Nastar untuk Yasir
“Cit, kue-kue yang dari temen kamu
udah dateng?” Miimi buru-buru menuruni tangga menghampiri adiknya di dapur.
Hari ini ia dan teman-temannya berniat berjualan kue untuk mengumpulkan dana
bagi kegiatan di kampus mereka. Kue yang dijual adalah kue buatan teman adiknya
yang memang hobi membuat kue.
“Ini,” sahut Citra dari dapur. Mimi
melangkah menuju dapur dan melihat dua dus besar berisi kue-kue kering yang
terkenal. Seperti nastar, putri salju, kastengel, dan kue-kue lainnya yang
dibuat dengan racikan dan gaya sendiri.
“wow, cantik-cantik banget kuenya.
Emang temen kamu itu pinter bikin kue ya?” tanya Mimi sambil mengangkat salah
satu toples dan memperhatikan isinya.
“Iya, katanya emang pengen punya
usaha jualan kue gitu dia,”
Mimi mengangguk lalu menyimpan lagi
toples itu ke dalam dus. “Semoga cita-citanya Siti kesampaian ya.
Ngomong-ngoomong, ini gimana bawanya ya?”
Sambil berkacak pinggang, Mimi
berpikir bagaimana mengangkut dua dus berisi kue untuk dibawa ke tempat mereka berjualan.
“Bukannya mau dijemput Kak Rahmat?”
tanya Citra sambil ngemil kastengel, bonus dari Siti karena kakaknya sudah
memsan banyak kue buatannya.
“Oh iya bener! Dimana ya tuh anak?”
Mimi langsung mengeluarkan iPhone-nya dan menghubungi Rahmat, temannya yang
juga akan berjualan. Di saat yang sama “teet” terdengar bunyi klakson di luar.
“Panjang umur dia.”
“Ini displaynya harus dibikin yang
cantik, biar orang yang lewat pada tertarik gitu,” Mimi, Rahmat, Wigati, dan
Fuadi sudah sampai di tempat berjualan, sebuah jalan yang banyak dipakai orang
berjualan karena merupakan wilayah yang ramai di sore hari.
“Yang Putri Saljunya taro paling
atas aja, dia kan paling beda sendiri ntar orang yang lewat pada bilang,’waw
apa tuh?’” kata Rahmat sambil menunjuk toples Putri Salju yang masih di dalam
dus.
“Oh iya bener,” Fuadi langsung
mengambil toples Putri Salju lalu menaruhnya di bagian atas display dengan
hati-hati agar terlihat cantik dan menarik.
“Sip, yuk kita jualan!”
Satu jam berjualan, kue mereka
lumayan cepat habis terjual. Mereka berempat senang karena profit yang didapat
pun lumayan.
“Tapi kok yang belum laku banyakan
nastarnya ya? Padahal nastarnya enak lho,” Mimi melongok ke tumpukan nastar
yang masih tertata dengan cantiknya.
“Emang enak? Kata siapa?” tanya
Rahmat sambil bergerak untuk meraih salah satu toples nastar.
“Heh mau ngapain lo?” Mimi berteriak
spontan.
“Mau nyobain.” Jawab Rahmat polos.
“Gak boleeeh. Kalo mau coba, beli
sendiri,” kata Mimi galak sambil mengambil kembali toples dari tangan Rahmat.
“Ah Mimi mah,”
Tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut dari sebelah kanan meja tempat Mimi dan teman-temannya berjualan.
Mereka berempat otomatis melirik ke arah keributan dan kaget karena banyak
orang berbadan besar seperti sedang berkelahi.
“Oh My God. Ayo kita beres-beres.
Feeling gw gak enak,” ujar Mimi sambil buru-buru memasukkan toples ke dus.
Belum sempat merapikan banyak hal,
orang-orang berbadan besar itu tiba-tiba tersungkur di meja mereka dan
menghantam beberapa toples sampai terpecah dan isinya berhamburan.
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!”
teriak Mimi dan Wigati bersamaan. Pertama karena takut. Kedua karena modal
dagang mereka hancur berantakan. Perasaan takut, kesal, dan marah bercampur.
Rasanya ingin menyalahkan siapapun penyebab keributan ini.
Mimi mengangkat wajahnya untuk
melihat situasi dan menyadari bahwa dua orang berbadan besar yang menabrak
mejanya dirobohkan oleh seseorang. Seseorang yang sekarang menghampiri dia dan
teman-temannya. Di kejauhan, polisi datang dan langsung meringkus dua orang
berbadan besar itu.
“Maaf. Dua orang ini tadi ngejambret
ibu-ibu di swalayan sana. Saya kejar kesini dan gak sengaja mukul mereka taunya
jatuh ke meja kalian ya?”
Mimi, Rahmat, Fuadi, dan Wigati
hanya membisu. Masih bingung mau berkomentar apa. Orang itu lanjut bicara
setelah melihat kerusakan di sekitarnya.
“Kalian jualan kue? Maaf bikin
berantakan. Saya bayar ganti ruginya ya,” lalu orang itu mengeluarkan 5 lembar
uang bergambar Soekarno-Hatta dan mengulurkannya. Rahmat, Wigati, dan Fuadi
refleks menyuruh Mimi maju untuk mengambil uang itu. Sambil kaget dan kesal
karena teman-temannya, Mimi mengulurkan tangan menerima uang itu. Sebenarnya ia
hampir menolak uang itu tapi karena acara mereka sudah mepet dan masih butuh
uang sementara modal dagang mereka hancur, uang itu sangat berharga.
