Escaping Broken Heart

Setelah terakhir kalinya merasakan patah hati begitu dalam di usia remaja, akhirnya aku merasakannya lagi. Bahkan ini lebih menyakitkan daripada patah hati karena cinta monyet dulu. Dia yang saat ini mampu membuat aku merasakan dunia lebih indah, akhirnya memilih menjatuhkan rasa cintanya pada orang lain. Seseorang yang asing, bagiku. Tapi tidak bagi dirinya.

Dia terlihat begitu bahagia dan nyaman.

Sial.

Aku gak tahan. Melihat dia setiap hari dengan senyum di wajah dan tahu bukan aku alasan di balik senyumannya itu.

Aku gak tahan. Mendengar suara dia setiap waktu dengan nada yang begitu ceria mskipun sedang membicarakan urusan pekerjaan.

Aku gak tahan. Mencium wangi kopi khas yang selalu dia minum setiap pagi.

Jadi aku pergi. Sendirian. Mencari diriku sendiri.

***

Kujejakkan kaki di Vienna International Airport di hari Kamis yang terbilang cerah. Akhirnya aku memilih negara ini karena visa Schengen yang masih berlaku dan ditambah pula salah seorang teman dekatku saat SMA sedang berkuliah Information and Media Law di University of Vienna atau Universitat Wien.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Al begitu aku berdiri di depannya dengan satu tas ransel dan satu tas kecil berisi barang-barang penting.

Aku cuma mengangkat bahu. "You know, Al," jawabku. Padahal aku belum bercerita apa-apa kepada Al selain bahwa aku butuh tempat untuk melegakan pikiranku.

Al tidak banyak bertanya. Ia tahu bahwa nanti aku sendiri yang akan bercerita semuanya. "Welcome to Vienna then. Most romantic city in Europe, for me."

Aku tertawa, merangkul pundak Alana si sobat cewek yang gak banyak komentar.

***

Kami sampai di apartemen studio Alana dan aku langsung menyimpan barang-barang di kaki tempat tidur. Alana menyuguhkan beberapa tumpuk sandwich untuk kumakan sebelum kami berangkat makan malam sambil berjalan-jalan nanti.

"Lo lagi gak kuliah?" tanyaku sambil mengunyah sandwich.

Alana berbaring di tempat tidur dan memainkan ponselnya. "Hari ini kosong. Besok gue kuliah. Jadi besok lo jalan-jalan sendirian. Gimana?"

"Oke,"

"HP lo udah aktif di sini kan? Di beberapa tempat juga udah ada Wi-fi kalau lo butuh koneksi internet ketika nyasar,"Al mengingatkan.

"Tenang, Al. Ini bukan pertama kalinya gue ke Eropa kok," aku tertawa.

"Tapi ini pertama kalinya lo ke Vienna dan ini daerah kekuasaan gue!" Al membusungkan dada dan kami tertawa lagi.

"Jadi kita makan malem dimana?" aku bertanya.

"Pasti bukan makan di tempat yang biasa-biasa aja," Al mengedip. Aku yakin memang dia punya ide gila di kepalanya.

***

Dari semua orang yang sedang menikmati hidup di Sand In The City, Vienna ini, bagiku tidak ada satupun yang menarik. Namanya juga orang patah hati. Bukannya ingin mencari pelampiasan, aku hanya ingin mengalihkan perhatian.

Itu niatku pertama kali.

Tapi ketika aku sedang berjalan mundur dengan segelas minuman di tangan dan tanpa sengaja menabrak dia, aku tahu niatku berubah.

"I'm so sorry," aku berbalik cepat untuk melihat siapa yang kutabrak dan kerusakan apa yang kutimbulkan.

"No, its okay," dia berbalik juga sepertinya. Aku bisa melihat sepatunya mengarah kepadaku.

"Did it hurt or something is fallen?" aku masih agak panik, menunduk-nunduk seperti kehilangan sesuatu.

"Hey, everything is fine," dia menyentuh pundakku untuk menenangkan aku yang sedang melongok ke bawah. Khawatir ada benda yang jatuh.

