Hujan untuk Awal Baru
Gue gak suka hujan. Tapi gak berarti gue benci juga. Biasa aja, dengan nada
yang sama seperti kata anak ABG ketika ditanya, "lo suka gak sama si
dia?"
Meskipun kadang kangen juga sama hujan. Suasana syahdunya, cuacanya, sikap
orang-orangnya. Ya mungkin kayak gue ke gorengan. Gak suka banget tapi gak
benci juga dan kadang suka kangen.
Tuk!
Gue mendongak untuk melihat siapa yang berani-beraninya menepuk kepala gue dengan gulungan kertas.
Tuk!
Gue mendongak untuk melihat siapa yang berani-beraninya menepuk kepala gue dengan gulungan kertas.
"Jangan ngelamun, nanti kesambet," kata Canra sambil berdiri di
samping gue.
"Mana ada hantu siang-siang," balas gue sambil melengos dari
jendela.
"Hujannya gede ya," Canra menggantikan gue memandangi jendela.
"Iya, bakal susah pulang sih," gue berdiri sambil mengambil gelas
dan bermaksud mengisi air di dispenser di pantry.
Sementara gue pergi, Canra masih asyik memandangi hujan. Namanya Canra, bukan typo yang harusnya Candra apa gimana. Dibaca Kanra. Namanya hasil gabungan nama orang tuanya, Cantika dan Tara, jadi Canra. Yeah, untung dia gak dikasih nama Tantika.
Sementara gue pergi, Canra masih asyik memandangi hujan. Namanya Canra, bukan typo yang harusnya Candra apa gimana. Dibaca Kanra. Namanya hasil gabungan nama orang tuanya, Cantika dan Tara, jadi Canra. Yeah, untung dia gak dikasih nama Tantika.
"Ber, masih banyak kerjaan?" tanya Canra begitu gue balik ke meja
gue yang posisinya deket jendela.
Cuma dia yang manggil gue Ber, sementara orang lain lebih ramah dan manggil gue Lia. Pengen beda sendiri katanya.
Cuma dia yang manggil gue Ber, sementara orang lain lebih ramah dan manggil gue Lia. Pengen beda sendiri katanya.
"Hmm, lumayan. Kenapa?" gue kembali duduk di kursi dan Canra ikut
menarik kursi untuk duduk di samping gue.
"Kalau kamu udah gak banyak kerjaan, aku mau ajak makan," kata
Canra tanpa memandang gue. Langsung mengeluarkan HP-nya dan membuka chat di
WhatsApp. Ratusan unread message. Ngeri.
Sebelum gue jawab, gue melirik ke sekitar gue, ke arah orang-orang yang juga belom balik karena di luar masih hujan. Mereka melirik gue dan Canra bergantian lalu mendengus tertawa. Sepelan mungkin asal tidak didengar Canra.
Sebelum gue jawab, gue melirik ke sekitar gue, ke arah orang-orang yang juga belom balik karena di luar masih hujan. Mereka melirik gue dan Canra bergantian lalu mendengus tertawa. Sepelan mungkin asal tidak didengar Canra.
"Udah makan tadi," gue jawab sambil kembali mengaktifkan
komputer. Ada satu atau dua email yang harus gue kirim sebelum pulang.
Menandakan pekerjaan gue bener-bener selesai hari ini.
"Oh ya?" Canra mengangkat wajahnya dan menatap gue. Gue pura-pura
gak tau. "Kok aku gak tau?"
Belum sempat gue menjawab pertanyaan Canra, ada orang yang tergopoh-gopoh
menghampiri Canra. Kesempatan ini gue manfaatkan dengan fokus ke kerjaan gue.
"Untunglah Bapak belum pulang. Untuk dokumen project kita di Sulawesi,
masih kurang tanda tangan satu BoD. Seharusnya Pak Haritz yang tandatangan,
tapi ternyata Pak Haritz perpanjang cuti karena anaknya melahirkan di Sydney.
