Benang Merah
Sheila membuka matanya pagi hari
itu. Masih sedikit mengantuk, Sheila mengucek matanya agar bisa lebih sadar.
Dengan malas Sheila melakukan rutinitas hariannya sebelum pergi kuliah. Mandi,
memilih baju yang tepat, makan sedikit lalu keluar dari kamar kost-nya untuk
menuju kampus. Tempat kost Sheila dan kampusnya tidak terlalu jauh. Bisa
ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Sambil sedikit menyanyikan lagu Maroon 5
favoritnya, Tangled, Sheila melangkah menuju keramaian. Hal pertama yang dilihatnya
setelah Sheila lepas dari kesendiriannya membuat Sheila berpikir bahwa dia
sedang bermimpi. Di depan matanya terdapat begitu banyak benang berwarna merah
yang terhampar begitu saja. Benang-benang itu bervariasi dari warna merah yang
agak kusam hingga warna merah yang bersinar terang. Benang-benang tersebut
melayang dengan halus di udara. Sheila menelusuri salah satu benang merah yang
bersinar paling terang dan menemukan ujung benang tersebut pada jari kelingking
seorang wanita.
“Selamat pagi!” seru sebuah suara
tepat di telinga Sheila.
Sheila terlonjak kaget dan
berbalik melihat siapa yang mengagetkannya pagi-pagi begini. Sheila melihat
seorang laki-laki tampan dan menggunakan jas resmi (hey, ada event apa
sampai orang ini memakai jas?) sedang memandang Sheila. Menurut Sheila,
wajahnya mirip sekali dengan Gu Jun Pyo
di serial Korea Boys Before Flower. Maklum, Sheila baru menonton serial itu
tadi malam. Merasa tidak mengenal orang itu, Sheila menunjuk dirinya untuk
memastikan.
“Iya, kamu, Sheila Kalingga Amorea,”
kata orang itu lagi. Kali ini sambil tersenyum.
“Aku nggak kenal kamu,” kata
Sheila bingung.
“Memang. Oh iya, lebih baik kamu
perhalus aktingmu karena orang-orang mulai memperhatikan kamu yang berbicara
sendiri,” kata laki-laki itu sambil melirik orang-orang yang lewat. Sheila ikut
mengalihkan pandangannya dan mendapati orang-orang sedang memandangnya aneh.
“Maksudmu?” tanya Sheila tak
mengerti.
“Ya, karena hanya kamu yang bisa
melihatku,” kata dia lagi lalu menggamit tangan Sheila. Mereka lalu berjalan
bersama.
“APA?”
“Ssst. Ayo kita mengobrol dan
beraktinglah seperti kamu sedang sendirian,” lagi-lagi orang itu berkata
seenaknya. Lama-lama Sheila kesal juga.
“Tolong ya, kamu datang tiba-tiba
hari ini lalu bilang kalau orang nggak bisa liat kamu dan sekarang dengan
seenaknya kamu ngajak aku pergi. Sebenarnya kamu siapa sih?” kata Sheila
jengkel. Sheila berkata sangat pelan dan berusaha supaya tidak terlihat aneh.
“Ah, ya. Maaf. Namaku Antero. Aku
seorang cupid,” katanya.
Refleks Sheila behenti.
“Cupid?” tanya Sheila tidak
mengerti.
“Ya, cupid. Memangnya heran ya
melihat seorang cupid tampan seperti aku? Ah, aku tahu. Dalam pandanganmu pasti
seorang cupid hanyalah bayi jelek bersayap yang memegang panah. Itu pandangan
yang amat salah bagi kami para cupid sesungguhnya,” Antero berkata dengan sombong.
Nampak kesal sekali dengan pandangan orang tentang cupid.
“Ya, memang,” kata Sheila pelan.
“Nah, pertanyaanmu selanjutnya
adalah kenapa aku bisa menemuimu. Betul? Akan kujawab langsung. Seingatku
kemarin kamu berkata kalau kamu ingin bisa mengetahui jodoh setiap orang kan?
Maka dari itu mulai hari ini kamu bisa mengetahui siapa jodoh setiap orang
melalui benang merah ini,” jelas Antero lagi.
“Benang merah? Apa itu?” tanya
Sheila bingung.
Kali ini Antero yang berhenti.
“Kamu tidak tahu benang merah?
