friksi
Rahma membuka pintu kamarnya untuk menuju dapur ketika tiba-tiba dia berteriak melihat seseorang sedang duduk menonton TV di ruang tamunya.
"Tito! ngapain lo disini?" teriak Rahma.
yang dipanggil cuma menoleh sebentar lalu kembali memandangi TV.
"nonton TV," jawabnya santai.
Rahma buru-buru menghampiri Tito dan berdiri di depannya dan berkacak pinggang.
"lo gak bisa masuk gitu aja dong," seru Rahma.
"bisa,"
"nggak!"
"bisa Rahma sayang. jangan lupa, ini apartemen yang dibeliin orang tua kita buat kita berdua setelah menikah nanti, meski kamu berkeras nempatinnya dulu. dan aku juga punya kuncinya. oke? so, sekarang minggir ya," Tito memandang Rahma sekilas lalu berusaha untuk memandang TV. Rahma menutupi kemana pun arah pandang tito.
"hhh, pertunangan itu lagi. iya kalau kita jadi nikah. tapi tetep aja kamu gak boleh main masuk aja. masih pagi pula!"
aku abis lembur ngurusin klien sampe jam 3 subuh di kantor dan butuh istirahat. jadi aku kesini karena ini yang paling deket. dan karena kamu nutupin TV, mending aku tidur aja," dan tito pun merebahkan diri di sofa lalu tertidur. entah pura-pura tidur atau tidur beneran, yang jelas penampilannya meyakinkan sekali.
Rahma bengong. "ergh!" ia tidak bisa apa-apa lagi selain membiarkan Tito tidur dan ia pun kembali ke kamarnya.
setelah melangkah sekitar 5 langkah, Rahma mundur kembali lalu bersandar di sofa dan memandangi Tito yang sedang tertidur.
"andai lo tahu bahwa dulu gue suka banget sama lo. namun gue berbalik benci karena pertunangan ini," Rahma menghela nafas lalu kembali ke kamar tidurnya.
Tito membuka mata dan memandang pintu kamar Rahma, "gue tau kok."
***
Rahma dan Tito adalah teman satu kampus. ralat, mahasiswa dan mahasiswa satu kampus. mereka tidak mengenal satu sama lain meski nampaknya Rahma mengenal Tito. sekarang Rahma bekerja di perusahaan multifinance ternama sementara Tito sedang meniti karier sebagai seorang lawyer. ibu Rahma sudah meninggal sejak ia masih SMP dan ayah Tito sudah meninggal bahkan sejak Tito masih SD. pada suatu jamuan makan malam dari kantor ibu Tito--yang berprofesi sebagai banker--ia bertemu dengan ayah Rahma--yang berprofesi sebagai auditor karena perusahaan mereka saling bekerja sama. kemudian mereka menjadi akrab dan sebenarnya mereka yang berniat menikah! tapi anak-anak tunggal mereka menolak mentah-mentah ide keduanya dan akhirnya, malah mereka yang dijodohkan.
hingga hari ini, Rahma tidak mengerti alasan perjodohan mereka.
Rahma keluar dari kamarnya, sudah selesai mandi dan berpakaian. dilihatnya Tito masih terpejam di sofa. Rahma menghela nafas lalu menuju dapur dan membuat sarapan. untuk Tito sekalian. pancake dengan saus blueberry dan strawberry plus jus jeruk.
"bangun!" Rahma mencubit lengan atas Tito sekenanya.
"ouch," Tito mengucek matanya dan memegang lengan yang dicubit Rahma. "bisa lebih lembut sedikit banguninnya?"
"nggak. sarapan," Rahma menunjuk meja dapur dengan dagunya. ia sendiri sudah menghabiskan jatahnya sebeleum membangunkan Tito jadi Rahma tidak perlu makan bersama Tito.
Tito memandang ke arah dapur. "kita makan bareng?" tanya Tito usil.
"nggak. gue udah makan. kalau udah selesai makan, cuci piring sendiri dan jangan bikin ribut. kalau mau pulang, jangan lupa kunci pintu," ujar Rahma lalu ia kembali memasuki kamarnya. bermaksud mengerjakan tugas kantor meski saat ini hari Sabtu.
"whatever you want, Queen," balas Tito.
***
"aku baru selesai ketemu klien di daerah Thamrin, should I pick you up and we come together to the dinner?"
"nope. I'll go by myself," balas Rahma di ujung telepon.
Tito mendengus. "using Transjak? lalu kamu sampai pas kita udah selesai makan desserts?"
di mejanya, Rahma memutar bola mata. "pake mobil kamu pun gak akan ada bedanya kan? kena macet juga," Rahma mengecek arlojinya. pukul 5.25.
"siapa bilang pakai mobil?"
"me. dont you heard it?" Rahma mendengus dan Tito tertawa.
"aku tunggu di lobi kantormu 10 menit lagi. wait and see,"
Tito menutup sambungan telepon dan Rahma memandanginya dengan jengkel. lebih jengkel lagi ketika melihat tumpukan berkas pekerjaan yang ada di depannya. kenapa juga orang tua Rahma dan tito harus memaksa mereka mengikuti makan malam bersama di hari Senin? dimana semua pekerjaan seminggu sepertinya menuntut untuk diselesaikan saat itu juga. namun perintah ayahnya tak mungkin bisa Rahma tolak. ia sangat sayang dan hormat kepada ayahnya. bahkan sepertinya kalau Rahma disuruh loncat dari lantai 31 pun ia ikhlas, jika ayahnya yang meminta. jadi, untuk sekedar makan malam di hari Senin dengan tunangan yang sama sekali tidak ia sukai, Rahma menurut saja.
