Kamu (Bukan) Yang Kutunggu
“Halo ganteng,” aku berseru cukup kencang sehingga bisa didengar hingga radius 5 meter. Orang yang kusapa hanya menoleh sedikit lalu kembali menekuni PC-nya. Sepagi ini dia sudah sibuk bekerja. Sementara aku masih berniat sarapan di meja temanku, Rena, yang duduknya tepat di sebelah meja Adri. Mejaku sendiri berada cukup jauh dari tempat duduk Rena dan Adri, namun karena konsep tempat kerja kami adalah open working space, dari jauh pun aku masih bisa melihat Adri. Idolaku, motivasiku, warna di kantorku.
Kuletakkan kotak bekal di meja Rena, tepat di sebelah Tupperware Rena yang berwarna hijau, warna favoritnya. Kotak bekalku sendiri bergambar Hello Kitty, tokoh favorit hingga aku dewasa. Sungguh terbalik. Kubuka kotak bekal dan muncullah buah papaya, anggur, pir, juga brokoli dan wortel yang sudah direbus. Sementara Rena, dia membawa bubur yang dia buat sendiri.
“Ganteng, udah sarapan?” aku menggeser kursi hingga ke sebelah Adri, membawa kotal bekalku. Dia melirik sekilas kotak yang kubawa.
“Udah,” jawabnya singkat, kemudian melanjutkan lagi mengolah angka-angka yang tidak kupahami.
“Sarapan sama apa?” aku masih gigih bertanya meski gesture Adri dingin begitu.
“Mi ayam,” kali ini Adri menjawab tanpa mengangkat wajah dari PC-nya.
“Udah, Ya. Adri lagi disuruh ngolah data buat meeting jam 10. Jangan diganggu ah,” Rena menarik kursi yang kududuki dan kursi itu langsung menggelinding kembali ke meja Rena.
“Happy woking, Adri!” aku masih sempat berseru meski Rena sudah menarik kursiku menjauh.
***
Namanya Adrian Arnata Kusumah. Orangnya tidak banyak bicara, lebih banyak bekerja. Jarang tersenyum tapi tawanya bisa lebar saat membahas sesuatu yang menurutnya benar-benar menarik. Dikenal dan mengenal hampir semua orang di kantor pusat (yang jumlahnya sekitar 200 orang) tapi tidak banyak yang dekat dengannya. Tingginya 175 cm dengan berat 70 kg. Rambutnya lurus dan dipotong dengan model ala Abimana Aryasatya di film 99 Cahaya di Langit Eropa. Wajahnya berbentuk kotak dan rahangnya tegas. Dari samping, hidungnya terlihat berbentuk segitiga siku-siku. Pundaknya lebar dan setiap kali melihatnya aku jadi ingin bersandar disitu. Bibirnya..lewatkan saja bagian ini.
Hampir setiap hari aku memperhatikan dan menyapanya, tapi dia tidak pernah balas menyapaku dengan cara yang aku mau. Dia hanya mengangguk, lalu pergi. Tapi itu tidak menyurutkan keinginanku untuk aktif menyapanya. Kami pernah beberapa kali keluar bersama (dengan sekitar 5 orang lainnya), terlibat pembicaraan singkat dan dari situ aku tahu bahwa ia memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi banyak mendengarkan. Wawasannya luas, analisanya tepat. Tidak heran dia lulusan universitas terkemuka dengan predikat cumlaude. Setiap hari dia ke kantor menggunakan mobil Honda Jazz berwarna silver. Turun dari mobil hanya membawa HP dan dompet, mengenakan sandal. Dia akan berganti sepatu di kantor. Dia datang ke kantor sekitar setengah jam sebelum jam masuk. Tak perlu repot-repot touch up di toilet seperti karyawan lainnya. Dia sudah bakat ganteng dari sananya.
Kenapa aku tahu begitu detil tentang dia? Aku suka padanya. Momen dimana dia tanpa bicara berpindah ke ujung sebelah kanan saat menyebrang, saat dia tiba-tiba turun dari mobilnya dan membantu pengendara motor yang terpeleset saat hari hujan, momen saat dia bermain begitu asyik dengan seorang anak rekan kerja yang diajak ke kantor. Momen-momen tersebut yang tanpa disadari dan tanpa dia usahakan, menjadi nilai tambah bagi dirinya untuk disukai.
