Borgol Cinta

“Ci, jangan pake iler gitu dong liatinnya,” Raras menyenggol tanganku sehingga lamunanku buyar seketika. 

“Eh apa Ras?” Buru-buru kurapikan posisi duduk dan menyelipkan anak rambut di balik telinga. Menunjukkan ketertarikan pada Raras daripada orang yang kuperhatikan selama  dua menit terakhir. 

Raras melirik bergantian antara aku dan dia lalu tersenyum. Tanpa perlu memasang mimik jahil, Raras kembali menyantap nasi padang menu makan siang kami. Perkataan berikutnya membuat aku tahu bahwa Raras memang ingin menggodaku. 

“Emang ganteng ya Alan,” 

“Alan? Siapa?” 

“Cowo yang lo liatin sambil ngiler itu,” Raras tertawa pelan. 

“Raras apaan sih ah,” wajahku pasti sudah memerah karena malu. Hal yang kerap terjadi kalau aku malu dan itu sering. Orang jadi mudah menebak bagaimana perasaanku. 

“Namanya Alan Primanda. Lulusan NUS. Anak baru disini, Audit,” Tanpa perlu kuminta, Raras sudah menjelaskan informasi umum yang sebenarnya ingin kuketahui. 

“Oh gitu,” aku berusaha menanggapi dengan acuh tak acuh. Tapi ya itulah, wajahku sering berkhianat, pipiku masih merona. 

“Katanya sih single,” Raras menambahkan seakan tahu apa yang kupikrkan. Beberapa kali Raras memang seperti cenayang. 

Aku ikut melanjutkan menikmati makan siang ketika kuliah Raras melambaikan tangan dan Alan berjalan menghampiri kami. 

“Ras! Ngapain sih?!” 

Raras tertawa. “GR amat sih lo,” 

*** 

“Na, gue nebeng mobil lo sampe stasiun ya,” ujar Raras saat kami sedang bersiap pulang. 

“Lo mau balik ke kosan ya? Bareng aja, gue sekalian mau ke rumah sodara gue yang di Juanda,” Ratna selesai mengepak barang kemudian berdiri di sampinh Raras. 

“Ehm ga usah,” wajah Raras bersemu merah. “Gue mau ke Tebet, ketemu Idan.” 

Aku dan Ratna berpandangan dan melengos. Menjelang pernikahan mereka, Raras jadi lebih sering pulang dan bertemu Idan daripada pulang bareng kami. 

“Iya deh yang mau kewong,” Ratna cekikan. Aku tersenyum melihat Raras yang jadi lebih ceria setelah ‘balikan’ dengan Idan. 

“Salam buat Idan ya. Kapan makan-makan lagi?” 

“Ntar gue salamin ya Ci. Pengen sih keluar rame-rame lagi tapi lo taulah, weekend aja gue ngurusin katering lah, baju, undangan..” 

“Lagian emang lo siap kalau kita jalan barengan lagi? Raras ama Idan. Gue ama Reno. Lo sendirian yang jomblo,” Ratna nyengir lebar sekali. Dia baru pacaran dengan Reno dua bulan lalu dan setiap saat berusaha mengejekku yang jomblo akut ini. 

“Sialan lo Na,” aku cubit lengan Ratna hingga dia kesakitan tapi tetap tertawa heboh. 

“Turun barengan yuk,” ajakan Raras kami sambut dengan sukacita. Daripada terjadi perang dunia pertama di kantor ini lebih baik gencatan senjata segera. 

Kami keluar dari lift dan bersiap menuju keluar ketika kami melihat seseorang yang membuat kami bertiga terdiam. Raras yang pertama bergerak. 

“Katanya ketemuan di Kokas langsung aja?” Nada suara Raras pura-pura ngambek tapi aku tahu dia sebenarnya senang. Sangat senang. 

“Ternyata bisa pulang tenggo jadi langsung kesini aja,” Idan menjawab sambil tersenyum. Senyum terdahsyat yang pernah Raras lihat dan selalu buat Raras terpana bahkan sampai saat ini, setelah tiga tahun perkenalan mereka. 

“Ya udah yuk,” Raras yang biasanya garang kali ini wajahnya tersipu seperti Hayati ketemu Zainuddin. Eh aku sebenernya gak tahu gimana wajah Hayati kalau ketemu Zainuddin. Aku ga pernah nonton filmnya sih. 

“Duluan, Ratna, Oci,” Idan melambai ke arah kami, para dayangnya Raras. Kami balas melambai dan tersenyum. Dulu, ketika awal-awal Raras mengenalkan kami ke Idan, Idan masih memanggil kami dengan ‘kak’. Mengingat Raras sendiri lebih tua dari Idan dan aku sepantaran dengan Raras. Ratna bahkan lebih tua satu tahun dari Raras. Sehingga Idan merasa wajar memanggil kami ‘kak’. Sering dengan berjalannya waktu, mungkin karena diminta Raras juga, Idan berhenti memanggil kami dengan tambahan ‘kak’ dan memilih menyebut nama saja. Aku dan Ratna jadi lebih lega. Lucu kan kalau kami sedang triple date dan salah satu pasangan memanggil yang lainnya dengan sebutan ‘kak’. Ini ngedate atau ngasuh adik? 

Oh yeah triple date. Kayak aku punya pacar saja. 

“Lo mau nebeng gue gak?” Ratna menawarkan. Mengingat rumahku, ralat: rumah pamanku yang kutinggali selama bekerja di Jakarta, terletak di Bogor. Bojonggede tepatnya. 

“Boleh deh Na. Biar lo ada temennya. Gak bengong sendirian di jalan sambil mikirin Reno,” 

Ratna manyun lalu tertawa. Ingat Reno yang sedang perjalanan dinas ke Makassar. 