"aku sudah di lobi," ujar Tito setelah tepat 10 menit. Rahma mematikan telepon dan mengambil tas lalu berjalan sekenanya. ketika sampai lobi, dilihatnya Tito sedang mengobrol dengan satpam. jasnya disampirkan begitu saja di pundak dan lengan kemejanya digulung hingga siku. rambutnya sedikit berantakan namun ekspresinya masih playful. sama seperti ketika masih kuliah dan Rahma diam-diam menyukainya.
"ayo," panggil Rahma singkat.
"nah pak, tunangan saya udah dateng. saya pergi dulu ya. doakan acara kami gak berakhir dengan lempar-lemparan pisau dan garpu," Pak Satpam tertawa sedangkan Rahma mengerucutkan bibir. ia berjalan lebih dulu menuju lift diikuti Tito yang berusaha merangkulnya namun Rahma selalu menjauh dan menolak. sebagai gantinya, Rahma menghujani Tito dengan tatapan mendekat-sedikit-aku-tusuk-pake mascara.
mungkin kalian bingung kenapa Rahma begitu benci pada Tito padahal dulu ia menyukai Tito (bahkan hingga sekarang sebenarnya. tapi Rahma memilih menyayat lengannya daripada mengakui ini kepada Tito). alasannya adalah:
1. Tito kepergok sedang keluar dari sebuah hotel bersama seorang wanita pada pagi hari pasca pesta pertunangan mereka
2. Rahma tidak suka diatur soal hal penting seperti ini. kalaupun ia memang suka dengan tito, ia akan berusaha sendiri
3. dengan pertunangan ini, ayah Rahma dan ibu Tito tetap saja dekat. padahal Rahma sangat menentang itu
karena orang tua mereka yang semakin dekat dan pasangan yang seakan tidak menghargai pertunangan ini, Rahma menjadi semakin tidak memiliki alasan untuk berbaik hati pada Tito. meski ia juga tidak bisa keluar dari pertunangan yang sudah menjadi kewajibannya untuk dipenuhi sebagai anak yang baik.
Rahma terus berjalan menuju parkiran mobil ketika Tito memanggilnya dari belakang. "hey, over here!" Rahma berbalik dan melihat Tito sedang berdiri di persimpangan antara arah parkir motor dan mobil. kebingungan namun rahma tetap mengikuti Tito. kemudian Tito berhenti di sebuah motor Kawasaki Ninja ZX-6R berwarna hitam.
"kamu beli motor lagi?" pekik Rahma saat Tito mengeluarkan kunci dari tasnya dan memasukannya ke motor tersebut.
"yeah! motor ini tuh ya..."
"stop stop. kamu jelasin pun aku gak ngerti dan gak mau ngerti," Rahma mengangkat tangannya menyuruh Tito berhenti.
"lho kan kamu kerja di multifinance, sering jual beginian,"
"iya tapi aku lagi gak mau mikirin ini motor spesifikasinya apaan. aku cuma heran kamu masih aja buang-buang duit ortu buat beli barang mahal. sementara motor di garasi kamu aja udah ada 5!" Rahma geleng-geleng kepala.
"hey, I bought this with my own money," kata Tito bangga.
"whatever! so kamu mau ke tempat dinner pake motor ini? sementara aku pake rok mini begini?" Rahma menyipitkan mata curiga.
"yeah, jadi kayak cewe-cewe seksi di film gitu kan. naik motor sport sambil peluk yang nyetir. whoa, kita bakal keren banget!" seru Tito sambil tertawa senang.
Rahma menjitak kepala Tito yang sudah mengenakan helm dengan helm jatahnya yang baru diberikan.
"AW!" seru Tito.
"palelu!" teriak Rahma bete. dengan heels dan roknya, Rahma kebingungan menaiki motor ini. tapi tidak mungkin juga ia duduk menyamping ala naik ojek, apalagi dengan motor besar begini.
"ayo," panggil Tito. posisinya sudah tegap dan menyeimbangkan motor, membuka pijakan bagian belakang lalu ia menepuk pundaknya sendiri. bermaksud menunjukkan bahwa Rahma jangan khawatir, Tito akan menjaga keseimbangan motor dan Rahma bisa naik dengan bertumpu pada pijakan dan memegang pundak Tito.
pelan-pelan Rahma menghampiri motor sport besar itu. menaikkan kaki kirinya, memegang pundak Tito lalu mendorong dirinya ke arah motor dan memutar kaki kanannya lalu meletakkan di pijakan sebelah kanan. pelan-pelan, Rahma menurunkan tubuhnya dan duduk manis di belakang Tito.
"udah?"
"iya," jawab Rahma sambil merapikan posisi tasnya.
Tito mengarahkan motornya keluar dari parkiran dan langsung 'berlari' di jalanan Jakarta yang sudah mulai ramai. meski di kanan kiri mereka ada kendaraan juga, Tito cuek saja dan tetap mengetes kemampuan motornya di jalanan. Rahma sudah berteriak-teriak karena khawatir Tito menabrak pengendara lain. saking khawatirnya, Rahma lupa akan gengsinya dan ia langsung memeluk Tito. dipeluk seperti itu, Tito tersenyum-senyum.
begitu sampai di parkiran tempat dinner mereka, Rahma langsung turun, membuka helm, dan menonjok Tito. "gila kamu ya!" yang dibalas Tito hanya dengan tertawa.
***
"pa?" Rahma mengetuk ruang kerja ayahnya. malam ini setelah selesai dinner, Rahma pulang ke rumah orang tuanya.
"masuk,"
Rahma masuk sammbil membawa nampan berisi susu dan buah-buahan. sudah larut malam dan ayahnya masih saja berhadapan dengan data.
"belum tidur, princess?"