“Sebagai gantinya, saya ambil kue
yang masih utuh ya. Oh iya, kalau ada apa-apa, misal uang ganti ruginya kurang,
bisa langsung hubungi saya, nama saya Yasir, ini kartu nama saya.” Dengan
perlahan, Mimi mengambil kartu nama itu dan orang itu pun pergi.
“Abis nangkep preman dimana lagi,
Sir?” Rizki, sahabat karib Yasir langsung bertanya seperti itu begitu Yasir
memasuki kafe tempat mereka janji bertemu untuk mendiskusikan bisnis mereka.
“Swalayan sana. Tampilan aja elegan,
jambret dimana-mana,” ujar Yasir lalu duduk di depan Rizki dan memesan
espresso.
Rizki tertawa. “Udah pasti kalo
janjian sama lo dan lo telat, pasti lagi membela kebenaran di suatu tempat.
Entah ini temen gw beneran manusia biasa atau ternyata Superman,”
Yasir hanya menanggapi sambil
tersenyum kecil. Ia mengulurkan toples nastar yang dibelinya tadi. “Oleh-oleh
dari penyelamatan tadi.”
Rizki mengambil toples yang
diulurkan Yasir tadi lalu meneliti isinya. “Nastar nih? Gw gak suka nanas bro,”
lalu mengulurkan toples itu kembali ke Yasir.
Yasir mengangkat bahu lalu membuka
lapisan selotip yang menahan toples itu. Mengambil salah satu nastar,
memasukkan ke dalam mulut, mengunyahnya, dan pingsan.
Sebulan kemudian.
“Salah makan bisa sampe tipes gitu
ya kak,” Citra membuka pembicaraan dengan Mimi ketika mereka berdua melangkah
keluar dari kamar Jena, seorang teman Mimi yang dirawat karena tipes.
“Gak ngerti deh. Tuh anak perutnya
emang ringkih. Salah makan, tepar, masuk rumah sakit, eh ketauan deh tipes.
Lagian hobi banget nunda makan. Begitu deh,” jawab Mimi sambil mengangkat bahu.
Mereka berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Mimi mengeluarkan iPhone-nya,
refleks sekadar untuk mengecek WhatsApp, Path, atau notifications lainnya.
Tanpa disadari, dari depannya ada sosok yang berjalan searah. Citra tidak
sempat memperingatkan kakaknya karena ia sedang memperhatikan isi rumah sakit.
BRAK!
“Maaf,” seru Mimi tiba-tiba lalu
melihat orang yang ditabraknya.
“AAARRRGH!” orang yang ditabraknya
berteriak dengan ekspresi murka. Mimi kaget. Kenapa bertabrakan dengan tidak
sengaja bisa bikin dia semarah ini? Eh, tunggu sebentar, rasanya ia kenal wajah
ini.
“Eh!” Mimi ikutan berteriak.
“Kamu! Akhirnya saya ketemu lagi
sama kamu,” ujar orang tersebut.
“Saya? Kenapa saya? Mau beli nastar
lagi ya?” kata Mimi bersemangat.
“Boro-boro! Kamu harusnya tanggung
jawab, bayar biaya rumah sakit saya,” kata orang itu berapi-api.
“Hah?” Mimi dan Citra berpandangan.
Keduanya tidak mengerti.
“Gara-gara makan nastar yang saya
beli dari kamu, saya keracunan dan harus dirawat 2 minggu di rumah sakit!”
“APAAA?!” teriak Mimi dan Citra
bersamaan. “Er, itu kayaknya salah paham deh. Mungkin mas abis makan yang lain
terus komplikasi apa gitu…”
Pelan-pelan Mimi menggeser
berdirinya sambil menarik Citra. Bermaksud untuk kabur pelan-pelan.
“Eits, mau kabur ya? Gak bisa. Ganti
rugi dulu!”
Duh. Masalah apa lagi ini.
***
“Siti, kamu naro apa di nastarnya?”
begitu sampai rumah, Citra langsung menelepon teman pembuat nastar yang dijual
kakaknya. Sementara itu Mimi langsung terkapar lemas di sofa.
“Bahan-bahan biasa kok. Emang
kenapa?” jawab Siti dari ujung sana.
“Hmm.. Gak deh gak apa-apa, udah ya
Siti. Dah,” Citra pun menutup teleponnya. Tidak tega untuk melanjutkan
percakapan.
Tadi, setelah tidak sengaja bertemu
Yasir dan tahu bahwa dia keracunan nastar sampai harus diopname selama 2
minggu, Mimi sebagai penjual terpaksa haarus bertanggung jawab. Mungkin mending
kalau tanggung jawabnya langsung ganti dengan uang untuk biaya rumah sakit.
Tapi ini . . .
“Jadi fix mulai besok jadi supirnya
Kak Yasir?” tanya Citra pelan-pelan.
“Iya kali. Aku mau tidur aja siapa
tau ini Cuma mimpi.”
Turirutrirut!!