“Iya nih mumpung gue lagi baik,” 

Kami pun melanjutkan langkah setelah ditinggal Raras dan Idan. Langkah kami pelan sekali karena Ratna berjalan sambil whatsapp-an dengan Reno. Aku? Aku whatsapp dengan diriku sendiri. Yeah namanya juga jom-blo. 

“Na, baru balik?”

Ratna mendongak. Aku menoleh. Kulihat orang yang tadi siang membuatku ileran (not literally!) berdiri di samping orang yang menyapa Ratna. 

“Eh Er,” yang menyapa Ratna namanya Xavier, tapi karena namanya susah, orang-orang memilih memanggilnya Pier. Kalau sedang iseng malah dipanggil Sapi. “Iya nih. Lo juga?” 

“Begitulah. Banyak kerjaan,” Pier nyengir dan menepuk dada. Ratna melirikku dan mengangkat alis sedikit. 

“Syukur ya banyak kerjaan daripada banyak utang,” Ratna terkikik. Aku tertawa tanpa suara. “Lo juga banyak kerjaan Lan?” 

Ratna beralih menanyai orang di samping Pier. Bagus Na, biar aku punya kesempatan memandangi anak baru ini. 

“Gak terlalu. Cuma tadi si Pier minta ditungguin karena mau nebeng gue,” Alan menunjuk Pier, nyengi sedikit. 

“Ah bro. Bagian nebengnya gak perlu disebut lah,” Pier menyenggol pundak Alan. 

“Duluan ya Na,” Alan pamitan pada Ratna, melirik sekilas ke arahku dan mengangguk. Sedangkan Pier pamitan pada Ratna dan aku juga. 

“Kok lo gak ngenalin gue sih?” Aku mengernyit pada Ratna, merasa sedikit diabaikan di percakapan tadi. Emm, sebenarnya merasa dilewatkan kesempatan untuk bisa kenalan dengan si anak baru. 

“Kan lo udah kenal sama Pier,” Tanpa rasa bersalah Ratna menunjuk sosok Pier. 

“Bukan Pier!”

“Oh Alan! Ah maaf maaf Ci. Gue kira lo udah kenal,” Ratna memegang lenganku, terlihat menyesal. 

“Belum kenal gue,” kataku sebal. 

“Ntar gue kenalin deh. Eh lo kok manyun banget gitu sih? Lo naksir Alan ya?” 

“Nggak,” aku berjalan meninggalkan Ratna, berusaha supaya wajahku yang mulai berkhianat tak disadari oleh Ratna. 

“Iya!” Ratna berseru, mengejar dan melihat wajahku. “Ah bener Oci naksir Alan!” 

“Sial,” umpatku pelan. 

***

Menurutku, makan siang cuma sekedar waktu istirahat di sela-sela kegiatan bekerja. Kadang aku malah memilih untuk tidak makan siang ke luar hanya karena aku memilih untuk tetap berada di kantor dan makan siang dengan bekal atau dibelikan Office Boy. Makan sambil menonton film atau sambil bekerja. 

Menurut Ratna, aku menyedihkan. Makanya aku masih jomblo. Thanks berat, Ratna! Sementara Raras yang lebih bijak menyarankan aku untuk sekali-kali makan ke luar. Bahasa halus untuk mengatakan supaya aku gak jomblo lagi. Tapi, makan siang ke luar membutuhkan waktu lebih lama daripada makan di dalam kantor. Perjalanan saja bisa memakan waktu 15 menit. Bolak balik jadi 30 menit. Sementara acara makannya sendiri selama 60 menit. Totak waktu yang dibutuhkan adalah 90 menit. Padahal waktu istirahat hanya 1 jam. Kalau tidak ingat atasanku memanggilku setiap 15 menit, aku akan dengan sukarela berlari keluar setiap jam istirahat tiba. Seperti anak-anak SD saat mendengar bunyi bel istirahat. 

Raras dan Ratna, mereka adalah orang-orang terdekatku di kantor, beberapa kali menemaniku makan di kantor. Kalau sudah begitu biasanya obrolan kami memutar dan menjalar entah kemana saja. Kami bisa tiba-tiba membicarakan pakaian atau kelakuan ibu-ibu di KRL. Hanya saja hal itu tidak terlalu sering terjadi karena Ratna yang social butterfly senang kalau punya kesempatan ke luar. Sementara Raras yang sibuknya udah kayak nyari uang buat naik haji (sebenernya dia cari uang buat nikahan sih) malah sering lunch meeting. 

Tumben, kedua makhluk itu sekarang sedang berdiri di depanku. Berkacak pinggang dan siap-siap menyeretku keluar. 

“Yuk Ci,” Ratna bicara tanpa nada bujukan, lebih ke maksa. 

“Kemana?” 

“Makan,” 

“Gue bawa bekel,” aku mengangkat dua tumpuk Tupperware tempat aku membawa bekal. Sederhana, cuma capcay dan ikan tongkol. 

“Makan di sana aja,” usul Raras. 

“Buat ntar malem,” usul Ratna. 

Mereka saling berpandangan lalu cekikikan. 

“Males ah,” aku mulai membongkar bekal yang kubuat sejak pukul 5 subuh tadi. 

“Sekali-kali ih lo keluar. Jangan di kantor mulu,” Ratna mendekat dan seakan-akan mau menyeret tanganku. 

“Biar gue gak jomblo hah?” 

Raras terkikik. Ratna mengangguk mantap. “Iya.” 

Lalu aku pun heran karena aku menurut. Tanpa banyak membantah aku mengambil ponsel dan merapikan bekalku. Menyiapkan untuk makan malam saja mengingat nanti kami akan lembur. 

“Yuk deh,” Ratna dan Raras bersorak gembira. Seakan-akan keikutsertaanku makan siang di luar adalah sebuah prestasi memenangkan triatlon. 

Kami berjalan berdempetan agar tidak terpapar sinar matahari. Berkelit dari satu daun di pohon ke daun lainnya. 

“Panas banget!” Ratna mengipasi diri dengan tangannya. 

