The Truth Project

aku tinggal di kota besar bernama Alamoira, pemerintahannya bukan oleh raja, tapi ada satu orang yang memerintah dan penggantinya akan muncul saat dia meninggal, yang dipilih oleh seluruh rakyat. di kota ini banyak orang yang berkecukupan dan baik hati dan berkecukupan tapi jahat--katakanlah begitu, dan lebih banyak lagi yang hidupnya kesusahan, dan mereka yang kesusahan dan bekerja di orang kaya yang jahat, adalah kelompok paling merugi.

ayahku punya perusahaan bernama Hilda Group, bekerja di bidang pertanian, air, entertainment, komunikasi, percetakan, dan masih banyak lagi. perusahaan itu didirikan 26 tahun lalu, tepat ketika aku lahir dan namanya pun sama denganku. Hilda Amethyst, tepatnya namaku. aku hanya berharap bahwa ayahku adalah pengusaha yang baik, atau begitulah yang aku tahu. hingga usia 17 aku sering ikut ayah berkeliling perusahaan-perusahaan miliknya dan tidak pernah mendengar berita buruk tentang ayah. jadi ya, aku yakin ia di pihak yang baik. aku, orang tua, dan kedua adikku tinggal di penthouse salah satu gedung tempat tinggal tertinggi di kota ini. kebanyakan orang kaya tinggal di penthouse, sementara mereka yang hidupnya susah, tinggal di rumah-rumah yang tersebar banyak di kota ini. mereka berdalih bahwa keamanan di penthouse lebih terjaga daripada di rumah biasa.satu hal yang aku suka dari tinggal di penthouse adalah pemandangan indahnya. dari kamarku, aku bisa melihat langsung taman ria kebanggaan kota Alamoira, Taman Gressa, yang dibangun sekitar 20 tahun lalu dan hidup oleh warna warni dan keceriaan. di tempat inilah aku rasa, satu-satunya tempat dimana mereka yang kaya dan miskin berkumpul jadi satu, tanpa perlu memikirkan perbedaan ataupun masalah hidup.

sejak usia 20 tahun ayah sudah menyediakan tempat tinggal sendiri untukku. begitulah kebiasaan di keluarga kami dan beberapa keluarga lainnya. ayah memilihkan kamar di salah satu apartemen paling mewah di kota dan memiliki pemandangan ke Kota Gressa, seperti yang kumiliki dulu. usia 20 adalah pertanda bahwa aku sudah dewasa, maka aku pun keluar dari rumah. meskipun ayah membelikanku apartemen, namun segala urusan listrik, cuci, dan rumah tangga lainnya itu adalah urusanku. jika aku kehabisan stok makanan, aku tidak bisa begitu saja menggelinding ke rumah dan memintanya. kecuali aku memang sedang mengadakan kunjungan rutin ke rumah.

kedua adikku juga sudah keluar dari rumah dan memiliki apartemen masing-masing. di penthouse hanya ada ayah dan mama. sebesar itu, dan hanya berdua (ditambah beberapa pembantu). tapi sepertinya itu bukan masalah. aktivitas mereka berdua banyak dihabiskan dengan bisnisnya di luar.

aku sendiri sekarang sedang mengembangkan bisnis baru yang dirintis ayah. ya, aku bekerja untuk ayahku sendiri, tapi kau tahu, saat bertemu di kantor, dia akan bertindak seperti seorang Komisaris dan aku Direktur Utama, kami melepaskan embel-embel anak dan ayah saat di kantor. bisnis televisi yang aku pegang ini baru 2 tahun aku jalankan. meski begitu, saat di luar kantor, ayah selalu memberi nasihat kepadaku tentang bagaimana memimpin sebuah perusahaan danyang terpenting adalah bagaimana menjalani hidup. satu hal yang selalu aku ingat adalah, "jangan pernah melepaskan kesempatan untuk membantu orang lain dengan tanganmu." ya, dia adalah mentor dan ayah terbaik.

rutinitasku setiap hari, setelah pulang kerja, adalah mandi, berpakaian, lalu duduk di pinggir jendela, menatapi kehidupan malam yang mulai aktif menjelang pukul 11. aku sering bertanya kemana nyala mobil itu menuju. apakah ia menuju keluarganya? atau ia berangkat melakukan hal buruk? aku tidak tahu. aku tidak pernah keluar dari apartemen selain untuk berangkat kerja. jadi, aku tidak kenal siapa yang tinggal di depan dan sampingku, aku juga tidak peduli.

kadang aku ingin memiliki teman untuk tinggal disini, karena apartemen ini luas sekali dan kadang terasa begitu sepi. tapi, aku tidak memiliki banyak teman yang kupercaya untuk tinggal bersama, teman-teman dekatku sekarang berada di luar negeri. saat aku mengutarakan ini kepada ayah, dia tertawa dan berkata, "carilah suami untuk menemanimu," dan aku hanya menanggapinya dengan merengut. maka beginilah aku, di usia ke-26, masih sendiri.

teleponku berdering, telepon dari papa.

"Hilda," katanya.

"ya ayah," ada apa ayah menelepon malam-malam begini?

"besok malam kamu ada waktu kosong?"

"hmm, tunggu," Hilda meletakkan gelas yang tadi dipegangnya dan bergerak menuju kamar di mana agendanya diletakkan. dia lebih suka menulis semua aktivitasnya di agenda daripada di gadgetnya. "besok ada acara baru yang tayang dan aku sebaiknya melihat bagaimana ini berjalan."

"oke, hari berikutnya?"

"ada meeting Divisi Talent yang sebaiknya aku ikuti karena ini menyangkut talent seperti apa yang akan kami butuhkan untuk program news," kata Hilda.

"itu bisa diwakilkan. temani ayah makan malam di Fatr jam 7 malam, ada mama juga. pakai pakaian terbaikmu. selamat malam,"

telepon diputus. Hilda memutar matanya dan berkata "oke Yah," pada keheningan malam. tentu saja Hilda akan pakai pakaian terbaiknya. Fatr adalah restoran terbaik di kota ini yang pemesanan tempatnya butuh 3 bulan sebelumnya. Hilda heran kenapa ayahnya bisa mengubah jadwal begitu saja, ketika Hilda ingat ayahnya salah satu pemilik restoran itu.

"oke, karena aku akan berangkat makan malam dari kantor, keperluan nanti malam harus disiapkan dari sekarang," Hilda menepukkan tangannya dan bergerak menuju kloset. begitu terbuka, puluhan gaun warna warni menyambut Hilda.

***

keuntungan menjadi direktur dari perusahaan sendiri adalah kau bisa punya kamar mandi di dalam ruangan kerja. terutama untuk Hilda, dia menggunakannya jika harus bertemu klien dan ia harus tampil segar meski seharian beraktivitas kesana kemari. dibantu Clara, asistennya, Hilda berias diri. ia sudah memilih gaun kuning panjang dengan potongan off-shoulder, gaun ini menunjukkan dengan jelas lekuk tubuh Hilda. rambutnya dibiarkan terurai dan hanya dihiasi bros senada berbentuk kupu-kupu. Clara yang dulu juga pernah menjadi make up artist, memulaskan make up sederhana-tapi-seksi untuk makan malam ini.

"perlu aku antar, Hil? agak susah menyetir dengan baju begini bukan?" Clara memanggilnya Hilda, karena usia mereka terpaut 1 tahun saja. awalnya Clara bersikeras memanggilnya Bu Hilda, tapi Hilda lebih butuh teman daripada bawahan, jadi ia memaksa Clara memanggil tanpa embel-embel.

"gak usah, i still can handle this," Hilda bangkit dan memandangi dirinya di cermin. "i look great, dont you think? semua pria single pasti mau aku jadi istrinya."

Clara tertawa. Hilda memuji dirinya tapi ekspresinya dingin. begitulah dia.

"aku pergi sekarang, meskipun Fatr tidak jauh, tapi aku tidak tahu apa yang dimiliki jalanan untuk menghadangku. see you tomorrow Clar, and thanks for the help,"

"anytime," Clara melambai.

perjalanan menuju Fatr hanya butuh 15 menit. Hilda sudah sampai di lokai pukul 06.30, petugas menawarkan jasa Valet Parking tapi Hilda menolak, ia masih butuh waktu untuk berada di mobilnya sembari menunggu ayahnya tiba. ayahnya orang yang selalu tepat waktu, membuat Hilda jadi orang yang sebelum-waktu. jadi Hilda memutuskan akan keluar dari mobil pada pukul 7 kurang 10 menit. 10 menit menunggu ayahnya di dalam.