Seperti halnya semua orang yang mau berusaha meraih hati orang yang disukainya, aku pun begitu. Menyapa Adri, mengajaknya makan siang atau menonton film di bioskop, dan lain sebagainya. Tapi semuanya nihil. Adri jarang membalas sapaanku, sebisa mungkin menolak ajakanku. Semua dibalas dengan gelengan kepala atau sekedar, “Tidak bisa.” Namun itu tidak menyurutkan semangatku. Selama Adri masih berstatus single, kesempatanku juga masih ada. Lagipula, Adri tidak melarang aku untuk mendekatinya. Kan?
Hampir dua minggu aku berangkat ke Pontianak untuk tugas, mengurusi pembukaan cabang baru perusahaan kami di sana. Cukup sibuk, mengingat ini cabang pertama di tanah Borneo. Begitu sampai di hotel, yang aku lakukan hanya bisa mengirim kabar ke rumah tentang aktivitasku seharian dan setelah itu lanjut tidur. Keesokan harinya bangun pagi, berangkat ke kantor, begitu seterusnya. Sebelum tidur aku menyempatkan diri untuk memandangi foto Adri yang diam-diam kuminta dari HRD saat dia pemotretan untuk ID Card. Di foto itu Adri telihat tampan sekali, tertawa lebar. “Duh Adri, aku kangen,” ucapku saat melihat tawanya itu. Betapa senangnya aku saat aku menjalani penerbangan kembali ke Jakarta pasca membereskan urusan di Pontianak.
***
Pagi ini aku sudah sampai di bagian Finance, divisinya Rena dan Adri, bahkan sebelum Adri sampai. Kalau Rena sih, dia memang suka saingan dengan Security untuk masalah datang pagi. Saat Adri tiba, aku langsung menghampirinya.
“Hai, Adri! Apa kabar?”
Adri menaruh dompet dan iPhone di meja lalu menoleh ke arahku. “Baik,” katanya sambil duduk dan menyalakan PC. Aku mendekati mejanya, meletakkan tangan di meja dan bersandar disitu.
“Dua minggu gak ketemu, kangen sama gue gak?” tanyaku dengan nada suara super ceria.
Adri menoleh ke arahku dan tiba-tiba dia tertawa. “Kangen,” katanya sambil mengacak rambutku lalu berdiri, berjalan entah kemana.
Aku terpaku. Perlahan menatap Rena. “Dia bilang apa tadi?”
Rena senyum-senyum geli. “Dia kangen lo katanya,”
“Wooooooooooooooooooooooow,” aku berteriak histeris. Rena langsung menutup mulutku. Setelah itu kami berdua tertawa tertahan.
***
Biasanya, jalan-jalan yang tidak direncanakan malah biasanya terwujud. Seperti sekarang ini. Aku, Rena, Adri, Erwan, Fita, Yunus, Jaka, dan Chilly tiba-tiba berada dalam mobil milik Jaka, meluncur menuju utara Jakarta. Kami semua akan menuju Dufan. Gara-gara Chilly (yang adalah tunangannya Jaka) tiba-tiba merengut minta diajak ke Dufan. Terakhir kesana saat SMA, katanya. Lalu dia memaksa Jaka menemani, dimana Jaka berpikir akan sangat aneh kalau hanya berdua ke Dufan, maka Jaka mengajak Erwan sang teman dekat, saat Erwan sedang makan siang bersama Fita, Yunus, dan Rena. Ketiganya semangat untuk ikut serta dan Rena memaksa Jaka untuk mengajak aku dan Adri juga. Maka lengkaplah, kami berdelapan berdesakan di Avanza Veloz milik Jaka. Jaka dan Chilly duduk manis dan leluasa di depan. Aku, Fita, dan Rena di bangku paling belakang. Sementara ketiga pria duduk berdesakan di tengah. Sepanjang perjalanan, aku memandangi Adri yang terus memandang ke luar mobil.
Begitu sampai di pintu masuk Dufan, aku dan Chilly kompak berseru, “Dufaaaannn!” Kami saling memandang, kaget karena kekompakan kami, lalu Jaka memotret kami yang sedang tertawa.
“Memangnya lo udah lama gak ke Dufan juga, Ya?” tanya Jaka saat memperlihatkan hasil foto aku dan Chilly.
“Mayan, terakhir kesini pas baru lulus kuliah. Which is sekitar 2 tahun lalu,” jawabku mengingat.
“Yuk masuk,” Rena menarik tanganku dan langsung menuju pintu otomatis.