“Iya panas. Ntar kayaknya ujan deh,” sahut Raras. Mengelap peluh yang muncul di keningnya. 

“Gue udah bau keringat nih,” kuangkat tangan dan kucium lenganku. Ratna dan Raras langsung pura-pura pingsan. “Bau matahari sih tapi ga gitu juga kaliiii.” 

Aku kejar Ratna dan Raras, membuat kami seperti di adegan kejar-kejaran ala film Bollywood. Selama makan, aku merasakan keringatku menetes setetes demi setetes. Maklum saja, kami makan di warung tenda dekat kantor. Tanpa kipas angin apalagi AC. 

“Eh gue minjem duit dong,” setelah makan aku baru sadar bahwa aku cuma bawa HP. Uang yang biasa kutaruh di saku saat ini nihil. 

Ratna dan Raras saling berpandangan. 

“Gue cuma bawa 20 ribu,” Raras mengangkat selembar uang berwarna hijau. 

“Gue juga,” Ratna melakukan hal yang sama. 

“Waduh. Gimana dong? Gue beneran lupa. Masa gue balik ke kantor buat ngambil duit dulu?” Aku mulai panik, merogoh kantung saku celana dan berharap ada uang nyempil disitu. 

“Bilang aja lo lupa. Besok lo kesini lagi,” Raras mengusulkan. Melirik ke kios tempatku memesan makan. 

“Atau gue kabur aja gitu ya?” 

“Eh jangan. Ntar gue yang ditanyain. Yang mesenin makan lo kan gue,” gantian malah Raras yang panik. Aku tertawa padahal masih bingung gimana membayar makanan yang sudah nangkring asik di perutku. 

“Nih pake duit gue dulu aja,” 

Selembar uang disodorkan di depan wajahku. Kutelusuri siapa yang memegang uang itu dan refleks aku langsung memekik. Detik ini juga pasti wajahku berkhianat. 

“Eh gak usah,” aku dorong kembali uang itu kembali ke pemiliknya. 

“Gak apa-apa. Daripada Raras dikira ngutang,” dia tertawa, kembali menggoyangkan uang hijau itu. Raras dan Ratna nyengir kuda. 

“Nanti gue kembalikan. Makasih ya, er…” 

“Alan, panggil aja Alan,” Kali ini dia mengulurkan tangannya untuk kujabat. Tanpa ragu aku menyambut dan menyalaminya erat. Sungguh permulaan yang kurang mengenakkan. 

*** 

Entah konspirasi apa yang dilakukan semesta demi mengeluarkanku dari status kejombloan. Kejadian demi kejadian terjadi yang membuat aku semakin terpana atas rencana Illahi. Dan aku pasrah mengikuti apa yang sudah digariskan untuk kujalani. Sembari aku selami apa makna yang harus kuambil dari setiap kegiatan yang kulakukan. Yang terpenting adalah apa makna hadirnya dia di hidupku. 

“Ci, di kosan gak?” 

Adalah bunyi pesan yang muncul saat aku sedang asyik menonton acara komedi di televisi masa kini. Hampir pukul 11 malam. Sejak 3 bulan lalu aku memilih untuk menyewa kosan sendiri, lebih dekat ke kantor dan agar tidak terlalu merepotkan pamanku. 

“Di kosan. Napa?” Aku membalas lalu kutaruh lagi HP, kembali menyaksikan ulah iseng dua MC cowo ini. 

Jawaban atas pertanyaanku muncul dalam bentuk dering telepon. 

“Hellooooo,” aku menjawab telepon dengan nada lagu Lionel Richie. Tahu bahwa dia yang meneleponku sudah terbiasa dengan gurauan. 

“Hello from the other side,” dia malah menjawab dengan lagu Adele. Kami lalu tertawa bersama. 

“Kenapa Lan?” Iya ini Alan. Yang perkenalannya denganku karena aku lupa bawa uang saat makan siang. 

“Kosan lo campur cewe cowo kan?” 

“Iyyyaa,” jawabku ragu-ragu. 

“Gue nginep boleh?” 

“Hah lo gila!” Aku berteriak lalu menekap mulut erat-erat. 

“Sorry Ci. Tapi ini gue baru balik dari kantor dan besok jam 5 gue udah harus berangkat ke Tasik sama anak-anak Audit. Ga akan keburu kalau gue balik sekarang. Gue janji ga akan ngapa-ngapain lo.” 

“Ih tapi…” 

“Please Ci. Cumq numpang merem,” 

“Kosan gue kasurnya sempit. Eh iya gue tau lo ga akan tidur di kasur. Maksudnya, adanya juga karpet doang,” 

“Tikar dong juga gapapa Ci,” 

“Ya udah..” Aku menjawab pelan. Masih sambil mendengarkan telepon Alan, aku membereskan kamar. Menyembunyikan hal-hal penting. 

“Gue udah depan kamar lo sih Ci,” 

“Hah lo gila! Pintu depan kan dikunci,” 

“Tadi ada yang masuk, trus gue tanya kamau Oci yang mana.” 

Aku mempercepat kegiatan membereskan kamar dan segera membuka pintu. Kudapati Alan berdiri di depanku masih mengenakan celana katun dan kemeja biru yang kulihat tadi siang. Tangan kirinya menjinjing tas laptop, pundaknya menggendong tas ransel, dan tangan kanannya memegang telepon. 

Kugeser berdiriku agar Alan bisa masuk. Ia tersenyum lalu melangkah setelah membuka sepatu. Pelan-pelan aku menutup pintu dan tak bergerak sampai kupastikan Alan tak akan berbuat aneh. 

“Thanks Ci. Besok gue berangkat jam 5 dari kantor. Lo bisa lanjutin tidur lo. Besok gue langsung cabut gapapa ya?” Alan duduk bersila di karpet yang sudah kuhamparkan. 

Aku mengangguk. Merepet ke dinding saat aku berjalan menuju tempat tidur. 