“Doh,” Mimi menutup kepalanya dengan
bantal supaya bunyi itu tidak terdengar di telinganya. Hari ini hari Minggu dan
ia seharusnya bisa bersantai-santai di rumahnya karena tidak ada kegiatan
kampus. Tapi sedari setengah 7 pagi teleponnya sudah berbunyi. Ia tahu dari
siapa itu. Ini seharusnya hari pertama ia menjadi ‘supir’ Yasir sebagai biaya
ganti rugi. Tapi rasanya ia enggan sekali.
“Kaaak, angkat keles teleponnya,”
teriak Citra dari luar kamarnya. “Kedengeran sampai ke bawah nih.”
“Maleeeessss!!!!” Mimi balas
berteriak lalu mengambil iPhone-nya dan mengubah menjadi mode silent. Baru
ingat dia gadgetnya bisa seperti itu. Maklum, panik.
“Kaaaakk, keluar kamar dong,” teriak
Citra lagi.
“Nggaaaak, mau bobo!!” balas Mimi
dari dalam. Masih memeluk guling dan menutup kepalanya dengan bantal.
“Sekali lagi kamu bilang males atau
mau tidur, saya dobrak pintunya,” ujar sebuah suara yang tegas di depan pintu
kamarnya.
Siapa tuh? Buru-buru Mimi turun dari
kasur membuka pintu kamarnya.
“AAAAAA!!!!”
“Saya udah nelepon kamu dari satu
jam lalu dan kamu gak ngangkat telepon saya. Seharusnya kamu udah di rumah saya
sejak sejam lalu buat nganterin saya ke acara jam 8. Lupa ya?” Yasir bergantian
memandangi Mimi dan jamnya. Ekspresi wajahnya santai namun kata-katanya
menusuk. Berbeda dengan Mimi yang masih mengenakan piama, Yasir sudah rapi
dengan kemeja dan celana bahan. “Sekarang udah jam setengah 8 pagi dan jarak
rumah kamu dengan lokasi meeting saya sekitar 1 jam perjalanan. Kalau kamu gak
siap-siap dari sekarang, saya bisa nambah 1 bulan lagi waktu kamu jadi supir.”
Mimi masih bengong. “Kok tau
rumahku?”
“Saya punya banyak channel
dimana-mana. Gak susah nemuin rumah kamu meski rumah kamu begitu kecil sampe
mungkin gak muncul di peta. Saya tunggu dalam 10 menit di bawah,” Yasir lalu
menuruni tangga dan meninggalkan Mimi yang bengong dan bete karena rumahnya
dibilang kecil. Citra memandangi kakaknya lalu mendorong kakaknya ke kamar
mandi.
“Buruan mandi!!”
Mimi menyedot isi gelasnya
berkali-kali sampai terdengar bunyi padahal isinya hanya tinggal es batu.
Menyedot, menggigit sedotan, begitu berkali-kali. Ia memandang lapangan golf di
depannya dengan sebal. Setelah dipaksa menyetir dengan kecepatan 120 km/jam di
jalanan Jakarta agar Yasir tidak terlambat ‘meeting’, ternyata yang dilakukan
Yasir saat ini adalah golf bersama seorang bapak gendut. Ditemani cadie yang
cantik, Yasir menyuruh Mimi menunggu dan jauh-jauh darinya. Untung Yasir
memberinya uang 20 ribu rupiah supaya dia bisa jajan. Untung atau tidak ya?
Soalnya gara-gara terburu-buru, Mimi lupa membawa dompetnya sendiri. Uang 20
ribu itupun langsung habis untuk membeli softdrink.
Mimi mengecek jam di handphone-nya.
Pukul 10. Sudah 2 jam menunggu sambil memainkan game di iPhone-nya. Ia belum
membeli paket internet dan tidak tahu password Wi-fi disini jadi ia hanya bisa
memainkan game sampai semuanya sudah mencapai high score baru. Lama-lama ia
menguap dan tidur.
“Saya gak ngajak kamu buat pindah
lokasi tidur. Bangun!”
“Duh!” Mimi bangun tiba-tiba dan
melihat bahwa pundaknya baru saja ditusuk oleh stick golf. “Sakit kelees.”
“Ayo ke tempat berikutnya. Saatnya
fitness.”
Selama 2 jam berikutnya, layaknya
supir yang setia, Mimi menunggu Yasir menyelesaikan aktivitas fitness-nya. Yasir
sempat mengajak Mimi untuk masuk juga, namun disertai senyum mengejek dan
tatapan mata usil, Mimi memilih untuk berkeling mall saja. Untunglah tempat
fitness ini berada di mall. Meski ia tidak membawa uang, berkeliling-keliling
cukuplah.
Sekitar pukul 1 dan perutnya sudah
kerucuk-kerucuk. Kalau di rumah, ia bisa makan siang dengan lahap hasil masakan
ibunya. Disini ia Cuma bisa memandangi etalase makanan yang cantik tapi mahal
sambils edikit mengelap liur karena banyak keluarga atau pasangan yang sedang
makan siang dengan lahap.
Tiba-tiba Yasir menelepon. “Gak usah
kayak pengemis gitu. Masuk.”
Belum sempat bicara apa-apa, Mimi
sudah melihat bahwa Yasir sedang duduk di restoran yang menunya sedang ia
perhatikan. Malu-malu, Mimi melangkah masuk. Ia harus mengakui pakaiannya super
santai untuk ukuran mall elegan ini. Apalagi penampilan Yasir pasca fitness
tetap rapi dan menawan. Nah kan.
