Tak Butuh Cinta

Orang bilang mereka tak percaya cinta. Aku pun. Tepatnya, aku lelah menghadapi cinta. Saat ini tak terbersit sedikit pun dalam otakku untuk membahas perihal tersebut. Sesuatu yang bagi banyak orang adalah hal mulia dan tak jarang mereka gembar-gemborkan kepada semua yang mau dan tak mau mendengarkan.

Aku lelah. Apa yang kata mereka cinta, bagiku sesuatu yang mengantar pada patah hati, sakit hati, pengharapan. Berakhir sia-sia. Hingga kupikir cukuplah. Dulu. Ku yakin ada saatnya aku berlari lagi bersama dia yang bernama cinta. Entah kapan. Entah untuk siapa.

Dia yang terakhir kuberikan cinta, begitu saja menghanyutkan perasaan yang kujaga dan kusimpan hanya untuknya. Abaikan dan lupakan hingga tak ada yang tersisa yang membuat hubungan kami bisa bertahan. Kupikir ini bukan salahku, bukan pula salahnya. Jika boleh menyalahkan, akan kusalahkan orang lain. Mereka yang begitu rajin memperingatkan kami untuk berpisah. Katanya dia tak cocok untukku, belum punya penghasilan sendiri, beda denganku yang sudah bekerja. Kata yang lain, sepertinya aku terlalu berisik untuk dia yang begitu kalem. Lalu itu lama kelamaan mempengaruhi kami, menggerogoti kami hingga kami berdua jemu, pusing memikirkan pendapat orang lain, kesal akan perasaan masing-masing.

Tak butuh waktu lama melepaskan diri darinya. Dimana kurasa waktu dia melupakanku pun lebih singkat. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, teman, dan keluarga. Dia menyibukkan diri dengan penghasilannya. Seperti ingin membuktikan diri bahwa dia pun bisa mapan. Aku tak mau menjadi lebih kalem hanya untuk pembuktian. Lagipula tak ada pula yang ingin kukembalikan dari sesuatu yang telah lalu.

Aku diingatkan untuk cari pasangan. Mengingat usiaku yang sudah seperempat abad. Mengingat teman-temanku yang sudah mulai mengarungi bahtera rumah tangga. Aku tersenyum. Bilang bahwa aku mau. Namun entah kapan. Kurasa sekarang belum saatnya aku mendengarkan orang lain lagi. Aku dengarkan keinginanku dulu.

***

"Mau makan siang dimana?" Emi menghampiri mejaku dan duduk di kursi baso yang tak bertuan. Diduduki entah siapa saja yang berkunjung kepadaku, Yura, Donni, atau Ciko.

"Lo mau kemana?" aku balik bertanya. Menghentikan sejenak tugas membuat laporan.

Emi mengetukkan jari ke dagunya, berpikir. "Setiabudhi One aja yuk!"

Aku mengerutkan kening. "Boleh aja. Tapi berarti kita harus cabut jam setengah 12 dan kalau bisa balik ke kantor jam 1. Soalnya gw perlu nyelesein laporan dan jam setengah 2 Pak Yusron ada meeting."

"Sibuk amat Mbak SekDir ini," Emi mencubit pipiku. "Ya udah berarti kita cabut setengah jam lagi ya."

Aku dan Emi sama-sama mengecek arloji. Pukul 11.

"Oke, ketemu di lobby aja ya," usulku.

Emi mengangguk lalu berjalan kembali ke kubikelnya, bagian Finance, yang satu lantai dengan ruangan para Direktur, dimana salah satunya adalah atasanku. Emi is more than just a colleague. She's one of my best friend in college and its her that recommend me to work in here as a Director Secretary eventho I was a psychology graduates.

Pukul setengah 12 aku sudah menanti lift menuju lobby. Emi berdiri di sampingku, menelepon Tizar sang calon suami. Cincin pertunangan berkilat di jari manis tangan kirinya. Aku tersenyum dan ikut bersemangat menghadapi pernikahan Emi.

Kukira hanya ada aku dan Emi yang akan berangkat menuju Setiabudhi One. Sehingga aku sudah bersiap memesan taksi dengan kode voucher untuk mendapatkan diskon. Ternyata saat kami sampai di lobby, sudah ada Iman yang melambai memanggil Emi.

Iman adalah teman kami di Divisi Corporate Communication, di sampingnya berdiri David, teman satu divisi Iman. Aku hanya tahu sedikit tentang David, salah satunya adalah bahwa dia lulusan Komunikasi di Belanda. Aku mengangguk kepada David dan dia balas tersenyum. Emi juga ikut mengangguk lalu bersama-sama, kami berjalan.

"Lho, kemana?" tanyaku saat mereka bertiga malah berbelok ke basement dan bukan ke pintu keluar.

"Ke basement," jawab Emi polos, tangannya mengarah ke basement.

"Kita pake mobilnya David, La," Iman menambahkan. David mengangguk.

"Oh, oke," aku pun mengikuti mereka dan melangkah menuju basement. Berjalan di samping Emi sementara kedua pria berjalan di depan dan mengobrol.

Emi menyenggol tanganku, kulirik anak iseng di sampingku, yang ternyata sudah nyengir lebar. "Apa?"

"Disupirin one of the most eligible bachelor di kantor kita lho," bisik Emi, melirik ke depan.

