Janji Aku dan Kamu
Bahkan
di saat tak ada kewajiban tersisa di antara kita, aku yang masih setia. Padahal
kamu yang meminta pergi.
***
Malam
itu saat cuaca dingin karena hujan seharian, aku berdiri termenung di lobby
gedung berlantai 14. Kebingungan menentukan mode transportasi apa yang harus
kugunakan. Tanpa terduga, kamu muncul, terperangah menatapku, seakan tak
percaya bahwa aku sedang berdiri. Seharusnya aku yang terpana. Aku yang tak
percaya melihatmu berdiri di depanku. Sementara seharusnya kamu berada di
kantormu yang terletak di bilangan sibuk Jakarta lainnya.
Kamu
menyebut namaku, yang kamu ulang berkali-kali di pertemuan pertama kita.
Pertemuan tak sengaja ala sinetron, saat kamu menumpahkan kopi senilai 50 ribu
ke kemeja yang kugunakan demi presentasi di hadapan Board of Management hari
itu. Aku ingin marah, kamu pun begitu menyesal. Dewi Fortuna memihak kita
berdua, kutahan amarah dan berbalik menuju kantor, mencari pakaian cadangan.
Kamu, sementara itu, entah apa yang dibicarakan dengan temanku.
“Adriana,”
ucapmu. Di malam yang dingin. “Mau pulang?”
Kugelengkan
kepala dan berbalik kembali ke dalam.
***
Kamu
yang pertama, tanpa untaian kata ala remaja, mengajakku makan malam meski saat
itu aku sedang diet mati-matian. Demi pakaian seragam yang disediakan salah
satu pernikahan temanku. Kamu yang memaksa, aku yang menurut. Berikutnya aku
yang muntah-muntah dan kamu yang kocar kacir mengantarku ke dokter. Kebingungan
antara harus melarangku diet atau melarang dirimu untuk mengajakku makan lagi.
Namun
kamu, yang menggenggam tanganku saat tubuhku lemas kekurangan cairan.
***
Kamu
juga yang menawarkan diri menjadi pendampingku saat mendatangi upacara
pernikahan salah satu sahabatku. Rasa bersalahkah yang menyebabkanmu melakukan
hal itu? Pengisi waktu luangkah? Atau mungkin aku yang sudah terlalu
mempesonamu sampai-sampai kamu bersedia menyetir dari rumahmu di Jakarta Utara
ke acara di Bogor?
Ternyata
aku, yang jadi alasanmu. Kamu yang bilang, saat malam itu juga kamu nyatakan
cinta. Baru dua minggu perkenalan kita dan aku yang tak bisa menolak ungkapan
rasamu yang begitu tulus. Kutahu di matamu.
***
“Kamu
dimana? Aku telepon berkali-kali gak nyambung. Aku iMessage ga sampai. Aku
telepon kantor gak ada yang tahu,”
Nada
suaramu begitu menghentak. Menyinggung sedikit perasaanku yang selama ini
terasa begitu tenang tanpa riak. Aku pastikan bahwa ini bukan orang lain yang
marah-marah di teleponku. Kujawab dengan sabar, pekerjaanku tiba-tiba menumpuk,
tanpa akses ke listrik, dan tidak adanya rekan kerja di kantor yang tahu kemana
aku pergi. Dari lima, satu berangkat ke lapangan denganku, satu sedang cuti
melahirkan, dua ke lokasi lain.
Saat
itu aku tahu apa yang kamu tak suka. Ketidaktahuanmu tentang keberadaanku.
***
“Aku
nemenin Kiara fitting baju sekaligus milih kain buat seragam bridesmaids. Abis
itu siap-siap buat ke resepsi Fitrah dan Ghea,”
Laporan
selesai. Aku tenang, kamu senang. Aku bersosialisasi, kamu berkutat dengan
pekerjaan. Hari Sabtu yang cerah, setidaknya kita sudah sedikit lebih paham
satu sama lain.
***
Memandangi
orang-orang yang sedang asyik mengantre Bolu Meranti. Aku pun ingin jadi salah
satu dari mereka. Namun apa yang kuinginkan, aku sendiri yang memupuskannya.
Kulangkahkan kaki kembali ke hotel, mandi, dan berbaring, membuka novel yang
kubawa, membaca dengan latar belakang suara televisi. Entah apa yang sedang
tayang, aku hanya butuh teman.