Rahma menggeleng. panggilan princess ini selalu diucapkan ayahnya ketika di rumah. Rahma selalu senang dipanggil seperti ini. bahkan saat usianya sudah 24 tahun pun ayahnya selalu menganggap ia sebagai putri kecil.
"belum pa," jawab Rahma lalu duduk di lengan kursi ayahnya. Ayahnya membuka kacamata dan mengambil potongan semangka.
"besok ngantor kan?"
"yup," Rahma mengangguk. "nanti naik kereta aja ke kantornya,"
"mobilmu ditaro di kantor?"
"iya, kan kemarin dianter Tito ke dinner,"
ayahnya mengangguk. "udah baikan sama Tito?"
"gak akan deh kayaknya Pa. ngomong-ngomong soal ini, sama sekali gak bisa ya Rahma sama Tito gak jadi tunangan?"
Ayahnya memandang Rahma dengan tatapan you-heard-me. tatapan yang selalu dikeluarkan setiap Rahma meminta 'dispensasi' atas perintah yang dikeluarkan ayahnya.
"kenapa lagi?"
Rahma menghela nafas. "nope. Rahma mau tidur dulu. papa jangan tidur kemaleman ya," lalu Rahma mengecup pipi ayahnya dan keluar dari ruang kerja.
***
"sekarang bulan Maret yang artinya tinggal 5 bulan lagi sampai pernikahan kita. sebentar lagi ya!" Tito memandangi kalender yang ada di meja Rahma. sementara Rahma hanya memandang Tito dengan geram.
orang ini tiba-tiba muncul di mejanya tepat jam 12 siang. membawa bekal yang katanya dibuat langsung oleh ibunya untuk anak dan calon menantunya. Rahma saat ini sudah mulai mengunyah bekal yang dibawa Tante Yuni sementara anaknya sendiri malah sibuk melihat-lihat kalender dan berseru soal pernikahan mereka. membuat teman-teman Rahma di sekitar tersenyum-senyum geli.
"udah sih gak usah norak gitu deh," Rahma mengambil kalender lalu menaruh di tempatnya lagi. "makan gih. kan udah dibikinin ama Tante."
"iya nanti," lalu Tito mengangkat telepon yang masuk ke iPhone-nya dan mulai berbicara. "yes madam. okay, nanti bisa didiskusiin pas pertemuan kita besok. hmm, di kafe yang cozy itu ya? boleh. saya ikut kemana pun madam perintahkan. tenang, soal itu gampang,"
lalu Tito tertawa. membuat Rahma semakin jengkel. mana nada bicaranya centil sekali.
"kayak om-om tau gak," kata Rahma setelah Tito menutup teleponnya.
"yang dihadapi juga tante-tante," jawab Tito santai.
"jadi sekarang seleranya tante-tante?" tanya Rahma sinis.
"yah kalau yang masih mbak-mbak gak mau sih," jawab Tito sambil mengangkat bahu. "aku pergi dulu ya. dah,"
Tito bermaksud mengecup Rahma tapi Rahma mundur lalu Tito nyengir dan langsung pergi sambil mengambil bekal makanan jatahnya.
Rahma keheranan.
***
hampir seminggu ini Rahma pulang di atas jam 8 dari kantor. banyak tugas yang harus diselesaikannya, ditambah permintaan dari para atasan. beruntunglah hari ini hari Jumat. Rahma sudah berencana untuk berendam di bath tub dan tidur hingga siang di hari Sabtu.
"halo pa," jawab Rahma saat ayahnya tiba-tiba menelepon.
"masih di kantor pirncess?"
"masih pa. sebentar lagi mungkin pulang. kenapa pa?"
"kamu sehat?"
"alhamdulillah sehat pa. papa sehat kan? tidur jam berapa tadi malem?"
"jam 1. besok kamu pulang?"
Rahma terdiam sebentar. "tadinya besok mau di apartemen sih pa sampe agak siangan. soalnya semingguan ini pulang malem datang pagi terus. tapi kalau papa mau rahma pulang sih gapapa,"
"gapapa kalau gak pulang. cuma mungkin besok lusa tolong ke rumahnya Tito ya. udah seminggu dia sakit,"
Rahma bengong. Tito sakit?
"Tito sakit apa pa?"
"gejala tipes. sekarang bed rest di rumah. tito gak ngabarin sama sekali?"
Rahma menggeleng. ketika sadar ayahnya tidak bisa melihat gelengan kepalanya, Rahma menjawab, "nggak pa. Tito gak ngomong apa-apa,"
"ya udah, besok sempetin datang ya. sekarang selamat istirahat princess,"
"papa juga ya,"
***
Pukul 1 siang Rahma sudah sampai di rumah Tito. rumah besar yang dihuni Tito, ibunya, beberapa pembantu dan keluarganya. Satpam yang sudah mengenali mobil Rahma langsung membukakan pintu sambil tersenyum ramah. Rahma balas tersenyum lalu memarkir mobilnya di carport. tidak lama, pembantu sudah membukakan pintu depan. pasti karena Satpam sudah menghubungi rumah utama untuk memberitahu kehadirannya.
"siang Hani," sapa Rahma kepada pembantu yang masih berusia 17 tahun. putri pertama dari Mbok Isnah, pembantu yang setia melayani Tante Yuni sejak mereka berdua masih sama-sama gadis.
"siang mbak. mau langsung ketemu Mas Tito atau ketemu ibu dulu?" tanya Hani sambil tersenyum.
"ketemu ibu dulu deh ya. aku juga bawa sesuatu buat ibu,"
Hani mengangguk. "ibu lagi merajut di halaman belakang. ayo mbak,"
Rahma mengikuti Hani sambil menenteng bunga, buah, dan kotak berisi cupcake buatannya sendiri. low sugar, spesial untuk Tante Yuni yang tidak terlalu suka makanan manis.