Belum apa-apa, aku sudah agak kepanasan, karena cuaca Jakarta ini. Untung hari ini aku mengenakan kaos dan celana pendek, serta sepatu Converse. Tidak ketinggalan baju ganti di ransel kecil. Rambutku kuikat ekor kuda dan kuoleskan sunblock di sekujur tubuh agar ketika pulang, badanku tidak belang.
Meskipun sang bride-to-be yang mengajak ke Dufan, lihat siapa yang lebih bersemangat menaiki berbagai wahana? Jaka dan Erwan! Keduanya tidak gentar menghampiri wahana-wahana ekstrim. Meskipun Chilly sempat menolak untuk menaiki wahana tertentu, tapi Jaka tidak berhenti, ia tetap naik sementara Chilly berbelok ke wahana yang lebih ‘manusiawi’, menarik kelompok lain yang mau ikut dengannya, yaitu hanya Rena. Sementara yang lain lebih memilih untuk ikut Jaka. Untung Chilly tidak ambil pusing dengan perbedaan tujuan ini.
Kami berkumpul kembali saat makan siang. Melihat foto-foto yang diambil setengah hari tadi. Banyak foto Chilly, tentu. Mengingat kamera itu milik Jaka.
“Eh, kalian berdua ini fotonya bagus deh,” Rena tiba-tiba menoleh ke arahku yang sedang menikmati es teh manis. Dia mendongak dari kamera yang sedang dilihatnya bersama yang lain. “Lo, Alya, sama Adri.”
Aku melirik ke arah Adri, dia penasaran saat namanya disebut tapi kemudian melanjutkan makannya yang belum selesai. Sementara itu aku berdiri dan menghampiri Rena, melihat layar kamera yang diangsurkan oleh Jaka.
Di foto itu hanya ada aku dan Adri. Sedang berjalan. Aku sedang menoleh ke arah kiri dan dia sedang menoleh ke arah kanan. Kami berdua benar-benar tidak sadar saat difoto. Ala-ala foto pre wedding. Aku menoleh kepada Rena dan dia menyeringai. Lalu aku berbisik ke Jaka, “simpenin fotonya buat gue ya.”
Jaka dan Chilly ikut menyeringai. “Siap,” kata Jaka.
Wahana yang kami naiki berikutnya adalah Arung Jeram. Fita dan Rena tidak ikut karena sedang datang bulan, takut ‘banjir’ katanya. Jadi berenam kami menaiki arung jeram. Aku dan Chilly berteriak-teriak saat air menghampiri kami. Sementara itu para pria hanya tertawa. Begitu turun, aku dan Chilly langsung sibuk memperhatikan sekujur tubuh kami yang basah. Fita dan Rena malah sibuk memotret. Saat aku sedang mengelap wajah dengan tangan, seseorang menyodorkan handuknya.
“Pake anduk aja,” kata Adri.
Aku terpana menerimanya, tapi cepat-cepat mengambil handuk itu dan tersenyum lebar. Kukira setelah itu dia akan pergi, tapi dia masih berdiri di depanku, membantu merapikan helaian rambut yang mencuat kesana-kemari.
“Bawa baju ganti gak?” dia berkata lagi.
“Bawa,” ujarku sambil menggoyangkan ransel di punggung.
“Mending ganti baju dulu, yuk,” Adri pun lalu merangkul pundakku dan membimbing menuju kamar ganti yang tidak jauh dari wahana Arung Jeram.
Enam orang lainnya terpana. Aku juga.
Hari semakin gelap. Sebelum Dufan ditutup, Jaka dan Chilly memilih Bianglala sebagai wahana terakhir. Tipikal pasangan, memilih sesuatu yang romantis. Kami mengantri dengan orang lain. Setelah ‘tragedi’ di Arung Jeram tadi, Adri hamper selalu berdiri di dekatku, meski dia tidak melakukan apa-apa lagi. Hanya berjalan bersama. Aku juga jadi tidak berani untuk melakukan apa pun, memilih diam, jadi irit kata. Sementara yang lain malah sibuk mengejek kami yang saling diam. Wajahku memerah, tapi Adri malah tetap santai-santai saja.
Begitu turun dari Bianglala, langit sudah benar-benar gelap, hanya sedikit orang yang masih berada di sini. Keempat temanku berjalan di depan, mengobrol tentang liburan singkat kami di Dufan. Pasangan penggagas acara hari ini berjalan sambil berangkulan di belakang. Aku berjalan pelan didampingi Adri, yang sedari tadi masih diam saja.
Mendekati pintu keluar, kami terpana oleh kerlap-kerlip Merry-Go-Round. Para wanita segera berlari untuk meminta diabadikan. Aku sendiri hanya tersenyum melihat mereka.