Sementara dokumennya harus kita serahkan ke Legal hari ini juga Pak," ujar
karyawan tersebut masih sambil terengah-engah.
"Mana dokumennya?" Canra mengulurkan tangan dan si karyawan itu
dengan sukacita menyerahkan dokumen keramat tersebut.
Canra membuka dokumen sampai ke halaman yang diberi tanda 'Sign Here'. Saat itu aku melirik sekilas dan langsung melengos. Aku bisa menebak apa yang akan dikatakan Canra berikutnya.
Canra membuka dokumen sampai ke halaman yang diberi tanda 'Sign Here'. Saat itu aku melirik sekilas dan langsung melengos. Aku bisa menebak apa yang akan dikatakan Canra berikutnya.
"Saya tanda tangan di bagian Director of Risk Management
Planning?" tanya Canra. Menekankan posisi Pak Haritz.
Daripada jadi saksi perang lokal, lebih baik gue berdiri.
Daripada jadi saksi perang lokal, lebih baik gue berdiri.
"Er, iya Pak," kata si karyawan itu ragu-ragu.
"Ganti kolom tanda tangannya atau kamu tunggu sampai Pak Haritz
masuk," Canra menyerahkan dokumen itu kembali ke si karyawan pria yang
terlihat kikuk dan merasa bingung.
"Kamu mau kemana Ber?" Canra langsung mengalihkan perhatiannya ke
gue saat sadar gue sudah tidak duduk di kursi gue.
"WC, Pak," kata gue, entah dia denger apa nggak. Yang jelas, gue
masih bisa mendengar seseorang bicara pada si karyawan kikuk itu.
"Pak Canra kan Vice CEO. Masa gantiin tanda tangan Direktur Risk?"
Gue mengangkat bahu, masuk ke dalam salah satu kubikel toilet dan menutup
klosetnya. Gue duduk di atas kloset dan memejamkan mata.
Dua tahun yang lalu. Hari juga hujan dan gue memutuskan untuk tetap pulang
dari kantor. Karena malam itu gue punya janji ketemu dengan teman-teman kuliah
yang pada sibuk dan akhirnya mau meluangkan waktunya buat ketemu.
Gue pinjem mobil temen sekosan gue saat itu. Supaya mobilitas mudah, pikir
gue. Walaupun resikonya adalah gue pasti bakal kena macet.
Jam lima sore gue baru keluar dari kantor dan sudah bisa dipastikan gue
kena macet bahkan sebelum keluar dari daerah Mega Kuningan. 'Untungnya' gue dan
temen-temen janjian ketemu di Kokas. Hmm, walaupun Kokas juga daerah macet sih.
Dengan sabar gue mengantri di kemaceten. Hari mulai hujan dan gue tiba-tiba
senyum sendiri. Gue jadi inget waktu pertama kali kumpul bareng temen-temen gue
ini. Saat itu juga hujan. Kita dari tempat masing-masing menuju satu rumah
makan yang harganya sesuai kantong mahasiswa yang anak kost. Bisa dipastikan
semuanya basah kuyup walaupun udah pake payung. Kita semua ketawa-ketawa begitu
kumpul. Hari ini juga hujan dan kita mau ketemuan lagi. Pasti banyak cerita
yang seru.
Saat gue bersenandung diiringi hujan di luar, gue menoleh ke kiri dan
melihat salah seorang bos perusahaan gue sedang berdiri di bawah hujan sambil
menghadapi kap mobilnya.
Gue buru-buru mengalihkan pandangan. Berusaha tidak dikenali oleh bos besar
tersebut. Bos yang menurut gue dan teman-teman, paling menyebalkan dan ribet
banget. Walaupun dia yang paling muda dan otomatis paling ganteng disandingkan
bapak-bapak yang selevel dengannga.
Mobil melaju sedikit demi sedikit. Sehingga gue masih bisa melihat bahwa
dia sepertinya kesulitan. Dia berdiri di bawah hujan tanpa payung, wajahnya
kebingungan, sesekali berkata seperti mengumpat, kemejanya yang biasanya licin
dan rapi sekarang basah dan menempel ke badannya seperti kantong plastik
pembhngkus makanan yang anginnya dikeluarkan.