"siang Tante," sapa Rahma kepada Tante Yuni segera setelah Hani meninggalkan mereka berdua.
"eh Rahma. masih bilang tante aja. kapan manggil mama?"
Rahma hanya tersenyum lalu mengecup pipi kiri dan kanan Tante Yuni.
"gak bilang-bilang mau kesini. sama siapa?"
"sendiri aja Tante. mau jenguk Tito. maaf baru sempet hari ini soalnya di kantor banyak kerjaan banget,"
"iya gapapa, Tito abis makan siang tadi sekarang mungkin lagi tiduran. kamu mau ke atas?"
"iya tante. oh iya, ini ada cupcake buat Tante, mungkin sambil ngerajut sambil ngemil. low sugar kok tante," Rahma mengulurkan kotak berisi cupcake yang diterima Tante Yuni dengan mata berbinar.
"wah, emang pinter masak ya mantu Tante. nanti Tante makan ya. sekarang mau tante antar ke atas?"
"gak usah Tante. Rahma naik sendiri aja. permisi ya,"
Rahma masuk kembali ke dalam dan menaiki tangga. diam sebentar ketika ia menguap lebar. rencananya untuk bangun siang gagal karena ia tetap bangun pagi. belanja barang-barang untuk dibawa kesini, masak, dan perjalanan yang cukup jauh.
Rahma berhenti di depan kamar Tito. ia belum pernah masuk ke kamar tito meski sudah beberapa kali ke rumahnya. tidak sulit menemukan kamar Tito karena di pintunya ada tulisan "Tito's Room" dengan gambar Cars.
"kayak anak kecil, padahal udah 26," gumam Rahma.
ia membuka pintu kamar Tito yang tak terkunci dan langsung masuk begitu saja. Rahma cukup kaget karena kamar tito begitu 'ramai'. banyak tempelan seputar motor di dindingnya, ditambah beberapa poster dan atribut Chelsea dan Persija (warna biru dan orange begitu kontras). tidak ketinggalan foto Tito bersama keluarga dan teman-teman yang berukuran kecil ataupun besar. namun yang membuat Rahma kaget adalah foto mereka berdua saat pesta pertunangan yang dicetak ukuran super besar dan dipajang di belakang TV, tepat di depan tempat tidur Tito.
"hai," sapa Tito pelan saat Rahma memasuki kamarnya. wajahnya masih sedikit pucat dan ia tampak lemas.
Rahma menaruh barang-barang yang dibawanya di atas meja lalu menarik sebuah kursi dan duduk di samping tempat tidur Tito yang setelah dilihat dari dekat ternyata bermotif Cars.
"kamu kayak anak kecil banget ya," ujar Rahma sambil memandangi gambar-gambar Ligthning McQueen, Sally Carrera, Don Hudson, dkk.
"i do love motorbike, but for movies, Cars is the first," Tito menjawab sambil nyengir.
"kok bisa sakit?" tembak Rahma langsung.
Tito menghela nafas sebal. seaka-akan ia bosan dengan pertanyaan itu.
"ya bisa, kan aku manusia juga,"
"wah, berita baru," jawab Rahma sinis. ia lalu bangkit berdiri dan keluar kamar Tito.
"hey mau kemana?" tanya Tito yang tak diacuhkan Rahma. 5 menit kemudian Rahma muncul kembali sambil membawa vas bunga yang sudah diisi air. diletakannya vas itu di meja kecil samping tempat tidur Tito. Rahma menata bunga yang dibawanya ke dalam vas degan hati-hati. mengatur tinggi rendah dan warnanya agar sesuai dan enak dilihat. Tito haya diam memperhatikan Rahma.
"rajin-rajin diganti ya airnya dan kalau perlu dipotong ujungnya dan yang udah mulai tua. kalau kamu masih capek, minta Mbok Isnah atau Hani aja yang ganti," ujar Rahma setelah selesai. Rahma lalu menghampiri jendela yang tertutup dan membuka gordennya, langsung membuat Tito menutup mata karena silau. setelah itu Rahma mematikan lampu.
"udah makan belum?"
"udah,"
"makan obat?"
"udah,"
"solat?"
"udah,"
"tidur siang?"
"temenin?"
"you wish banget,"
Rahma duduk lagi di kursi dan memandangi tayangan di TV. "lagi sakit gini masih nonton berita?"
"to keep mu up to date," jawab Tito.
Rahma mencari remote dan mendapatinya di sebelah bantal Tito. dengan sigap Rahma mengambil remote dan memindahkannya ke Cartoon Network. "supaya otak kamu santai sedikit."
Rahma lalu mengeluarkan berbagai buah-buahan yang ia bawa. ada jeruk, apel, anggur, buah naga, pisang, pepaya, jambu.
"di bawah ada tukang buah ya?" tanya Tito iseng melihat banyaknya buah yang dibawa Rahma.
Rahma cuma mendengus.
"mau makan buah gak?"
"apple, please," Tito memasang wajah manja saat memilih apel. Rahma tidak banyak bicara dan langsung mengupas apel. memotongnya kecil-kecil dan menaruhnya dalam piring. menaruh garpu di sebelah potongan apel lalu menyodorkan piring ke arah Tito.
"kan aku lagi sakit..." kata Tito menggantungkan kata-katanya.
tanpa banyak bicara Rahma lalu mengambil garpu, menusukkannya ke salah satu apel, lalu menyodorkannya ke arah Tito. yang langsung disambar Tito sambil tersenyum-senyum centil.