“Nih pesen, nanti saya yang bayar.
Tapi setiap kali saya traktir kamu, itu berarti durasi kamu jadi supir saya
nambah sehari ya,” ujar Yasir sambil menyodorkan menu.
“Hah? Parah banget. Itu bahkan lebih
parah dari Romusha! Mending gak usah makan deh. Aku makan di rumah aja,” balas
Mimi.
“Terserah,” Yasir mengangkat bahu
lalu tersenyum sinis. Entah memang seperti itu atau dia sengaja, tapi Yasir makan lama sekali. ia mengambil
makanan pelan sekali lalu mengunyahnya sambil memperhatikan iPad-nya. Satu kali
suapan bisa menghabiskan waktu 3 menit. Perut Mimi semakin memberontak meminta
makanan. Pelan-pelan ia melirik menu yang masih ada di dekatnya. Tinggal pesen
aja sih Mi…
“Katanya mau makan di rumah aja?”
tanya Yasir tanpa mengangkat pandangannya dari Ipad.
“Iya. Emang mau makan di rumah aja.
Cuma mau liat menu buat ngebandingin. Pasti masakan disini gak seenak masakan
mamaku.”
“Begitu? Saya jadi pengen tahu.
Nanti malam saya makan di rumah kamu ya,”
Mimi bengong lagi.
Dua bulan masa ‘hukuman Mimi jadi
supirnya Yasir plus 2 minggu bonus karena tiba-tiba Yasir nraktir Mimi makanya
durasinya nambah, atau Mimi gak bisa jadi supir karena acara kampus dan ujian
makanya hukumannya bertambah. Selama 2 bulan itu, entah apa maksudnya, minimal
2 minggu sekali, Yasir menghabiskan waktunya di rumah Mimi. Sejak makan malam
paksaan di hari pertama jabatannyas sebagai supir, Yasir semacam ketagihan
untuk makan masakan mamanya Mimi. Katanya, pembantu di rumah gak bisa masak
seenak ini dan ibunya pun sama.
“Today is the last day of my
punishment. Start on tomorrow I’m not gonna ride you again. Yes!” kata Mimi
pada saat mengantar Yasir dari meeting di daerah Tebet ke rumah Mimi di daerah
Tangerang.
“Hmm,” ujar Yasir singkat. Mimi
meliriknya sebentar. Rupanya Yasir sedang membaca grafik dari iPad. Entah
grafik apa. Mimi mengangkat bahu lalu melanjutkan menyetir. Selama menjadi
supir, Yasir akan menunggu Mimi di rumahnya atau di tempat dimana ia ingin
dijemput lalu ketika pulang, Mimi akan menyetir menuju rumahnya dan dari
rumahnya, Yasir membawa mobilnya sendiri ke rumahnya (Yasir).
“Kamu gak sedih apa gak aku supirin
lagi?” tanya Mimi iseng.
“Biasa aja,” jawab Yasir datar.
Zzzzz, pikir Mimi. Emang nih orang
Cuma pengen gue bete kali ya.
“Stop di perempatan depan. Aku masih
ada urusan,” kata Yasir tiba-tiba.
“Lho? Gak aku anterin?”
“I’ll drive myself. Kamu turun di
stopan depan,”
“What?!” Mimi mengerem mobil dan
Yasir melambaikan tangan menyuruh Mimi turun. Terpaksa ia turun dan buru-buru
ke trotoar. Yasir berpindah ke kursi supir lalu membuka jendela kaca penumpang.
“Hukumanmu jadi supirku memang
selesai. Tapi ganti ruginya belum lunas. Bikinin aku nastar yang bener-bener
enak maka semuanya beneran lunas. Bye,” Yasir menutup jendela dan mobil Mercy
itupun melaju.
“Hei! Gue mana bisa masak! Rumah gue
masih jauh pula! Yasiiiiiiiiiiiiiirrrrr!!!”
Hari Minggu pasca tragedi
diturunkannya dengan semena-mena, Mimi langsung menyuruh Siti, teman Citra
untuk datang ke rumah. Meminta mengajari membuat nastar sekaligus menceritakan
semuanya (akhirnya).
“Siti, kamu tau kan dulu aku dan
temen-temen beli nastar buatan kamu dan kita jual?” Mimi membuka pembicaraan.
Mereka bertiga duduk mengeliling meja dapur. Siti merasa bingung karena
ekspresi Mimi sedikit jengkel dan Citra hanya memandang kakak dan temannya
bergantian.
“Iya kak,”
“Nah, nastar itu dibeli sama
seseorang terus dia keracunan sampai harus diopname 2 minggu,”
“Apa? Kok bisa? Saya gak
ngapa-ngapain nastarnya kok,”
“Tar dulu. Setelah itu dia minta
ganti rugi ke saya…”
“Berapa kak? Saya ganti uangnya
kakak,”
Mimi menggeleng sambil mengangkat
tangannya. “Dia minta ganti rugi bukan uang, tapi minta saya jadi supirnya
selama dua bulan. Plus plus,”
“Plus plus?” tanya Siti heran.
Ekspresinya curiga.