Hilda memandangi dirinya melalui kaca spion. dirinya versi galak sedang menatapnya balik. Hilda sering dikenal sebagai orang yang irit senyum, benar kata orang. tapi jika Hilda memaksakan tersenyum, ia akan terlihat seperti pembunuh berdarah dingin sedang tersenyum pada mangsanya. sadis.

masih 20 menit sampai Hilda memutuskan untuk turun. ia membuka dokumen yang dibawanya dari kantor dan mulai bekerja. Hilda menertawakan diri sendiri, bahkan untuk kegiatan keluarga ini saja Hilda masih ingat urusan kantor.

pukul 06.45 Hilda keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk. tanpa perlu mengatakan siapa dirinya, dia sudah diantarkan ke bilik VIP dimana pastinya ayahnya sudah memesan tempat. betapa kagetnya Hilda ketika sudah ada orang lain disana, sedang membaca buku. dia menengadah ketika bunyi ketuk sepatu Hilda terdengar jelas.

"hai," kata orang itu. dia menutup bukunya dan menyuruh pelayan pergi, biar dia yang menggeser kursi untuk Hilda.

"Jeremy," panggil Hilda. "what are you doing here?"

Jeremy kembali duduk di kursinya dan memandang Hilda. "i was invited by your father," jawabnya sambil tersenyum.

perasaan Hilda mulai tidak enak. Jeremy adalah teman kuliahnya di jurusan Bisnis, dia tampan, baik hati, loyal, pintar, jago olahraga dan beladiri, sekaligus pewaris perusahaan transportasi swasta terbesar di negara mereka. selama kuliah, Jeremy adalah most-wanted no 1 jika ada pesta dan para gadis menginginkan pasangan. tapi Jeremy termasuk orang yang selektif dan selama yang Hilda tahu, ia hanya pernah mengajak 1 gadis untuk keluar dengannya, Maria, pemenang kontes kecantikan di kampusnya. informasi tambahan, ayah Jeremy adalah teman dekat ayah Hilda sejak kecil, mereka membangun bisnis di waktu yang sama. meski begitu, itu tidak menajdikan Hilda dan Jeremy teman baik selama di kampus.

"here they are. before-time, as usual," ayah Hilda datang, berjalan bersama mama Hilda yang masih segar di usia awal 50. Hilda dan Jeremy berdiri untuk menyambut mereka.

"apa kabar om?" Jeremy menyapa begitu mereka berempat duduk di kursi masing-masing.

"selalu luar biasa kan?" ayah Hilda membuka tangan dan tertawa. ayah selalu ramah begini menghadapi orang lain, beda ketika menghadapi anaknya.

"kita langsung mulai makan, bagaimana?" tanya mama, dan dimulailah drama malam itu.

***

Hilda membuka pintu apartemen dan langsung meleparkan tas tangannya ke sofa.

"hih!"

Hilda kesal sekali. benar perasaannya, makan malam tadi adalah pengumuman soal perjodohannya dengan Jeremy. yang membuat Hilda lebih kesal, hanya dia yang tidak tahu soal ini. Jeremy tidak terlihat kaget saat ayahnya mengumumkan hal itu. dia malah tersenyum lebar pada Hilda, yang balik menatapnya seakan dia ini big sale yang tidak jadi dan Hilda harus membayar mahal lagi.

bahkan ayahnya tidak bertanya apakah Hilda bersedia atau tidak. ayahnya hanya berkata bahwa pesta pertunangan akan diadakan sebulan lagi, setelah Jeremy pulang dari luar negeri, mengurus bisnisnya. Jeremy menawarkan mengantar Hilda pulang dan meninggalkan mobilnya sendiri di Fatr, namun Hilda menolak dan langsung kabur sebelum ayah atau mamanya bisa memaksa dirinya menerima tawaran Jeremy.

"memangnya karena aku masih single di usia 26 makanya mereka bisa mencarikanku jodoh begitu saja?" Hilda melepaskan sepatu dan meleparkan begitu saja. lupa atau tidak peduli bahwa sepasang sepatu itu harganya bisa mencapai dua digit. ia melemparkan bros dan membuka bajunya, membiarkan barang-barang itu berserakan, masuk ke kamar mandi, dan berendam di bathtub.

setelah puas berendam (dan menyadari bahwa dia benar-benar dijodohkan dan tidak ada gunanya menolak), Hilda mengambil sekaleng Diet Coke dan membuka balkonnya. ini jarang sekali Hilda lakukan karena ia lebih suka duduk di tepi jendela, lebih terlindungi. sementara di balkon, ia akan langsung dihadapkan dengan luasnya langit.

Hilda meminum Coke-nya perlahan, kadang menggumama dan mengumpat sendiri. perlahan, Hilda ingin melirik ke sebelah kanan dan betapa kagetnya dia ketika ada seseorang yang balas memandanginya.

"shit!" teriak Hilda dan melompat ke belakang.

pria itu tertawa. di jam 11 malam ini dia masih mengenakan kemeja hitam panjang dan celana jeans hitam. cool and sexy, pikir Hilda.

"berapa lama kamu disitu?" tanya Hilda gugup.

"hmm, aku sebenarnya sudah disini sejak sejam lalu. tapi aku benar-benar bersandar di balkon memandangimu sejak kamu mulai mengoceh soal perjodohan," dia menyeringai.

"lupakan! lupakan yang aku bilang," Hilda melambai tangan di depan wajah pria itu, semacam berusaha menghapus ingatannya.

"it depends on the deal, madam," katanya santai.

"what?"

"itu informasi berharga atau tidak? kalau ya, aku akan dengan senang hati menyimpannya, asalkan imbalannya pun sesuai. tapi jika itu informasi soal perjodohan biasa, cepat atau lambat orang lain pun akan tahu kan, Hilda Amethyst?" dia tersenyum dan bersandar lagi di balkon, memandangi Hilda dengan jahil.

"how do you know my name?" tanya Hilda tak percaya.

"who's not? CEO dari televisi baru dan segar di negeri ini pasti wajahnya terpampang dimana-mana,"

Hilda merengut. tentu saja, wajahnya muncul di saat peresmian program dan itu dipajang di TV-nya sendiri. rasanya Hilda harus mengurangi rasa narsisnya.

"and who are you?" Hilda balik bertanya.

"i'm no one,"

"namamu?"

"March, sampai ketemu lagi," dia melambai dan masuk ke apartemennya sendiri. Hilda termenung.

***

Hilda masuk ke gedung perkantoran yang dibagi dengan beberapa perusahaan lain. pemandangan kali ini agak berbeda karena banyak orang yang tersenyum kepadanya. biasanya ia hanya akan menerima salam dan anggukan, bukan senyum lebar begini. saat keluar lift di lantai 16, hampir semua kru TV-nya menghampiri dan mengucapkan selamat.

"Clara!" panggil Hilda, menyeruak diantara kerumunan orang.

"yaa," jawab Clara dari mejanya. bahkan Clara juga tersenyum lebar dan geli.

"apa orang-orang tahu aku ... aku..." Hilda tidak sampai hati melanjutkan.

"bahwa  kamu punya pacar? ya, mereka tahu," jawab Clara.

"how?" Clara menunjuk ruangan Hilda dan Hilda buru-buru masuk ke ruangannya, Clara mengikuti.

begitu dibuka ratusan bunga menyambutnya. buket  terbesar berisi mawar merah bertengger di meja, Hilda mencabut kartu dan membaca pesannya. 'good morning and happy working. -J'

"ck," hanya itu yang dikatakan Hilda.

"so, ada yang baru punya pacar nih," goda Clara.

"suruh OB bawa semua bunga ini keluar. entah dibagikan, dibakar, apapun. ruanganku harus kembali seperti semula,"

"termasuk buket yang di mejamu?" Clara masih memandangi Hilda dengan geli

"ya, termasuk ini. aku akan kembali dalam 15 menit dan semuanya sudah harus bersih. jika ada yang tertinggal, semua yang menyalamiku akan kena SP," Hilda menyerahkan buket bunga kepada Clara dan dia keluar dari ruangan. kali ini tidak ada yang berani menghampirinya, apalagi wajah Hilda tertekuk begitu.

hilda naik sampai ke lantai paling atas dan membuka pintu ke rooftop. ini adalah lokasi favoritnya selain ruangan kerjanya, dimana dia bisa menelepon atau melakukan apapun tanpa takut dilihat orang. Hilda mengeluarkan HP dan mendial nomor Jeremy, setidaknya itu nomor yang dimilikinya ketika kuliah.

begitu Jeremy mengatakan 'halo', Hilda langsung menyerangnya.

"norak banget sih kirim-kirim bunga kayak gitu!"

"kamu gak suka?"

"nggak lah! semua orang di gedung ini jadi ngeliatin aku terus. emangnya aku badut sirkus?"

"wah nggak, kamu lebih seperti Putri Raja,"

"ga usah gombal. awas ya kalau  kamu ngelakuin hal kayak gini lagi. aku gak bakal segan minta ayah batalin perjodohan kita!"

"oh jadi sebenernya kamu setuju kita dijodohkan? kalau melihat reaksimu kemarin aku kira kamu tidak setuju,"

Hilda menggeram. kesal.

"terserah!"