"udah berapa banyak cewe yang nyuapin kamu kayak gini?" tanya Rahma sambil memandang TV. tangannya masih menusuk apel dan mengarahkannya ke hidung, mulut, atau 10 cm lebih jauh dari wajah Tito sampai-sampai ia harus bergerak maju mundur atas bawah demi menyuapkan apel ke mulutnya.
"dua. satu mama, kedua kamu," jawab Tito jujur. Rahma diam. entah harus percaya atau tidak.
"udah abis nih. masih mau?" Rahma memalingkan wajah dari TV dan kali ini benar-benar memandang Tito.
"udah dulu. aku mau tidur," jawab tito dan langsung memejamkan matanya.
Rahma menyimpan piring kotor ke tempat yang aman lalu mulai menjelajahi kamar Tito. membereskan beberapa barang yang berantakan. menyimpan sampah-sampah yang berserakan. merapikan pajangan yang tidak pada tempatnya. ketika sampai di meja panjang dekat jendela yang mengarah menuju balkon, Rahma tertegun. pelan-pelan ia mengambil sebuah pigura berwarna silver dan memandangi foto di dalamnya. ada fotonya disitu. mengenakan jaket kuning dengan ekspresi kepanasan tapi ia sedang tertawa. berlatar belakang Balairung UI. kalau Rahma tidak salah ingat, itu saat ia dan teman-temannya mengurusi kegiatan Welcome Maba di Balairung. sekitar 2 tahun lalu. foto itu sedikit berdebu. namun tidak ada foto lain di meja ini. hanya ada tumpukan berkas pekerjaan Tito dan miniatur berbagai jenis motor. Rahma menoleh memandang Tito yang masih tertidur. berganti-gantian antara foto dirinya dan Tito. apakah artinya?
Rahma meletakkan foto itu kembali sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa adanya foto Rahma saat masih mahasiswa di kamar Tito tidak berarti apa-apa. meski Rahma cukup heran akan hal itu.
setelah selesai merapikan berbagai hal, Rahma menghela nafas lega. dilihatnya Tito masih terpejam. pelan-pelan, rahma mengambil tasnya, bermaksud pulang.
"mau kemana?" tanya Tito dengan suara mengantuk. matanya perlahan-lahan membuka dan mengedip beberapa kali.
"pulang," jawab Rahma pelan.
"disini dulu aja, nemenin mama," kali ini mata Tito sudah membuka lebih lebar. ia mengubah posisinya menjadi duduk.
Rahma terdiam. ia bermaksud pulang karena tidak ingin lebih lama berada disini. ia sedikit canggung berada di kamar Titodan sedikit di dalam hatinya ia merasa gengsi karena ia teguh menolak pertunangan tapi malah sebegitu perhatian kepada Tito. meski demikian ia sebenarnya tidak memiliki alasan lain untuk pulang.
"aku harus pulang..." jawab Rahma pelan.
"kamu punya janji malem mingguan sama siapa?" tanya Tito. nada bicaranya biasa saja, tidak menuduh. namun entah kenapa kalimat itu membuat Rahma merasa bersalah.
and she save by the bell. ketika Rahma bingung mau menjawab apa, teleponnya berbunyi. ayahnya menelepon.
"halo pa?"
"masih di rumah Tito?"
"masih pa,"
"tunggu disitu aja ya, papa otw kesana,"
"oh oke,"
sambungan telepon diputus. Rahma duduk kembali di kursi.
"gak jadi. papa otw kesini,"
Tito tersenyum. "sini dong," ujarnya sambil menepuk tempat di sebelahnya.
Rahma memandang curiga. "mau ngapain?"
"ya duduk sini aja. gak usah curiga gitu deh. aku lagi sakit. menurutmu aku bisa apa?"
Rahma berdiri dan mendekat ke tempat tidur. duduk hampir di ujung. dalam hati ia meyakinkan dirinya bahwa ia melakukan ini hanya karena Tito sedang sakit.
"kaku banget?" tanya Tito dari sebelah Rahma. Rahma langsung semakin kaku. seakan-akanterkena mantar petrificus totalus.
"nggak, biasa aja." Rahma menoleh ke kanan dan mendapati wajah Tito hanya berjarak 5 senti dari wajahnya. Rahma bahkan bisa melihat bibir Tito yang kering dan wajahnya yang pucat. plus suhu tubuhnya yang lebih panas.
"nah itu kaku,"
"nggak!" Rahma berseru padahal ia semakin deg-degan didekati Tito seperti itu.
"Rahma, i love you," bisik Tito tiba-tiba dan langsung mencium Rahma
***
"lembur gak?" Geraldine menghampiri meja Rahma sambil melambai-lambaikan form lembur di depan wajah Rahma.
Rahma mengangkat kepala dari layar komputer dan melepas kacamata lalu menekan bagian antara kedua matanya. "Nggak, Dine, gue mau pulang tenggo,"
"hmm," Geraldine tersenyum jahil. "mau jagain laki lo ye?"
"belom resmi kali," jawab Rahma.
"ah bentar lagi palingan. sakit apa sih dia? kayaknya lama banget,"
"awalnya gejala tipes. lama-lama ketauan usus buntu. makanya lama,"
"dirawat di rumah sakit?"
"nggak. dianya gak mau. kemarin abis operasi terus maunya langsung dibawa ke rumah. jadinya di kamarnya banyak peralatan kedokteran gitu. katanya kalau di rumah sakit gak bisa kerja,"
"lho dia masih kerja?"