“durasinya ditambah maksudnyaaaaa,”
“Soalnya Kak Mimi ditraktir orang
itu jadi jumlah harinya nambah,” bisik Citra kepada Siti sambil terkikik. Mimi
makin jengkel.
“Kemarin harusnya hari terakhir aku
jadi supirnya dia,” lanjut Mimi lagi.
“Bagus dong Kak!” seru Siti senang.
“Tapi gak gitu jugaaa. Dia nyuruh
aku bikin nastar yang enak! Padahal aku kan gak bisa masak,” ujar Mimi geram.
Ia mngetuk-ngetuk meja.
“Oh,” seru Siti pelan. “Jadi kakak…”
“Jadi, satu, kamu jelasin dulu
kenapa bisa ada orang keracunan. Dua, ajari aku cara bikin nastar tapi gak pake
racun.”
“Waduh saya gak tau kak kenapa bisa
keracunan. Bahan-bahan nastarnya sama kok kayak yang biasa saya bikin dan kasih
ke Citra sebagai bonus. Tapi buktinya Citra gak keracunan,” Siti membela diri.
Di sampingnya, Citra mengangguk bersemangat.
“Oke. Lalu?”
“Lalu lintas?” tanya Siti iseng.
“Lalu lalang! Lalu gimana cara bikin
nastar?”
Siti tertawa. “Oke aku ajarin Kak.
Tapi ngomong-ngomong makasih ya udah gantiin aku bayar ganti rugi,”
“Siti!” Mimi langsung berusaha
menjitak kepala SIti yang buru-buru keluar dapur.
Hari Minggu itu hanya ada Mimi,
Citra, dan Siti di rumah karena kedua orang tua mereka sedang berkunjung ke
rumah saudara. Siang ini, Mimi sudah belepotan terigu dan tangannya lengket
oleh selai nanas dalam percobaannya membuat nastar yang ketiga kali. Yang
pertama asin karena salah memasukkan gula, yang kedua gosong karena suhu yang
dipakai memanggang terlalu tinggi. Siti hanya memberikan instruksi dan tetap
yang menjalankan adalah Mimi.
“Ini timbangannya gak eror kan? Dari
tadi nambahin tergiu kok gak berubah angkanya?” Mimi memperhatikan jarum
timbangan yang tidak berubah padahal terigu sudah ia kucurkan. Tangannya
menggoyang-goyang bungkus terigu segitiga biru, matanya menatap jarum
timbangan. Di depannya, Siti memantau sambil membaca majalah arsitektur rumah.
“Kak, terigunya dituang ke mangkok
timbangan, bukan ke meja,” jawab Siti santai.
Mimi berdiri. “Astaga!” Ia baru
menyadari mejanya sudah tertutupi terigu. Ternyata sedari tadi ia mengucurkan
terigu ke meja. “Duh, sayang banget.”
Mimi meraup terigu dari meja dan
bermaksud memasukkan ke mangkok timbangan ketika dari pintu dapur terdengar
suara. “Saya gak akan mau makan nastar yang tepungnya udah jatuh ke meja yang
kotor begitu.”
Mimi menoleh. “Yasir! Kok disini?”
Yasir melangkah menuju dapur sambil
berjinjit. Di belakangnya ada citra yang cengengesan. “Survey lapangan.”
“Nih, ini yang namanya Siti. Dia yang
bikin nastar yang bikin kamu keracunan itu. Aku Cuma jualin buatannya dia.”
Mimi menunjuk Siti dengan berapi-api. Berharap ‘musibah’ ini pindah ke Siti.
Yang dituduh kelihatannya tidak keberatan. Sejak Yasir masuk ke dapur sampai
duduk di kursi, Siti tidak melepaskan pandangannya dan ia mulai
tersenyum-senyum genit.
“Terus?” tanya Yasir.
“YA kamu kalau mau ngehukum, ke dia
aja,”
“Iya kak, saya rela kok,” kata Siti
yang nampaknya sudah terbius oleh penampilan Yasir.
Yasir hanya memandang Siti sekilas
lalu memandang Mimi lagi. “Saya maunya nastar buatan kamu.” Dengan nada datar
dan wajah tanpa ekspresi.
Citra cekikikan dan Mimi menggeram.
Siti pulang pukul 7 malam setelah
orang tuanya berkali-kali meneleponnya. Padahal ia masih ingin di rumah Citra
karena Yasir juga masih disitu. Sampai malam, rupanya Mimi masih tidak bisa
membuat nastar sesuai standar Yasir. Malam itu, wajah, tangan, dan bajunya
sudah berlumuran tepung tapi Yasir masih juga belum puas.
“Aku nyerah deh. Mending kamu nyuruh
aku bikin yang lain aja daripada bikin kue. Kayaknya aku gak bakat,” Mimi
memandang jengkel ke nastar tidak cantik hasil percobaan kesepuluh. Nastar itu
isinya mencuat di satu sisi dan di sisi lainnya berwarna coklat gelap.
“Better luck next time then,” Yasir
memandang seisi dapur yang lumayan kotor. “Orang tuamu belum pulang?”
“Keliatannya gimana?” balas Mimi
sambil membereskan perabotan.
“Not yet,”
“Astagfirullah ini dapur kenapa?”
suara mamanya Mimi terdengar di dapur.