Tok
tok!
Pintu
kubuka. Kamu berdiri dan tersenyum, melangkah masuk ke kamarku, membuka kemeja
dan dasi.
“Maaf,”
katamu sambil duduk di sofa. Aku duduk di depanmu. “Gak aku sangka kerjaannya
banyak banget sampai baru selesai semalam ini. Maaf gak jadi ngajak kamu
keliling Medan.”
Aku
cuma bisa, dan mau, tersenyum. Kamu pun tak berkata apa-apa. Menjinjing jas,
tas, dan sepatu, kamu berdiri lagi, melangkah menuju kamarmu yang terletak
tidak jauh dari kamarku. Mengecup keningku adalah uang muka atas janjimu untuk
esok hari. Aku percaya akan janji. Janji memberiku waktumu sehingga aku pun
memberikan waktuku, untuk terbang ke pulau lain.
Begitulah
kita, tak banyak kalimat terucap, namun kita saling paham. Kemudian hari aku
baru tahu bahwa itu saja tak cukup.
***
Kamu
masih ingat ciuman pertama kita? Di Stasiun Gambir, dalam usia pacaran yang
keempat bulan. Kamu mengantarku ke stasiun dengan wajah merengut dan tanpa kata
selama perjalanan. Kamu bilang kamu sebal karena aku tidak bilang bahwa aku
akan pulang hari itu, sehingga kamu sudah terlanjur memesan tiket bioskop film
Marvel terbaru. Film yang kurencakan kutonton dengan kedua keponakanku. Aku
bilang aku sudah kabari. Melalui iMessage. Kamu sadar aku sudah bilang, kamu
yang salah, kamu yang masih cemberut.
Aku
tak mau kita berpisah dengan kamu masih cemberut begitu. Meski sementara.
Selembut mungkin aku genggam tanganmu dan kuhias wajahku dengan senyum
tercantik yang aku bisa. Kamu Cuma memandang lurus ke depan, ke arah parkiran
yang pagi itu belum ramai orang. Hal luar biasa terjadi dalam kondisi biasa.
Begitu saja kamu menciumku namun karena itu senyum terkembang lagi di wajahmu.
Wajah tampan dengan mata sipit dan kulit putih.
***
Kamu
bilang kamu suka hidungku. Yang tak mancung tapi memiliki bentuk yang indah,
katamu. Aku, aku suka kamu saat tidur. Begitu polos. Saat kamu dan keluargamu
menculikku ke Pulau Bidadari, demi memenuhi keinginan adikmu yang berhasil
masuk Universitas Indonesia. Kamu kelihatan begitu lelah karena menyetir
Jakarta Utara-Kuningan-Jakarta Utara setelah malam sebelumnya lembur
membereskan kontrak tender besar. Tertidur di kapal adalah pilihanmu. Aku dan
Reina memandangi wajahmu yang terlelap. Reina terkikik berkali-kali, tergoda
menjahilimu. Aku Cuma terpaku. Kamu begitu indah.
***
15
Agustus. Kamu sendiri yang bilang bahwa aku bukan kekasih yang romantis. Kamu
yang romantic. Kamu yang tiba-tiba mengirim bunga ke kantorku. Kamu yang
tiba-tiba menyelipkan CD konser grup band favoritku. Hanya untuk hari ini, aku
berusaha untuk jadi romantic. Kubawa kue coklat hasil buatanku sendiri,
berkutat di dapur sejak subuh. Mendatangi kamu yang mumet seharian di kantor,
membuat senyum terpasang lebar saat aku tiba dengan membawa kue dan kado. Seisi
kantor heboh mengomentari kita. Kamu tidak peduli, aku juga tidak.
Katamu,
itu ulang tahun paling mengejutkan di 31 tahun kehidupanmu.
***
13
September. Aku tak berharap kejutan. Aku tak berharap kue dan kado. Tak ada
yang kuharapkan. Telepon dari orang tua di pagi hari sudah cukup sebagai doa
dan ucapan untuk peringatan ke-28. Kamu melengkapi. Memandangi city lights
sambil menikmati cemilan. Sederhana tapi memberi makna. Bukan tas Zara yang
membuat semua lengkap, hanya kamu dan pemandangan ini.