Ckckck. Benang merah adalah benang yang dimiliki oleh setiap orang pada jari
kelingking tangan kiri mereka dan tersambung dengan jodohnya masih-masing,”
kata Antero kembali ceria.
Sheila langsung melirik kelingking
tangan kirinya.
“Tidak ada benang merah di
kelingkingku,” kata Sheila sambil menunjukkan kelingkingnya pada Antero.
“Bukan tidak ada, hanya tidak
terlihat. Sebagai orang yang terpilih dengan perbandingan satu banding satu
milyar setiap seribu tahun, kamu tidak bisa melihat benang merhamu sendiri.
Bukankah tidak menarik jika kamu bisa melihat jodoh orang lain dan dirimu
sendiri?”
“Lalu, apa manfaat aku bisa
melihat benang merah ini?” tanya Sheila bingung. Di depannya baru saja lewat
benang merah yang berpendar cahaya.
“Tidak ada,” jawab Antero.
“HAH?” tanya Sheila tidak percaya.
“Begini, kamu kan bilang kalau
kamu ingin bisa mengetahui jodoh setiap orang, nah, Tuhan mengijinkanmu
memiliki kemampuan itu. Tapi kamu tidak boleh menyalahgunakan itu. Lagipula
keinginanmu kan hanya ingin ‘tahu’. Tidak lebih. Keberadaanku disini adalah
sebagai pengawas supaya kamu tidak berbuat macam-macam. Oh iya, kamu bisa
merubah jodoh seseorang. Tentu saja dengan izin dari Tuhan,” Antero menjelaskan
dengan sabar.
“Merubah jodoh seseorang?
Bagaimana caranya?” tanya Sheila sambil memiringkan kepalanya. Membayangkan
boneka bongkar pasang yang bisa diatur sesukanya.
“Bukan seperti boneka itu,” jawab
Antero sigap. Sheila heran kenapa Antero bisa tahu apa yang dipikirkannya.
“dengan kemampuanmu itu kamu bisa tahu siapa berjodoh dengan siapa. Tapi jika
menurutmu mereka bukan pasangan yang baik, kamu bisa memutuskan hubungan
mereka. Kamu tinggal bilang padaku pasangan mana yang ingin kamu ubah, lalu aku
akan bertanya pada Tuhan mengenai permintaanmu itu. Kurang dari sedetik waktu
manusia, aku akan memberikan jawaban padamu apakah Tuhan mengizinkan atau
tidak.”
Penjelasan Antero membuat Sheila
melongo.
“Tidak bisa kuatur sesukaku?”
tanya Sheila lagi.
“Tentu saja tidak! Kau pikir
manusia berkuasa atas segalanya? Masalah jodoh, hidup, dan mati sudah diatur
oleh Tuhan. Tuhan sudah berbaik hati mengizinkamu memiliki kemampuan ini.
Seharusnya kamu tidak boleh berharap lebih,” Antero tiba-tiba marah.
“Maaf, maaf,” kata Sheila
langsung. Benar-benar merasa bersalah.
“Lagipula aku juga heran kenapa
kemampuan ini diberikan pada manusia. Bisa-bisa membuat manusia semakin besar
kepala. Cupid saja hanya bertugas meluruskan jika ada orang yang tidak
berpasangan dengan jodoh mereka,” kata Antero sambil bergumam kesal.
“Maaf Antero,” kata Sheila sambil
menyentuh kedua pipi Antero. Sifatnya benar-benar seperti Gu Jun Pyo.
Terutama waktu dia bergumam. Sangat mirip anak kecil!
Tiba-tiba kedua pipi Antero
memerah dan dia langsung melapaskan tangan Sheila dari pipinya.
“Sudah, sudah. Asal kamu janji
tidak mengulangi hal seperti itu lagi. Lagipula, kamu bisa terlihat aneh dengan
bertingkah seperti itu,” kata Antero. Menolak memandanga Sheila.
“Tidak masalah, aku janji! Oh iya,
kenapa benang merah itu warnanya berbeda-beda?” Sheila menunjuk pada benang
merah tepat di depannya yang berwarna amat kusam. Milik seorang gadis di
sebelah kirinya.
“Itu menunjukkan seberapa jauh dan
seperti apa hubungan mereka. Kalau dua orang yang saling berjodoh berada dalam
jarak yang jauh, belum pernah bertemu, atau sedang bertengkar, warnanya akan
semakin kusam. Tapi jika mereka sedang berdekatan dan hubungannya pun baik,
maka benang mereka akan bersinar semakin terang,” kata Antero lagi.