“Malam, Tante. Ini Mimi lagi bikin
kue buat saya tapi belum berhasil,” Yasir menghampiri orang tua Mimi lalu
mencium tangan keduanya. Sementara itu Mimi hanya merengut sambil membereskan
kekacauan yang ia perbuat.
“Wah, jadi berantakan ya. Untung
udah beli masakan Padang jadi gak usah masak,” ujar papanya Mimi.
“Tapi kita Cuma beli empat lho Pa,
kita gak tau Yasir mau ke rumah,” kata mamanya Mimi sambil mengangkat keresek
berisi masakan padang.
“Gak apa-apa Tante. Nanti saya makan
berdua Mimi aja. Tadi katanya dia udah kenyang makan nastar jadi gak bisa makan
banyak-banyak,” ujar YAsir sambil tersenyum.
“HAH?” Mimi muncul dari balik
tumpukan sampah. Tidak percaya kata-kata YAsir barusan. Dia bahkan belum makan
sama sekali sedari pagi karena sibuk membuat nastar. Sekarang ia lapar sekali!!
“Oh ya udah, beresin dulu ya Mi,
nanti kita makan bareng,” ujar mamanya lalu kedua orang tua mimi melangkah ke
ruang keluarga tempat mereka makan sambil mengobrol atau menonton TV. Yasir
mengikuti lalu ketika di pintu dapur, ia berbalik dan menjulurkan lidahnya.
“Week!”
Mimi langsung melempar spatula.
“Kok gak dimakan nasinya?” tanya
mamanya saat mereka sudah duduk melingkar. Yasir duduk di sebelah Mimi sambil
mengunyah dan menonton TV. Maksudnya sih satu bungkus nasi padang itu untuk
mereka makan berdua…
“Enak lho. Aaaa,” Yasir pura-pura
mengulurkan sendok berisi nasi dan bermaksud menyuapi Mimi tapi langsung
dibalas dengan tatapan keji. Akhirnya nasi itu masuk ke mulut Yasir yang
cekikikan. “Gak laper Ma.”
Satu hal yanng harus diketahui.
Selama 2 bulan lebih Mimi jadi supirnya Yasir, orang tua Mimi tidak tahu
apa-apa. Yasir mengklaim dirinya adalah pacar Mimi sehingga tidak aneh jika
Mimi dan Yasir kemana-mana bersama, juga alasan yang logis untuk kemudian Yasir
sering berkunjung ke rumahnya. Orang tuanya tidak curiga. Hanya Citra yang tahu
kenyataannya dan kadang-kadang terkikik geli melihat akting keduanya.
“Bulan depan kita jadi ke Paris kan?
Marketing Director mereka kayaknya udah gak sabar nunggu kita disana. Katanya
kalau bisa kita secepatnya sampai disana,” Rizki mengganti ucapan selamat
pagi-nya dengan paparan rencana bisnis mereka. Yasir bahkan belum masuk ke
ruangannya.
“Besok pun kita bisa berangkat. Tapi
masih ada riset yang belum rampung hasilnya karena sumber dana dan respondennya
terbatas. Grand design yang mau kita presentasiin pun masih nunggu beberapa
data. Kita gak mungkin presentasi di depan mereka dengan kondisi seadanya.
Memang ini calon klien besar tapi kita juga gak bisa keburu-buru. Chill, dude.
Semua ada waktunya,” Yasir membuka pintu ruangannya dan menahan Rizki yang akan
ikut masuk. “I need to fix some stuffs. I’ll tell you when I’m ready.”
“Okay,” Rizki mengangkat bahu lalu
masuk ke ruangannya sendiri. Sebagai perusahaan ekspor dan impor ternama, klien
Yasir memang banyak dari berbagai negara. Meski ia sendiri lebih banyak
mengendalikan perusahaannya dari dalam negeri. Namun untuk klien satu ini, ia
harus berangkat sendiri menuju Paris. Klien yang besar dan banyak maunya. Entah
berapa lama disana. Mungkin dua bulan atau lebih.
Yasir duduk di kursi empuk dan
nyaman, mengambil frame berisi foto gathering kantornya lalu mengambil lembaran
foto itu dan memandang foto yang disembunyikan di balik foto gathering. Foto
seorang gadis sedang menggigit sedotan dengan ekspresi bete.
“Aku akan berangkat ke Paris
sebentar lagi. Apa saat itu kamu sudah bisa membuat nastar yang lezat untukku?”
Memasuki waktu liburan panjang di
kampusnya. Di samping kegiatan organisasi yang ia tekuni sejak masih mahasiswa
baru, kali ini Mimi punya aktivitas lain di rumah. Ia tertantang untuk membuat
nastar yang enak demi menyelesaikan hukumannya. Yasir memang tidak mengunjungi
rumahnya lagi, katanya sibuk. Tapi ia tetap menanyakan progres pembuatan nastar
melalui telepon.
“Percobaan ke-5 hari ini,” seru Mimi
melalui telepon.
“Rasa?” tanya Yasir singkat.
“Wait,” Mimi mengambil satu dari
loyang yang baru dikeluarkan dari oven lalu menggitnya pelan. “Panas!”
“Bahkan anak TK juga tahu kalau kue
dari oven itu panas,” jawab Yasir dingin.
“Pfft,” Mimi meniup-niup nastar di
tangannya lalu mengigitnya sekali lagi. “Aseeeemmmm!!!”