Rahma mengangguk. "iya. emang bandel dia. katanya kalau gak kerja gak bisa nabung buat nikah,"
Geraldine tertawa. "semoga cepet sembuh deh ya buat laki lo,"
sudah seminggu pasca Rahma menjenguk Tito dan sejak saat itu Rahma menetap di rumah Tito (tidur di kamar berbeda tentunya) padahal rumah Tito di daerah jakarta Timur terhitung cukup jauh dari kantor Rahma di Jakarta Pusat. hampir setiap hari Rahma berangkat pukul 5 dan sampai di rumah pukul 9 malam. sepulang kantor ia masih harus mengurusi Tito dan sebelum berangkat pun ia menyempatkan untuk memasak dulu. karena ada beberapa makanan yang harus dimakan oleh Tito dan Rahma menawarkan diri untuk melakukannya. sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai tunangan. meski Tante Yuni pun jago masak, tak terkecuali Mbok Isnah. lama kelamaan Tito juga merasa bersalah karena Rahma harus 'kerja rodi' seperti ini.
"how do you feel?" tanya Rahma setelah selesai mandi dan berganti baju. saat ini ia sedang bersiap untuk makan malam dengan Tito. Tito sudah bisa makan di ruang makan.
"sucks," jawabnya.
Rahma terdiam. "why?"
"ngeliat kamu berangkat jam 5 subuh dan sampai rumah jam 9 malam belum lagi load kerja yang banyak dan setelah pulang atau sebelum pergi kamu masih harus ngurusin aku yang cuma bisa duduk lemes,"
Rahma melanjutkan menuangkan makanan ke piring Tito lalu meletakannya di depan tunangannya itu.
"cepet sembuh kalau gitu. Tante Yuni udah makan?"
"udah,"
"mau aku suapin?" tanya Rahma
Tito langsung melempar sendoknya. "no need to make me more useless," dan tito pun berdiri lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
"lho? Tito!" panggil Rahma. ia langsung mengambil piring Tito dan mengejarnya hingga ke kamar. tapi Tito lebih cepat dan langsung mengunci kamarnya. Rahma mengetuk pintu kamar Tito.
"Tito, kamu harus makan! kamu belum makan kan? nanti kamu gak bisa makan obat. ayo dong, buka pintunya ya. makan ya. ayo dong," Rahma mengetuk-ngetuk pintu berkali-kali tapi Tito tidak kunjung membukakan pintu.
"Tito, ayo dong. jangan kayak anak kecil gitu. nanti kamu makin sakit. Tito!!" semakin lama Rahma mengetuk pintu dan selama itu pula Tito bergeming. bukannya kesal, Rahma malah menunduk dan menangis.
mungkin mendengar suara Rahma yang kencang dan panik, Tante Yuni keluar dari kamarnya.
"Rahma? kok jongkok disitu?" Rahma mengangkat wajahnya. "lho kok kamu nangis?"
***
Jumat pagi Rahma bangun dan menyiapkan sarapan untuk Tito seperti yang ia lakukan seminggu terakhir. namun kali ini ia tidak hanya membawa tas dan keperluan kerjanya, Rahma juga membawa seluruh bajunya. nanti malam ia akan pulang ke rumahnya. Tito sudah semakin sehat dan sepertinya keberadaan Rahma hanya membuat Tito semakin kesal.
Rahma melambai kepada Pak Eja yang terjaga semalaman. dari balkon kamarnya, Tito memperhatikan mobil Rahma meninggalkan rumahnya.
***
malam itu Rahma curhat kepada ayahnya. mengadukan semua pemikirannya akan hubungannya dengan tito. termasuk perasaannya saat kuliah dan yang terpenting adalah kegundahannya saat ini. puncaknya adalah malam kemarin saat Tito seakan menolak 'pelayanannya'.
"tunangannya dibatalin aja ya pa? please," pinta Rahma sambil menangis.
"kalian cuma lagi emosi aja. kamu bicarakan dulu dengan tito ya,"
Rahma menggeleng. "dari awal Rahma gak mau. Titonya juga kayak gak serius pa. please, batalin aja ya,"
ayahnya mengelus rambut putri satu-satunya ini. putri yang selalu ia turuti keinginannya dan ia jaga keselamatan dan kebahagiaannya.
"papa batalin dengan satu syarat. kalau kamu dan Tito udah ketemu, ngobrol, dan kalian berdua sepakat untuk membatalkan pertunangannya. ya?"
Rahma menyerah. ia mengangguk.
***
"can we break this engagement?" Rahma dan Tito berada di apartemen. keduanya duduk bersebelahan di sofa ruang TV. Rahma baru memecah keheningan setelah keduanya saling diam hampir setengah jam. Tito hanya memandang keluar, ke arah jendela yang menampilkan pemandangan kota Jakarta.
"is that what you want?" Tito balas bertanya.
"what you really want?" Rahma mengajukan pertanyaan lagi.
"why you asking me about that?" keduanya saling bertanya tanpa menatap wajah masing-masing.
"karena aku gak tau kamu maunya apa. kita berdua sama-sama menolak orang tua kita menikah. tapi ketika kita dijodohkan, kamu gak ngomong apa-apa. mungkin kamu setuju, tapi aku nggak. aku kira kamu setuju-setuju aja, tapi ternyata besok paginya aku ngeliat kamu keluar dari hotel sama seorang cewek, setengah 6 pagi! gimana aku gak mikir kamu ada apa-apanya sama cewe itu? pun kemarin ketika kamu sakit, aku merelakan waktuku untuk ngerawat kamu meski mungkin cuma sepersekian dari 24 jam sehari. tapi aku lakukan karena itu semacam kewajiban buat aku sebagai tunangan kamu. lalu nyatanya kamu malah begitu,"
Rahma bercerita dengan sedih alih-alih kesal. nada bicaranya terdengar sendu alih-alih marah.
"apa masih berpengaruh kalau aku bilang siapa wanita yang sedang bersamaku saat itu? atau kenapa aku bersikap ketus kemarin? atau bagaimana perasaanku sebenarnya?"