"Terus?" aku melirik David, tahu yang dimaksud Emi jelas bukan Iman. seganteng dan sepintar apapun Iman, kami menolak memasukkan Iman ke kategori most eligible bachelor, mengingat kelakukannya yang suka seenaknya. Perempuan yang ngefans padanya hanya tidak tahu kalau dia suka ngorok saat tidur. Kalau mereka tahu, kujamin IFC berkurang 7/8.

Emi mengangkat kedua alisnya yang tercukur dan tergambar rapi. Kurasakan alisku sendiri yang tidak pernah dicukur dan digambar. "Ya embat lah, babe,"

"Jeroan kali embat," sahutku asal.

"Itu babat!" Emi menggeram dan terkikik, suaranya jadi terdengar aneh. "Gue denger David lagi jomblo."

"Hmm, informasi menarik kalau lo jual ke DFC,"

"Ih, gak usah ya. Mending gue bantu lo daripada bantu DFC yang bibirnya merah dan alisnya sok tebel kayak Sinchan itu," Emi manyun.

"Lah kayak bibir lo ga merah dan alis lo ga kayak Sinchan aja," sahutku bingung.

"Beda dong, gue kan bukan DFC. Gue sih TW," Emi tersipu-sipu

"Apa tuh TW?"

"Tizar's Wife," jawab Emi lalu terkikik. Aku memutar bola mata. Tizar adalah tunangan Emi.

"Selamat ya," kataku dingin, lalu bergerak membuka pintu belakang Civic David, meninggalkan Emi yang masih tersipu-sipu.

***

"Halo selamat siang dengan Laura ada yang bisa dibantu?" template wajib untuk setiap telepon yang masuk ke line teleponku.

"Ya, La. Ini David,"

"Kenapa Vid? Ada yang bisa dibantu?" Mengetahui bahwa yang menelepon adalah orang yang kukenal, aku jadi lebih rileks. Kukepit gagang telepon dengan sebelah tangan, tangan lainnya sibuk mengetik Minutes of Meeting untuk Pak Yusron.

"Gue mau tanya jadwal Pak Yusron buat minggu depan,"

"Bentar," aku membuka Microsoft Outlook dan mengecek jadwal Pak Yusron. "Hari apa?"

"Selasa dan Kamis, rencananya. Selasa untuk ikut Media Gathering dan Kamis untuk kunjungan ke daerah yang mau kita pake untuk pilot project produk baru,"

"Selasa Pak Yusron ada meeting sama BoD lainnya, dari jam 9 sampe jam 12. Acara lo jam berapa?"

"Sebenernya sih jam 10 terus lanjut makan siang bareng,"

"Hmm, kalau gitu kayaknya gak bisa deh. Gue usul diganti Pak Indra aja gimana?" Kusebutkan nama Deputy Director bagian Finance sebagai ganti Pak Yusron.

"Bisa juga, nanti gue coba hubungi sekretaris beliau. Yang hari Kamis gimana La?"

"Hari Kamis Pak Yusron ga ada agenda apa-apa. Jadi bisa aja kayaknya,"

"Oke La. Hari Kamis jam 13.00 sampe sore ya,"

"Selama itu, Vid?" tanyaku sambil mengetik aktivitas baru di jadwal Pak Yusron.

"Iya. Soalnya projectnya di Depok, Sawangan. Jauh dan macet,"

"Gue bilang dulu sama Pak Yusron ya. Nanti gue kabari lagi,"

"Sip. Thank you, La."

"You're welcome, David,"

Sambungan telepon ditutup. aku kembali mengetik MoM saat kusadari ada seseorang yang menatapku. 

"Kenapa Ra?"

Yura menatapku dan telepon bergantian. Tangan kanannya diangkat, dia melipat ketiga jari di tengah dan menempelkan ke telinga. "David ya?"

Otakku berputar. Bibir merah dan alis ala SInchan. Ah ya rupanya Yura juga DFC. "Iya. Nanyain jadwal Pak Yusron, gak lebih." Kualihkan perhatian kembali ke laptop, menghindari Yura yang sepertinya ingin bertanya lebih jauh.

***

Jadwal Pak Yusron sedang gila-gilaan. sebagai Direktur Finance, menjelang akhir tahun beliau pasti juga sibuk mengurusi berbagai urusan keuangan. Akibatnya, aku sebagai Sekretarisnya juga ikut sibuk mengurusi jadwal dan tetek bengek lainnya yang terkait dengan Pak Yusron. nasibku cukup mirip dengan Ciko, sang Sekretaris Pak Presdir. namun cukup bertolak belakang dengan Yura dan Donni, Yura sekretaris Direktur SDM dan Sales, Donni sekretaris Direktur IT dan Wakil Presdir.
Malam ini aku diminta Pak Yusron menyediakan data Organization Expense dari seluruh divisi di kantorku. cukup mumet karena aku harus menghubungi Divisi Accounting dan Finance lalu sedikit banyak membantu mereka jika ada kekurangan. beruntunglah aku bahwa Pak Yusron adalah Direktur yang baik hati. daripada 'terkurung' di ruangannya untuk lembur, dia lebih memilih untuk membawa laptopnya dan duduk di kubikel Finance dan Accounting. Begitu pula aku, mengangkut laptopku dan duduk di meja yang kosong, di sebelah Pak Yusron. Meja kosong yang dibiarkan kosong karena orang-orang tahu Pak Yusron (dan aku) sering duduk di situ. Kali ini termasuk puncak lembur, minggu pertengahan di akhir November. Saat laporan keuangan dari seluruh aspek perusahaan diperhitungkan demi menentukan strategi perusahaan ke depan. Di depanku terserak berbagai cemilan yang khusus dibeli untuk lembur. Sementara di meja kami masing-masing terdapat satu kotak Bakmi GM, dibelikan oleh Pak Yusron sendiri.
"La, bisa tolong temui Bu Inge? Ada data yang masih belum saya terima dari dia. Dia sudah tahu apa yang saya maksud. Kamu tinggal follow up aja," Pak Yusron tiba-tiba menoleh ke arahku. "Mudah-mudahan jam segini beliau masih ada."

