatikan Dea memasak. Sejak Jo mengutarakan perasaan dan Dea berjanji untuk berusaha, hubungan Jo dan Dea kembali seperti dulu dengan status yang cukup berbeda. 

"Ga usah deh. Biar ntar ga bolak balik angkut lagi," jawab Dea sambil meperhatikan adonan Cinnamon Rolls yang sedang dia buat. 

"Maksudnya?" Jo kurang paham tapi saat Dea menaikkan alis, Jo langsung mengerti. "Oh oke oke." 

"Jo, bisa bantu Mami?" Terdengar suara Mami dari halaman belakang. 

"Iya, Tantee," seru Jo. Ia menoleh dulu kepada Dea sebelum beranjak. "Aku temui Mamimu dulu ya." 

Dea mengangguk sambil tersenyum. Setelah Jo pergi, Dea melanjutkan aktivitasnya namun smartphone Jo yang berbunyi mengalihkan perhatian Dea. 

'Maya sent you an image'. Notif itu muncul sampai 5x. Dea sebenarnya menanggapi hal-hal macam pengiriman foto antar teman dengan biasa saja. Dia juga bukan tipe yang mencurigai pasangannya. Tapi untuk saat ini, Dea meras curiga, merasa perlu untuk mencari tahu. 

Dea kemudian membuka kunci smartphone Jo berdasarkan pattern yang dia pernah curi-curi lihat. Tidak sulit, pattern-nya huruf D. Berhasil membuka kunci, Dea langsung masuk ke aplikasi WhatsApp, tepatnya pesan yang dikirim oleh 'Maya'.

Foto yang dikirim Maya ini sontak membuat Dea terbakar. Dari 5 foto, 4 foto adalah foto selfie Maya dan Jo, dengan jarak yang begitu dekat. Foto kelima yang membuat Dea semakin marah. Foto itu disertai caption, 'this pict of us kissing at that moment, taken by Erwin. Never thought he'd be so paparazzi-wanna-be LOL' 

Dea entah harus bereaksi apa. Apakah langsung mengkonfrontasi Jo atau pura-pura tidak tahu. Yang jelas saat ini Dea langsung memforward foto-foto tersebut ke nomornya. Setelah yakin sampai, Dea menghapus jejak bahwa foto itu telah sampai ke iPhone-nya, mengeluarkan aplikasi WhatsApp, mengunci smartphone, lalu melanjutkan kegiatan memasaknya. Dea berusaha menjaga perasaannya yang langsung terbakar amarah dan cemburu, serta ekspresinya agar tidak terlalu kentara. 

"Day," 

Dea berbalik, melihat Mami dan Jo berjalan beriringan. Lengan kemeja Jo digulung sampai ke siku. Wajahnya tampak capek tapi bibirnya menyunggingkan senyum. 

"Mami abis minta Jo ngapain?" 

"Metikin mangga," sahut Mami, menyodorkan beberapa mangga dalam pangkuannya. 

"Ya ampun Mami," Dea tergelak. Menghampiri Mami dan mengambil mangga-mangga itu. Dea meletakkan mangga di wadah buah, mangga yang begitu ranum dan sepertinya manis juga. 

"Kamu mau mangganya?" Dea menoleh pada Jo yang sekarang sudah duduk di tempat tadi. Diikuti Mami di sebelahnya. 

"Boleh," 

"Sebentar ya," Dea akan berbalik untuk mengupas mangga namun berhenti. "Wajah kamu.." 

Dea menarik selembar tisu lalu mengelap wajah Jo yang sedikit kotor dan berkeringat. 

"Oops Mami ganggu nih. Panggil Mami kalau mangganya udah siap ya," ujar Mami lalu ngeloyor pergi. 

Dea dan Jo tertawa. Dea memutuskan akan pura-pura tidak tahu. Sementara ini. 

*** 

"Dalam rangka apa kamu tiba-tiba minat futsal?" Dea bertanya begitu bertemu dengan Jo di tempat futsal pada Jumat malam. Sepulang kantor, Dea langsung menuju tempat futsal karena tiba-tiba Jo mengajaknya menemani futsal. 

"Udah lama aja gak olahraga bareng temen-temen," jawab Jo. Dia sudah berada dalam setelan futsal karena sampai lebih dulu. Jo mengulurkan tangan dan membuat mereka masuk ke area futsal sambil bergandengan tangan. 