Rahma tidak menjawab sedikitpun. padahal ia ingin sekali berteriak, meminta Tito untuk bercerita. selama ini mereka seakan memakai topeng. menyembunyikan rapat-rapat apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan jalani.
"besok aku bilang pada orang tua kita untuk memutuskan pertunangan ini," lalu Tito berdiri dan melangkah keluar.
"Explain!!" Rahma mendadak berteriak. ia berdiri dan memandang punggung Tito. "beri tahu aku siapa dia, kenapa kamu begitu kemarin, ceritakan semuanya!"
air mata mulai mengaliri wajah Rahma dan kakinya terasa lemas. ia terjatuh ke sofa. Tito buru-buru menghampiri Rahma dan meraih pundaknya.
"tenang. jangan emosi," bisik tito lembut. ia mendudukkan Rahma di sebelahnya. menyandarkan kepala Rahma ke pundaknya.
"she's my bestfriend's wife. kamu tahu Candra? yang baru menikah gak lama setelah kita tunangan?" Rahma mengangguk. pada saat kita tunangan itu, Candra sedang di Thailand untuk urusan bisnis dan Windi sedang ada tugas dan menginap di hotel. dini hari setelah pesta pertunangan, ayahnya Windi meninggal. Candra bilang Windi pingsan berkali-kali dan dia minta aku menjemput Windi kesana, lagipula aku juga kenal ayah Windi. maka dari itu aku jemput Windi dan langsung mengantarkan ke rumahnya. lagipula, masa kamu gak kenal wajah Windi? orang yang sama dengan yang kita datangi pernikahannya? dan aku sama dia pun gak mesra-mesraan kan? memang dia megang tangan aku, tapi ekspresinya kan..."
Rahma menggeleng, rasanya waktu itu ia begitu upset, pikirannya penuh oleh masalah pertunangan sehingga nampaknya ia tidak bisa berpikir jernih.
"dan kemarin itu aku merasa gak berguna. ngeliat kamu bolak balik kerja dan ngerawat aku. sementara aku cuma bisa duduk. apalagi kamu nawarin nyuapin aku. makin membuat aku ngerasa useless,"
"tapi itu yang akan aku lakukan seandainya aku jadi seorang istri dan suamiku sedang sakit. melakukan apapaun supaya suamiku merasa nyaman. iya kan?" Rahma mendadak menarik kepalanya dari pundak Tito dan memandang Tito dengan tatapan serius.
"i know. maka dari itu, aku yang salah. aku minta maaf. aku baru mau menjelaskan ketika kamu minta kita ketemu dengan nada serius dan belum apa-apa langsung minta putus,"
Rahma bersandar ke sofa. entahlah apakah dengan ini ia akan melanjutkan pertunangannya dengan Tito.
"tapi kalau kamu bersikukuh untuk memutuskan pertunangan kita, akan tetap aku bicarakan dengan orang tua kita,"
keduanya terdiam lagi.
"kenapa kamu punya fotoku sewaktu masih kuliah?" tanya Rahma pelan. mengingat frame berisi fotonya di kamar Tito.
Tito tersenyum. "kamu nemuin itu pas lagi beres-beres kamar aku ya?"
Rama mengangguk sedikit dan memandang Tito.
"I love you ever since we're in college, dont you know?"
Rahma menggeleng.
"of course you dont. i'm just your secret admirer. ngeliat kamu aktif ikut kegiatan ini itu. meski bukan yang paling menonjol tapi kamu selalu ada. bahkan saat aku udah lulus pun aku tetap memperhatikan kamu. kamu yang karier di dunia politik kampus perlahan-lahan menanjak. aku tahu. kita pernah kenalan, dulu. kamu gak inget?"
Rahma terdiam. tidak mungkin ia tidak ingat. ia juga diam-diam menyukai Tito sejak saat itu. sejak seniornya di kampus mengenalkan ia dan Tito saat mereka akan melakukan aksi ke Istana.
"aku melihat kamu sejak saat itu dan aku sedikit bersyukur ketika kamu tidak terlihat dekat dengan siapapun," Tito tertawa. "dan itu aku pula yang mengusulkan kita dijodohkan setelah kita masing-masing menolak kedua orang tua kita untuk menikah."
Tito memandang Rahma yang duduk diam memperhatikan ceritanya.
"foto itu aku yang ambil. aku sedang cuti saat Welcome Maba. beberapa adik kelasku masih aktif di kampus dan aku pakai kesempatan itu untuk datang ke kampus. aku tahu bahwa kamu pasti ikut aktif disana. dan benar. mungkin aku pengecut karena tidak berani untuk mendekatimu secara langsung dan malah meminta ibuku untuk menjodohkan kita,"
Tito tertawa getir dan menggaruk kepalanya yang Rahma yakin tidak gatal.
"that's it," Tito menepukkan tangannya ke paha dan memandang Rahma yang masih diam. "apa kamu..."
"kamu gak tau ya aku juga suka kamu sejak kita kenalan dulu?"
"he?" kali ini Tito yang kebingungan.
Rahma memperbaiki posisi duduknya, menghadap TV, menghapus air matanya dan menata nada bicaranya.
"i've been your admirer ever since," ujar Rahma pelan.
"jadi kita saling mengagumi dalam diam?"
"semacam itu," jawab Rahma sambil mengangkat bahu. masih tidak memandang Tito.
"lalu kenapa kamu gak mau tunangan denganku?"
Rahma menceritakan alasan-alasannya kepada Tito sedetil mungkin.
"alasan pertama, eliminasi. alasan kedua, oke, masih berlaku. alasan ketiga, emang apa salahnya kalau orang tua kita dekat? mau kita tunangan atau nggak pun gak menutup kemungkinan kalau mereka masih ketemu. dan mereka juga single. gak ada salahnya dong?"