“Hmm,”
“Aku nyerah!! Yasir aku nyerah. Udah
sebulan ini gak berhasil terus,” Mimi hampir berteriak di telepon.
“Coba kamu telaah dulu apa yang
bikin gagal. Baru coba lagi. Aku tunggu hasil yang lebih baik,” ujar YAsir lalu
menutup teleponnya.
“Yasir jeeeellllleeeeeekkk!!!”
“Kenapa sih kakak segitunya bikin
nastar buat kak Yasir?” Citra merebahkan diri di kasur kakaknya. Mimi sementara
itu sedang menggunting kuku di kursi.
“Simpel. Biar hukumannya selese,”
“Tapi kan…hukumannya udah selesai.
Perjanjian di awal, kakak Cuma jadi supir buat ganti rugi 2 minggu ka Yasir
diopname. Bahkan jadi supirnya dua bulan. Gak ada perjanjian harus bikinin
nastar. Kak Yasir juga gak bilang kan, itu nastar buat apa?”
Mimi termenung. “Iya juga ya,”
“Jadi?”
“Jadi aku gak akan bikin nastar lagi
deh. Emang aku gak bakat. Dia kalau mau makan nastar bisa tinggal beli aja. Kan
dia orang kaya,”
Mimi sedang berjalan di kampusnya
selepas rapat. Saat itu pukul 5 sore di hari Jumat. iPhone nya berbunyi. Nomor
Yasir. Baru kemarin malam ia memutuskan tidak akan membuat nastar lagi.
“Halo Yasiiir? Aku udah memutuskan.
Aku gak akan bikinin nastar buat kamu. Aku emang gak bakat. Aku juga gak tau
kenapa aku berusaha bikin. Toh kan hukuman aku udah lunas ya. Aku udah jadi
supir kamu selama dua bulan. Jadi urusan kita udah selesai ya. Kamu gak perlu
hubungi aku lagi. Nanti aku bilang ke orangtuaku kalau kita putus.”
Mimi menarik nafas dan tersenyum
lega. Berani juga dia bilang begitu. Ditunggu sekian detik tapi Yasir tidak
merespon.
“Sir?”
“Oke,” jawab Yasir akhirnya.
“Cuma oke?”
“Terus apa?”
“Gak apa-apa. Biasanya kan kamu
terus maksa aku buat bikin atau apalah gitu. Rasanya aneh kamu langsung setuju
sama aku,”
“Mungkin memang ada saatnya untuk
saya setuju sama kamu,” balas Yasir.
“Maksudnyaaaaa?” Mimi mengerutkan
kening dan mencibir. Kesannya berat sekali untuk setuju dengan dirinya.
Tak disangka, Yasir tertawa. Mimi
tertegun karena ini pertama kalinya ia mendengar Yasir tertawa. Selama mereka
berinteraksi, Yasir lebih banyak berekspresi datar atau sinis. “Sampaikan
salamku ke orang tuamu ya. Kita memang benar-benar putus,”
Dan telepon pun ditutup.
Mimi sampai di rumah pukul 8 malam.
Jalanan macet sekali. Ia langsung menuju kamarnya tapi dicegat oleh adiknya.
“Kak, Kak Yasir kerjanya apa sih?”
“Punya perusahaan sendiri dia,”
“Di bidang?”
“Ekspor impor. Apaan sih kenapa
tiba-tiba nanya?”
“Gak apa-apa. Tadi liat ada fotonya
Kak Yasir di majalah SWA punya temen. Katanya dia mau melebarkan sayap sampai
ke Perancis, berangkat hari ini,”
“Hah? Ke Perancis? Hari ini?”
“Iya, temenku bilang dia muncul di
Metro pagi ini trus bilangnya begitu,”
“Masa sih?” Mimi berbalik
memunggungi Citra lalu mengeluarkan iPhone-nya dan mendial nomor Yasir.
“Kasih tau aku kalau kamu gak ke
Perancis malam ini,” todong Mimi begitu Yasir berkata ‘Halo’.
“Sayangnya iya. Flight jam 23.00,”
“Shit,” teriak Mimi refleks. Ia
berbalik dan berlari menuju garasi. Menyambar kunci mobil milik ayahnya lalu
segera masuk ke mobil.
“Hey kasar sekali,” balas Yasir.
“Kenapa gak bilang?” susah payah
Mimi mengeluarkan mobil dari garasi.
“Untuk apa?”
“Kamu kan harusnya ngasih tau aku
kalau mau ke Perancis,”
“Kenapa? Kamu mau titip oleh-oleh?
Tadi katanya aku gak usah hubungi kamu lagi,”
“Errrrr. Berapa lama di Perancis?”
“Dua bulan paling cepat,”
“Lama banget!”
“Aku punya uang buat lama-lama di
Eropa,”
“Arogant as always,”
“Aku tahu,”
“Kamu bilang apa barusan?”
“Apa?”
“Bukan. Kamu bukan bilang ‘Apa’.
Sebelumnya,”
“Aku?”
“Iya itu! Kamu bilang ‘aku’.
Biasanya ‘saya’,”
“Is that matter?”
“Oh yeah. Definitely.”
“Kalau kamu nelepon Cuma buat
merhatiin apa kata ganti orang pertama yang aku pakai…”
“Gak!” Mimi memotong kalimat Yasir.