“Gak mau difoto juga?” akhirnya makhluk di sampingku angkat bicara juga.
Aku berbalik 90 derajat, mendongak untuk bicara pada orang yang 15 senti lebih tinggi dari aku.
“Udah kucel juga ah, males,” jawabku, tersenyum.
Adri tidak menanggapi lagi. Dia malah menunduk, semakin mendekat ke arahku. Dalam setengah detik kemudian aku sadar apa yang akan dia lakukan. Aku mulai berjiinjit, balas mendekati dia juga. Tapi saat jarak kami hanya tinggal 2 senti, aku menoleh, menurunkan kaki, lalu berjalan menjauhi dia.
***
Apa aku menghindari dia? Kurasa ya. Setelah kejadian dia hampir menciumku itu, aku tidak lagi berani menghampiri meja Rena. Hanya berani melihatnya dari jauh. Sesekali kuperhatikan dia dari jauh dan saat aku memandangnya, beberapa kali kulihat dia juga sedang melihatku. Tapi tidak ada apapun diantara kami. Dia kembali jadi dirinya yang pendiam dan dingin. Aku kehilangan keberanian untuk bersikap seperti dulu padanya. Rena dan seantero kantor kebingungan melihat perubahan sikapku itu. Tapi lama kelamaan mereka tak membahas aku lagi.
Pada akhirnya, akhir pekan adalah waktu yang kutunggu, karena aku tidak perlu mengatur bagaimana sikapku pada Ardi. Aku bersandar di sofa, menaikkan kaki ke meja dan menonton ulang When In Rome untuk kesekian kalinya. Hanya ada aku di rumah karena orang tua dan adikku masih di Bandung, baru akan kembali siang ini.
Ting tong!
“Mbaaaa, bukain,” aku berteriak pada asisten rumah tangga yang menemaniku di rumah. Ketika kusadari si mba sedang ke warung. Dengan malas, aku menekan tombol pause dan beranjak membuka pintu rumah.
“Hai,” sapa si tamu yang berdiri santai di depan rumahku.
Aku melongo. Refleks, kurapikan rambut yang sedari tadi terurai berantakan.
“A-ada perlu apa, Dri?”
“Baru sadar ternyata rumah lo gak jauh dari rumah gue. Jadi mumpung lagi lowong, gue main kesini. Sorry, gak bilang dulu. Lo lagi mau keluar?” Magic. Ini kalimat terpanjang yang dia ucapkan padaku selama ini.
Aku menggeleng kuat-kuat. Menyingkir untuk memberi jalan.
“Lagi mau santai-santai aja kok di rumah. Gak kemana-mana.Masuk, Dri.”
Adri masuk dan memandang sekilas ruang tamu. “Sini aja,” aku mengarahkannya ke sofa di depan TV, sekaligus kalau aku bingung mau membahas apa, dia bisa ku ajak menonton film. Drama sih, tapi ya sudahlah.
“Mau minum apa?”
“Apa aja,” Adri menjawab sambil tersenyum. Aku menelan ludah, mengangguk, lalu buru-buru kabur ke dapur untuk membuat sirup jeruk. Saat aku menghampirinya sambil membawa nampan, dia langsung sigap berdiri dan mengambil kedua gelas. Pelan-pelan meletakkannya di meja.
“Lagi nonton apa sih?” Adri duduk, kuikuti duduk di sebelahnya.
“When In Rome, kocak deh filmnya,”
“Drama ya?”
Aku mengangguk, mengangkat remote dan mulai melanjutkan filmnya. “Iya, komedi romantic gitu. Tapi bagus kok, gak menye-menye gitu. Nonton deh,”
Dia menurut, memalingkan wajah dari aku ke layar televisi. Belum lama kami menonton, dia sudah memalingkan muka ke arahku lagi.
“Lo sekolah deket rumah juga?”
Pertanyaan itu berlanjut ke pertanyaan lainnya. Akhirnya kami tahu bahwa sebenarnya kami satu SMP tapi beda SD dan SMA. Aku dan dia bergantian menyebut nama seseorang, ada yang kenal, ada yang tidak. Setelah ituu kami membahas masa-masa SMP sambil tertawa-tawa. Menyenangkan. Beberapa kali aku memandang Adri yang sedang tertawa, dengan takjub. Tak menyangka kami bisa seakrab sekarang ini.
Dia bahkan bisa melontarkan lelucon yang membuat kami berdua terbahak-bahak. Aku harus mencatat hari ini sebagai hari bersejarah.