Aku melirik arlojiku. Pukul 8. "Siap Pak. saya ke bawah sekarang,"

Aku pun bergegas menuju lift dan menekan tombol lantai 15. Kuhampiri ruangan Bu Inge dan kulihat pintunya sudah tertutup.

"Cari Bu Inge, La?"

Kaget, aku memutar tubuh ke belakang. Menyentuh jantung yang berdegup kencang karena mendadak dipanggil.

"Vid," seruku. "Iya. Udah pulang?"

"Baru aja. Ada apa?" David dan beberapa rekannya masih berada di kantor. Nampaknya sedang lembur juga, karena sama seperti di lantai 18, di meja tersedia kotak makanan dan lengan kemeja David digulung hingga ke siku.

"Pak Yusron minta data ke Bu Inge. Gue gak tau data apaan, katanya Bu Inge udah ngerti,"

"Oh," David menepuk keningnya. "Sebentar."

David menghampiri mejanya dan menarik sebuah amplop coklat. Dia lalu kembali menghampiriku.

"Bu Inge nitip ini ke gue. Tadinya mau gue kasih tapi belum sempet. Untung lo ke sini," David mengulurkan amplop coklat itu ke arahku.

"Oke thanks, Vid," aku mengulurkan tangan, bermaksud mengambil amplop itu namun David malah menariknya kembali. Kupandangi dia, kebingungan.

"Lembur sampai jam berapa?"

Kuangkat bahuku disertai gelengan. "Sampai Pak Yusron capek aja kayaknya,"

"Masih banyak orang ya di atas?" David bertanya lagi, amplop coklatnya malah semakin dekat padanya.

"Masih, Vid. Eh lo mau ngasiin amplopnya gak? Biar gue cepet ke atas terus bisa cepet balik?"

"Ok," jawabnya lalu benar-benar mengulurkan amplop itu sampai berpindah ke tanganku.

"Thanks, Vid," kuucapkan terima kasih dan kusunggingkan senyum. Meskipun aku sedang lelah, tapi senyum itu mampu memberikan dorongan positif ke seluruh tubuh dan aku jadi lebih bugar lagi.

Begitu sampai di lantai 18, kuulurkan amplop coklat ke Pak Yusron. beliau memandangi amplop tersebut, mengetikkan berbagai hal di laptopnya, lalu tidak lama kemudian menutup laptop.

"Saya cukupkan dulu untuk hari ini. Kamu boleh pulang juga, La."

Aku mengangguk penuh syukur, ikut membereskan laptop. "Terima kasih Pak."

Pak Yusron berpamitan kepada timnya dan menuju ruangannya. seluruh tim menghela nafas lega karena itu artinya mereka juga sudah boleh pulang. Begitu pula aku, membereskan laptop, menyimpan laptop di salah satu lemari yang terkunci. Memberi isyarat pada Emi yang sudah menunggu kapan Pak Yusron pulang. Kami berdua turun ke lobby menggunakan lift, bersiap menaiki taksi yang sudah kami pesan. Saat kulihat David tiba-tiba berdiri saat melihatku.

"Lo belum pulang?" tanyaku lebih dulu.

David menggeleng. "Yuk,"

"He?" Aku melongo, David diam, Emi senyam-senyum. 5 detik kemudian aku baru sadar apa maksudnya. 
"Oh gue balik bareng Emi naik taksi."

"Gue balik sendirian. Udah biasa kok. Lo anter Laura sampe selamat ya Vid," Emi mendorongku mendekat kepada David.

"Eh eh," aku kewalahan, hampir saja menabrak David karena Emi begitu bersemangat mendorong. David meraih tanganku agar aku tidak jatuh menabraknya.

"Dah, babe," Emi langsung melambai dan meninggalkan kami berdua.

"Yuk," ajak David lagi. Mau tidak mau aku mengikutinya.

***

"Lo sengaja nungguin gue?" Tanyaku begitu aku sudah duduk manis dan mengenakan safety belt di mobil Civic milik David. 

"Bisa jadi," jawab David cuek. 

"Hah?" Mendengar responku, David melirik tapi tak berkata apa-apa. Dia mulai menjalankan mobilnya keluar basement. Malam sudah larut namun tak ada suara dari radio di antara kami. Jalanan masih ramai oleh orang-orang yang mungkin baru pulang kerja juga. 

"Lo abis lembur apa?" Kali ini giliran David yang bertanya. 

"Biasa, akhir tahun. Udah mulai siapin budget buat tahun depan. Ngitung-ngitung NPAT juga, bonus juga. Banyak deh. Lo?" Kuletakkan sikuku di jendela dan aku menoleh menghadap David. Sesekali ia memandangku saat aku bicara. Figurnya terlihat tegas dari samping. 

"Handling media. Ada komplain dari salah satu konsumen. Sebisa mungkin jangan sampai terdengar media." 