***

Hilda kembali keluar ke balkonnya, sedikit berharap bertemu March. saat melihat sosoknya sedang bersandar sambil memandangi langit, Hilda tersenyum lega. senyum yang dia hapus begitu March menyadari kehadirannya.

"malam," katanya.

Hilda mengangguk.

"tough days?"

"a bit," Hilda menghampiri balkon yang lebih dekat ke balkon sebelah. sementara itu March masih di posisinya. "how's yours?"

"biasa saja. kehidupan yang seru baru dimulai malam hari," senyum March mengembang, misterius.

"maksudmu, kamu bekerja di tempat seperti..."

"not exactly that things. there's a lot of things you still need to dixcover, Hilda," March bergerak mendekati Hilda dan sekarang jarak mereka hanya 2 meter.saat MArch mendekat, Hilda dapat mencium wangi maskulin, wangi sabun pria yang juga digunakan adiknya. untunglah Hilda juga sudah mandi dengan sabun aroma jeruk."you smell so good,"

Hilda terkesiap. March juga bisa mencium wangi sabunnya?

"thank you. anyway, what kind of business do you run?"

"anything. apa kamu selalu bicara soal bisnis dengan pria saat sedang berdua?"

Hilda tersinggung. terlihat sekali bahwa dia tipe workaholic sehingga saat sedang dengan pria pun dia bicara bisnis. "no, of course not."

"karena gak banyak cowo tahan deket kamu ya?" March tertawa.

kali ini Hilda benar-benar marah. "asal tahu saja, aku sudah punya pacar yang akan sedang jadi tunanganku,"

"hasil perjodohan?" March mengangkat sebelah alis dan masih tersenyum. membuat Hilda semakin geram.

"aku harus tidur," Hilda pun berbalik dan menutup ointu balkon dengan keras. kesal karena kata-kata March ada benarnya.

***

Hilda menghentikan mobilnya di lampu merah. ia biasanya jarang membaca koran dan lebih memilih menonton TV (TV-nya) untuk mendapatkan berita terbaru. tapi berita kecil di bawah headlines salah satu koran menarik perhatiannya. "Lagi, Rumah Pejabat Disatroni Maling."

Hilda membuka kaca mobil dan membeli koran itu. disitu disebutkan bahwa ini adalah kejadian ketiga dimana rumah pejabat dimasukki maling dan ruang kerja mereka diobrak-abrik. tidak ada yang hilang, hanya berantakan.

saat lampu berubah hijau, Hilda memacu mobilnya ke kantor, menemui Aryo, sang Kepala Divisi News dan meminta timnya untuk mendalami kasus ini. "apa yang mereka cari?" tanya Hilda pada Aryo.

"we'll find out soon ma'am," jawab Aryo.

***

Hilda baru sampai di apartemen pukul 10 setelah berdiskusi panjang lebar dengan Aryo soal kejadian itu. benang merah dari ketiga pejabat itu adalah mereka dicurigai terlibat proyek yang merugikan negara namun belum ada bukti mengenai hal tersebut sehingga mereka masih lolos dari hukum. Hilda ingin perkebangan berita ini muncul di TV-nya secara rutin.

baru saja Hilda meletakkan tasnya di kamar, bel apartemennya berbunyi.

"siapa itu.." gumamnya. ia berjalan kembali keluar, mengintip melalui kamera dan heran mendapati March sedang berdiri di depan pintunya.

"ya?" panggil Hilda saat pintu terbuka.

"i'm sorry," March mengulurkan satu toples cookies coklat berhias pita pada Hilda. wajahnya terlihat malu tapi tetap ada raut iseng.

"nevermind, come in," Hilda membuka pintu lebih lebar dan March masuk. setelah Hilda perhatikan, malam ini March mengenakan kaus hita, yang menunjukkan otot-otot lengannya, dadanya yang bidang, dan perutnya yang rata. Hilda menelan ludah. "mau minum apa?"

"beer?"

"i dont have one," Hilda menggeleng.

"coffee?"

"oke, tunggu,"

Hilda masuk ke dapur dan membuat kopi untuk March dan susu untuk dirinya. setelah jadi, dia membawanya ke ruang tamu. toples cookies sudah diletakkan di meja dan MArch sedang berdiri di jendela.

"awesome view," tunjuk March.

"yeah, aku selalu suka melihat pemandangan malam dari sini dan ketika siang, Taman Ria Gressa jadi favoritku," Hilda mengulurka mug berisi kopi untuk MArch dan dia sendiri memegang mug berisi susu. "apa pemandangan dari jendela ruang tamu mu?"

"perumahan kumuh. mengingatkan aku untuk tetap down to earth," jawaban March menohok Hilda.

"oh. ini cookies kamu yang buat?" Hilda mengalihkan pembicaraan, duduk di sofa dan mengambil toples cookies.

"bukan, aku membelinya di The Cookies Factory. aku tidak tahu apa rasa favoritmu jadi aku minta dipilihkan oleh pelayannya," March ikut duduk di sofa.

"aku suka chocolate chips, makasih banyak," Hilda berusaha tersenyum tapi dia yakin wajahnya akan terlihat sadis alih-alih berterima kasih.

March tertawa lebar melihat Hilda begitu. "its okay. kamu gak perlu berusaha terlihat manis. kamu sudah manis apa adanya,"

Hilda diam, tapi dia bisa merasakan pipinya merona merah.

mereka mengobrol sambil menikmati cookies dan minuman masing-masing. tidak terasa sudah pukul 12 saat March akhirnya pamit pulang.

"see you," kata Hilda di depan pintu.

"ya, see you," balas March.

saat pintu tertutup, Hilda melonjak kegirangan.

***

seminggu kemudian kasus pencurian bertambah, tidak hanya pejabat melainkan juga pengusaha kena getahnya. bersamaan dengan ini, tim pelacak korupsi mulai mendatangi orang-orang tersebut dan berita soal kasus korupsi mulai mencuat di permukaan.

"ini nampaknya memang bertujuan untuk membuka kasus korupsi," ujar Hilda saat ia meeting dengan Aryo dan beberapa kepala news.

"bisa jadi, tapi kalau tidak hati-hati TPK bisa dituduh memasuki rumah orang dan ini akan merugikan mereka sendiri," balas Aryo. menempelkan kliping cerita dan report para reporter.

"bisa gak kita masuk ke TKP dan ambil wawancara secara detil mengenai apa yang diambil, apa yang tidak seharusnya diambil, dan apa yang berbeda, siapa yang ditemui, semacam hal itu. aku rasa dia memang bermaksud untuk memberantas kasus korupsi, kalau bisa, kita juga menunjukkan bahwa TPK tidak bersalah," papar Hilda, menelusuri berita-berita yang muncul.

"tapi ma'am," sela salah seoarng kepala news.

"oke, bukan menunjukkan bahwa TPK tidak bersalah, tapi tunjukkan secara jelas siapa-siapa yang sebenarnya terlibat dan tidak terlibat. oke?"

"oke," semua stafnya mengangguk dan mereka mulai bergerak lagi.

***

Hilda keluar dari lift dan menuju mobilnya, malam itu baru pukul 8 tapi Hilda sudah ingin pulang, mengobrol lagi dengan tetangga misteriusnya. selama 2 minggu mereka kenal, yang bisa diketahui Hilda hanyalah bahwa March menyukai kopi hitam dan senang memakai baju hitam.

tubuh Hilda mendadak diserang dari belakang, kedua tangannya ditahan, dan Hilda ditabrakkan ke mobil SUV-nya. ia ingin berteriak tapi jujur saja ia takut.

"miss, lebih baik hentikan tim kamu untuk menyelidiki apa yang sedang kami lakukan. itu tidak baik untukmu. ini hanya peringatan pertama, jika kamu masih bersikeras menyelidikinya, kamu tidak tahu apa yang akan terjadi padamu," kemudian orang itu melepaskan Hilda dan saat Hilda berbalik, tidak ada siapa-siapa. jantung Hilda berdegup cepat sekali. ia buru-buru mengeluarkan kunci mobil dan menjalankan mobilnya, keluar dari basement.

"March!" Hilda mengetuk pintu apartemen sebelahnya. dia masih takut untuk sendirian.

"Hilda," March membuka pintu dan Hilda langsung memeluknya. meletakkan wajahnya di dada March.

"i'm so afraid, i'm so afraid," kata Hilda tidakjelas. "please, please, will you stay with me tonight?"

"apa yang terjadi?" March membalas memeluk Hilda dan mengelus rambutnya.

"ada yang menyerangku tadi. aku takut sendirian,"

"oke, oke, aku akan menemanimu,"

Hilda melepaskan pelukannya tapi tidak melepaskan cengkramannya di lengan March. perlahan, mereka berjalan beriringan menuju apartemen Hilda. March menggeser tangan Hilda yang mencengkeram lengan atasnya dan ganti menggenggam tangan itu. Hilda tampaknya tidak sadar.