“Udah ah, Di. Perut gue sampe sakit nih ketawa mulu,” susah payah aku berkata di sela-sela tawa, menahan perut yang mulai sakit.
“Ada lagi ceritanya, waktu itu pas selese bazaar di sekolah kita itu,” Ardi memaksa bercerita, dia juga masih nyengir iseng.
“Udah dulu udah. Lo cerita lagi, gue cium nih,” sebenernya aku Cuma menirukan ancaman ala aku dan gengku. Hanya saja saat berhadapan dengan Adri, ini terdengar seperti godaan. Kulirik Adri, berharap dia menganggapnya bercanda juga. Tapi ekspresi wajahnya berubah serius.
“Cium aja,” katanya pelan.
Atmosfer yang tadinya cair langsung berubah kaku. Kami berdua saling bertatapan tanpa bicara apa-apa. Kudengar di luar pintu pagar dibuka, ini kesempatan untuk kabur.
“Ada yang dateng, permisi,” buru-buru aku kabur dan membukakan pintu yang tadi kukunci. Adri mengikutiku dari belakang.
“Mama, Papa, udah pulang,” aku berseru saat mendapati mama, papa, dan adikku muncul.
“Iya nih. Eh ada tamu?” mamaku melihat sosok Adri yang langsung maju dan memperkenalkan dirinya.
“Adri, Om, Tante. Temen kantornya Alya,”
“Ya silakan dilanjut aja ngobrolnya. Om sama Tante mau istirahat dulu ya,” papa maju dan beranjak menuju lantai atas. Sebelumnya, papa melirik ke satu orang yang belum kusebutkan tadi. “Gio, makasih ya. Jangan kapok.”
“Siap om. Saya juga pamit pulang dulu,” balas Gio. Dia melirikku sekilas lalu berbalik dan masuk ke mobilnya lagi. Papa dan mama masuk ke kamar, sementara adikku Alya menatap kami berdua bergantian. Ketika aku memelototinya, baru dia nyengir dan masuk ke kamarnya juga.
“Gak kerasa udah jam 12. Lo mau makan, Di?” aku mengajak Adri masuk lagi tapi kali ini menghampiri meja makan.
“Lo yang masak?” tanya Adri, memandangi berbagai hidangan khas Indonesia yang tadi kubuat.
“Iya dong. Tadi pas lo dateng tuh gue lagi nunggu nasinya mateng. Sini,” kudorong salah satu kursi di meja makan dan duduk, Adri ikut duduk di sebelahku.
“Ma, Pa, mau ikut makan gak?” aku berteriak memanggil kedua orang tuaku.
“Ga usah, Alya. Tadi sebelum sampai sini kami udah makan,” sahut mama dari atas.
“Aku dong mau makan juga,” Kania keluar dari kamarnya, melompat-lompat kegirangan.
“Lho kamu bukannya udah makan sama mama papa?”
“Laper lagi,” jawab Kania lalu duduk di sebelah Ardi. Mereka berdua mengobrol akrab selama makan, sehingga aku lebih banyak memperhatikan mereka, ralat, Adri. Yang siapa sangka ternyata bisa akrab dengan gadis berusia 17 tahun.
“Gue mau cari buku malam ini. Lo mau ikut gak?” tanya Adri setelah kami selesai makan dan piring-piring dicuci Kania.
“Hmm, malam ini gue gak bisa, Di. Sorry ya. Memangnya lo mau cari buku apa?”
Adri mengangkat bahu. “Belum tau pasti. Apa aja yang bagus di Gramed,”
“Hmm, pasti banyak buku bagus kalau di sana. Tinggal ada duitnya atau gak,” aku tertawa, Adri nyengir.
“Mungkin lo bisa bantu pilihin buku yang bagus buat gue,” lagi-lagi Adri mencoba.
Senyum mengembang di bibirku. “Gak hari ini ya,”
Adri tampak kikuk, menyadari ajakannya dua kali aku tolak. Kemudian dia menyerah dan berdiri.
“Hmm, ya udah, kalau gitu gue berangkat sekarang aja. Senang bisa ngobrol sama lo, makan masakan lo juga, enak, Ya,” Adri, dengan senyum tipis terpasang di wajahnya, memberikan aku pujian yang membuatku berbunga.
“Makasih juga untuk kejutannya, Di,” senyum terpasang juga di wajahku, lebih lebar dari miliknya.