“Begitu,” ucap Sheila pelan. “Satu
pertanyaan lagi!”
‘Kamu ini banyak sekali bertanya
ya?” kata Antero pura-pura kesal tapi tertawa juga. Membuatnya semakin tampan!
“Cupid pun bisa memerah ya
mukanya?” kata Sheila lalu cekikikan. Antero hanya mengumpat pelan tanpa
memandang Sheila. Pipinya memerah lagi.
Tanpa disadari, Sheila dan Antero
sudah sampai di kampus Sheila. Keduanya terlibat obrolan yang sangat seru
sehingga tidak sadar sudah sampai di depan kelas Sheila.
“Hei, apakah dengan kamu menjadi
pengawasku itu berarti kamu akan mengikuti terus kemana aku pergi?” tanya
Sheila sedikit merasakan hal yang ganjil.
“Tentu saja,” kata Antero mantap.
“Termasuk ke toilet, kamar mandi
dan kamarku?” tanya Sheila lagi. Matanya menyipit curiga.
“Yah, itu tergantung keputusanmu,”
kata Antero sambil nyengir.
“Enak saja!” Sheila hampir saja
berteriak kalau tidak ingat bahwa lawan bicaranya tidak bisa dilihat orang lain
selain dirinya. Pipinya bersemu merah dan terasa panas. Menyadari bahwa ada
orang (malaikat tepatnya. Cupid kan malaikat juga) setampan ini mengikutinya terus-menerus
saja sudah membuatnya malu. Apalagi jika dia harus mengikutinya ke tempat
pribadi seperti itu.
“Kamu boleh mengikuti aku kecuali
ke toilet, kamar mandi, kamarku, dan ketika aku berkumpul dengan teman-temanku.
Jauh-jauh dariku!” kata Sheila kesal.
“Baiklah,” kata Antero sambil
mengangkat bahu.
Sheila melangkah memasuki kelasnya
sambil terdiam. Kelasnya sudah mulai ramai sehingga Sheila sudah bisa melihat
lagi ‘serakan’ benang-benang merah teman-temannya. Sheila langsung menuju
tempat duduk yang sudah disediakan Adriana, teman dekatnya. Antero mengikuti
Sheila dengan santai. Kepalanya melirik ke kanan dan ke kiri. Ingin mengetahui
lebih jauh teman-teman Sheila.
“Hai,” kata Sheila menyapa
Adriana.
“Hei, Shel,” balas Adriana lesu.
Tangannya sekali-sekali membuka lembaran buku curhat yang dibuat oleh Sheila,
Adriana, Tania, dan Gendis sebagai media bagi mereka berempat untuk
berkomunikasi.
“Kenapa kamu?”tanya Sheila tak
mengerti. Diambilnya buku curhat tersebut untuk mencari halaman terakhir yang
ditulis oleh Adriana. Disana ada curhatan Adriana mengenai Tatsuya, cowok
keturunan Jepang-Inggris-jawa yang berkuliah di tempat yang sama dengan mereka.
Ternyata Tatsuya akan kembali ke Jepang. Sheila lalu melirik ke jari kelingking
tangan kiri Adriana. Herannya, benang itu berwarna merah tua. Tidak kusam atau
tidak terang. Sheila lalu bangkit dari kursinya dan menelusuri benang merah
Adriana. Tidak sampai lima menit, Sheila sudah tahu siapa jodoh Adriana dan itu
bukan Tatsuya.
“Antero, boleh aku minta tolong?” Sheila
menunjuk benang merah Adriana.
“Kenapa?” tanya Antero singkat.
“Adriana benar-benar menyayangi
Tatsuya. Dulu, sewaktu Adriana jatuh dari tangga, Tatsuya orang pertama yang
menolong Adriana. Begitu juga saat Tatsuya sakit, Adriana yang membantu merawat
Tatsuya. Hanya saja mereka berdua tidak ada yang berani menyatakan perasaannya.
Apalagi sekarang Tatsuya sudah akan kembali ke Jepang. Mungkin saja mereka
tidak akan bertemu lagi. Masa kamu tega membiarkan hal ini terjadi?” kata
Sheila berapi-api.
‘Baiklah,” kata Antero yang
langsung menghilang. Sheila menghela nafas lega. Tapi belum sempat Sheila
menarik nafas lagi, Antero sudah kembali lagi di depannya. Cepat sekali.