"a-aku mau mandi, kamu tunggu disini," kata Hilda masih dengan gugup.

"ya, take your time," March tersenyum menenangkan dan dia duduk di sofa. Hilda, sementara itu, buru-buru ke kamarnya, mandi, berganti pakaian, dan mengambil bantal serta selimut untuk tidur di sofa.

"jangan kemana-mana ya," Hilda memohon. March mengangguk. ia duduk di karpet sementara Hilda berbaring di sofa. Hilda mengulurkan tangan dan March menggenggamnya. ia meletakkan dagunya di tepi sofa, memandangi Hilda dan Hilda balas memandanginya.

"good night," bisik March. Hilda mengangguk, dia langsung terlelap.

satu jam lebih March memandangi wajah Hilda saat tertidur. pelan-pelan ia melepaskan tangan Hilda dan keluar. ia harus menyelesaikan tugasnya malam ini. "maaf Hilda, aku akan kembali sebelum kamu bangun."

***

Hilda bangun pukul 6 keesokan harinya. untunglah ini hari Sabtu jadi ia tidak perlu datang ke kantor. seingatnya hanya ada janji makan siang dengan Jeremy. Hilda memandangi sosok yang menemaninya semalaman. ia tidur sambil duduk, tangannya masih memegangi tangan Hilda.

"thanks," bisik Hilda. tidak menyangka, bisikannya membangunkan March.

"hai. tidurmu nyenyak?"

"iya, berkat kamu,"

"boleh aku kembali ke kamarku, untuk melanjutkan tidur?"

"oh ya, boleh. maaf mengganggu waktumu," Hilda bangkit, di sebelahnya, March juga berdiri.

"ga masalah, tetangga memang harus saling mengandalkan kan?"

tebersit sedikit rasa kecewa di hati Hilda, ya mereka memang cuma tetangga. "ya,"

"take care, Amethyst,"

***

pertunangan Hilda dan Jeremy akan diadakan dua minggu lagi. besok, Jeremy akan berangkat dinas selama dua minggu. itulah kenapa dia bersikeras ingin menghabiskan waktunya dengan Hilda, bahkan berharap Hilda mau menemaninya di bandara.

"ada yang sedang kamu pikirkan?"

"eh?" Hilda menoleh kepada Jeremy yang sekarang sudah berhenti bicara.

"sedari tadi kita bertemu, makan siang, menonton, mencari keperluanku untuk dinas, kamu hanya diam saja. apa yang kamu pikirkan?"

"nothing," jawab Hilda.

"lie," bantah Jeremy.

"ya, ada yang aku pikirkan. pekerjaan, puas?" Hilda berjalan lebih dulu, bermaksud untuk menuju mobil Jeremy yang diparkir di basement. sesungguhnya Hilda masih agak trauma dengan basement, tapi karena ia tidak membawa mobil sendiri, ia jadi harus ikut ke basement.

Jeremy mengikuti Hilda tanpa bicara lagi. saat sudah berada di samping mobil sedan Jeremy, Hilda menunggu Jeremy membukakan pintu tapi dia tidak kunjung melakukannya. ia hanya meletakkan barangnya dan mendekati Hilda.

"listen, aku ingin membantu pekerjaanmu supaya kamu bisa fokus kepadaku saat kita bersama. tapi aku gak bisa dan aku benci akan hal itu. aku sudah menunggu saat bisa bersama kamu sejak lama dan aku tidak akan melepaskan kesempatan ini. jadi, tolong lebih berusaha untuk menjaga hubungan kita, Hilda,"

Hilda tercengang mendengar kata-kata Jeremy.

"i love you, Hilda," kemudian Jeremy mengunci tubuh Hilda dan menciumnya. Hilda yang saat itu sedang tidak fokus mendengarkan kata-kata Jeremy dan memikirkan March, menerima begitu saja perlakuan Jeremy. sedangkan Jeremy menganggap Hilda memiliki perasaan yang sama dengannya.

***

hari Minggu dan Hilda memutuskan untuk mengunjungi penthouse orang tuanya. kalau tidak salah, Amelia, adik bungsunya juga akan mengunjungi rumah orang tuanya.

"bagaimana hubunganmu dengan Jeremy?" mama bertanya pada Hilda saat Hilda duduk di taman buatan sementara mama sibuk memotong ranting.

"fine, we just kissed yesterdey," kata Hilda cuek.

mamanya menoleh menghadapi putri sulungnya. "well i guess fine is enough. mama gak perlu kok report soal apa-apa saja yang kamu lakukan dengan dia."

"aku gak mau menikah dengan Jeremy, ma," kata Hilda sambil menyesap green tea.

"tapi kamu bilang kemarin kamu dan dia..."

"its just a kiss. what is in a kiss? bahkan aku gak sadar dia lagi nyium aku. aku berpikir yang lain..."

"pria lain," mamanya melengkapi kalimat Hilda.

"yeah, you know me, mum,"

"papamu pasti tidak akan setuju kalau kamu mau membatalkan perjodohan ini. Jeremy adalah gambaran menantu ideal yang papa miliki,"

"give him to Amelia?"

"give me what?" Amelia menghampiri kakak dan ibunya.

"my fiance-to-be. he's kind, rich, and handsome, kamu mau?" tanya Hilda pada adiknya. Amelia mengernyit.

"Jeremy bukan barang yang bisa seenaknya kamu berikan kepada orang lain kalau kamu gak suka, Hilda," kata mamanya kalem.

"dan FYI, i have a boyfriend," kata Amelia, mengambil cookies yang tersedia di meja.

"ah, aku gak mau menikah dengan Jeremy," kata Hilda lagi. kali ini ia berjalan menghampiri ruang kerja ayahnya. ayahnya sering tidak mau diganggu saat bekerja, tapi ini kan hari Minggu, Hilda bisa menggunakan itu sebagai alasan jika ayahnya marah.

"yah," Hilda menerobos masuk ke ruang kerja ayahnya. tepat saat ayahnya sedang mengobrol dengan seseorang berjas. mengetahui Hilda masuk, orang itu mengangguk dan berbalik, berusaha agar wajahnya tidak dilihat Hilda tapi tetap saja, Hilda rasanya mengenali dia.

"siapa itu yah?" Hilda mendekati ayahnya.

"salah satu pegawai ayah,"

"namanya?"

"Alan. ayah sudah bilang untuk tidak mengganggu ayah kalau sedang bekerja kan?"

hilda mengibaskan tangannya. "ini hari Minggu Yah. saatnya bersama keluarga. ada aku dan Amelia di sini. ayah gak kangen?"


ayahnya tertawa lalu bangkit dan menuntun Hilda keluar. "ayo kita mengobrol di luar,"

***

Hilda memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya tentang kasus pencurian. seandainya ada lagi yang menyerangnya, Hilda tidak peduli. ia tahu ada hal penting disini. selama seminggu ke depan Hilda bahkan menginap di kantor karena masih tetap takut jika ada yang menyerangnya lagi.

baru pada akhir pekan berikutnya, tepatnya di Jumat malam, Hilda pulang ke apartemen. mandi seperti biasa, dan keluar ke balkon. sesuai harapannya, MArch berdiri disitu.

"malam," sapanya.

"malam, Alan," bisik Hilda.

March, Alan, tertawa. "tidak ada gunanya lagi menutupi semuanya ya? aku berusaha agar wajahku tidak terlihat olehmu tapi nyatanya kamu sadar juga."

"aku belum yakin betul dengan dugaanku saat itu, tapi aku bertanya pada pegawai papa yang lain dan mereka tahu kamu. uniknya, kamu bukan pegawai resmi dimanapun perusahaan yang papa miliki. so, who are you?"

"i'm special person who work with your father,"

"dan rasanya aku kenal kamu jauh lebih lama daripertemuan kita disini,"

"oh yah?" Alan mengangkat cangkir kopinya dan meneguknya, matanya tidak lepas dari Hilda.

"ya,"

"mungkin. aku bekerja pada ayahmu sudah dari lama," Alan bicara tanpa ragu-ragu. "ada yang harus kukerjakan, aku permisi."

***

semakin kemari semakin banyak media yang meliput perihal pencurian itu. semakin banyak juga informasi yang terungkap dan itu menjadikan Hilda dan timnya lebih aman. fakta-fakta terungkap bahwa semua pejabat dan pengusaha yang rumahnya disatroni maling adalah mereka yang terlibat dalam bisnis gelap dan korupsi miliaran rupiah. ini memunculkan atmosfir positif pemberantasan korupsi di negeri ini. siapapun yang berinisiatif melakukan itu. Hilda ingin mengucapkan terima kasih secara langsung.

besok Jeremy pulang dan hari ini penayangan berita soal kasus itu mencapai rating yang tinggi. Hilda bingung apa harus senang atau sedih. ia membuka pintu ke balko dan berharap menemukan seseorang disana. nyatanya balkon itu kosong. Hilda berusaha mengintip ke arah kamar sebelah tapi hanya kegelapan yang dilihatnya. Hilda menghela nafas. rasanya ia ingin pulang ke rumah saja.

maka malam itu Hilda memacu mobilnya ke penthouse orang tuanya. sudah pukul 9 saat dia sampai di depan pintu. Hilda memencet bel dan dibukakan oleh salah satu pembantu.