“Met tidur Ci,” dan tanpa aba-aba, Alan terlentang, memejamkan mata, dan tidur. Aku cuma bisa bengong dan segera masuk ke balik selimut. 

*** 

“Lo pake baju apa besok Ci?” tanya Alan di telepon sekitar pukul 9 malam. Tepat saat aku bersiap tidur. 

“Heeee?” Aku bergumam tak jelas. 

“Ke nikahan Raras. Pake baju apa?” 

“Pake baju seragam Lan. Disediain Raras,” kujawab sambil memejamkan mata dan menenggelamkan kepala di balik selimut. 

“Warna apa?” 

“Pink,” 

“Wah. Aneh dong kalau gue pake pink juga ya,” gumam Alan. 

“Lo emang mau jadi bridesmaid?” tanyaku asal. Otakku sudah mulai tak fokus gara-gara seharian mengerjakan kerjaan yang mendesak dan penting. 

“Bukan Ci tadinya mau nyamain sama lo,” 

“Pake baju apa aja juga lo cakep kok. Gak pake baju juga cakep,” 

Semili detik kemudian tiba-tiba kantukku lenyap. Ngomong apa aku ini. Duh! Kutepuk-tepuk mulutku atas kelancangan kalimat yang kukeluarkan. Apa Alan akan berpikir aneh tentang diriku? Duh Oci bego banget sih. Kuantukkan kepala ke dinding samlai berbunyi ‘duk’. Sakit ternyata. 

“Tapi gak mungkin gue gak pake baju ke nikahan Raras kan…” gumam Alan pelan. Tak kutanggapi. Stupid Oci! 

“Besok mau gue jemput di kosan jam berapa Ci?” Nada suara Alan kembali seperti biasa. Berarti ini isyarat bagiku untuk melupakan jokes menyebalkan tadi. 

“Gak usah Lan. Gue berangkat sendiri aja. Jam 7 udah harus ada disana sih,” 

“Ya udah jam 6an gue jemput ya. Harusnya jalanan hari Sabtu gak macet-macet banget. Oke Ci. Met istirahat,” 

Kupandangi HP yang menampilkan jumlah menit pembicaraanku dengan Alan sambil mengingat pembicaraan barusan. Stupid Rosita! 

“Que sera sera deh,” kutabrakkan wajahku ke bantal. Fix tidur kali ini. 

*** 

Alan berdiri di depan pagar kosanku di samping mobilnya, Nissan XTrail warna hitam. Sudah mengenakan jas dan kemeja berwarna salem. 

“Karena gue ga punya baju pink jadi yang menyerupai ya ini,” kata dia begitu aku berada dalam jarak dengarnya. 

“Bagus kok. Cocok,” aku memuji penampilannya yang cocok satu dengan lainnya. 

“Bagus deh kalau cocok sama lo,” timpal Alan dengan wajah datar. Malah membuat aku bengong. Maksudku kan bukan itu! “Yuk Ci. Berangkat sekarang.” 

Kami sampai di Puri Ardhya Garini pukul 7 kurang. Aku langsung menyelinap ke ruang tunggu pengantin tempat Ratna dan beberapa teman dekat Raras lainnya menunggui calon pengantin. Alan sementara itu masuk ke tempat resepsi. 

“Cantiknyaaaa,” komentarku begitu melihat Raras yang sudah full make up. Mengenakan kebaya putih dan siger. Khas Sunda. Raras yang jarang pakai make up sekarang jadi kelihatan berkali lipat cantiknya. Pangling! 

“Ociii,” seru Raras, berjalan sedikit demi sedikit menghampiriku, terhalang kain sampingnya yang cukup sempit. 

“Eh eh kalem,” Raras tertawa lalu berjalan lebih pelan. “Gimana rasanya Ras?” 

“Deg-degan Ci. Hahaha. Takut Idan lupa nama gue,” 

Ratna menghampiri kami. “Gue yang pertama jitak Idan kalau dia salah nyebut nama lo Ras,” 

“Akan gue pastikan lo berdiri ga jauh dari dia, Na,” Raras mengedipkan sebelah matanya. 

Ternyata akad nikah berjalan lancar. Pukul 9 Raras sudah resmi menjadi Nyonya Haidan Ramadhan. Wajahnya yang berseri-seri membuat aku ikut berbahagia. Aku masih ingat hari dimana Raras tiba-tiba muncul dengan wajah sembab. Dia berusaha tampil tegar karena banyak yang harus dia kerjakan. Tapi malamnya, di depanku, ketika orang-orang sudah pulang, Raras akhirnya menumpahkan air matanya. Dia yang biasa terlihat tegar sekarang benar-benar rapuh. Rupanya saat itu Raras baru mendapat info perihal Idan yang sedang mempersiapkan pernikahan dengan orang lain. Nyatanya sekarang mereka bersanding di pelaminan. Selalu ada jalan untuk bertemu dengan jodoh. Setidakmungkin apapun kelihatannya. 

“Kenapa lo ngeliatin gue gitu amat?” Aku balas memandang Alan yang sedang memoerhatikan penampilanku dari atas ke bawah. 

“Ada yang kurang, Ci,” kata Alan cuek. Kemudian dia menarik tangan kananku ke depan wajahnya. “Kurang aksesoris nih disini.” 

“Gue emang jarang pake aksesoris, Lan,” kutaruk cepat tanganku dari pegangannya dan kupalingkan wajah dari dia. Karena apa? Ya karena aku tersipu malu disentuh olehnya. Saat ini pipiku pasti merona merah. 

“Kapan-kapan pake ya,” ujar Alan nyaris berbisik. Aku abaikan daripada membuat diri ini makin panas dingin. 

“Oci ya?” 

Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku. 

“Kak Maura ya?! Kyaaa apa kabar Kaak?” Aku segera memeluk senior baik hati yang cukup dekat denganku saat SMA. Sayang kami agak lose contact. Maka sebuah kejutan menyenangkan saat aku bertemu kembali dengannya. 