Gue kembali memalingkan wajah. Berusaha mengusir pikiran tentang dia yang
sepertinya butuh bantuan. Gue bahkan mengecangkan suara musik supaya pikiran
gue teralihkan. Tapi akhirnya gue menghela nafas. Menyelip diantara mobil, gue
menghentikan mobil di sisi kiri, mencari payung di jok belakang, dan langsung
keluar dari mobil. Masih mengenakan heels dan pakaian kerja full, gue menerjang hujan, mengenakan
payung dan heels, menuju si bos paling rese.
"Sore Pak Canra, ada yang bisa saya bantu?" Gue ulurkan payung itu
supaya menaungi kami berdua.
Dia menoleh kaget karena hujan tak lagi membasahi dirinya.
"Mobil saya mogok, HP saya mati karena lupa saya cas dan saya gak punya powerbank," begitu jawab Pak Canra.
"Mobil saya mogok, HP saya mati karena lupa saya cas dan saya gak punya powerbank," begitu jawab Pak Canra.
Gue tersenyum dan langsung mengeluarkan ponsel gue untuk menelepon bengkel.
Membantu Pak Canra menyelesaikan urusannya.
Hari itu hujan dan merupakan awal dari sesuatu yang baru.
Hari itu hujan dan merupakan awal dari sesuatu yang baru.
"Ber," seseorang memanggil dari luar toilet wanita. Gue
menggeleng dan menyahut.
"Sebentar!" Gue teriak.
Sekarang gue benar-benar melakukan apa yang sebenarnya ingin gue lakukan.
Mengeluarkan sebuah benda yang gue bawa setiap hari kemana saja, seakan benda
itu sumber ketenangan gue.
Gue melakukan tahap demi tahap tanpa perlu bantuan instruksi pemakaian. Gue sudah hafal dan gue yakin gue lebih bisa mengucapkan ulang daripada mereka yang bikin barang ini.
Gue melakukan tahap demi tahap tanpa perlu bantuan instruksi pemakaian. Gue sudah hafal dan gue yakin gue lebih bisa mengucapkan ulang daripada mereka yang bikin barang ini.
"Ber?" Dia memanggil lagi, kali ini nadanya lebih seperti
bertanya. Panggilannya gak gue tanggapi karena gue lebih fokus pada apa yang
ada di hadapan gue.
Mata gue melebar, mulut gue menyunggingkan senyum, badan gue lemas tapi
bersemangat di saat bersamaan. Cepat-cepat gue buka pintu bilik toilet, mencari
sosok yang memanggil gue tadi dan rupanya sedang mengobrol dengan seseorang di
ujung sana.
Gue berjalan cepat secepat yang diijinkan heels 10 senti yang gue kenakan.
Bunyi tak tok dari heels ini menggema di antara dinding, membuat dia kembali
menoleh ke arah gue.
"Berlia Irchamsyah, pelan-pelan," katanya. Selain dia selalu
memanggil gue berbeda, dia juga selalu memanggil gue dengan nama lengkap kalau
gue membuat dia jengkel. Berlia, nama yang menurut orang seharusnya ditulis
dengan huruf N di ujung namun lupa dituliskan petugas Kelurahan.
Gue gak peduli. Gue malah berjalan semakin cepat karena gue terlalu
bersemangat. Orang yang bicara dengannya pamit undur diri. Ini membuat gue
lebih leluasa untuk segera memeluk dia meskipun ini masih di kantor.
"Canra Irchamsyah, you will be a dad really soon!"
Dia kaget, lalu dia tertawa dan balas memeluk gue.
Dia kaget, lalu dia tertawa dan balas memeluk gue.
Mungkin sejak saat ini hingga ke depannya, hujan tidak lagi biasa di mata
gue. Tapi gue mencintai hujan karena dia selalu memberikan gue sesuatu yang
baru.
***
Komentar