"mama masih bangun?" tanya Hilda begitu masuk.

"masih Nona, baru pulang. sepertinya sedang di kamar," jawab pelayannya sambil menunduk.

"ayah?"

"belum pulang, Nona."

Hilda melangkah menuju kamar mamanya dan mengetuk. "ya?" sahut suara dari dalam.

"ini Hilda, Ma," sahut Hilda sambil melihat kuku-kukunya. beda dengan adiknya, kuku Hilda polos tanpa bekas manicure.

"hai, Darling," pintu kamar orang tuanya terbuka dan mama mengajak Hilda duduk di ruang keluarga. ruang penuh dengan sofa bantal dan TV berukuran besar lengkap dengan sound system.

"ma, mama pernah denger anak buah papa namanya Alan?'

"ya, tentu. dia anak yatim yang diangkat anak dan disekolahkan oleh papamu. kalian sering main sewaktu kecil. sepertinya ada foto kalian berdua. tunggu mama carikan,"

mamanya berdiri dan masuk ke ruang baca. sementara itu Hilda menganga. ternyata sedekat itu hubungan dia dengan Alan?

mamanya kembali tidak lama kemudian, untunglah ruang baca mereka memiliki pendataan yang baik seperti perpustakaan. sehingga tidak perlu waktu lama untuk menemukan album foto jaman dulu.

"nih," mamanya menunjuk sebuah foto. Hilda mengenalinya sebagai dirinya. di depannya ada ada anak laki-laki sekitar 6 tahun lebih tua. seingat Hilda, itu saat dia ke Bali du usia 4 tahun. anak di depannya seperti berusia SD. "Alan sudah berusia 10 saat dia masuk ke keluarga kita. waktu itu baru Frank yang lahir, usianya 1 tahun. jadi Alan hanya dekat denganmu yang saat itu usia 4 tahun."

hilda menyentuh foto itu, kebalikan dengan sekarang, Alan yang wajahnya merengut sedangkan Hilda tertawa begitu lebar. sekarang, Hilda yang lebih banyak merengut dan Alan yang lebih banyak tersenyum.

"ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang Alan? setau mama, dia disekolahkan ke luar negeri sejak SMP. jadi wajar saja kamu tidak ingat padanya," mamanya mengelus rambut Hilda dan bersandar pada sofa.

"dia tiba-tiba muncul di hidup Hilda dan dia bahkan ada di sini saat Hilda dan Amelia berkunjung pekan lalu. mama gak ingat?"

"mama gak pernah hafal tamu-tamu papa kamu. kamu bilang Alan tiba-tiba muncul? bagaimana?"

"dia tinggal di apartemen sebelah apartemen Hilda. mama tau tentang itu?"

"tidak sama sekali. tapi mendengar itu setidaknya mama agak lega. Alan adalah orang yang sangat bisa kamu andalkan kalau kamu butuh sesuatu,"

Hilda mengangguk, setuju sekali dengan hal itu. 

malam itu Hilda menginap dan keesokan harinya ia menjemput Jeremy di bandara. atas suruhan orang tuanya tentu. mereka bilang Hilda harus semakin dekat dengan Jeremy. Hilda sebal sekali melihat Jeremy menghampirinya sambil tersenum lebar, sementara Hilda manyun karena terlalu lama menunggu dan cuaca semakin panas.

"miss me?" Jeremy bermaksud mengecup bibir Hilda tapi Hilda memalingkan wajah sehingga hanya pipinya yang terkena oleh Jeremy.

"not at all. pulang yuk, panas banget," 

Hilda membuka kunci pintu mobil dan duduk di kursi penumpang, membiarkan Jeremy yang menyetir dan bahkan membiarkan Jeremy memasukkan kopernya ke bagasii sendirian. 

"aku lapar, makan yuk," ajak Jeremy di tengah perjalanan pulang.

"yaaa," balas Hilda sekenanya.

Hilda mengikuti kemana saja Jeremy mengajaknya, tapi pikirannya kemana-mana. bahkan Hilda lebih sering mengecek gadgetnya untuk mengurus urusan kantor. awalnya Jeremy tetap berusaha mengajaknya bicara tapi lama kelamaan ia kesal juga dan akhirnya mereka hanya bicara seperlunya.

"aku antar kamu ke apartemen, setelah itu aku akan minta orang dari rumah untuk membawakanku mobil," kata Jeremy, malam setelah mereka mengisi waktu dengan keheningan.

"do as you wish," balas Hilda tanpa mengangkat kepala dari gadgetnya.

"huh," Jeremy mendengus kesal.

"kalau kamu gak suka aku cuekin, kenapa kamu keukeuh mau menikah denganku?" Hilda meletakkan gadgetnya di pangkuan dan menatap Jeremy.

"karena aku suka kamu dari kuliah dan aku gak akan menyerah meski kamu cuekin terus. puas?"

Hilda terhenyak. "kamu gak pernah nunjukkin kamu suka aku?"

"ya, pengecut memang. beraninya sama cewe yang suka aku duluan. gak punya keinginan untuk usaha," Jeremy memukul setir mobil dan memandang lurus ke jalanan. Hilda tidak ingin memperpanjang pembahasan ini. tidak ingin tahu bahwa Jeremy menyukainya sejak lama. biarkan kami berdua terlihat saling menolak agar pertunangan bisa dibatalkan. begitu sampai di basement apartemen, Hilda langsung meloncat keluar mobil dan bergerak cepat menaiki lift. di belakangnya, Jeremy mengikuti.

mereka menaiki lift dalam diam, langsung menuju apartemen Hilda. saat Hilda akan memasukkan kode untuk membuka apartemen, Jeremy menekannya ke dinding, kedua tangannya menekan tangan Hilda ke dinding.

"sampai kapan kamu akan terus mendiamkan aku?" desis Jeremy tepat di depan wajah Hilda.

"lepasin Jer,"

"meski kamu cuekin aku dan bahkan ingin membatalkan perjodohan ini, jangan harap aku akan setuju. kamu akan menikah denganku, suka atau tidak,"  setelah berkata begitu Jeremy mencium Hilda secara paksa. Hilda memberontak sekuat tenaga tapi Jeremy yang sudah terlalu emosi jauh lebih kuat dari Hilda.

"kalau cewenya gak mau, gak usah maksa," seru sebuah suara dengan nada marah. Jeremy ditariknya menjauhi Hilda dan ditonjoknya Jeremy sehingga terpelanting ke lantai. Hilda shock melihat Jeremy terlempar sejauh itu. lebih shock lagi melihat siapa yang di depannya.

"Alan!" seru Hilda. Alan menoleh dan mengangkat tangannya. ia berjalan mendekati Jeremy, raut mukanya sungguh murka.

"kenapa larang-larang saya? Hilda calon istri saya, saya bebas mau ngapain aja ke dia," Jeremy berdiri sambil tertatih dan menekan pipinya yang ditonjok Alan.

"tapi dia bukan barang yang bisa kau lakukan seenaknya," Alan melayangkan tinjunya ke pipi Jeremy yang lain. Jeremy berusaha menghindar tapi ia terlalu lemah untuk Alan. jadilah pipi sebelahnya menjadi korban.

kalau dibiarkan saja, Alan bisa membuat Jeremy remuk. Hilda berlari menghampiri Alan dan segera memeluknya.

"stop! stop!" seru Hilda.

"Hilda, aku yang pacarmu, kenapa kamu menghampiiri dia?" teriak Jeremy dari lantai.

Hilda bergeming, malah mengeratkan pelukannya pada Alan.

"saya peringatkan kamu untuk keluar dari tempat ini sekarang dan jangan pernah mendekati Hilda lagi!" Alan menunjuk Jeremy langsung dengan tangannya. Jeremy menggeram kesal tapi dia pergi juga.

"kamu baik-baik saja?" Alan mengangkat wajah Hilda yang ketakutan.

"aku benci perjodohan ini," Hilda merengut. 

"forget it," Alan memeluk Hilda lebih erat dan perlahan mencium bibir Hilda yang bergetar ketakutan. pelan dan hangat ciuman Alan terasa di bibir Hilda. Hilda memejamkan matanya dan merasakan kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya. Hilda menarik Alan lebih dekat, memainkan lidahnya dengan milik Alan. keduanya seakan tidak peduli dengan apapun. Alan menyapu pelan bibir Hilda dan bergerak menuju hidung dan mendaratkan ciumannya di dahi Hilda. 

"stay with me," bisik Hilda.