“Sudah ada izin dari Tuhan,” kata
Antero singkat lalu mengulurkan sebuah benda, gunting. Sheila mengangguk
mengerti lalu memutuskan benang merah Adriana, memegangnya erat-erat, lalu
mencari benang merah Tatsuya. Tanpa sepengetahuan siapa-siapa, Sheila
menyambungkan kedua benang tersebut. Setelah tersembung, Sheila bergegas
memeluk Antero lalu kembali ke kelasnya. Tidak menyadari betapa senangnya
Antero saat itu.
Sebulan sudah Antero setia
menemani Sheila. Sejauh ini tidak ada kejadian berarti selain kejadian Adriana
di hari pertama mereka bertemu. Akan tetapi, menurut Sheila, mereka berdua bisa
menjadi teman yang baik. Karena selama mereka berkenalan, Antero bisa menjadi
lawan bicara yang pas bagi Sheila. Satu kekurangan Antero adalah orang lain
tidak bisa memandang Antero. Membuat Sheila harus berhati-hati saat bicara
dengan Antero.
Pagi ini Sheila bangun lebih pagi
dan siap satu jam lebih awal dari waktu biasanya dia pergi ke kampus. Sheila
tahu bahwa sejak sebulan yang lalu, begitu Sheila membuka pinru kamarnya,
Antero sudah menunggu sambil tersenyum. Bersiap berbagi kejutan baru. Namun tidak
pagi ini. Antero berdiri bersandar di dinding depan kamar Sheila tanpa senyum
di wajahnya. Kepalanya menunduk. Raut mukanya tampak suram.
“Kenapa?” tanya Sheila pelan.
“Kemampuanmu akan hilang. Waktunya
sudah habis,” kata Antero.
“Apa?” Otak Sheila bergerak cepat
memikirkan dapak yang akan didapatnya jika kemampuan istimewanya dicabut. Hanya
satu yang terpikirkan oleh Sheila, dia tidak akan bisa bertemu dengan Antero
lagi.
“Ya, waktunya sudah habis. Kamu
tidak akan bisa melihat benag merah setiap orang lagi. Kita juga tidak akan
bertemu lagi,” Antero mengucapkan kalimat terakhir dengan sangat pelan. Hampir
saja telinga Sheila tidak mendengarnya.
“Kalau aku ingin bertemu denganmu
lagi, bagaimana caranya?” tanya Sheila tidak kalah pelan.
“Tentu saja aku harus jadi
manusia. Cara aku jadi manusia harus ada yang menahanku disini. Jika bukan
karena tugasku, maka karena takdirku. Misalnya aku memang berjodoh dengan
manusia,” Antero menyerocos panjang lebar tanpa mengerti apa yang dikatakannya.
“Aku tahu kamu pasti sedih tidak bisa melihat benang merah orang lain lagi.”
“Kamu pikir begitu ya?” tanya
Sheila sambil tersenyum.
“Tentu saja. Apalagi?” jawab
Antero tetap sambil menunduk.
“Apa aku boleh mengajukan
permintaan terakhir?” lanjut Sheila.
“Ya,” jawab Antero. Kali ini
memandang langsung ke wajah Sheila, “berkaitan dengan kemampuan spesialmu.”
“Tadi kamu bilang supaya aku bisa
bertemu denganmu adalah karena tugasmu atau kamu harus jadi manusia. Karena
tugasmu sudah selesai, tinggal kamu harus menjadi manusia. Untuk bisa menjadi
manusia, itu karena takdirmu atau kamu berjodoh dengan manusia. Betul?” Sheila
menggerakkan jari-jarinya sambil me-review kata-kata Antero.
“Ya. Lalu?”
“Kalau begitu permintaanku jelas,”
Sheila bergerak mendekati Antero sedangkan Antero sendiri masih kebingungan.
“Sambungkan benang merah di kelingking tangan kiriku pada jari kelingking
tangan kirimu.”
Otak Antero berusaha mencerna
kata-kata Sheila. Ketika Antero mengerti apa maksud kata-kata Sheila, wajahnya
bersemu kemerahan dan Antero tidak mampu menahan senyumnya. Mereka berdua saling berpandangan dan berpegangan tangan :)
-THE END-
*selesai ditulis dan disimpan di laptop pada tanggal 8 Juni 2009. baru sekarang dipbulish di blog*
Komentar