"Hei, jadi ini calon istri Jo yang jago masak?" Adalah kalimat yang pertama menyambut Dea begitu dia sampai ke kerumunan teman-teman Jo. 

Mendengar itu, Dea cuma cengengesan dan mengangguk. 

"Gue Erwin," sahut orang tadi, mengulurkan tangan kepada Dea. 

"Halo, Dea," jawab Dea dengan sopan. 'Jadi ini yang fotoin Jo sedang ciuman dengan perempuan lain?' 

Jo lalu memperkenalkan teman-teman lainnya, termasuk beberapa teman perempuan yang ikut untuk menonton. 

"Halo Dea. Gue Maya," Dea sampai pada seorang perempuan yang mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah. Bisa dibilang ramah kalau Dea tidak tahu bahwa dia ada apa-apanya dengan Jo. Perempuan itu lebih pendek dari Dea tapi lebih kurus. Mengenakan celana kulit yang menurut Dea terlalu gaul untuk dipakai bekerja atau ke tempat futsal. Atasannya blus yang cukup terawang. Rambutnya yang ikal bergerak anggun ala iklan shampoo. Sepatunya, sungguh membuat Dea iri. Semi-boots dengan ujung runcing dan hak setinggi 3 senti. 'No wonder you want to kiss this chick, Jo,' pikir Dea. Terbakar cemburu lagi. 

"Halo Maya. Lo cantik banget. Punya pacar?" komentar Dea. Spontan dan sekaligus ingin menyindir. Bisa Dea rasakan bahwa Maya melirik Jo sekilas namun langsung memandang Dea dan menggeleng. 

"Lagi jomblo, sayangnya," jawab Maya lalu tertawa. Diikuti Dea yang ikut tertawa. 

"Semoga cepet nemu pasangan ya. Cewe keren kayak lo sayang banget kalau masih jomblo," 

Maya tertawa. Tawanya tidak terdengar melecehkan atau sinis memang. "Thanks Dea. Doain aja." 

Mereka bermain futsal sampai pukul 10. Setelah itu beranjak mencari makan malam beramai-ramai. Selama itu Dea selalu memperhatikan bagaimana Maya bersikap pada Jo. Biasa saja. Dia bahkan lebih sering berinteraksi dengan teman-teman perempuan lain. Namun ketika mengingat foto bukti asli, Dea yakin bahwa dia tidak boleh terlalu percaya pada apa yang terlihat. Apa yang terlihat belum tentu apa yang benar-benar terjadi. 

Jo mengantarkan Dea ke rumah hampir pukul 12 malam. 

"Baru kali ini aku antar kamu pulang sampai semalam ini," Jo menatap ragu-ragu ke arah rumah. 

"Iya, tapi Mami dan Papi kayaknya tenang aja karena aku pergi sama kamu," Dea membuka kunci pagar. Sebelum masuk, Dea kembali memandang Jo. 

"Syukurlah aku mengembalikan putri sulung Tante Indah dan Om Ryo dengan selamat dan sehat," sahut Jo dengan lega. 

"Yes. Sana kamu pulang, istirahat deh." 

"Ya, sayangku. Makasih sudah menemani aku malam ini ya," Jo mengelurkan tangan dan mengelus pipi Dea. Masih belum berani bertindak lebih dari memegang tangan atau mengelus pipi. 

"You're welcome," balas Dea. Dea masuk ke carport lalu mengunci pagar. Sementara itu Jo berbalik untuk masuk kembali ke mobilnya. 

"Jo," panggil Dea. Tepat sebelum Jo masuk ke mobil. 

"Ya?" 

"Selingkuhan kamu cantik dan baik juga ya," ujar Dea refleks. Bibirnya tersenyum kecut. 

Jo membeku, wajahnya langsung kaku. Pelan-pelan Jo berjalan menghampiri Dea. 

"Maksud kamu apa?" tanya Jo pelan. 

"This," Dea mengulurkan iPhone yang sekarang menampilkan foto Jo dan Maya sedang bermesraan. "And this. This. And this." 

Satu per satu foto Jo dan Maya ditampilkan Dea. Semakin keruh pula wajah Jo. 

"Kalian cocok kok," bisik Dea tanpa mampu menyembunyikan sakit hatinya. 