"Oh okay," aku mengangguk dan akhirnya mendongak. Ingin tahu pria bule mana yang tidak sengaja kutabrak. Namun ternyata yang balas memandangku adalah seorang pria dengan jenis wajah yang kuliah setiap hari."Indonesian?"

Dia tertawa. "Kamu juga," 

Aku ikut tertawa. Lupa soal urusan tabrakan tadi.  "Logatmu tidak terdengar seperti orang Indonesia," 

"Kamu juga," 

Aku tersenyum dengan pura-pura jengkel. "Harus selalu bilang 'kamu juga'?"

Kali ini dia menggeleng dan mengulurkan tangan. "Naka," katanya sambil tersenyum.

"Aruna," aku menjawab uluran tangannya. 

Maaf karena aku lupa tujuanku datang ke sini. Maaf karena aku lupa akan Alana. Juga maaf karena semalaman kuhabiskan waktu untuk mengobrol dengan pria bernama Bayanaka.

*** 

"Jadi lo ada rencana kemana aja?" tanya Al yang masih mengantuk. Berbeda denganku yang sudah hampir siap untuk berangkat.

"Liat-liat bangunan yang artistik di Vienna, jajan-jajan, terus mau liat Danube River," jawabku cepat.

"Gak apa-apa sendiri?" Al bangun dari tidurnya, mengucek mata dengan rambut berantakan.

"Gak apa-apa. Gue bisa gangguin orang sekitar kalau bingung," aku nyengir.

"Ya udah. Hati-hati ya. Kabari gue kalau lo bingung. Gue seharian di kampus," 

"Oke. See you tonight, Al," aku mengacak rambut Al lalu segera keluar dari apartemen. Bergegas menuruni tangga untuk keluar dan melihat seseorang sedang berdiri di hadapanku. Wajahnya langsung cerah begitu melihatku tiba.

Semalam dia menawarkan diri untuk mengajakku berkeliling Vienna setelah kubilang Alana kuliah dan tidak bisa menemaniku. Kuiyakan tawarannya. Alana tidak tahu. Karena aku berpamitan dengannya lalu bergegas mencari Alana yang hampir pingsan karena kebanyakan minum. 

"Siap?"

"Tergantung Bapak Tour Guide," kataku sambil tertawa.

Dia menggerakkan tangannya seperti menyuruh aku mengikutinya. Kusejajari langkahnya dan kami mulai mengobrol.

*** 

Naka mengajakku mengunjungi tempat-tempat di Vienna yang membuatku ternganga karena kecantikannya. The Hofburg yang merupakan tempat tinggal dan tempat bekerja Presiden Austria, St. Stephen's Cathedral yang bangunannya bikin merinding saking kerennya, The Vienna State Opera House sebagai salah satu gedung pertunjukkan paling besar dan paling megah. Sayangnya saat itu tidak ada pertunjukkan yang ditampilkan sehingga aku dan Naka tidak bisa melihat bagaimana bagusnya penampilan di Opera House tersebut. Menjelang sore, Naka mengajak aku ke Vienna's Zoo untuk melihat binatang-binatang lucu dan menggemaskan di sana. Aku bahkan mencoba memberikan makan untuk Koala di waktu yang disediakan oleh pengurus Vienna's Zoo. Di malam hari, kami makan malam di salah satu restoran yang menurutku, suasana dan makanannya sama-sama santai dan sederhana namun enak untuk dinikmati, yaitu Gasthaus Reinthaler. Jangan tanya aku apa nama makanannya karena semua Naka yang memesankan. Dia beberapa kali datang ke sini untuk keperluan bisnis dan mengunjungi saudaranya. Jadi aku percaya saja.

Hari itu ditutup dengan kejutan bahwa Naka mengajakku duduk di samping Danube River dan menikmati pemandangan malam di sana. 

"Hari yang luar biasa. Thanks, Naka!" aku berseru dengan gembira. 

"You're welcome," Naka tersenyum lebar dan mengangkat kedua jempolnya. 

"Rasanya aku gak mau pulang," aku menyangga daguku dengan kedua tangan dan menatap air sungai yang mengalir pelan. 

"Jangan gitu. Tetep inget pulang tapi tetep sempatkan waktu buat jalan-jalan," ujar Naka.

"Bener juga,"

"Feeling much better?" Naka bertanya pelan.