"Oh gitu. Seberapa sering ada kejadian kayak gitu?" 

"Gak sering. Jangan sampai jadi sering. Susah handle-nya. Apalagi kalau konsumen udah upload di medsos. Jadi sebisa mungkin kita jaga layanan ke konsumen dan jalin hubungan baik dengan media. Lo sendiri, sering lembur emang?"

"Bisa dibilang gitu. Kalau Pak Yusron lembur, pasti gue lembur juga. Rutinnya sih kalau akhir bulan dan akhir tahun." 

"Dan selalu pulang malem?" 

"Untungnya gue gak pulang pagi sih Vid," aku nyengir lebar. David ikut tersenyum. 

"Besok masih gini juga?" 

Sebelum menjawab pertanyaan David, aku melirik arlojiku yang juga menunjukkan tanggal. 

"Kurang lebih seminggu ke depan masih begini," David mengangguk. 

"Capek lembur terus?" 

Mendengar itu aku malah tertawa. "Capek lah Vid. Namanya juga manusia. Dibayar cuma dari jam 8-17 doang padahal. Tapi kerja sama Pak Yusron itu seru. Orangnya pinter, pake banget. Seru juga. Meski gue cuma sekretarisnya, dia ga canggung untuk ngajak gue dan timnya bercanda. Gak malu diajak selfie, asal jangan pas meeting aja. Dia juga sering ngajarin gue banyak hal. Dia bilang, 'jangan terbatas hanya karena kamu sekretaris. Kamu juga harus bisa ambil ilmu saya'. Pak Yusron juga sering cerita soal anak istrinya, yang bikin gue terharu dan pengen punya suami kayak gitu. Jadi, buat gue, Pak Yusron itu atasan ideal banget!" 

"Lo enjoy kerja disitu ya berarti?" 

"Betul. Banget. Lo gimana di Corcomm?"

"Betah. Seru, penuh tantangan. Cocok sama kuliah dan passion gue." 

Aku mengangguk bersemangat. Senang saat bertemu orang yang menikmati pekerjaannya. 

"Udah ada rencana mau resign?" Tanyaku iseng. 

"Belom. Ntar kalau ilmu gue udah banyak. Lagian gue juga belum setahun disini. Lo?"

Dan begitulah percakapan kami mengalir. Satu topik berganti topik lainnya. Bisa dibilang tak ada jeda atau dead air diantara kami. Kami juga tak perlu pura-pura mencari saluran radio untuk mencari topik, radionya saja tak dinyalakan. Kubimbing dia sedikit demi sedikit menuju rumahku di daerah Kalibata. Ketika sampai di depan rumah, aku ajak dia masuk tapi David menggeleng. 

"Udah kemaleman, La. Kapan-kapan aja," katanya sambil tersenyum. Menunjukkan lesung pipi seperti Afgan. 

"Siap. Makasih ya David. Maaf merepotkan," 

***

Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba nomor David sudah tersimpan di iPhone-ku. Rasanya aku tidak pernah meminta ataupun menyimpannya sendiri. Maka saat menghampiri meja setelah dari toilet, aku heran ada Missed Calls dari David. 

"David telepon tuh," sambar Yura tiba-tiba. Aku menoleh, Yura kelihatan sebal. Dia membereskan tas sambil manyun. 

"David yang lain kali. Bukan David Corcomm," kataku berusaha melunakkan perasaan Yura. 

"Mana ada orang lain namanya David Irchamsyah juga," Yura berkata sinis lalu beranjak pulang. Pukul 5 sore dan dia sudah bisa pulang. Sementara aku baru bersiap untuk lembur. 

Kulirik layar iPhone dan kusadari memang nama David Irchamsyah yang tadi menelepon namun tak kuangkat. Siapa yang menyimpan nomornya? 

Kuabaikan missed calls tersebut, kubawa laptop ke Divisi Finance, bersiap lembur bersama lagi. Pak Yusron belum datang. Yang lain pun masih beristirahat. 

"Emi!" Kuhampiri meja si centil ini, dia rupanya sedang menebalkan alisnya. 

"Apa babe?" Kata Emi tanpa melepaskan pandangan dari alis ulat bulunya. 

"Lo ya yang nyimpen nomer hape David di iPhone gue?" 

Mata Emi mendadak berbinar dan dia langsung fokus kepadaku. "Dia udah hubungi lo?" 

"Hhh," aku menghela nafas. "Ketebak banget sih lo."

"Udah ditelepon beluuuum?" Rajuk Emi. Dia menggerak-gerakkan tanganku. 

"Udah. Tapi ga gue angkat. Gue lagi di toilet!" Aku mendengus dan berdiri. Namun Emi ikut berdiri dan mencegahku berjalan. "Gue males ah Em. Ntar gue dimusuhin DFC." 

"Yee, urusan apa DFC ama lo. Cuekin aja kali. Yang penting tuh gimana David ke lo," Emi merangkulkan tangan di pundakku sementara kami berjalan menuju meja keduaku. 

"Doi ke gue cuma temen. Titik. Gak pake koma," bisik Emi bersemangat. 

"Apanya yang gak pake tomat, Emi? Menu malam ini?" Pak Yusron mendadak nimbrung di percakapan kami. Membuat Emi buru-buru menurunkan tangan dari pundakku dan kembali ke mejanya. 

"Bukan Pak," kataku geli. 