"Dea, Dea, ini gak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa jelaskan. Kamu jangan marah. Dea!" Jo terus berseru namun Dea tak mau mendengar. Dea sudah berlari menuju rumah, cepat-cepat membuka pintu, menguncinya kembali dan masuk ke kamarnya. Menangis 

***

"Dea, My Loveliest Friday, aku gak akan membantah bahwa foto yang kamu tampilkan adalah fotoku dan Maya. Yeah, that was me and her. We were on vacation together, with friends, to Pahawang Island. Kejadian itu ada diantara waktu aku ke rumahmu dan kamu menolak untuk bertemu aku dan ketika kamu akhirnya mah bicara denganku lagi di telepon. We took a selfie coz its what everyone did at that time. Ga ada perasaan apa-apa di dalamnya. Sedangkan foto yang lainnya, ya, itu aku, dia tiba-tiba menciumku, Day. Namun salahku juga adalah aku tak berusaha untuk menjauh dari Maya. 
Untuk itulah aku benar-benar minta maaf atas kesalahanku dan ketidakberdayaanku menolak godaan perempuan lain. Yakinlah bahwa aku menyesal, Day. Cuma kamu yang aku cinta. Percaya ya Day. Maafkan aku ya Sayangku,"

Dea membaca ulang pesan yang dikirimkan Jo 5 menit setelah mereka berpisah. Dea tidak berminat untuk membalas, yang ada cuma sakit hati. 

"Kok bisa sih kamu gak nolak cewe lain, Jo? Kebiasaan di luar negeri? Katanya cinta, tapi bisa-bisanya cium cewe lain," berulang-ulang Dea mengucapkan pertanyaan itu ke dirinya. 

"Kita putus. Putus pacaran. Putus perjodohan. Putus semuanya," balas Dea 3 hari berikutnya. Membuat Dea mendapatkan ratusan missed calls dan pesan dari Jo. 

*** 

Beberapa kali Jo sempat menghampiri rumah Dea, rutinitasnya pasca mereka resmi menjalin hubungan. Pagi-pagi mampir untuk menjemput Dea sekaligus membawa bekal makan siang buatan Dea. Malam hari kadang mengantar Dea pulang kalau jadwal pekerjaan mereka seiring. Setelah Dea mengetahui perselingkuhan Jo, Jo tetap datang namun Dea tak mau membukakan pintu. Sampai akhirnya beberapa hari terakhir ini Jo tak lagi mampir ke rumah Dea. 

"Sayang," panggil Mami pada Dea. Namun Ines dan Papi juga ikut menoleh. Panggilan khusus Mami pada Ines adalah 'Desay' alias 'Dedek Sayang' dan untuk Papi adalah 'hubby'. 

"Kamu kok gak bilang sama Mami kalau Jo sakit?" 

Dea mengerutkan kening. 

"Jo sakit?" 

"Kamu gak tahu?" Dea menggeleng. Mami menjelaskan. "Tadi siang Mami dapet WhatsApp dari Titi. Katanya dia baru Skype sama Jo dan Jo cerita bahwa dia udah 2 hari ga masuk kantor." 

Mendengar itu Dea langsung gusar. Mami sepertinya paham bahwa ada sesuatu diantara Dea dan Jo, sampai Dea tidak tahu bahwa Jo sedang sakit. 

"Berhubung keluarga Karim sama Titi semuanya di Palembang, jadi cuma kita yang bisa dibilang deket sama Jo. Makanya besok Mami rencananya mau ke rumah Jo, kalau perlu ajak Jo ke rumah sakit. Kasian deh dia kalau sakit ga ada yang ngurus gitu." 

Dea tidak berani menanggapi Mami. 

"Ines mau ikut?" Mami menoleh pada Ines. Kalau Ines bilang bisa, Dea akan bisa menghindar dari menemani Mami. 

"Ines kan ada acara BEM, Mi. Nginep di Puncak dari besok sampai Minggu," 

"Oh iya. Papi?" 

"Papi harus ketemu klien besok, nemenin golf," 

"Jadi, Dea?" Mami kembali ke Dea. 

"Mami bisa tunggu Papi temenin, hari Minggunya," jawab Dea. 

"Hush, kasian Jo. Kalau ternyata sakitnya parah dan telat dibawa ke rumah sakit gimana?" 