"aku gak mau. papa cukup buat mama aja. bukan berarti tante Yuni gak baik. aku cuma gak mau sosok mamaku tergantikan dengan orang lain,"
"ada kalanya kita harus move on, Rahma,"
"i know, i know. tapi membayangkan papa dengan perempuan lain, berumah tangga. ergh, i cant imagine and I dont want to!"
"ayahmu butuh orang yang mengurusnya ketika sudah di usia senja," Tito berkata lembut.
"i can! aku bisa! papa minta apa aja aku bisa. gak butuh istri lainnya di samping papa,"
"tapi nanti kamu akan punya suami yang harus kamu urus juga,"
"kenapa aku gak bisa rawat suami dan ayahku sekaligus? aku bisa berhenti kerja kalau perlu,"
"bukan begitu. kita--kalau kita jadi menikah--akan punya kehidupan sendiri yang mungkin berbeda dengan kehidupan ayahmu,"
"ayahku gak akan pernah punya kehidupan berbeda denganku. dia ngerawat aku dari kecil kenapa aku gak boleh ngerawat dia sampai tua? kamu keberatan kita dekat dengan ayahku? cukup. gak perlu dilanjut. kita tahu posisi kita dimana!" Rahma mulai marah. ia kesal Tito seakan tidak mau hidupnya 'diganggu' ayahnya.
"bukan. Rahma.."
"nggak. nggak. kita saling suka aja gak cukup, Tito. aku butuh seseorang yang menerima aku dan keluargaku, semuanya."
"Rahma, i do. aku mau menerimamu dengan keluargamu. jangan salah paham,"
"cukup Tito. we break this engagement. better tell your mother and i'll tell my father. lusa aku tinggalin apartemen ini. dan ini cincin tunangan kita. kalau kamu keluar jangan lupa kunci pintunya,"
Rahma menahan tangis lalu berjalan melewati Tito menuju kamarnya. Tito menahan lengan Rahma lalu bermaksud memeluk dan mencium Rahma, untuk menenangkan dan membuatnya berpikir jernih.
"no. no. dont even try, To," Rahma menghentakkan lengannya lepas dari Tito lalu berlari dan mengunci pintu kamar.
***
"Tante Yuni? kok disini?" Rahma kaget melihat mantan calon ibu mertuanya duduk di lobi kantornya. kantor mereka memang tidak terlalu jauh, tapi Rahma tetap tidak menyangka akan melihat beliau menunggunya disini.
"udah makan siang?" tanya Tante Yuni sambil tersenyum.
"baru mau..." jawab Rahma pelan.
"temenin tante yuk,"
Rahma melirik Quinsha, temannya yang akan makan siang bersama. Quinsha mengerti dan menepuk pundak Rahma dan tersenyum pada Tante Yuni lalu berjalan duluan.
Rahma menemani Tante Yuni makan siang di sebuah bistro di gedung tempat Rahma bekerja.
"kata Tito kamu mau putusin tunangannya ya?" tanya Tante Yuni setelah meneguk teh hijau hangat pesanannya.
Rahma mengangguk. sudah tahu topik ini yang akan dibahas dan ia merasa tidak nyaman.
"sudah dipikirkan matang-matang?"
Rahma mengangguk lagi.
"kenapa Rahma? kalian saling menyukai kan?"
"saling suka aja gak cukup Tante. saya mau bertunangan dengan Tito kalau itu bisa membuat papa gak menikah lagi. bukan berarti Tante gak baik atau gimana, saya cuma gak mau sosok mama tergantikan. dan papa setuju. di samping itu, saya yang anak tunggal dan cuma tinggal berdua sama papa beberapa tahun terakhir ini pengen menghabiskan waktu lebih banyak dengan papa, bahkan kalau perlu saya mau ngajak papa tinggal sama saya ketika saya menikah nanti. kemarin Tito seakan gak setuju dengan itu. jadi saya pikir gak ada gunanya dilanjutkan,"
"Tito tidak berpikir begitu, sayang. dia hanya mengajukan opsi agar ayahmu bisa punya orang lain yang merawat dan menjaganya,"
Rahma menggeleng. "saya sudah cukup Tante. saya gak butuh orang lain untuk merawat ayah saya sendiri. dan kalau Tito tidak sepaham dengan prinsip saya itu, saya mohon maaf. ini harus disudahi,"
"kalau nanti kamu dan Tito menikah, Tante dan ayahmu juga akan tetap dekat kan?"
"apapaun asal tidak menikah dan tidak melakukan hal-hal yang lebih dari sekedar besan,"
"apa yang harus Tito lakukan supaya bisa membuat kalian bersama lagi?"
Rahma menggeleng untuk kesekian kalinya. "gak ada Tante. keputusan saya sudah bulat. saya harap tito dan Tante setuju. papa sudah menyerahkan semuanya kepada saya,"
Tante Yuni menghela nafas. "baiklah. Tante hanya bisa mendukung untuk kebaikan kalian berdua. dan jangan bilang Tito ya kalau Tante datang kesini. ia tidak tahu apa-apa,"
Rahma mengangguk. "kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya permisi Tante,"
"ya, selamat bekerja Rahma,"
***
"pa, its okay, right?"
"selama kamu bahagia, papa ikut, princess,"
"aku bakal jagain papa selamanya,"
"that's heartwarming," rahma dan papanya berpelukan di halaman belakang rumah mereka. menatap mentari yang perlahan tenggelam. sekaligus tenggelamnya rencana pernikahan Rahma dengan Tito.
-THE END-
PS: continue or not, tergantung kepengennya penulis :D
Komentar