“Baik Cii, kamu apa kabar?” 

“Baik Kak,” aku mengangguk berseri-seri. Kak Maura selalu jadi panutan kami cewe-cewe di sekolah. 

Aku lahir dan tinggal di Jakarta bersama kedua orang tuaku. Namun mereka pindah ke Yogya ketika aku lulus kuliah. Maka jadilah aku menetap di rumah paman ketika mulai bekerja.

“Kenal Raras apa Idan-nya, Ci?” tanya Kak Maura lagi. 

“Dua-duanya kenal sih Kak. Tapi deket sama Rarasnya. Temen kantor. Kak Maura?” 

“Suamiku, Rio, sepupunya Idan. Dan ternyata adikku juga juniornya Idan di kampus,” Kak Maura melongokkan kepala mencari suaminya yang entah kemana. 

“Oh dunia sempit banget ya Kak,” 

“Eh aku dipanggil, mau baris buat ngiringin pengantin. Kutinggal dulu ya, Oci. Sambil nyari ini Rio ga tau deh kemana.” 

Aku tertawa. “Iya kak. Dah!” 

Kak Maura berlalu, meninggalkan aku kembali bersama Alan. Jangan tanya Ratna dimana. Dia masih mengistirahatkan diri setelah makan hidangan ijab kabul bersama Reno. 

“Itu yang tadi Maura Maureen bukan?” tanya Alan setelah Kak Maura pergi. 

“Iya. Kenal?” 

“Sering liat di berita,” Alan berusaha mencari sosok Kak Maura diantara lautan tamu yang sudah mulai memadati gedung. 

“Heh gak usah liat-liat. Istri orang,” kupegang pipinya dan kuarahkan pandangannya kembali ke depan. 

“Iya iya,” Alan mengangkat bahu, nyengir. 

“Eh yuk berdiri di posisi, bentar lagi Raras sama Idan masuk,” aku menyeret tangan Alan menuju red carpet yang akan dilewati pengantin. 

“Ci,” panggil Alan, aku menoleh. “Gue pengen beliin lo gelang deh.” 

“Gue tunggu ya,” kataku dengan senyum lebar. 

*** 

Entah apa namanya hubungan kami ini. Setelah malam dimana dia mendadak muncul di depan kamar kost pukul 11 malam, beberapa kali dia melakukan hal yang sama. Biasanya dia akan langsung terkapar di karpet dan tidur. Aku juga tidur di tempat tidur dan ketika aku bangun keesokan paginya, dia sudah tak ada. 

Namun saat aku membuka mata ini, aku merasakan ada tangan yang menyambut tanganku yang terulur ke bawah. Aku bangkit dan menoleh ke bawah. 

“Pagi Ci,” kata Alan sambil tersenyum. Sepertinya dia juga baru bangun. 

“Pagi Lan,” gumamku lalu berbaring lagi. “Tumben belum berangkat.” 

“Gak apa-apa,” dia memainkan jemariku, membuat aku makin ingin memejamkan mata lagi. 

“Lo gak bisa tidur dengan lampu mati ya Ci,” 

“Hhmm,” aku mengiyakan. 

“Gue baru sadar,” 

Kami berdua terdiam. Aku sengaja diam karena menikmati sentuhannya di tanganku. Sementara kami sedang larut dalam pikiran masing-masing. 

“Gue berangkat duluan ya Ci,” 

Genggaman tangannya terlepas. Lalu kudengar dia memasuki kamar mandi sementara aku pura-pura tidur. Aku bermaksud pura-pura tidur lagi sampai dia berangkat. Hanya saja bunyi teleponnya yang pelan tapi terdengar membuat aku bangun dan melihat layar HP yang dia taruh dekat bantal. 

Nama Sayang dan foto seorang perempuan cantik yang muncul. 

Jantungku berdegup kencang. Buru-buru aku kembali berbaring dan bersikap seolah tak melihat siapa yang menelepon. Tapi aku penasaran. Aku sungguh sangat penasaran. Siapa perempuan itu? 

Rupanya dia tidak bertahan lama menelepon karena deringnya kemudian terputus. Digantikan denting WhatsApp. 

“Sayang, udah bangun belum? Bangun yuk. Selamat bekerja ya. See you tonight. I love you,” 

Aku mau pingsan setelah membaca itu. 

*** 

Dokumen yang kupegang memang begitu banyak tapi aku memaksakan tetap turun melalui tangga darurat daripada lama-lama menunggu lift untuk turun hanya satu lantai. Saking terburu-burunya aku tidak menyadari adanya dokumen yang tercecer dan tidak sengaja kuinjak. Detik berikutnya aku merasa semuanya gelap. 

***

“Ci….” 

Ada yang manggil aku ya? Siapa ya? Gak keliatan siapa-siapa. 

“Oci…” 

Kukedipkan mataku berulang-ulang supaya sadar siapa yang memanggilku. Masih burem. Padahal mataku gak minus. 

“Rosita,” 

Oh ternyata si pengantin baru yang manggilin aku. 

“Raras nyonyanya Idan,” gumamku. 

“Akhirnya lo sadar Ciii,” kurasakan sepertinya Raras memelukku. 

“Gue kenapa?” Akhirnya seluruh mataku terbuka dan aku melihat Raras sedang balas memandangku dengan panik. 

“Lo pingsan di tangga darurat. Gue nemuin pas mau nyusulin lo kok gak balik-balik. Ternyata lo udah terkapar. Kepala duluan loh Ci. Makanya gue panik banget!” Raras seperti audah hampir menangis. 

“Duh pasti pose gue gak banget,” 

Raras mengangguk. Sial, diiyain lagi. 

“Siapa yang bawa gue kesini?” Aku memandang langit-langit dan baru sadar ternyata aku dibaringkan di ruang menyusui. 