"Mami naik taksi aja," 

"Susah banget ntar kalau mau ke rumah sakit lah, ke apotek lah, apa lah," 

Dea memutar bola mata. Emang sejak awal sudah konspirasi bahwa Dea yang harus menemani Mami ke rumah Jo. Padahal Dea sedang sangat tidak mau bertemu Jo, apalagi setelah Dea memutuskan Jo sepihak. 

"Iya iya," akhirnya Dea menyerah. 

***

Keesokan paginya, Dea dan Mami sudah berada di depan rumah Jo. Baru pertama kali ini Dea mampir ke rumah Jo tapi Dea ingat bahwa ini rumah yang Dea rekomendasikan saat dulu menemani Jo memilih rumah. 

Pintu pagar tidak dikunc, Mami memutuskan untuk masuk begitu saja. 

"Mami ih, ini rumah orang," bisik Dea. 

"Jo ga akan marah sama kita," ujar Mami lalu masuk ke halaman. Dea mengikuti dari belakang. 

Di pintu masuk baru Mami mengetuk pintu. Tak butuh lama, pintu dibuka dan muncullah Jo. Dengan kaus dan celana pendek serta wajah berkeringat dan aura panas menguar dari tubuhnya. 

"Tante Indah, Dea," bisik Jo. 

Namun Dea memandang jauh ke belakang Jo. Ke orang yang tadi duduk di sofa dan sekarang berdiri lalu menghampiri Dea, Jo, dan Mami. 

"Busted," bisik Dea lalu berbalik dan berlari. Mami kebingungan melihat Dea, Jo bermaksud mengejar tapi tenaganya tampak hilang. Jadi yang berlari kencang, memegang tangan Dea dan menghalangi langkahnya adalah Maya. 

"Ngapain lo ngejar gue?" Dea masih bisa membentak Maya padahal air matanya sudah mengucur deras. 

"Karena gue butuh menjelaskan," jawab Maya kalem. 

"I dont need your explanation," Dea masih ngamuk. 

"Yes you do! Satu, gue sama Jo memang ciuman," Dea berjengit saat Maya bilang ini. "Tapi itu sebelum gue tahu bahwa dia punya pacar, tunangan, calon istri, apapun lah istilahnya. Gue memang niat untuk PDKT-in Jo tapi setelah gue tahu, gue ga minat. Sorry," 

Dea berdiri gelisah. Di belakangnya, Jo tampak ingin mengkerut karena dihujani tatapan galak oleh Mami. 

"Kedua, gue udah marahin Jo. Gue juga udah minta maaf. Gue ingetin dia berkali-kali untuk jangan sampai kebablasan lagi kayak gini. Gue rmang pemberani De, tapi gue juga bukan tipe cewe yang mau diduain." 

Dea masih gak nyaman mendengarkan penjelasan Maya. 

"Ketiga. Siang ini tuh gak cuma gue yang mau ke sini. Anak-anak lain juga. Tapi karena gue mau menjelaskan hal-hal ini ke Jo, jadi gue dateng duluan. Kalau udah kayak gini, kayaknya anak-anak gak perlu kesini lagi." 

Dea masih diam saja. Kalaupun penjelasan Maya memang benar, perbuatan Jo tetap tak bisa dimaafkan begitu saja. 

"Gue balik dulu De. Kasian tuh cowo lo lemes banget gitu," Maya berbisik lalu menepuk pundak Dea dan berbalik. Memasuki mobil merah terang miliknya. 

"Sayang," Mami memanggil Dea dan memberi isyarat untuk masuk. Pelan-pelan Dea berjalan kembali ke rumah tanpa memandang Jo. 

"Jo," panggil Mami. Mereka sekarang duduk di ruang tamu yang sudah ditaruh sofa. Dea duduk di samping Mami, memandang ke lantai. 

"Ya Tante," jawab Jo dengan suara serak. 

"Tante memang bukan keluarga kandung kamu. Tapi Tante salah satu temen deket orang tua kamu yang sudah menganggap kamu sebagai anak Tante sendiri. Oleh karena itu Tante punya 'beban moral' untuk menjaga kamu. Terlepas dari apa yang terjadi antara kamu dan anak Tante," Mami melirik Dea saat bicara ini. "Tante akan tetap jagain kamu karena Tante diamanahkan hal itu oleh Karim dan Titi."

"Ya Tante," cuma itu yang bisa Jo ucapkan. Masih tidak enak pada Mami karena masalahnya dengan Dea. 