***
Kamu
juga yang membuat semuanya berubah. Kamu ditugaskan ke New York. Entah sampai
kapan. Kamu menyanggupi, tanpa meminta persetujuan dari aku. Kamu berangkat 2
bulan lagi. Begitu cepat, di pikirku. Aku bangga saat kamu bilang tentang itu.
Aku sedih saat kamu minta putus. Aku bilang aku bisa LDR. Kamu bilang kamu gak
bisa. Aku bilang kita coba dulu. Kamu bilang kamu pesimis. Aku tahu, kamu
sangat posesif padaku. Aku tahu kamu tak tahan jauh denganku. Aku tahu di sana
lebih banyak yang lebih baik dari aku. Kita putus malam itu juga. Setelah hampir
setahun hubungan kita. Tidak ada perjuangan, tidak ada pertentangan. Lagipula
kita memang begitu, tak banyak kata terucap, hanya keputusan yang tergantung.
Malam itu begitu pahit, begitu dingin.
***
Teman-temanmu
ramai mengantar di bandara. Adikmu menangis karena berjauhan dengan kakaknya.
Kedua orang tuamu sedih tapi turut bangga. Tanganmu penuh dengan kado dari
rekan-rekan dan gadis yang memujamu sejak lama. Senyummu tak hentinya
terkembang atas banyaknya permintaan mengabadikan momen terakhir sebelum benua
memisahkan.
Aku
berdiri cukup jauh dari keramaian. Kuharap tetap berdiri di bayang-bayang,
Reina yang menarikku keluar. Kamu terpana memandang aku, aku bingung harus
berbuat apa. Aku tak bawa apapun. Aku bukan siapa-siapamu lagi. Meski, tahukah
kamu, aku masih punya rasa itu untukmu. Kamu terpana, seperti tak menyangka aku
akan hadir. Kamu menjauh dari teman-temanmu, dari keluargamu. Kamu mendekat, aku
berjalan mundur.
“Aku
pergi,”
Kupaksakan
senyum. Rasanya aneh sekali. Seperti memaksakan masuk ke dalam baju yang sudah
lebih kecil 1 ukuran. Saat berhasil, rasanya sesak. Sedetik kemudian aku
berbalik dan berlari. Bahkan di saat tak ada kewajiban tersisa di antara kita,
aku yang masih setia. Padahal kamu yang meminta pergi. Dan aku juga menyerah
kalah.
***
Kita
tidak mengakhiri hubungan apapun selain hubungan sebagai kekasih. Kamu terbuka,
aku tertutup. Tak ada lagi post tentang aku, apalagi kita berdua, di Path
ataupun social media milikku lainnya. Kamu, malah semakin aktif. Aku tahu kapan
kamu sampai di New York. Aku tahu
seperti apa rupa kantor barumu. Aku tahu dimana letak tempat tinggalmu.
Aku tahu siapa rekan kerja barumu. Aku tak mencari tahu. Kamu memberi tahu. Aku
dan semua teman social mediamu tahu. Aku adalah seorang silent reader, yang
hatinya terluka atas diamnya aku dan berubahnya dirimu.
Masihkah
kamu mengkhawatirkan dimana aku berada saat ini?
***
15
Agustus lainnya. Kamu masih di pikiranku. Bahkan di mimpiku. Juga di buku
agendaku. Tanpa sadar kulangkahkan kaki ke mall untuk mencari kado terbaik
untukmu. Berikutnya aku menertawai diri atas tindakan bodoh. Sedetik kemudian
aku menangis. Security menghampiri, menanyakan apakah aku sakit. Aku bilang
iya. Dia mengajakku untuk istirahat. Aku tak bilang yang sakit adalah hati.
***
13
September. Semua orang mendoakan perihal jodoh. Aku Cuma tersenyum. Itu
template aksi dan reaksi untuk hari ini. Syukur kupanjatkan saat aku
menginjakkan kaki di rumah kost. Kebingungan saat melihat kotak berlogo agen
ekspedisi internasional bertengger manis di depan pintu kamarku. Kubuka
perlahan, sepatu cantik bersol merah, tampil di hadapanku. Tak ada nama
pengirim tapi aku tahu siapa. Sepatu cantik itu kukembalikan ke bungkusnya dan
kutaruh di sudut lemari.