“Gue pamit dulu. Sampai ketemu lagi,”
Aku mengantar Adri sampai ke pintu depan. Dia berdiri sebentar sebelum menghampiri mobilnya, tampak ingin melakukan sesuatu tapi batal. Jadi dia hanya melambai dan mengangguk. Aku balas melambai. Menunggu hingga dia pergi dengan mobilnya.
“Jadi itu yang kakak taksir di kantor?” Kania tiba-tiba sudah berdiri di belakangku, ikut memperhatikan Adri.
“Hush, ngagetin aja kamu,” kupegang dadaku yang berdetak keras karena Kania mengagetkan.
“Iya kan?” seakan tidak peduli dengan omelanku, Kania mengulangi pertanyaannya.
Aku memandang titik dimana Ardi berdiri semenit lalu, kemudian menghela nafas dan berpaling, berjalan kembali ke dalam.
“Iya,”
Aku masuk ke kamarku, meninggalkan Kania di luar. Tepat saat iPhone ku bordering.
“Ya, Gio?”
“Tadi siapa, Sayang?”
“Temen kantor,” jawabku lalu rebahan di atas kasur. “Baru banget dateng pas kamu, mama, papa, dan Kania sampai.”
“Oh gitu. Nanti jadi kan ya. Aku jemput di rumah jam 5 gimana?”
“Boleh,”
“Ok. Sampai ketemu nanti malam,”
Sambungan telepon diputus. Aku berguling ke kiri. Tidur. Berusaha mengabaikan pertemuan dengan Adri yang lain dari biasanya dan mengaitkannya dengan Gio, mantan pacarku, yang sekarang jadi pacarku lagi, yang hubungannya denganku sudah disetujui kedua orang tua kami.
***
Kami semacam sedang bertukar posisi. Dia yang setiap hari kupandangi dan kusapa sekarang berganti menjadi memandangi dan menyapa. Dengan caranya. Dengan tatapan teduhnya, dengan senyum iritnya, dengan gesturnya yang penyayang dan perhatian.
Contohnya kemarin, saat aku diajak Rena makan siang bersama di salah satu restoran di lantai bawah gedung perkantoran kami. Ada Adri dan Erwan juga. Disitu Adri selalu ada untukku. Dia mempersilakan aku keluar lift lebih dulu, dia yang menggeser kursi untukku, bahkan dia yang pertama bertanya, “Kamu mau pesan makan apa, Alya?”
Kutanggapi semua perhatiannya sebaik yang aku bisa. Aku balas tersenyum pada setiap perbuatan baiknya, tertawa pada setiap leluconnya. Bahkan refleks, mengusap air hujan dari wajahnya saat kami kehujanan sepulang dari makan siang. Rasanya aku salah. Seperti bermain-main pada sesuatu yang aku tahu tak seharusnya aku lakukan. Apakah aku masih punya rasa padanya? Mungkin hanya aku menikmati timbal balik perasaan yang aku nantikan selama hampir satu tahun bertepuk sebelah tangan padanya.
“Belum pulang, Alya?”
Aku mendongak, tersenyum. “Belum, Adri. Kamu udah mau pulang?”
Dia meletakkan iPhone di atas meja dan menggeser kursi kosong mendekat kepadaku. “Kerjaan udah selesai sih.”
“Hmm, aku kayaknya bentar lagi juga selesai,” angka-angka yang tampil di layar tinggal sedikit lagi yang harus diolah.
“Abis ini kita makan yuk,” ujar Adri lagi. Wajahnya saat mengajakku itu, biasa saja. Seperti ekspresinya sehari-hari. Tapi aku tahu, setelah akhir-akhir ini sikapnya berbeda 180 derajat, itu adalah upayanya untuk bersikap lebih baik padaku.
“Boleh,” aku menjawab sambil lanjut membereskan beberapa data. “KAmu lagi mau makan apa?”
“Fast food,”
Aku menoleh cepat, heran, lalu tertawa. “Oke, asal gak minta menu Happy Meal atau Chaki aja ya,” mendengar itu, Adri ikut nyengir. Aku segera membereskan pekerjaan, mengirim email, merapikan barang, dan siap untuk menemani Adri makan malam. Dalam perjalanan menuju lift, dia meraih tanganku dan menggenggamya. Kulirik jemari kami yang saling berkaitan. Ia tidak berkata apa-apa, aku tidak menepiskan tangannya. Orang bilang, hanya tinggal soal waktu kami jadi pasangan sesungguhnya, bahwa usahaku akhirnya berbuah hasil. Aku pikir, entahlah.