"Jadi kamu sakit apa?" 

"Pusing, panas, mual," jawab Jo singkat. 

"Udah ke rumah sakit?" tanya Mami lagi. 

"Belum, Tante. Ga berani ke Rumah Sakit sendiri," 

"Udah minum obat?" 

"Cuma yang ada aja," 

"Sehari makan berapa kali?" 

"Satu kali, Tante," jawab Jo malu-malu. 

Mami geleng-geleng. Dalam hati Dea merasa miris. 

"Day, ayo kita ke rumah sakit. Jo, berangkat sekarang ya," 

Mendengar titah sang Mami, tanpa banyak bicara Dea langsung bangkit dan berjalan menuju mobil, menyalakan mesin dan siap di balik kemudi. 5 menit kemudian Mami dan Jo muncul. Jo sudah mengenakan jeans dan jaket. Ia mengunci rumah dan masuk ke kursi belakang, kata Mami agar Jo bisa bebas rebahan. 

Pilihan Mami adalah RS Mitra Keluarga, terdekat dari rumah Jo. Mereka langsung mencari dokter dan mendaftar. Sepanjang menunggu, Dea tak menatap Jo sedikitpun. Kalaupun ada obrolan, hanya diantara Mami dan Jo. Sadar bahwa ada masalah antara Jo dan Dea, berkali-kali Mami meremas tangan Dea, menguatkan. 

Jo divonis terkena tipes. Karena jadwal makan yang berantakan dan aktivitas berlebihan. Agar cepat sembuh Jo harus dirawat saat itu juga. 

Mami memerintahkan Dea untuk membawa barang-barang Jo dari rumah sementara Mami mengurus rawat inap Jo. Sebelum Dea berangkat kembali ke rumah Jo, Jo menaruh kunci di tangan Dea dan menyempatkan memegang tangan Dea 

"Maafin aku, Sayang," bisik Jo. 

Dea cuma menepiskan tangan Jo, mengambil kunci rumah lalu berbalik pergi. 

***

Mami bela-belain ambil cuti selama 2 hari demi menemani Jo di rumah sakit. Sementara itu Dea sebisa mungkin menghindari bertemu Jo. Jika Mami membutuhkan Dea, Dea hanya mengantar sampai ke pintu dan tidak pernah sampai masuk ke kamar. Mami tahu alasan Dea bersikap seperti itu (thanks to Maya) sehingga Mami tidak membahas apapun tentang sikap Dea, apalagi tentang perjodohan. 

"Mami harus masuk kerja besok, Sayang. Ada launching program divisinya Mami. Kamu bisa cuti buat jagain Jo gak?" Kalimat yang Mami ucapkan sungguh membuat hari Dea yang cerah berubah keruh. 

"Jo kan udah gede, ga usah dijagain terus sih Mi," balas Dea. Tiba-tiba kehilangan nafsu makan. 

"Ayolah De. Cuma nemenin doang kalau-kalau dokter ada pesan tertentu. Ga usah seharian deh, yang penting sore aja kamu udah di rumah sakit. Soalnya besok Jo harus cek darah lagi," 

"Ya ya Dea pikirin dulu," 

"Ga usah dipikirin, iyain aja, Friday," 

"Iya Mami iyaaaa," 

Maka disinilah Dea berdiri. Setelah ijin setengah hari dan besok bermaksud cuti, Dea menyanggupi perintah Mami dan menemani Jo di rumah sakit. 

Klik. 

Pintu ruang VIP terbuka dan Dea masuk disambut tatapan salah tingkah dari Jo. Tanpa bicara apa-apa Dea menaruh barangnya di meja dan duduk, mengeluarkan buku bacaan lalu mulai membaca. 

"Dea," panggil Jo. Dea tidak menggubrisnya. "Maaf merepotkanmu." 

Dea masih tidak merespon. Mereka saling berdiam diri. Jo kembali menonton tayangan National Geographic. Saat dokter dan suster masuk untuk cek darah, barulah Dea bangkit dan mendekati ranjang Jo. 

"Wah yang jaga beda. Lebih cepet sembuh dong kalau yang jaga cantik begini," ujar dokternya iseng 

Dea tertawa. "Saya adiknya Kak Jo, dokter,"

Jo langsung melotot. 