***

Lembur malam ini rupanya lebih gila dari kemarin. Pak Yusron tak bisa diganggu dari laptopnya. Para General Manager dan Manager pun asyik dengan data masing-masing. Data bagianku sendiri sudah selesai kuolah. Saat ini aku sedang duduk di samping Emi, membantu dia menyelesaikan laporan Man Power Cost. 

Bunyi ringtone iPhone mendadak memecahkan keheningan. Selama beberapa detik bunyi itu tak hilang. Semua orang termasuk Emi mulai mencari asal suara. 

"HP siapa sih berisik banget?!" Seru Emi jengkel. Aku diam saja. Tak merasa ditelepon. Maka aku masih asyik mengetik. 

"Laura, ini HP kamu yang bunyi nih. Telepon dari David," seru Pak Yusron dari ujung ruangan. 

"Waduh," aku buru-buru berdiri dan setengah berlari menghampiri Pak Yusron. Seisi ruangan langsung mengomel sekaligus me-cie-ciekan aku. Pak Yusron ini kadang bisa polos sekali ya. 

"Halo Vid," ujarku begitu aku berada di luar jangkauan dengar tim Finance. 

"Eh, hai. Lo udah tau nomer gue?" 

Kuabaikan pertanyaannya. "Ada apa Vid?" 

"Lo lembur lagi malam ini?" 

"Iya. Sampe jam 10 kayaknya," aku menambahkan waktu tanpa diminta. 

"Oke. Sampai ketemu," dan sambungan telepon pun diputus. Maksudnya?

Pukul setengah 10 malam aku baru tahu apa maksudnya. Saat tinggal hanya Pak Yusron yang masih on fire, sementara semua tim sudah terkapar, ada yang memijat kening, ada yang menguap, ada yang menelungkup di meja, ada yang menelepon, David datang dengan mengenakan kaos dan celana pendek. Plus sendal. Berbanding terbalik dengan kami semua disini yang tampak kucel dan lelah, David begitu segar dan wangi. 

Dia langsung menghampiriku begitu masuk ke ruangan. "Hai. Masih lembur?" 

"Ciye Lauraaaa. Udah dijemput tuuuh!" Seseorang entah siapa berteriak. Suaranya melintasi ruangan yang mulai sepi membuat bahkan Pak Yusron pun menoleh. Sekaligus seakan jadi aba-aba untuk mereka mulai mengejekku. 

Rasanya aku ingin mendorong David keluar dari ruangan ini dan meyakinkan yang lain bahwa tidak ada siapa-siapa yamg menghampiriku. 

"Lo ngapain sih kesini?" Desisku, menarik tangan David keluar. Ini malah membuat orang-orang semakin heboh. 

"Belom selese lemburnya?" tanya David mengabaikan keluhanku. 

"Duh lo tuh bikin gw dicengin tau. Males banget," giliranku mengabaikan pertanyaannya. aku berkacak pinggang, melirik sebal ke orang-orang di dalam sana. 

"Sorry," sepertinya dia sadar aku benar-benar marah. "Gue tunggu lo di basement aja. Jangan pulang sendiri." 

Berbaliklah ia. Masuk lift dan menghilang. Membuat aku bengong. 

Tampaknya kedatangan David jadi semacam aba-aba untuk pulang. Karena begitu aku masuk kembali, semua orang sedang membereskan barang-barangnya. Termasuk Pak Yusron. 

"Pulang aja, La. Udah pada ga fokus juga," kata Pak Yusron sambil tersenyum kelelahan. 

"Iya Pak," aku mengangguk lalu membereskan barang-barang. 

"David juga udah nungguin kan?" Lanjut Pak Yusron. 

Gubrak! Rasanya aku ingin jatuh terguling-guling. 

"Ha ha," aku tertawa garing. Pak Yusron ikut tertawa. Dia pamit pulang lebih dulu. Beberapa rekan lain pun sudah pulang. Aku turun ditemani Emi yang sepertinya paling bersemangat. 

"Ntar cerita ya lo sama dia ngapain aja," bisik Emi

"Ngapain aja? Palingan ngobrol doang," kataku cuek. Bahkan masih sempat-sempatnya aku menguap. 

"Yaaa kalau lebih juga boleh," lanjut Emi. Aku mengangkat alis. "Makan bareng gitu misalnya." 

"Ga tau deh Em. Gue ngantuk banget. Mungkin ntar gue cuekin aja si David," 

"Jangan lah. Kasian anak orang. Udah cakep gitu jemput lo." 

"Gue heran deh," liftnya terasa lama ya, baru sampai lantai 10. "Dia kok udah rapi aja?" 

"Ya kan dia ngekosnya emang daerah Karet. Jadi deket kantor," jawab Emi cepat. 

"Kosan ngesot bawa mobil? Sayang bensin amat," lantai 5. 

Emi mengangkat bahu. "Biar bisa deket sama lo kali say," 

"Say say. Kayak online shop lo Mi," Emi tertawa. Pintu lift terbuka di lobby. Emi keluar sementara aku masih di lift, menuju basement. 

"Oke babe. Take care ya," Emi melemparkan ciuman jarak jauh dan kubalas dengan lambaian. 

Aku keluar dari lift tidak semenit dari aku berpisah dengan Emi. Tak perlu waktu lama aku langsung menemukan mobil David. Dia sedang duduk di dalam sambil mengetik entah apa di hapenya. Begitu fokus sampai dia tidak sadar aku berdiri di samping mobilnya. 