"yeah,"

***

pemandangan pertama yang dilihat Hilda begitu membuka matanya adalah dada bidang Alan. Hilda tidur dalam pelukan Alan semalaman dan Hilda merasa begitu nyaman dan tenang setelah sekian lama. perlahan, hilda menjalankan jarinya menyusuri dada hingga perut Alan.

"tidurmu nyenyak?" tanya Alan, mencium puncak kepala Hilda.

"gak pernah senyenyak ini," balas Hilda. ia bangkit dan bertumpukan kedua tangannya, mencondongkan tubuh dan mencium hangat Alan. "good morning."

Hilda melompat dari tempat tidur dan langsung menuju dapur. "mau sarapan apa?"

"apapun yang kamu buat," balas Alan, turun dari tempat tidur dan mengikuti Hilda ke dapur, memandangi sosok Hilda yang sedang membuka kulkas.

"omelet?" Hilda mengangkat telur di kedua tangannya. Alan mengangguk dan tersenyum.

Hilda mulai membuat omelet sambil bernyanyi, sementara itu Alan kembali ke kamar tidur dan merapikan tempat tidur. setelah itu ia ke toilet dan menggosok gigi dengan sikat gigi baru yang ia temukan di lemari. setelah itu Alan menuggu dengan sabar di meja dapur.

"tadaa. hope you like it!" Hilda menghdangkan satu piring omelet di depan Alan, ia menarik kursi dan dduduk di sampingnya.

"cuma 1?" tanya Alan.

"ya, jadi kita bisa makan bareng," kata Hilda dengan raut wajah datar.

Alan malah tertawa, ia mengambil garpu lalu mulai memotong omelet,.menyuapkan omelet itu ke mulutnya dan mengunyah perlahan. "enak,"

Hilda tersenyum lebar, senyum yang ia rasakan benar-benar dari hati, dan untuk kali ini Hilda yakin penampilannya tidak akan terlihat seperti pembunuh berdarah dingin.

"nih," Alan menyuapkan omelet ke mulut Hilda dan Hilda mengunyahnya dengan penuh semangat.

"aku dengar kamu ke luar negeri sejak dulu. itu sebabnya aku gak kenalin kamu padahal waktu kecil kita sering main bareng," Hilda mulai bicara, membahas hal-hal yang ngin diketahuinya sejak kemarin.

"sebagai anak angkat ayahmu, aku harus setuju melakukan apapun yang ayahmu perintahkan. lagipula aku juga memang ingin belajar banyak, jadi ya, aku setuju untuk berangkat," jawab Alan di sela-sela kunyahan omelet dan aktivitasnya meyuapi Hilda.

"apa yang membuat ayah menyuruhmu kembali?"

"kamu,"

"aku?"

"kamu gak sadar aku sudah tinggal di sebelahmu sejak 6 tahun lalu?"

"apaaa?" Hilda tersentak. omelet yang baru masuk ke mulutnya langsung tertelan dan itu membuatnya batuk. Alan buru-buru mengambilkan air dan menyuruh Hilda minum.

"serius?" tanya Hilda setelah kondisinya normal lagi.

"positif. ayah menyuruhku pulang ketika kamu resmi meninggalkan rumah. dia membelikanku apartemen di sebelah kamarmu supaya bisa menjagamu. namun memang baru kemarin itu kita bertemu, ketika setelah 6 tahun, kamu membuka pintu balkon karena dijodohkan,"

Hilda menganga tidak percaya. ternyata selama ini...

"dan selama ini kamu..."

"menjagamu, tapi aku gagal mencegah kamu diserang di basement kantormu. sayangnya, pelakunya adalah anak buahku,"

Hilda tersedak. "maksudmu?"

"kamu pasti tahu kasus pencurian di rumah pejabat dan pengusaha kan?"

Hilda mengangguk. Alan jadi lebih fokus pada omeletnya.

"itu aku pelakunya. atas perintah ayahmu. bersama timku kami merencanakan menerobos pertahanan penjaga dan melakukan tugas itu. ayahmu sudah geram oleh kelicikan para pejabat dan pengusaha itu, jadi ia bertekada mengadakan penyelidikan dan membantu pihak berwajib untuk menuntaskan kasusnya. sayangnya, salah satu anak buahku salah mengerti bahwa apa yang kamu lakukan bisa mengancam kami, jadi dia menyerangmu," Alan menjelaskan masih sambil memainkan omeletnya.

"kamu serius?" Hilda menarik tangan Alan, menyuruhnya memandang Hilda.

"iyaaaa," jawab Alan ragu-ragu dan heran. reaksi Hilda begitu di luar dugaan.

"kamu dan ayah keren banget!" Hilda melompat dari kursi dan memeluk Alan. "gak nyangka kalian melakukan hal kayak gini,"

Alan kaget tapi dia lalu balas memeluk Hilda dan mengelus punggungnya.

"kamu bangga?"

"banget!" seru Hilda sambil memandangi wajah Alan. pelan-pelan Alan tersenyum lebar.

"thanks! tapi kamu pura-pura gak tau aja. dan lakukan penyelidikan dengan timmu seperti biasa. oke?"

hilda mengacungkan kedua jempolnya, kembali duduk di kursi. ternyata ayahnya memang pengusaha yang baik.

"kalau ayah mendengar bahwa aku lebih memilih kamu daripada Jeremy, ayah pasti senang juga kan?" Hilda mengulurkan tangan dan menggenggam tangan kiri Alan. mendengar pertanyaan Hilda, Alan tersenyum miris.

"kalau itu, gak mungkin,"

"kenapa?"

"aku bukan siapa-siapa, Hilda. hanya anak yatim piatu yang diangkat oleh kebaikan ayahmu. mana mungkin ayahmu mau mengijinkan anak kesayangannya jadi milik seorang anak yatim piatu?"

hilda memandang tak percaya pada Alan. "tapi aku lebih memilih kamu daripada Jeremy," Hilda menyentuh pipi Alan, bermaksud menciumnya lagi tapi Alan menghindar. dia membawa piring omelet ke bak cuci dan mencucinya. Hilda mematung, memandangi sosok Alan dari belakang. 

"masih ada urusan yang harus kukerjakan, aku pulang dulu," alan berjalan keluar dari dapur bahkan tanpa memandang Hilda.

"bertemu ayah?" 

"ya,"

"aku ikut! tunggu, jangan tinggalkan aku,"

***

Hilda dan Alan menaiki lift menuju penthouse dalam diam. pelan-pelan Alan meraih lengan Hilda dan menggenggamnya. saat pintu lift terbuka, Alan langsung melepaskan genggamannya pada Hilda. Hilda sedikit kecewa tapi ia tidak menunjukkannya. pintu penthouse terbuka, Hilda langsung disambut oleh mamanya dan mamanya kaget melihat Alan.

"Alan!"

"ma," Alan membungkuk dan memeluk mama Hilda. tentu sebagai anak angkat ayahnya, Alan juga anak angkat mamanya. 

"apa kabar? kok bisa bareng Hilda? kalian..." mama memandang curiga antara Hilda dan Alan tapi keduanya memilih diam.

"ayah ada?" Hilda menunjuk ke dalam, ke arah ruang kerja ayahnya.

"ada, ada Jeremy juga di dalam," kata mamanya ragu.

"pas banget. ayo," Hilda menarik tangan Alan menuju ke ruang kerja ayahnya. Alan mengangguk pamit kepada mama dan mengikuti langkah Hilda yang tergesa-gesa.

"ayah!" Hilda membuka pintu dan menerobos masuk.

"Hilda! kebetulan sekali disini juga ada Jeremy dan... Alan." ayahnya terdiam melihat Alan. sudah sepatutnya ayahnya kaget karena Alan dimaksudkan untuk menjadi bayangan, tidak diketahui keberadaannya apalagi jadi orang yang dicintai Hilda.

"who are you actually?" Jeremy berkacak pinggang memandang Alan, orang yang memberikan luka di kedua pipinya sehingga harus diperban seperti saat ini. "dia yang menghajar saya tadi malam om."

"itu karena kamu kurang ajar sama aku, Jeremy! kamu pantas dapat luka itu!" teriak Hilda.

"tapi aku calon suamimu, aku berhak menciummu," Jeremy tidak mau kalah, ia bergerak mendekati Hilda.

"pesta pertunangan kita bahkan belum diselenggarakan. apalagi pernikahan. kamu masih gak punya hak apapun kepada aku," Hilda menggeram.

"easy kids," ayah Hilda bangkit berdiri. "kalian gak bisa saling teriak seperti orang di hutan. kalian orang-orang terpelajar dan sudah seharusnya menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin. jelaskan satu per satu. Hilda,"

Hilda menceritakan betapa ia benci dijodohkan dan ia ingin mencari jodohnya sendiri. ia juga bercerita betapa tidak cocoknya ia dengan Jeremy saat mereka beberapa kali jalan bersama. puncaknya, ia tidak setuju dengan tingkah laku Jeremy padanya tadi malam.