“Aku nelepon buat nahan kamu supaya gak berangkat ke Perancis.”
“Kenapa?”
“Dua bulan itu lama banget,”
“Kamu udah bilang itu tadi,”
“Kamu belum cerita tentang
keluargamu,”
“Aku anak tunggal. Ayahku tinggal di
Australia. Ibuku bolak balik Jakarta-Australia untuk bisnis dan menemani
ayahku. Aku tinggal dengan pembantu.”
“Kamu belum cerita soal
pendidikanmu,”
“Aku lulus Master of International
Business dari Harvard 2 tahun lalu. Predikat Summa Cum Laude,”
“Kamu belum cerita bisnismu,”
“Aku punya perusahaan ekspor impor
dengan klien dari Afrika, Eropa, Amerika, dan Asia juga Indonesia sendiri,”
“Kamu belum coba nastar buatanku…”
Keduanya terdiam lama.
“Itu karena nastar kamu gak enak.
Aku mana mau cobain nastar gak enak. Nanti keracunan lagi,”
Mimi terdiam lagi. Ia sedang
menghadapi kemacetan dalam perjalanannya menunju bandara Soekarno-Hatta. Banyak
orang mau liburan sepertinya.
“Halo?” Akhirnya Yasir memecah
keheningan.
“Yasir jeleeeeekkkkk!!!”
“Maaf, tapi banyak cewe ngejar aku
dan bilang aku gan…” Yasir terdiam karena tiba-tiba terdengar suara tangisan.
“Kenapa?”
“Coba kalau kamu bilang lebih cepet
bahwa kamu mau ke Perancis,”
“Aku Cuma mau ke Perancis. Masih di
bumi, bukan di akhirat,”
“Gak lucu tau,”
“Sorry,”
Sambil memegang iPhone di telinga
dan menyetir lalu mengusap air matanya, Mimi pelan-pelan mendekat menuju
Soekarno-Hatta.
Keduanya terdiam. Yasir hanya
mendengarkan suara tangisan Mimi tanpa berkata apapun. Sudah pukul 10 malam.
“Apa akan ada perbedaan kalau aku
bilang aku akan ke Perancis?” Yasir menunduk memandang lantai. Seakan tidak
peduli pada lalu lalang orang di sekitarnya. Di sampingnya, Rizki juga sedang
menelepon istrinya. Mereka belum melakukan check in. Tanpa disangka, sambungan telepon diputus. Yasir memandang
teleponnya keheranan. Saat penting begini.
“Ada,” ujar sebuah suara di sebelah
kanannya. Yasir menoleh lalu berdiri. Mimi sudah berdiri sekitar 2 meter dari
tempatnya berdiri. Wajahnya kusut karena tangis, ekspresinya lelah, rambutnya
berantakan, bajunya kusut, dan sendalnya copot. Mimi tiba-tiba berlari dan
memeluk Yasir yang kebingungan.
“Ada. Ada perbedaan. Aku bakal
latihan bikin nastar terus-terusan jadi pas kamu ke Perancis kamu bakal bawa
nastar buatanku,”
Yasir terdiam. Perlahan ia
merangkulkan tangannya.
“Cuma itu?”
“Memang apa lagi?” tanya Mimi sambil
mengusap air matanya. Yasir mengangkat tangan kanannya untuk menghapus air mata
Mimi, sementara tangan kirinya masih ia rangkulkan.
“Kamu gak akan menemui aku dalam
kondisi jelek seperti ini,” kata Yasir sambil tersenyum.
“Errr,” Mimi cemberut. “Kamu juga
belum cerita satu hal,”
“Apa?” tanya Yasir. Kali ini Mimi
mendengar nada bicara yang belum pernah Yasir perdengarkan sebelumnya. Begitu
lembut.
“Kamu belum cerita gimana perasaanmu
ke aku,” tanya Mimi malu-malu. Ia tidak berani memandang Yasir dan ia
menangkupkan kedua tangannya ke mulut. Kaget juga mendengar pertanyaannya
sendiri.
“Sir, check in,” ujar Rizki
tiba-tiba.
“I gotta go now,” Yasir melepaskan
rangkulannya dan mengambil barang-barangnya. Sambil menuju gerbang check in,
pandangannya masih ditujukan kepada Mimi yang tersipu. Sampai pandangan mereka terhalang,
mereka masih saling memandang dan melambai.
Tadi, ketika Mimi bertanya soal
perasaannya, Yasir mengecup keningnya dan berbisik, “I love you, made me a
delicious nastar when I’m home.”
Dua bulan kemudian.
Mimi berdiri di gerbang kedatangan
sambil mengecek arlojinya. Perlahan-lahan penumpang mulai keluar. Tidak lama
lagi yang ditunggunya pasti akan muncul. Nah, itu dia. Masih dengan gaya yang
elegan, ekspresi yang datar, namun wajah yang tampan, orang itu melangkah
mantap menghampirinya. Mereka berdua berpandangan dan tersenyum satu sama lain.
Mimi mengulurkan satu toples nastar berbentuk hati untuk ia yang baru turun
dari pesawat.
“Welcome home. Ini Nastar untuk
Yasir,”
-THE END-
PS: cerita ini hanya fiktif belaka. kesamaan nama tokoh memang disengaja tapi kejadiannya sejuta persen fiksi. enjoy aja brosiis :D
Komentar