"Tok tok," kuketuk pintu jendela bagian penumpang. Dia buru-buru menaruh HP dan membuka kunci. 

"Sori lama," ucapku begitu masuk dan duduk di dalam. 

"Gapapa. Gak lama kok. Langsung pulang apa mau mampir dulu?" 

"Langsung pulang aja Vid. Ngantuk banget gue," 

David menyanggupi. Ia pun langsung menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobil keluar dari basement. 

"Besok pulang malem lagi, La?" 

"Begitulah Viid. Emang melelahkan banget sih," aku mulai menguap lagi. 

"Kayaknya sekarang lagi capek banget ya?" 

"Iya. Kalau gue tiba-tiba tidur, gapapa ya?" 

David memandangku. Aku balas memandangnya dengan mata memelas dan ngantuk. "Iya gapapa." 

Kami masih mengobrol sampai beberapa saat sebelum aku benar-benar jatuh tertidur. Ketika aku membuka mata, mobil sudah masuk kompleks rumahku. 

"Eh udah sampe sini," 

"Lho udah bangun?" Sahut David. 

"Iya kalau udah deket tujuan biasanya gue suka tiba-tiba bangun," aku mulai membuka safety belt dan membereskan barang. 

"Tadinya gue ga akan bangunin lo. Ternyata lo nya udah bangun sendiri," 

"Hehe. Thanks lho Vid. Gue lanjut tidur di rumah aja. Ngomong-ngomong, rumah lo dimana?" 

"Gading, La," 

"Wah lumayan jauh ya. Makanya lo ngekos ya?" 

"Begitulah,"

"Enak banget kosannya deket. Balik ke kantor udah ganteng dan wangi gini," aku bicara tanpa kecenderungan apa-apa. Tapi kulihat wajah David berubah sedikit. 

"Iya daripada gue capek di jalan," 

"Tapi lo jadi malah harus nganter gue yang jauh gini," 

"Gak masalah. Daripada diem di kosan doang," David mengangkat bahu. Tepat saat mobilnya berhenti di depan rumahku. 

"Thanks berat Vid. Maaf banget ngerepotin. Sampai besok ya?" 

"Iya. Besok gue jemput lagi boleh?" 

Aku memiringkan kepala, menimbang. Ekspresi wajah David terlihat datar, sehari-hari dia memang begitu. 

"Boleh. Tapi tunggu di basement aja gimana? Gue..." aku diam sejenak. David menanti dengan harap-harap cemas. "Males dicengin anak-anak dan kepergok DFC." 

"DFC? Apa tuh?" David mengerutkan kening. 

"David Fans Club," kataku cuek. 

David malah tertawa lebar. "Ada yang begitu juga ya?" 

"Ada Viid. Lo emang gak tau? Belom terlalu die hard fans kali ya." 

David masih tertawa lebar. "Ga ada yang ngefans sama gue. Apalagi sampe die hard begitu." 

"Ada kok. Lo gak tau aja," aku keukeuh, David malah senyum-senyum. 

"Ya deh. Tapi daripada berdebat soal fans gue yang entah beneran ada atau gak, mending lo pulang, istirahat." 

"Siap Pak David," aku mengangkat jempol dan membuka pintu. Setelah aku turun, David melambai dan menjalankan mobilnya lagi. 

Sekitar 20 menit kemudian aku memberanikan diri menghubungi David, "kabari kalau udah sampai ya." 

Dibalas 15 menit kemudian dengan, "aku sudah sampai :)" 

Aku?

***

Emi mengajakku makan siang di hari Jumat ini. Aku mengiyakan saja. Toh aku selalu senang ada kesempatan keluar kantor. Sesekali, daripada menghabiskan waktu menghadapi situasi itu-itu saja. Kami biasanya memang keluar makan siang dengan beberapa teman Emi atau temanku di Divisi lain. Tidak dengan rekan sesama Sekretaris Direktur karena yang dua laki-laki dan Shalat Jumat, sementara Yura bisa dibilang beda geng denganku. Hari ini pun sama, aku dan Emi memilih Marugame Udon sebagai tempat makan siang kami, kali ini bersama Mala dan Tita, anak-anak Finance.

"Lo sama David udah sejauh apa, Lau?" Tita memulai pembicaraan setelah kami selesai memesan.

"Hah jauh apanya? Jaraknya?" kataku pura-pura polos.

"Ya elah, pura-pura ga tau lo," Emi menyenggol sikuku, wajahnya senyum-senyum menyebalkan. Aku jadi ingin mencubitnya keras-keras. "Udah dua kali dianter pulang kaaaan?"

Kata-kata Emi sontak membuat Tita dan Mala heboh mencie-ciekan diriku. Aku menggeleng saja.

"Ayo dong cerita, La," kali ini Mala yang mendesak.

"Gak ada apa-apa. Beneran. Cuma pernah ditemenin pulang aja," aku mengangkat tangan, seakan kalimatku adalah tanda aku mengaku dan menyerah.

"Terus abis dianter pulang, ngapain?" Tita masih saja kepo.

"Pamitan. Pulang ke rumah masing-masing. Udah, Ta. Ngapain lagi coba?"

Mala dan Tita tertawa, sementara Emi cuma merengut. "Gak rame banget kisah lo, La."

"Yee, lo maunya apaan?"

"Gak ada..." Emi diam sejenak lalu berbisik di telingaku. "..ciuman gitu?"

Kujitak kepala Emi keras-keras sampai sang pemilik mengaduh kesakitan. Membuat pengunjung lain menoleh.