Aku menghela nafas. Naka sudah tahu cerita aku yang kabur dari patah hati. "Yeah. Aku berani ketemu dia lagi, dengan atau tanpa pacarnya. Aku kuat kan?" 

"Harus dong!" Naka mengangkat sebelah tangannya dan berpose seperti binaragawan. 

"Besok jadi berangkat?" kali ini aku yang bertanya. Naka bilang hari ini terakhir dia di Vienna. Besok dia akan berangkat ke Perancis untuk urusan lainnya. 

"Jadi," Naka mengangguk. "Ah ini," Naka mengulurkan sebuah kartu nama.

Aku membaca kartu nama tersebut. Tertera nama lengkap Naka bersama nama perusahaan. Perusahaan ayahnya. 

"Kalau kita sama-sama di Indonesia, kamu bisa kontak aku di nomor itu. Mungkin kita bisa wisata sejarah lagi," ujar Naka.

"Ide bagus. Tapi aku gak bawa kartu namaku,"

"Gak masalah. Pasti ada kesempatan untuk ketemu," Naka mengangguk. Dia kembali menatap sungai. Begitu pula aku. 

Suasana syahdu dan malam yang semakin dingin membuat aku merapatkan dudukku dan memeluk diriku sendiri. Diam-diam Naka meletakkan jaketnya di pundakku. 

"Biar lebih hangat," katanya lalu nyengir ala anak SD. 

Aku terkikik. Merapikan posisi jaket di pundakku. Perlahan kusadari Naka semakin mendekatkan wajahnya dan aku tidak menolak saat dia perlahan mencium bibirku di samping Danube River yang indah dan terkenal.

Courtesy: Wikipedia

*** 

"Sudah beres urusan di Vienna?" tanya Pak Didi begitu Naka mendarat dari pesawat dan menghampiri Pak Didi yang sudah menjemputnya. 

"Begitulah," Naka mengangkat bahunya dan menyerahkan koper untuk dibawa Pak Didi. 

"Sampai penerbangan ke Perancis harus ditunda segala," pak Didi menggeleng. Asisten sekaligus pengasuh Naka sejak dia kecil hingga dewasa ini menggerutu. 

Naka tersenyum. "Kita cuma bisa berencana aja Pak," 

"Nona Gina sudah morang maring dari kemarin karena Naka terlambat tiba di Perancis," ujar Pak Didi saat dia dan Naka sudah berada dalam mobil.

"Oh ya?" jawab Naka sambil lalu. Ia menyalakan ponsel yang dimatikan selama penerbangan. 

"Begitulah. Karena keterlambatan itu Nona Gina belanja gila-gilaan sambil mengisi waktu. Ketika kalian sudah menikah nanti, Naka harus lebih banyak bersabar menghadapinya," Pak Didi menasihati.

Naka tertawa. "Saya sudah cukup sabar menghadapi dia. Termasuk urusan foto pre wedding yang harus jauh-jauh di Perancis segala. Padahal saya usul di belakang rumahnya dia aja," 

Pak Didi menggeleng. "Yah namanya juga perempuan."

Naka mendengar kata-kata Pak Didi namun dia memilih memperhatikan perempuan lain yang foto tertawanya di depan The Hofburg dia ambil kemarin siang.

*** 

"Jangan sedih mulu lo balik ke Indonesia!" Alana menjitak kepalaku saat dia melepasku untuk naik pesawat kembali ke Indonesia. 

Aku tertawa lebar. "Tenang. Gue mulai bisa mengatasi patah hati gue. Mungkin juga gue udah siap dengan cinta yang baru." Diam-diam aku meraba jaket yang kupakai, jaket yang entah sengaja atau tidak, ditinggalkan pemiliknya setelah kami mengobrol lama di sisi Danube River. 

"Take care of your heart, darling. Kalau buakn lo siapa lagi?" Alana menepuk pundakku.

"I will, sistah. Thank you and see you again!" Aku mencium pipi kiri dan kanan Alana lalu berbalik.

Aku berjalan dengan mantap menuju gerbang keberangkatan. Yakin bahwa ada sesuatu yang baik menungguku di tanah air nanti.

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?