"Jeremy,"

Jeremy bersikukuh ingin melanjutkan perjodohan dan tadi malam ia bermaksud mencium Hilda untuk menunjukkan perasaannya pada Hilda. jeremy juga bertekad untuk membuat Hilda jatuh cinta padanya meski saat ini Hilda begitu dingin.

"Alan,"

alan kaget. tidak menyangka ia diberi kesempatan bicara juga.

"kamu tidak seharusnya ada di ruangan ini sekarang. apalagi datang bersama Hilda. jelaskan,"

awalnya Alan ragu-ragu, tapi lama kelamaan rasa percaya dirinya muncul dan dia menceritakan awal mula pertemuan kembali dengan Hilda, obrolan-obrolan mereka, hingga kejadian tadi malam, kecuali bagian ia dan hilda berciuman dan menginap bersama.

"and he's the one I want. aku dan dia sudah kenal dari kecil bahkan Yah," sambung Hilda setelah Alan selesai bercerita.

"perjodohan ini menyangkut banyak hal, Hilda. ayah tidak bisa begitu saja membatalkan perjodohan. kalaupun ini batal, ayah belum tentu setuju kamu dan Alan...berhubungan. Alan adalah anak angkat sekaligus orang kepercayaan Ayah, tapi topiknya akan lain jika menyangkut urusan pernikahan."

Hilda mendengus. Alan tetap kalem, sementara Jeremy menyeringai.

"pernikahan bisnis kan," gumam Hilda. 

"saya harap tidak akan ada gangguan apapun dalam rencana perjoodohan ini," kata Jeremy, menjatuhkan pandangannya pada Alan. Alan balas memandangnya.

"kalian bertiga sudah tahu hasil pembicaraan  ini kan? sekarang keluar, Hilda, jeremy. ada yang masih harus ayah bicarakan dengan Alan,"

hilda memandangi Alan dan Alan membalasnya dengan mengangguk samar. Hilda terpaksa keluar dengan Jeremy.

"jangan sekalipun kamu kira aku sudah menyerah. jangan pula berpikir kamu bisa bertindak kasar kepadaku seperti tadi malam," ancam hilda begitu ia dan Jeremy sudah di luar ruang kerja ayahnya.

"aku gak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa denganmu, Hilda. jadi tolong, berusahalah mencintai aku," Jeremy meraih tangan Hilda dan menggenggamnya. hilda langsung menarik tangannya kembali dan menjauh, mencari ibunya.

*** 

saat Hilda selesai membuat kue dengan ibunya di dapur, ia mendapati ayahnya sedang membaca koran dan Alan sudah tidk ada. Hilda menghela nafas, lalu meninggalkan rumah orang tuanya tanpa pamit.

begitu sampai di apartemen, Hilda memencet bel apartemen Alan tapi tidak ada jawaban. berkali-kali dicoba dan tetap hening. Hilda merosot dan bersandar pada pintu. ia bertekad untuk terus menemui Alan apapun yang terjadi. 

sejam menunggu, berganti jadi dua jam, tiga jam, hingga 4 jam menunggu Alan tak kunjung datang pula. kali ini Hilda menangis, begini rasanya sulit mendapatkan apa yang dia inginkan. Hilda menangis dan terus menangis sampai ia kelelahan dan tertidur.

Hhilda terbangun keesokan paginya. kebiasaannya adalah mengecek jam melalui jam meja yang diletakkan di sebelah tempat tidurnya. tapi saat ia berusaha meraih jam, tidak ada apa-apa disitu. bahkan Hilda baru menyadari bahwa seprai yang menyelimutinya berawarna hitam, bukan biru muda seperti miliknya.

Hilda menyingkapkan selimut dan menyadari bahwa ini bukan kamarnya. ia telusuri setiap sudut kamar ini dan sadar bahwa interiornya mirip dengan kamar miliknya tapi barang-barang lain kosong. tidak ada foto, pajangan, alat mandi, atau apapun yang menunjukkan bahwa tempat ini ada penghuninya. saat Hilda memasuki dapur, ada surat tergeletak disana. Hilda menyambarnya dan langsung membaca.

my dearest Hilda,
kamu tahu kapan aku mulai jatuh cinta padamu? pada hari pertama ayahmu mengajak aku tinggal bersamanya. kamu dengan polosnya mengajak aku bermain karena akhirnya kamu punya teman. saat itu kamu tertawa begitu lebar, kamu yang mengajarkan aku untuk tertawa setelah kehilangan kedua orang tua. tapi aku sadar, tawa itu tidak akan pernah jadi milikku. aku hanya bisa memandangimu dari jauh. saat ayah memintaku menjagamu, tanpa ragu aku mengambil peran tersebut dan mengamati kamu tumbuh jadi wanita dewasa, yang dingin, jauh berbeda dengan kamu yang dulu. tapi perasaan itu tidak pernah hilang Hilda.
 lalu akhirnya kamu sadar keberadaanku, kamu sadar siapa aku, dan kamu sadar perasaanmu padaku. sayangnya, kita tidak pernah ditakdirkan bersama. aku pergi, untuk menjalankan tugas mulia yang diberikan ayahmu. ayahmu adalah orang yang baik. aku percaya apapun keputusannya adalah yang terbaik untukmu. 
berbahagialah Hilda.

yours truly,
Alan

Hilda tertegun membaca itu. jadi ayahnya meminta Alan untuk pergi? apa ini karena Alan memang tidak pernah disetujui untuk memiliki hubungan dengan Hilda? berjalan gontai, Hilda keluar dari apartemen, kembali ke kamarnya sendiri. lalu meringkuk di tempat tidur, berharap ada seseorang yang memeluknya seperti dulu.
***

tiga hari mengurung diri di kamar, Hilda akhirnya kembali ke dunia luar. kembali ke rutinitasnya, bekerja keras. mengejar ketertinggalan selama 3 hari absennya. bersamaan dengan itu hari pertunangannya sudah ditentukan. hari Sabtu minggu depan. Hilda berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi sulit untuk mencegah dirinya keluar ke balkon dan menanti sosok Alan menyapanya.
Jeremy tersenyum lebar saat pesta pertunangan, berbeda dengan Hilda yang lebih banyak mengangguk saja. pertunangan ini seakan hari eksekusinya sudah ditentukan. malam itu Jeremy megantarnya sampai ke penthouse rumahnya. sikapnya jadi lebih sabar sekarang, mau mengikuti apa keinginan Hilda yang sampai saat ini masih belum rela bertunangan dengan Jeremy.

"hilda, listen. kita akan segera menikah dan itu artinya kita harus melupakan segala masa lalu kita dan menjalani apa yang ada di depan kita dengan sebaik-baiknya. kamu akan punya aku dan aku akan punya kamu. kita hadapi semuanya bersama. jika saat itu tiba, aku mohon kamu terima aku dan berusaha untuk mencintai aku."

Hilda menatap Jeremy yang begitu serius bicara padanya. setelah seharian akhirnya Hilda berkata, "i'll try," lalu turun dari mobil dan bergerak menuju lift yang akan mengantarnya ke penthouse. 

***

"Hilda tampak sangat tidak bahagia bahkan di hari pertunangannya sendiri," mama Hilda sedang melepaskan perhiasan yang dipakainya tadi.

"untuk perjodohan yang diinisiasi oleh keluarga, itu wajar saja. kamu juga dulu tidak setuju dijodohkan denganku kan?" tanya ayah Hilda.

"itu hanya karena aku tidak mau dijodohkan. aku tidak punya siapapun di dalam hati. berbeda dengan Hilda. aku rasa pilihan hatinya sudah dijatuhkan sejak 22 tahun lalu." mama Hilda menghela nafas.

"Hilda hanya butuh waktu," ayah Hilda menghampiri istrinya dan mencium kepalanya. 

"bagaimana jika Hilda tidak pernah mencintai Jeremy?"

"maka dia harus bisa menjalani rumah tangga dengan dasar yang lain,"

***

Hilda tidak pernah mendengar kabar tentang Alan sampai seminggu menjelang pernikahannya. ia sudah berusaha mendesak ayahnya untuk mencari tahu kemana Alan pergi tapi hasilnya nihil. ia kerahkan anak buahnya untuk menyelidiki perihal Alan namun mereka semua pulang dengan tangan kosong. kasus pencurian untuk membantu TPK masih berlanjut, namun Hilda tahu bahwa itu adalah perbuatan anak buah Alan. 

mungkin tidak semua kisah cinta berakhir bahagia. mungkin tidak semua perasaan cinta harus berbalas. mungkin sebuah perasaan harus berlabuh pada mereka yang lebih mencintai. mulai besok Hilda akan tinggal di hotel tempat resepsi pernikahannya akan dilangsungkan. setelah itu ia akan pindah ke penthouse Jeremy. semua kenangan di apartemen ini akan ditinggalkan. termasuk perasaannya pada Alan.

hotel lantai 23, tidak ada pemandangan ke Taman Ria Gressa seperti favoritnya. hanya pemandangan ke laut yang hitam dan gelap. Hilda termenung memandangi pemandangan itu. Amelia menyodorkan Diet Coke kepada kakanya. seminggu ini ia bertugas menemani kakaknya.