"Sakit kaliiii," Emi cemberut sambil memegang kepalanya.

"Lo nanyanya aneh-aneh sih ah," Akhirnya kuputuskan saja untuk mengacuhkan ciwi-ciwi ini selama mereka masih membahas aku dan David.

Saat kami sedang menyantap makan siang, teleponku berdering. Ketiga temanku melirik penasaran. Aku buru-buru mengambil HP sebelum mereka bisa berkomentar. Tapi malah responku membuat mereka makin curiga.

"Lagi makan dimana?" tanya si penelepon, tanpa perlu merasa berkata halo.

"Marugame. Udah selese Jumatannya? Cepet banget," aku balas dengan berbisik.

"Udah. Jumatan deket GI kok. Tungguin ya,"

Ketika telepon disimpan kembali, Emi, Mala, dan Tita langsung menghujaniku dengan pertanyaan.

"David ya?"

"David mau kesini?"

"Ihiy dijemput Pangeran,"

"Berisik iiih," cuma itu responku lalu jadi semakin tertarik dengan udon. Mengabaikan mereka yang begitu ramai mengoceh. Sekitar 10 menit kemudian si topik utama muncul.

"Hai, David!" seru ketiga orang itu bersamaan.

"Hai. Udah pada selese makan ya?" tanya David begitu sampai di meja kami.

"Udah nih. Lo udah makan?" Emi yang menjawab. Aku cuma memperhatikan.

"Belum," jawab David. Tangannya mengelus perutnya yang...rata.

"Sini Vid, duduk." Emi berdiri dan memberi tempatnya untuk David, tepat di sebelahku. Namun David menggeleng.

"Gue mau makan di tempat lain aja," kata David pelan. Sepertinya sedikit merasa tidak enak karena menolak ajakan Emi.

"Oh jadi mau jemput Laura doang? Silakan silakan. Laura udah selese makan kok," Emi mencolek lenganku.

"Beneran udah?" David melirik ke arahku.

Aku mengangguk. "Kamu mau makan dimana?" tanyaku sambil berdiri.

Ketiga makhluk ceriwis tiba-tiba bersiul-siul.

"Sushi?" tanya David.

"Terserah," sahutku. Dia yang mau makan kan.

""Yuk. Duluan ya semuanya," David dan aku beranjak meninggalkan Marugame bersama-sama diiringi siulan para wanita berisik itu.

"Nanti malem lembur lagi?" tanya David saat kami sudah berada di tengah keramaian.

"Kayaknya enggak deh. Soalnya Pak Yusron ada acara keluarga. Tugasku juga udah beres sih,"

"Mau nonton gak? Kalo gak salah ada film bagus yang lagi tayang,"

Aku menimbang sejenak. "Boleh besok aja gak? Soalnya udah lama gak tidur cepet. Capek banget, Vid,"

"Oke. Gak masalah. Nanti kujemput ke rumahmu."

Aku mengangguk, menyanggupi ajakannya.

***

"Hello there, the angel from my nightmare..."

Suara itu mengalun menjadi musik latar belakang pertemuan kami setelah jeda hampir 6 bulan. Cocok sekali. Sang malaikat dari mimpi buruk sedang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. Dia masih sama tampannya. Masih sama tawanya. Hanya rasa percaya dirinya yang berbeda. Dan perasaannya padaku. Aku hanya ingin berbalik dan meninggalkan aula tempat reuni Senat Mahasiswa ini, menghindari dia semampu aku bisa. Namun langkahku tertahan, oleh para adik kelas yang sibuk menanyakan aktivitasku sekarang. Sehingga mau tak mau dia bisa menemukanku. Menemukan jiwaku yang hancur berkeping-keping karena dia.

"Halo, Laura," sapanya. Tersenyum lebar. Senyum yang selalu membuat aku jatuh cinta. Senyum yang mampu menarikku keluar dari kesedihan.

"Halo, Tian," balasku. Memandang sekilas wajahnya lalu segera memalingkan wajah. Berusaha mencari wajah yang kukenal agar bisa kuhampiri. Sialnya, tidak ada satupun yang kukenal dekat. Mereka semua datang terlambat.

"Datang sama siapa?" Dia bertanya. Apakah dia tidak sadar aku ingin pergi darinya? Tapi dia memang begitu, positif thinking.

"Sendiri. Hmm, aku harus..."

"Aku sudah punya pekerjaann," potong Tian. Perlahan, aku menoleh ke arahnya. Apa maksud dia berkata begitu?

"Selamat," kuputuskan itulah respon terbaik. Dia mengangguk.

"Aku ingin..."

"Aku harus pergi. Ada Edo dan istrinya baru tiba. Dah, Tian," tanpa memandangnya lagi, aku buru-buru berlari ke arah Edo dan istrinya, salah satu teman dekatku saat menjabat sebagai anggota Senat.

"Laura?" sapa Dea, istri Edo, saat aku sampai dengan wajah panik, pucat, tak karuan.

"Hai," sahutku terengah-engah. "Aku, balik duluan. Dah,"

Kutinggalkan aula. Kutinggalkan rasa dan memori masa lalu. Sudah seharusnya aku tak pernah datang ke aula ini. Karena ternyata ada dia. Ada yang mengingatkan ke masa lalu. Ada Tian yang membuat hatiku hancur.

***

"Kamu kenapa?" David bertanya untuk sekian kali, saat aku, dia, dan Emi keluar makan siang bersama.