"Oh, adik yang baik ya," Dea mengangguk. "Adiknya Jupiter udah punya pacar belum? Kalau belum, anak Dokter masih single lho, lagi ambil spesialis."

Godaan dokter langsung membuat Dea tertawa. Sebaliknya, Jo malah langsung sewot. 

"Jangan Dok, adik saya belum move on dari mantannya," seru Jo. Gantian, Dea yang melotot. Jo pura-pura tidak melihat reaksi Dea. 

Dokter selesai mengambil sampel darah Jo dan langsung membawanya ke lab. Meninggalkan Dea dan Jo berdua lagi. 

"Sejak kapan kamu jadi adikku?" 

"Barusan," jawab Dea santai. Kembali menekuni bukunya. 

"Segitunya ya Day," ujar Jo, kecewa. "Kamu udah dengar penjelasannya. Kenapa kamu gak mau maafin aku?"

"Kamu tahu kan gimana pandanganku tentang cowo yang selingkuh? I guess thats enough to explain everything," Dea mendesis, matanya menyipit. Sontak membuat Jo melenguh. 

Hasil lab keluar dan menunjukkan bahwa kondisi Jo sudah membaik. Besok Jo sudah bisa pulang. Ini membuat Dea lega karena ia tak perlu menemani Jo lebih lama. 

"Besok sudah bisa pulang. Tapi jangan dulu masuk kerja. Istirahat dulu aja sampai minggu depan ya. Makanannya tetep harus dijaga, obatnya juga," begitu pesan dokter yang ditanggapi dengan anggukan dari Dea dan Jo. "Nah kalau adiknya Jupiter sudah move on dari mantannya, hubungi dokter ya." 

Dea tertawa lagi. "Dokter mau catat nomor saya sekarang aja?"

Jo langsung sewot, benar-benar tidak terima. "Dokter bercanda kan?" 

Dokter tertawa, dia berpamitan lalu meninggalkan Dea kembali bersama Jo. 

"Beneran kamu udah kepikiran cowo lain?" tanya Jo

"Apa sih," komentar Dea, jutek. Dia kembali ke sofa tempat dia akan tidur malam ini. 

"Jangan cari cowo lain," bisik Jo, sedikit memohon. Respon Dea cuma memperhatikan Jo dengan tajam namun tak bicara apa-apa. 

Mereka kembali menghabiskan waktu dalam diam. Dea memainkan iPhone, Jo memilih fokus menonton TV. Saat makan malam tiba barulah Dea menghampiri Jo lagi. 

"Selamat makan ya," kata suster dengan ramah. Ditanggapi anggukan oleh sang pasien dan penjaganya. 

"Suapin," Jo merajuk manja. 

"Kamu kan udah bisa makan sendiri," seru Dea

"Tanganku masih lemes banget," balas Jo. Ia pura-pura mengangkat tangannya tapi gagal. 

"Hhh," keluh Dea. Akhirnya menarik kursi dan duduk di samping Jo, mulai menyuapi Jo. 

Saat makan malam inilah smartphone Jo berbunyi. 

"Skype dari Ayah dan Ibu," Jo menginfokan. 

"Halo Yah, Bu. Eh ada Kak Bumi juga," sapa Jo kepada smartphone-nya. 

"Halo," terdengar balasan dari smartphone. Dea tidak dapat melihat layar jadi dia diam saja. 

"Gimana keadaan kamu Jo?" tanya Ibu Jo, Tante Titi. 

"Alhamdulillah mendingan Bu. Besok sudah boleh pulang," 

Gumaman syukur terdengar lagi dari ketiga orang itu. 

"Sekarang lagi apa?" Tante Titi bertanya lagi. 

"Lagi makan," Jo berdeham, sengaja memberi jeda untuk efek dramatis. "Disuapin Dea." 

Jo mengarahkan layar smartphone-nya kepada Dea. Membuat Dea langsung menghadapi Om Karim, Tante Titi, dan kakak Jo, Bumi. 

"Halo semuanya," sapa Dea malu-malu. Sampai-sampai melambaikan sendok yang dia pegang. 

"Hai, Friday. Finally see your real face. Cant wait to meet you in person," sapa Bumi. Dea mengangguk. 

"Makasih sudah menjaga Jo, ya Dea," ujar Tante Titi. 

"Maaf merepotkan ya Dea. Kamu menginap malam ini?" kali ini Om Karim yang bertanya. 