“OB,” jawab Raras polos. 

“Waduh, gak ada yang lebih heroik apa?” 

Raras terkikik. Tapi beneran lho, pingsan terus diangkut OB itu gak ada keren-kerennya sama sekali. 

“Lo mau diangkut Direktur?” 

“Gak juga sih Ras,” aku menggaruk kepala dan ketika menyentuh bagian depan ternyata sakit. “Aduh.” 

“Sakit Cii? Ke dokter yuk,” Wajah Raras langsung panik lagi. 

“Gak kok gak usah ke dokter. Paling juga sementara,” Aku tersenyum. Mana tega membuat pengantin baru ini khawatir. 

“Yuk mending kita pulang. Gue traktir lo bubur karena udah jagain gue,” aku turun dari kursi panjang lalu mengenakan sepatu. 

“Dua ya Ci,” kata Raras sambil cengengesan. 

“Hah lo udah hamil? Kan nikahnya baru minggu kemarin!” 

“Ih lo gila emang. Buat Idan juga. Gue mau dijemput dia malam ini,” Raras tersipu malu. Wajahku mirip dia tuh kalau sedang kambuh rona merahnya. Bedanya, Raras tetep cakep banget. Aku cakep aja. Kayaknya. 

“Jadi obat nyamuk lagi gue,” 

*** 

Aku gak benci rumah sakit tapi aku males di rumah sakit. Baunya, catnya, suasananya. Belum lagi kalau malam hari. Duh siang-siang aja aku sudah merinding begini. 

“Bener kan ada apa-apa sama kepala lo,” Raras merapikan barang-barangku di lemari. Siang ini dia menemaniku ke donter karena sakit kepalaku pasca jatuh di tangga daritat masih belum hilang juga. Dokter langsung menyuruhku scan dan rawat inap. Raras dan aku tidak jadi ke kantor lagi dan malah menyiapkan kebutuhan menginap. Emang dewi deh Raras ini, sesuai namanya. 

“Belum tau bener kan Ras. Palingan sakit biasa aja,” 

“Semoga deh ya,” Raras duduk di sampingku. Mengecek arloji seakan sedang terburu-buru akan sesuatu. 

“Lo mau pergi ya Ras?” 

“Eh, em, sebenernya iya, udah ada janji ntar malem. Tapi gapapa, gue nginep aja nemenin lo,” 

“Gak apa-apa lho kalau lo ada acara,” aku memgangkat jempol. 

“Beneran, gak apa-apa. Gue tungguin lo. Lo kan takut sendirian, apalagi di rumah sakit. Itu acara makan-makan adiknya Idan kok. Gue ga mendesak untuk hadir,” 

“Lo tau banget gue takut sendirian. Tapi gue jomblo Ras, udah biasa sendiri,” Aku pura-pura menangis, menotol pipi dengan selimut. 

“Apa sih Ciii,” Raras mendelik. 

Ketika itulah pintu dibuka dan seseorang terengah-engah masuk. 

“Gak ada...hah...yang kasih tau…hah...gue. Lo...hah...dirawat, Ci,”

“Duduk dulu Lan, baru ngomong,” Raras menyodorkan kursi dan langsung duduk di dekatku. Dia sendiri sekarang duduk di kami tempat tidur. 

“Lo gak cerita sama gue tentang lo jatuh di tangga darurat dan sekarang dirawat segala,” Alan melirikku, menuntut jawaban. Dia sudah berhasil mengatur nafasnya. 

“Ngapain gue kasih tau Lan? Lo bukan siapa-siapa gue,” aku menjawab sambil memalingkan muka menjauhi Alan. Raras yang sudah kuceritakan perihal pesan romantis di HP Alan, langsung mencubit pelan kakiku. 

“Iya emang. Maaf Ci,” 

Keheningan menggantung di udara. Tidak ada satu pun yang berkata diantara kami. 

“Maaf, permisi,” seseorang berjalan masuk, membuat kami bertiga menoleh ke arahnya. 

“Hai Dan. Jemput Raras ya?” Aku menyapa yang baru tiba. Alan berdiri dan menyalami Idan. 

“Sakit apa Ci?”

“Sakit kepala biasa Dan. Tapi dokter nyuruh rawat inap segala.” 

“Maka dari itu, Sayang,” Raras menyambar kesempatan jeda untuk menjelaskan pada suaminya. “Aku kayaknya gak bisa ikut makan malam. Aku mau jagain Oci di rumah sakit. Ga ada temennya. Ortunya di Jogja. Paman sama bibinya lagi umroh.” 

Idan tampak berpikir sejenak. Namun sebelum Idan menanggapi, Alan angkat bicara. 

“Lo ada acara Ras? Biar gue aja yang jagain Oci,”

Raras terdiam. Ia memandang aku, Alan, dan Idan. Kebingungan apakah mengiyakan atau tidak. 

“Nanti malem kan sekalian mau pengajian, Sayang,” bisik Idan tapi masih terdengar oleh aku dan Alan. Ini membuat Alan semakin bersemangat. 

“Ya udah. Titip Oci ya. Beneran titip lho! Jangan ngapa-ngapain Oci! Kalau Oci sampai kenapa-kenapa, gue kejar lo ya Alan!” 

Dan disinilah aku kembali. Ditemani orang yang sebenarnya paling aku hindari. 

“Gue udah bilang kan mau beliin lo gelang. Nih,” 

Alan mengulurkan gelang berpita hijau toska ke telapak tanganku. “Dipakai ya Ci,”


Aku terpana. Merasakan gelang itu menyentuh kulitku. “Gimana belinya?” 