"yakin mau married sama Jeremy?" tanya Amelia setelah duduk di depan kakaknya.

"nggak," jawab Hilda lalu menyedot isi Diet Coke hingga setengahnya. "ayah dan mama yang yakin."

"masih kangen Alan ya?" Amelia bertanya ragu-ragu. Hilda membalas hanya dengan anggukan. "will he ever come back?"

"i dont know," jawab Hilda pelan.

"aku gak kenal Alan jadi aku gak tahu dia orang seperti apa. tapi aku yakin sebenarnya dia mampu untuk jadi pasanganmu Kak," kata Amelia sungguh-sungguh. 

Hilda memandang adiknya, tersenyum, mengangguk, dan membisikkan 'thank you'.

Hilda memasuki ruang tidur setelah selesai mandi. Amelia sudah tidur lebih dulu di ranjang sebelahnya. waktu sudah menunjukkan pukul 11 ketika terdengar ketukan di jendela. jantung Hilda berdegup kencang. ia takut, takut akan niat buruk orang ataupun hal-hal yang di luar logikanya. lagipula ini lantai 23, bagaimana orang bisa sampai di jendelanya. 

ketukan itu terdengar lagi. jantung Hilda makin berdegup kencang. "Mel," panggil Hilda.

"hmm, apa sih?" kata Amelia dalam tidurnya.

"ada yang ngetuk-ngetuk jendela," bisik Hilda.

"hah?" Amelia langsung bangun dari tempat tidur dan menyalakan lampu hingga kamar terang benderang lagi. 

"tuh tuh," Hilda berbisik, benar saja, ketukan itu terdengar lagi. 

"aku ambil tongkat dulu. kayaknya ada sesuatu," Amelia berlari ke dapur lalu kembali dengan pan penggorengan. "ini bisa sih kayaknya,"

"kalau bukan maling dan ternyata..." Hilda tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"kita tutup gordennya terus kabur ke kamar panitia di bawah," sahut Amelia. Hilda mengangguk. "bentar, aku siap-siap dial emergency dulu kalau ternyata pan ini gak mempan."

"kita buka gordennya barengan dari dua sisi ya," Hilda bergerak ke sisi kanan dan Amelia bergerak ke kiri. Hilda menghitung hingga 3 dan mereka membuka gorden bersama-sama. disitulah, berdiri, satu sosok berjaket dan bercelana jeans hitam. Amelia berteriak dan mengangkat telepon ke telinganya tapi Hilda mencegahnya.

"stop Mel, stop," Hilda memegang tangan Amel, mencegah adiknya menelepon siapapun. setelah Amelia diam, buru-buru Hilda membuka jendela, menarik orang itu masuk dan memeluknya erat. air mata mengalir deras di pipinya.

"kemana aja kamu? aku kangen banget,"

Alan tidak berkata apa-apa, ia memeluk Hilda erat dan terus menciumi rambut pujaan hatinya ini.

"kak?" panggil Amelia bingung.

"ah," Hilda melepaskan pelukannya. "Amelia, ini Alan. Alan, ini Amelia,"

mereka bersalaman dan saling memperkenalkan diri. "aku mau lanjutkan tidur. di sofa aja," Amelia lalu menarik bantal dan selimut lalu berpindah ke sofa. setelah Amelia keluar, Hilda menatap wajah Alan dan menyentuh setiap incinya. 

"ini nyata? ini beneran kamu? aku gak mimpi?"

"kamu gak mimpi. benar ada aku di sini," perlahan Alan menyentuhkan keningnya ke kening Hilda dan perlahan menyentuhkan bibir satu sama lain, merasakan lagi wujud nyata dari orang yang mereka cintai. Hilda memeluk Alan begitu erat dan Alan menciumnya dengan berapi-api. 

"Alan," panggil Hilda, saat bibir Alan menelusuri leher Hilda. 

"hmm," katanya.

"jangan pergi. atau jika kamu ingin pergi, ajak aku bersamamu."

"seberapa besar pun keinginanku, aku tidak bisa," desah nafas Alan begitu jelas terdengar di telinga Hilda.

"kamu benar-benar rela aku menjadi milik orang lain? kamu gak akan bisa melakukan ini padaku lagi setelah aku resmi menikah dengan Jeremy,"

"biarkan ini jadi yang terakhir kalau begitu. seperti Romeo dan Juliet yang bermalam bersama lalu sadar ketika pagi datang, maka mereka juga harus berpisah," 

"aku gak mau jadi seperti mereka," Hilda mencengkeram jaket Alan.

"tapi aku bisa apa?" tanya Alan putus asa. "ayahmu tidak mengijinkan aku dan hutangku pada ayahmu sudah cukup banyak. aku tidak bisa membawa putrinya pergi juga."

"kamu gak begitu mencintai aku kan?" Hilda mendorong Alan dan berbalik membelakanginya.

"aku tak akan mengatakan apapun perihal itu," Alan bergeming, Hilda berbalik lagi dan menatap Alan dengan tidak mengerti. 

"kamu..."

"semoga kamu selalu bahagia," Alan meraih tangan Hilda dan menciumnya. setelah itu ia berbalik dan berlari keluar jendela.

"Alan! alan!" Hilda berlari menuju jendela namun sosok Alan sudah hilang. 

***

"what a very beautiful bride!" seru sepupu dan tante Hilda pada pagi hari pernikahan Hilda. mereka semua memaksa masuk ke ruang rias dan sudah melihat Hilda yang mengenakan gaun putih panjang.

"senyum dong," kata Amelia, menyenggol kakaknya yang sedari tadi diam saja.

"kamu tahu kan kalau aku senyum tapi aku gak maksud, jadinya kayak apa?" bisik Hilda pada adiknya. Amelia tertawa.

pukul 08.30, Hilda dijemput oleh sang wedding organizer untuk turun ke ballroom. Amelia menamaninya. mama dan Frank sudah menunggu di lokasi acara sementara ayahnya akan menemaninya sebelum diserahkan pada Jeremy.

sampai di depan ballroom, para penerima tamu terkesima melihat pengantin yang begitu cantik tapi angkuh. ayahnya berbalik dan mengulurkan tangan agar Hilda bisa menggandengnya. sementara itu pihak WO bergerak menuju pintu dan sebagian lain masuk melalui pintu belakang.

ayahnya menggandeng Hilda menuju sisi lain pintu masuk. saat WO yang bertugas di pintu bertanya, ayahnya melambaikan tangan. petugas WO itu mundur kembali dan bicara di HT.

"kamu tau betapa senangnya kami saat kamu lahir, Hilda?" ayahnya memulai pembicaraan. 

Hilda diam.

"rasa senangnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. kamu melengkapi kehidupan kami. ayah dan mama memutuskan bahwa kami akan memberikan apapun yang kamu butuhkan, apapaun yang terbaik untukmu. karena kamu adalah anugerah paling berharga untuk kami."

Hilda masih tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini.

"hari ini adalah akhir dari tugas ayah dan mama untuk memberikan yang terbaik bagi kamu. tugas terakhir kami adalah memilihkan suami terbaik untuk kamu. setelah itu, tugas membahagiakan kamu akan menjadi tanggung jawabnya. ayah selalu berharap kamu bahagia, karena tidak ada orang tua yang mau melihat anaknya sedih,"

Hilda mengangguk.

"so, be happy, dear," ayahnya mengecup kening Hilda lama. setelah itu mereka bersiap di depan pintu. petugas WO bicara kepada temannya melalui HT. perlahan, pintu ballroom dibuka.

semua tamu memandang ke arah Hilda, mereka mengagumi Hilda, gaun, ataupun keseluruhan penampilan Hilda dari atas ke bawah. di ujung sana, sudah berdiri sang calon suami yang mengenakan jas putih, disesuaikan dengan gaun Hilda. perlahan, Hilda meyakinkan dirinya bahwa ini adalah yang terbaik. satu meter dari penghulu, Hilda berjalan sendiri karena ayahnya berpindah posisi ke depan pengantin laki-laki. setelah sampai di depan penghulu, saat itu Hilda baru menyadari bahwa bukan Jeremy yang berdiri di sampingnya. melainkan Alan yang mengenakan jas putih rapi dan kacamata. membuat dia jadi lebih serius.

Hilda menutup mulutnya, super kaget. berbeda dengan ayahnya yang tersenyum, juga Alan yang memberikan senyum terbaiknya. Alan mengulurkan lengan kirinya untuk dipegang oleh Hilda. saat itu, Hilda tersenyum lebar. senyum langsung dari hati. senyum yang membuatnya jauh lebih cantik, bukan membuatnya terlihat seperti pembunuh berdarah dingin.

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?