"Iya Om," 

"Jo, jangan macem-macem ya," tambah Om Karim. Jo mengarahkan kamera kembali ke arahnya. 

"Emangnya bisa macem-macem ngapain Yah? Kan Jo lagi sakit?" 

"Ya sudah. Istirahat ya kalian berdua. Supaya besok bisa cepat pulang," ujar Om Karim lagi. 

"Ya Ayah," 

"Terima kasih ya Dea, jaga kesehatan. Jangan sampai kamu sakit juga," Tante Titi berpesan kepada calon menantu idamannya. 

"Iya Tante. Terima kasih," 

Sambungan Skype diputus. Dea kembali melepas senyum palsunya. "Nih makan kamu abisin," ujar Dea yang ditanggapi tanpa banyak bicara dari Jo. Selesai makan, Dea membantu Jo minum obat, berusaha untuk tidak memandang Jo walaupun itu hal yang sulit sekali karena Jo terus memandangnya dengan intens. 

"Dea," panggil Jo. 

"Apa sih?" Dea berbalik dalam perjalanannya menuju sofa. 

"Terima kasih," bisik Jo pelan. Wajah Dea langsung bersemu kemerahan dan dia buru-buru masuk ke toilet, berganti baju dan bersiap tidur. 

Jo tidak benar-benar bisa tidur selama 2 jam saat Dea sudah mulai terpejam. Berbekal bantal dan selimut, Dea tidur. Ini sedikit membuat Jo tidak enak hati karena membuat Dea tidur dalam kondisi begini. Malam sebelumnya ada Om Ryo yang menemani Jo dan tidur di tempat Dea ini. 

Perlahan, Jo turun dari tempat tidur dan berjalan pelan ke arah Dea sambil menyeret infus. Jo duduk di samping Dea dan memperhatikan Dea tidur. 

"Aku memang bukan laki-laki yang selalu buat kamu tersenyum. Bahkan lebih sering menyakiti hati kamu. Tapi Day, aku selalu cinta dan selalu akan melakukan yang terbaik buat kamu. Maafin kesalahan aku ya Sayang. Aku cinta kamu," Jo berbisik di telinga Dea. Sedikit banyak berharap Dea mampu mendengar. Setelah itu Jo mengulurkan lehernya dan mencium kening Dea. 

***

Sekali lagi Dea membantu Jo tanpa banyak bicara. Setelah masing-masing selesai mandi, Dea membereskan barang-barang Jo lalu mengurus pembayaran. Setelah itu kembali ke kamar untuk menjemput Jo. 

"Sebete-betenya kamu sama aku ternyata kamu masih perhatian ya," ucap Jo saat mereka berjalan keluar. 

"Cuma tanggung jawab moral aja," komentar Dea. "Kamu tunggu disini, aku ambil mobil di bawah." 

Dea meletakkan tas berisi barang Jo di kursi yang terletak di lobby RS dan berjalan cepat ke arah parkiran. Jo tak perlu menunggu lama, ketika Yaris biru Dea muncul, Jo perlahan menenteng tasnya dan masuk ke mobil. 

"Bisakah kita baikan lagi Day?" Jo memulai pembicaraan dengan topik yang sebenarnya ingin Dea hindari. 

"Aku sedang sangat tidak ingin membahas hal itu, Jo. Hanya karena Mami minta aku bantu kamu maka aku ada di sini. Aku tidak mau kena resiko amuk Mami, percaya deh kamu gak mau lihat Mami ngamuk, dengan menurunkan kamu disini hanya karena kamu terus membahas perihal hubungan kita." 

"What should I do then, Day?" bisik Jo hampir putus asa. 

"Satu, gak usah bahas soal kita lagi. Dua, cepet sembuh. Tiga, cari cewe lain kalau perlu," 

"Yang ketiga jelas gak jadi opsi," komentar Jo. Sepanjang obrolan ini Jo tidak sedikit pun melepas pandangannya dari Dea. Kebalikan dari Dea yang tidak memandang Jo sekalipun. 

"Sesukamulah Jo," Dea kemudian menyalakan radio dan menyetel volume sekencang-kencangnya. Entah karena bingung ingin bicara apa lagi atau mungkin karena masih lelah, Jo memilih untuk memejamkan mata. Syukur bagi Dea, dia tidak perlu menanggapi pertanyaan-pertanyaan Jo. Pertanyaan yang sebenarnya ingin Dea jawab bahwa dia pun mencintai Jo. 