“Hmm, gue tanya adik gue terus dia ngusulin beli online aja. Gak perlu gue cari lama gue langsung nemu yang gue yakin cocok sama lo Ci. Kalau lo mau lagi, jangan ragu-ragu kasih tau gue ya. Ini gue forward link-nya. Lo liat-liat aja dulu,” 

Sebuah pesan berdenting di HP-ku. Dari Alan, isinya “dipilih Ci gelang mana yang lo suka, nanti gue beliin, lo yang pake pasti bagus”  

“Met istirahat Ci. Gue disini nemenin lo terus kok,” Alan duduk di sampingku, tersenyum. Aku menggenggam gelang itu kemudian memejamkan mata. Berusaha menghilangkan harapan dan perasaan terhadap pria yang duduk di depanku. 

***

“Gimana Oci, Lan?” 

“Baik-baik aja Ras. Tidur nyenyak semalaman,” Alan menguap dan meregangkan tubuh. Berdiri dari kursi yang dia duduki semalaman bahkan saat tidur dengan meletakkan kepala di tempat tidur Oci. 

“Ini gue bawain buah dan cemilan buat lo sama Oci ya,” Raras meletakkan keresek penuh makanan ke nakas samping ranjang Oci. 

“Thanks berat Ras. Lo emang the best,” 

“Lo ngantor hari ini?” 

Alan melirik ke arah Oci sebelum menjawab pertanyaan Raras. “Kayaknya nggak Ras. Mau nemenin Oci aja.” 

Keduanya diam. Lalu terdengar helaan nafas Raras. “Oci tau lo udah punya pacar, Lan.” 

Alan terkesiap. Tapi dia tidak bilang apa-apa.

“Gue mengapresiasi perhatian lo sama Oci tapi please ga usah dilanjut. Oci ga punya kesempatan selama lo masih punya pacar. Meski apa yang lo lakukan selalu terkesan seakan lo punya perasaan khusus sama Oci. Selama lo masih punya pacar, jangan dekati Oci lagi. Seluruh kantor kita udah tahu seberapa deketnya lo sama Oci, tapi kalian gak pacaran kan. Yang gue takutkan, Lan, ketika ada cowo yang bener-bener mau sama Oci, dia mundur karena ngira lo sudah sama Oci. Nyatanya nggak. Nanti kasian Oci,” 

Alan tak berkata apa-apa. “Maafin gue Ras,” 

“Lo jelaskan baik-baik sama Oci ya. Gue ke kantor duluan,” 

Pintu kembali ditutup. Aku kembali melanjutkan tidur pura-puraku. Seluruh kalimat Raras itu benar. Kasian aku kan, Lan? 

***

Alan cuma menemaniku satu malam di rumah sakit. Karena aku berkali-kali menyuruh dia untuk pulang. Sepertinya setelah mendengar penjelasan Raras, Alan pun banyak berpikir. 

Bersamaan dengan pulangnya Alan, maka sakit kepalaku juga hilang. Sepertinya penyebab ini semua adalah karena aku terlalu memikirkan Alan. Aku harus mencari tambatan hati baru agar terbebas dari cinta segitiga, predikat perebut pacar orang, dan ikatan jomblo sejati. 

“Nginep di rumah gue jadi?” 

“Jadi dooooong,” Ratna menyambut bersemangat. Mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas. Aku langsung pura-pura menutup hidung. “Gak bau kali Ciii.” 

Aku dan Raras tertawa. Idan sedang dinas ke Semarang dan Raras mengundang aku dan Ratna menginap di rumahnya. 

“Tapi makan dulu dimana gitu ya. Soalnya gue belum masak. Besok aja kita masak-masakan.” 

“Gue lagi pengen Bakmi GM,” Ratna mendecakkan lidah. 

“Gue lagi pengen mi ayam depan kantor,” aku nyeletuk iseng. 

“Beda ya seleranya,” komentar Raras. 

“Auk tuh. Ketauan banget kan Oci demennya babang depan kantor,” 

Aku tertawa lebar. Sudah mulai melupakan Alan. Mulai. Dikit. Karena orang itu terus kupikirkan sampai kepala nyut-nyutan. Tapi aku gak bilang Raras ataupun yang lain. 

“Lo yang namanya Rosita?” 

Seseorang sudah berdiri berkacak pinggang di depan kami. Berkacak pinggang. Aura panasnya menguar sampai rasanya aku ingin minum air es. Dia memandangiku. Raras dan Ratna langsung maju sedikit. 

“Gue,” aku mengangkat tangan. Polos macam anak SD ditanya siapa yang bisa jawab soal di papan tulis. 

“Brengsek lo,” tanpa aba-aba, dia sudah menamparku. 

Sakiiiiittttttt!!!!! Rasanya aku ingin berteriak tapi kutahan. Aku tahu siapa dia dan kenapa dia bersikap begitu. 

“Heh lo apa-apaan,” teriak Ratna, mendorong Devi. Devi, pacarnya Alan. 

“Ini cewe yang jadi selingkuhannya Alan? Bilang nginep di kantor taunya nginep di tempat cewe ini. Kesana kemari nemenin lo sampe lupa sama pacarnya yang asli. Lo pake pelet apa sih?! Tolong ya lo jauhin Alan! Jangan kira cuma ini yang bisa gue lakukan. Kalau lo macem-macem sama Alan, gue bisa lebih dari sekedar nampar lo!” 

Setelah puas memaki aku dan menjadikan kami bahan tontonan, Devi berbalik. Rambut indahnya bergoyang, ketukan stilettonya bergema. Pinggulnya bergerak bak model ternama. 

“Lo kok gak bales sih Ci?” Tanya Ratna berapi-api. 

“Lo gak apa-apa Ci?” Raras menghampiriku dan melihat pipi yang kali ini memerah karena tamparan. 

“Karena gue yang salah Na. Gue yang memang sudah jatuh cinta sama Alan yang ternyata punya pacar. Kalau gue ada di posisi Devi gue juga pasti melakukan hal yang sama dan gue juga bakal ngamuk kalau selingkuan pacar gue malah ngebales. Eh, gue bukan selingkuhan deng. Gue bukan siapa-siapanya Alan,” 

Lalu aku menangis. Berjongkok dan sesenggukan. Raras dan Ratna buru-buru ikut berjongkok dan memeluk aku. 