***
Kamu
tiba-tiba tak punya perbedaan zona waktu lagi denganku. Saat orang begitu ramai
mengucapkan ‘Mohon Maaf Lahir dan Batin’, tak ada apapun di profilmu selain
tanda ketibaanmu di Changi. Aku maklum, suasana syahdu yang akan kita semua
hadapi esok hari adalah alasan kuat dan utama kamu menempuh 25 jam perjalanan
kembali ke Nusantara. Untuk keluargamu, bukan aku.
***
Sudah
tradisi keluargaku saat hari kedua hari raya, mengunjungi orangtua ibuku di
Sumedang. Kamu tahu itu. Aku juga tahu bahwa sejak kemarin pagi, kamu dan
keluarga akan bertolak ke Serang, berkumpul dengan keluarga besar. Maka ketika
keponakanku Idzhar berteriak, “ada tamu!” aku yang memang sedang membawa barang
keluar, langsung terdiam.
Hampir
setahun tak bertemu dan kamu berdiri di sini. Kita, dilingkupi suasana hari
raya di Kota Kembang, bukan di Jakarta tempat kita biasa bertemu.
“Rangga?”
Ibu yang menyapamu duluan. Aku lupa bahwa kamu pernah menemani ibu keliling
Jakarta naik TransJakarta sehingga ibu Nampak begitu bahagia melihat kamu
berdiri di depan rumahnya.
“Bu,”
seperti layaknya anak santun didikan orang ternama, kamu mendekati ibuku,
mencium tangannya, bahkan bercanda dengan Idzhar. Aku berlari masuk ke rumah,
berdalih masih ada barang yang harus kubawa.
Aku
menolak semobil denganmu yang memaksa menemani keluargaku ke Sumedang.
Untunglah Idzhar begitu senang melihat mobilmu. Mobil yang sama yang menjadi
saksi ciuman pertama kita. Mobil yang sama yang menjemputku ke kosan dan
mengantarkan kita ke berbagai tempat. Kamu selalu mencari celah bicara denganku
dan aku tanpa lelah menghindar darimu.
“Na,”
“Apa,
Yah?”
Ayah
menepuk tempat kosong di sampingnya, mengajak aku yang sedari tadi mengantarkan
cemilan untuk para bapak dan pria yang sedang memancing, terpaksa duduk di atas
kursi panjang pemancingan.
“Udah
berapa banyak yang nanya kapan nikah?” Ayah nyengir. Aku cemberut.
“Uncountable,”
“Udah
berapa banyak yang nanya itu siapa?” Ayah melirik ke arah Rangga dan Idzhar,
yang sedang membantu kakak Idzhar, Icha, memasangkan umpan.
“Don’t
care,”
Ayah
menggoyangkan kailnya yang disandarkan di lantai batu. Aku melirikmu, kamu
melirikku. Aku menunduk, memandang kembali ayahku.
“Ayah
juga sudah pengen kamu menikah. Kalau ada laki-laki baik yang melamar kamu,
Ayah terima, boleh?”
Aku
memutar mata, berdiri, menghilang dari wilayah para pria.
“Dri,”
Suaramu
masih sama; setahun di New York rupanya tak mengubah suara itu. Aku ingin
mengacuhkan panggilan itu, kujalankan kaki secepat mungkin menuju rumah. Kamu
lebih cepat, kamu merengkuhku dari belakang.
“Marry
me, please?”
Bukan
kata maaf, bukan kata rindu, bukan kata cinta. Hanya itu. Reaksiku masih sama.
Aku meronta, berlari menuju rumah.
***
Kamu
yang meminta hubungan kita. Kamu yang pergi. Kamu juga yang kembali untuk
meminta hatiku. Kali ini aku yang pergi. Kamu
yang datang ke ayahku sehingga disinilah kamu berada. Menggenggam tangan
ayahku, wajahmu begitu tegang, mulutmu berkali-kali berlatih melafalkan kata-kata sakti
yang akan mengubah hidup kita selamanya, tanpa suara, padahal di depanmu sudah
ada teks yang membantu.
Aku
tak percaya, kamu juga. Tak ada lagi zona waktu yang memisahkan. Tak akan ada
lagi jarak Jakarta Utara-Kuningan atau Jakarta Utara-Bandung yang akan
memisahkan kita. Jika suatu saat nanti kamu meminta pergi, akan kutolak. Janji
kita, menghabiskan hidup bersama selamanya. Kamu untuk aku dan aku untuk kamu.
-THE END-
Komentar