"Jo, sampai," Dea mencolek lengan Jo saat mobil Dea sudah sampai carport rumah Jo. 

"Hmm," gumam Jo, matanya masih terpejam. Dea menggeleng lalu turun dari mobil, mengambil tas berisi barang Jo dari jok belakang dan tasnya sendiri, lalu masuk ke rumah. 

"Udah kayak rumah sendiri aja, Day," ucap Dea pada dirinya sendiri. Menggeleng. 

Dea meletakkan barang Jo di karpet depan TV setelah itu berbalik, bermaksud pulang, ketika dilihatnya Jo sudah berdiri di depan Dea. Sebelah tangannya terulur, menahan Dea dan tangan lainnya memegang smartphone. 

"Tante Indah lagi jalan kesini pakai taksi. Kamu diminta nunggu dulu biar kalian bisa pulang bareng," ujar Jo. Lalu perlahan dia duduk di sofa dan menatap Dea. Menepuk sofa di sebelahnya, mengisyaratkan Dea agar duduk. 

Dea pun duduk. Dengan jarak 1 meter dari Jo. Suasana awkward muncul lagi diantara mereka. 

"Ah," Dea teringat sesuatu, ia pun mengeluarkan obat dari tasnya. "Ini obat yang masih harus kamu minum. Ada 4 macem. Ada yang sebelum dan ada yang sesudah makan. Jangan lupa diminum obatnya supaya cepet sembuh." 

Dea bangkit berdiri lalu meletakkan kantung obat di samping Jo dan berbalik. Namun tangan Jo menarik tangan Dea. 

"I have failed many times but you know I'll try to always be the best man you ever had. Please forgive me. You know I love you," ucap Jo sambil berdiri dan menatap lekat mata Dea. 

Bukannya bersikap galak seperti tadi, kali ini Dea malah tersedu. 

"Why are you cryin?" Jo jadi kebingungan. Buru-buru Jo memeluk Dea. 

"Aku ga tau Jo. Aku takut kamu melakukan kesalahan yang sama lagi," 

"I wont do the same mistakes ever again, Day. Aku tahu gimana rasanya kehilangan kamu dan aku gak mau itu terjadi lagi. Memang aku gak janji untuk selalu benar dan gak bikin kamu nangis. But believe me, I'll always try. So please give me another chance," Jo berbisik di telinga Dea sambil memeluk gadis kesayangannya ini. 

Ketika Dea masih belum merespon, Jo mengendurkan pelukannya, menyentuhkan keningnya ke kening Dea. "Still thinking?" 

Dea menggeleng, mengusap pelan air matanya. 

"You dont love me?" 

"Of course I do! Kalau gak, mana mungkin aku mau nemenin kamu kayak gini," Dea memukul pelan dada Jo. Jo tertawa senang, karena ternyata Dea balas mencintainya. 

"Jadi bukan karena beban moral buat Mami?" 

"Itu iya juga," jawab Dea. 

Jo tersenyum, Dea pun mulai berhenti menangis. Mereka saling berpandangan dan melempar senyum. 

"May I?" tanya Jo, kali ini meminta ijin terlebih dahulu. Untuk mengurangi resiko tambahan luka di pipinya. 

"Yes," jawab Dea. 

Perlahan, Jo mencium lembut bibir Dea. Dea memejamkan matanya dan merasakan hangat cinta Jo di sekitarnya. 

"Joooo, Fridaaaay," suara Mami mendadak terdengar begitu nyaring. Membuat Jo dan Dea refleks menjauhkan diri. Mereka saling memandang dan tertawa dalam diam. 

"Masuk aja Mii," jawab Dea. 

"Senang akhirnya Jo pulang dari rumah sakit. Ini Mami bawain cemilan sama bahan masakan buat makan Jo. Terus..." Mami tiba-tiba berhenti karena melihat tangan Jo merangkul pinggang Dea. "Karim dan Indah bulan depan ke Indonesia. Apa mau sekalian ngadain tunangan?" 

Dea dan Jo berpandangan, lagi-lagi tertawa. 

"Langsung akad juga boleh Tante," jawab Jo sebelum mencium kepala Dea. 
 
-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?