“Sshhh,” Raras mengelus pundakku. 

“Kita balik sekarang aja yuk,” ajak Ratna. Langsung kami setujui. 

*** 

Semuanya seakan kembali ke titik awal. Alan dan aku tak lagi berkomunikasi seintens sebelumnya. Hanya beberapa kali karena urusan pekerjaan. Tak ada hubungan apa-apa harusnya jadi lebih mudah bagi dua orang untuk saling melupakan. Nyatanya tidak. Aku masih merindukan Alan dan berharap dia akan ada lagi saat aku bangun, menggenggam jemariku dan memberikan kehangatan. Aku juga masih merindukan dia yang tersenyum lebar saat menungguku keluar dari kost. Aku juga masih merindukan leluconnya yang kadang tidak lucu tapi selalu membuatku tertawa. 

“Long weekend kemana Ci?” Raras mencolek lenganku, membangunkanku dari lamunan. 

“Belum tau Ras. Palingan mampir ke rumah paman,” 

“Ikut gue yuk,” 

“Kemana?” 

“Ke rumah gue di Bandung sambil beli perlengkapan bayi,” 

“Perlengkap… Oh Raras jangan bilang?!” 

Raras berseri, mengangguk. Aku langsung ikut histeris. 

“Selamat Raaaaas! Berapa bulan?!” Aku beegantian memandang perut Raras yang masih rata dan wajah Raras yang berseri. 

“20 minggu. Gue gak sadar bahkan. Cuma waktu Idan nanya kok gue gak butuh pembalut, baru gue cek pake testpack ternyat positif. Pas ke dokter, udah 20 minggu,” 

“Tapi belum keliatan ya. Kayaknya lo harus lebih banyak makan deh Ras,” 

“Iya Ci. Rencananya gue mau banyak makan ntar pas liburan,” 

Sepulang dari kantor, aku masih berseri-seri. Ikut senang akan berita kehamilan Raras. Aku masih belum mengiyakan ajakan Raras untuk ke Bandung bersamanya. Karena entah kenapa aku memilih untuk berada di Jakarta saja. 

“Lo ngapain?” Aku tertegun melihat orang yang kuhindari selama berbulan-bulan sedang berjongkok di depan kamarku sambil memeluk tubuhnya. 

“Nunggu lo Ci. Masuk dong. Dingin banget disini,” 

Nadanya itu lho. Seakan-akan tidak ada gencatan senjata antara kami. Dia berdiri begitu melihat aku tiba. 

“Nggak! Lo mau ngapain disini?” 

“Gue mau minta maaf. Atas kelakuan Devi, kelakuan gue. Kami bersikap semena-mena terhadap lo,” 

Aku mendengus. 

“Gue putus sama Devi. Udah lama. Putusnya bukan karena lo kok Ci. Karena memang orang tuanya gak suka sama gue.” 

Aku tak menanggapi. Masih diam dan memandang Alan. 

“Dan gue lega. Karena ini memudahkan gue untuk putus dengan Devi. Walaupun dia sedikit sulit menerimanya.”

“Lo pengen putus sama dia kenapa? Karena nemu cewe lain? Gue? Saat ada cewe yang lebih baik lagi lo akan ninggalin gue kan?” 

Alan menggeleng. 

“Gue selalu mencari pasangan yang membuat gue merasa di rumah, Ci. Merasa nyaman, aman. Gue butuh rumah dimana gue bisa menyandarkn hidup gue tanpa takut bahaya. Dan gue merasakan itu saat bersama lo. Gak banyak yang gue minta Ci. Cuma lo di samping gue. Selamanya,” 

Aku termangu. Tak ada kata yang terucap dari mulutku untuk menanggapi pengakuan Alan. Tangan kiriku malah refleks memainkan gelang pemberian Alan yang sekarang terpasang di tangan kananku. 

“Lo pake gelangnya ya Ci? Lo suka?” Alan menarik tanganku, menyentuh gelangnya dan tersenyum menghadapku. 

“Suka,” bisikku. Kuberanikan diri memandang sang pemberi. “Ke yang ngasihnya juga suka. Banget,” 

Wajah Alan langsung berseri-seri. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan gelang lainnya. 

“Orang lain melamar pakai cincin. Tapi gue pake gelang. Ini gelang Janice Girardi yang adek gue pilihin dari webnya Zalora. Dia bilang cocok banget buat lo waktu liat foto kita di nikahan Raras,” 


Alan memasangkan gelang itu bersisian dengan gelang yang sudah kupakai. 

“Anggap gelang ini yang memborgol tangan kita supaya kita gak jatuh cinta ke orang lain ya Ci,” Alan nyengir. Aku ikut tertawa. “Karena pertama jatuh cinta pun melalui jemari ini Ci.”

“Bahasa lo ya,” kucubit pipinya. Gelang di tanganku bergemerincing merdu. 

“Udah mau nyusulin Raras Idan jadi suami istri kok manggilnya masih gue lo?” 

“Maunya apa?” godaku, mendekatkan diri ke Alan sampai dia benar-benar bersandar ke pintu kamarku yang masih tertutup. 

“Hmm, untuk permulaan Sayang boleh Ci,” 

“Terima kasih ya Sayang. Untuk semuanya. Kita keren bareng-bareng ya,” 

Kulingkarkan lenganku di leher Alan dan kutenggelamkan ciumanku di bibirnya. Yeah akhirnya aku tidak lagi jadi satu-satunya jomblo diantara Raras dan Ratna. Tapi yang buatku bahagia bukan itu. Melainkan bahwa ada orang yang menganggap aku adalah tempatnya kembali. Bahwa dia nyaman ada di dekatku. Dan itu luar biasa berharga buatku. 

Rasanya aku tahu akan kemana long weekend ini. 

-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?