***
“Kamu terlihat cantik, seperti selalu,” ujar Gio begitu kami turun dari mobil dan bersiap memasuki gedung lokasi pernikahan salah satu teman kantor Gio.
“I know,” jawabku sambil mengibaskan rambut, yang kuhias dengan semi flower crown warna pink dan hijau yang senada dengan gaunku. Gio tertawa, mengulurkan tangan. Aku menggamit tangannya dan bersama-sama kami berjalan menuju gedung.
Protocol undangan berjalan seperti biasa. Gio sebagai tamu yang diundang mengisi buku tamu dan menaruh amplop ke kotak, menyerahkan souvenir dan kupon photobooth kepadaku. Kami berjalan menuju pintu masuk dan disambut oleh beberapa keluarga yang jadi Pager Ayu dan Pager Bagus. Lalu kami terdiam.
Gio menghampiri pager bagus paling depan, menyapa dan berpelukan. Mengobrol seru entah soal apa. Aku hanya berdiri tanpa benar-benar tahu harus berbuat apa. Kupaksakan tersenyum walaupun aku yakin terlihat seperti orang sakit gigi.
“Bro, kenalin, ini tunangan gue, Alya,” Gio berbalik dan akhirnya menarikku mendekat. Mengenalkannya kepada pager bagus yang ternyata kakak dari mempelai pria, temannya juga. Aku mengulurkan tangan, menjabat cepat lalu mundur kembali.
“Eh, lo bukannya temennya Alya?” Gio akhirnya sadar siapa yang sedari tadi berdiri kaku di samping temannya, Idris. Adri mengangguk, bergantian memandangku dan Gio.
“Adri, sepupunya Nino,” Adri mengulurkan tangan dan menjabat tangan Gio. Gio menjabat dengan bersemangat, sementara kulihat Adri malah ogah-ogahan.
“Gio, tunangannya Alya. Eh, kami ke dalem dulu ya. Mau liat playboy cap duren yang akhirnya nikah juga,” Gio memegang tanganku lagi dan kami pun berjalan ke dalam.
Aku melirik sebentar pada Adri dan menggumam, “Dah, Adri.”
Dia Cuma memandangku dengan hampa.
Entah kenapa aku masih merasa bersalah setelah tatapan Adri kepadaku saat itu. Kami memang tidak bertemu lagi di acara itu. Bahkan aku pun langsung meminta pulang dengan dalih tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Setelah sampai di rumah, aku mencoba menghubungi Ardi. Ketika tak kunjung diangkat, aku baru sadar bahwa mungkin dia masih sibuk mengurusi pernikahan sepupunya. Lebih malam lagi aku telepon, masih tak diangkat.
Aku bangun pagi-pagi di hari Minggu, masih dengan perasaan tak karuan karena kejadian malam sebelumnya. Untuk mengalihkan perhatian, aku memasak, mengepel, mencuci baju, sampai membuat keluargaku dan si bibi keheranan. Karena pekerjaannya sudah dikerjakan olehku, dia menyuguhi segelas jeruk dingin.
“Makasih mbaaa,” kataku penuh syukur. Meneguk minuman segar sambil menonton tayangan televisi yang tidak sebagus saat aku masih kecil dulu. Sebenarnya aku tidak benar-benar menonton, hanya berusaha mengalihkan perhatian tentang Adri.
“Iya neng. Lagi banyak pikiran ya neng?”
“Lumayan sih mba,” kuteguk minuman segar sampai habis lalu menjawab pertanyaan bibi ART. Dia sigap mengambil gelas dari tanganku.
“Soal cinta ya neng? Sama Kang Gio?” si bibi tersenyum-senyum jail, membuat aku tertawa.
“Bukan mbaa. Jadi gini…” lalu aku menceritakan semua kisah tentang Ardi, Gio, dan bagaimana pertemuan kami malam kemarin. Meski si bibi hanya mengangguk dan tak merespon apa-apa, aku lega karena sudah menceritakannya pada seseorang.
“MUngkin dia kaget neng karena neng tiba-tiba udah ngenalin tunangan aja. Neng belum cerita-cerita kan?”
“Oh iya!” aku langsung berlari menuju garasi, mengeluarkan sepeda dan mengayuh sepeda yang biasa dipakai bibi ke pasar. Sebenarnya aku tidak tahu dimana tepatnya rumah Ardi, tapi ketika dia datang ke rumahku dulu, dia sempat memberi gambaran lokasi rumahnya.
Kureka-reka mana kira-kira rumah Ardi. Melongok kesana kemari berharap ada petunjuk lebih jelas. Saat berbelok di perempatan ketiga, aku melihat seseorang sedang mencuci mobil. Dengan mengenakan celana pendek dan kaos, Ardi mencuci mobilnya sambil cemberut.
“Adri,” panggilku. Terengah-engah setelah mengayuh sepeda. Kuhentikan sepeda dan kusandarkan dekat pagar rumahnya. Dia terpana melihatku berada di rumahnya pada jam siaran tinju di Indosiar jaman dulu.
“Ngapain kamu disini?” Adri menyimpan spons pencuci, mencuci tangan, dan mendekati aku. Dia mengelap tangan sekenanya ke kaus lalu mengulurkan tangan ke arahku. “Rambut kamu berantakan,” ujarnya, merapikan helaian rambut yang aku yakin mencuat kesana kemari karena tertiup angin tanpa sempat aku ikat.
“Aku mau, menjelaskan, tentang Gio,” terbata-bata aku memulai.
“Ngobrol di dalem aja,” Adri berbalik tapi kutarik kaosnya.
“Disini aja. Gak akan lama. Aku takut lupa,” Adri mempertimbangkan sejenak, kemudian dia setuju. Aku memulai.
“Gio itu mantan pacarku di jaman SMA. Kita sempet pacaran 2 tahun karena LDR. Dia kuliah ke Singapore dan aku tetep di Jakarta. Selesai kuliah, kami gak pernah ketemu lagi, walaupun beberapa kali dia sempet hubungi aku. Di saat-saat itu, kita mulai kenal. Aku mulai suka kamu, meski kamu gak pernah nanggapin aku. Tiba-tiba, di acara reunian SMA papa, aku ketemu lagi sama Gio. Ternyata dia anak teman dekat papa. Papa dan mama akhirnya tahu tentang Gio, bahwa aku dan Gio juga sempat pacaran. Saat itu juga Gio memang minta balikan, tapi belum kujawab.”
Aku menarik nafas dan menghelanya. Adri mendengarkan tanpa berekspresi.
“Aku merasa gak punya harapan sama kamu. Jadi aku terima Gio kembali. Meski dalam hati aku masih berharap kamu. Tapi gak pernah ada perubahan dalam sikapmu. Pada akhirnya Gio melamar aku, di depan orang tuaku, dan aku menerimanya. Tepat seminggu sebelum aku dan kamu hampir ciuman di Dufan.”
Adri terhenyak, matanya melebar karena kaget. Sedetik kemudian ekspresinya sudah kembali seperti biasa. Rasanya aku ingin menangis. Mengapa dia berbuat baik kepadaku saat sudah kuputuskan memilih yang lain?
“Terlambat ya?” akhirnya Adri angkat bicara. Tangannya yang semi basah menyentuh pipiku yang mulai dibasahi air mata.
Aku mengangguk, terus menerus.
“Aku minta maaf. Awalnya kamu Cuma teman biasa bagiku.Tapi lama kelamaan keberadaan kamu mulai signifikan di hati dan hidupku. Sayangnya, aku belum berani untuk bergerak, karena entah kenapa ada rasa ragu terbersit di hatiku. Pada akhirnya aku yakin untuk mendekatimu. Sayangnya, itu ternyata terlambat ya,”
Lagi, aku mengangguk. Masih berurai air mata. “Maaf,”
“Kamu yakin dengan pilihanmu terhadap Gio?” there it is. Pertanyaan yang sampai sekarang pun aku masih bingung jawabannya. Aku Cuma diam, tak berani menjawab. “Kalau pada saatnya kamu ragu terhadap Gio, ada aku yang masih disini,”
Aku mendengus, tertawa sebisa yang diijinkan tangisku. Adri ikut tertawa juga.
“I mean it,”
“Akan aku ingat,” tersenyum, aku membalas ungkapan rasa Adri.
Tanpa basa basi, Adri menyentuh kedua pipiku dengan tangannya yang masih lembab dan menciumku. Untuk pertama dan terakhir kalinya. Kami berdua sama-sama tahu, bahwa ini hanyalah sesuatu yang tertunda dan mungkin tak akan terulang lagi.
“I love you,” bisik Adri di telingaku. Aku Cuma tersenyum dan berjalan mundur.
“Bye,” kulambaikan tanganku, dia balas melambai. Perlahan, kukayuh sepeda menjauh dari rumahnya. Sekaligus menjauh dari cinta bertepuk sebelah tangan.
-THE END-
Komentar