"Gak apa-apa," sahutku untuk kesekian kalinya juga.

"Kamu diem terus dari tadi," lanjut David.

"Emang gak boleh aku diem terus dari tadi?" Akhirnya aku meledak marah. David kelihatan kaget, sementara Emi yang sudah biasa, hanya menggeleng. Aku belum menceritakan pertemuanku dengan Tian akhir pekan lalu tapi Emi sudah bisa menduga karena dia tahu aku menghadiri acara reuni tersebut. "Sorry Vid, sorry. Lagi capek banget."

Aku berdiri dan berlari kembali ke gedung kantorku. Mungkin setelah ini David akan berlari dan tidak mau bertemu denganku lagi. Biarlah, aku memang sedang butuh sendiri. Aku menyesal, aku kesal, aku kesal pada diriku sendiri.

Malam ini aku berpikir bahwa David akan membiarkanku pulang sendiri. Namun ternyata saat aku keluar lift, dia sedang berdiri menantiku di lobby. "Ayo,"

Aku berjalan pelan menghampirinya. "Gue, lagi kesel banget sama seseorang. Kalau pulang sama lo, gue takut malah lo yang kena sasaran gue. Jadi gue lebih memilih untuk pulang sendiri aja."

"Gak masalah, kalau itu bisa bantu meringankan beban kamu," sahut David.

"Nggak Vid. Gue yang gak mau. Biarkan gue pulang sendiri ya. Please,"

David akhirnya mengangguk. "Kabari aku kalau kamu sudah sampai rumah."

Aku membalas dengan senyum simpul. Tanpa berpamitan atau menunggu David beranjak, aku sudah berlari menuju stasiun kereta.

***

Aku rasa aku memang salah. Bukannya berusaha untuk lepas dari bayang-bayangnya, malah menyendiri sehingga ingatan tentang dia lebih sering muncul.

"Tian brengsek," umpatku begitu sampai di kamar. Kuhempaskan tas begitu saja di tempat tidur dan aku sendiri duduk di bingkai jendela, memandangi langit yang gelap tanpa bintang. Aku tidak menangis. Aku merasa tidak perlu menangis. Aku cuma kesal akan diriku sendiri yang tak pernah bisa bersikap biasa saat bertemu dia. Malah aku semacam sengaja mencari kesempatan bertemu dia. Hasilnya malah begini, aku uring-uringan sendiri. Kalau ditanya apakah aku mau kembali padanya, akan kujawab ya. Tapi aku tahu, dia tahu, semua orang tahu, itu tidak akan pernah terjadi.

Aku menghela nafas. Memutuskan untuk mencari susu demi melegakan dan menenangkan pikiran. iPhone ku berbunyi, sepertinya itu iMessage dari David. Kuabaikan dulu. Seperti halnya kuabaikan berbagai hal.

***

"Feeling better?" David sudah nangkring di mejaku pagi ini. Bahkan sebelum aku sempat mencatok rambut.

"Not really," kupaksakan senyum sedikit. Memang membuat perasaanku lebih baik tapi sisanya sama saja.

"Mau pergi ke suatu tempat yang menarik? Supaya bisa teriak-teriak," usul David. Dia duduk di kursi baso sementara aku mulai mengeluarkan catokan dari laci.

"Hmm, bisa. Kapan ya tapi?"!

"Pekan ini boleh,"

"Oke," aku menyanggupi.

"Hei pagi-pagi udah mesra aja," Pak Yusron mendadak muncul menghampiri kami. Entah darimana.

"Eh Pak," gumam David sambil cengengesan. Dia berdiri lalu pamit kembali ke tempatnya.

"Udah jadian, La?" Pak Yusron mulai keluar keponya.

"Nggak Paak. Cuma temen," sambil tertawa aku menjelaskan, lupa sebentar dengan catokan.

"Sayang lho kalau cuma dijadiin temen," Pak Yusron nyengir.

Aku tertawa. "Siapalah saya Pak kalau buat David yang terkenal itu."

Pak Yusron mengangkat bahu. "Kamu sekretaris saya. Kamu rekan kerja paling cekatan. Kamu teman yang baik juga. Kalau belum punya istri, mungkin saya PDKT-in kamu juga, La. Untungnya saya udah punya istri gak kalah sama kamu. Jadi, David pasti beruntung kalau dapetin kamu."

Pak Yusron bicara begitu serius. Malah membuat aku tertawa makin lebar.

"Makasih lho Pak udah memuji setinggi langit," ucapku sambil menatap langit-langit.

"You deserve it, Non. Yuk ah semangat. Weekend sebentar lagi," Pak Yusron mengangkat jempol dan masuk ke ruangannya. Meskipun hari ini masih hari Selasa dan 4 hari menuju Sabtu, Pak Yusron menganggap akhir pekan sudah dekat. Biar semangat kerja katanya. Aku sungguh bersyukur bisa bekerja dengan dia.

***

Rupanya DFC mulai memutuskan untuk bergerak. Aku jengah sendiri karena masih ada hal semacam ini di dunia perkantoran. Helloooow, mending urusin kerjaan deh. Biar penilaian kinerja bagus dan cepet naik jabatan.

Bermula dari saat salah seorang anak Produksi yang cantik luar biasa tinggi semampai datang ke mejaku. Dia bertujuan mencari Pak Sandi, CEO kami yang berarti dia sebenarnya mencari Ciko. Tapi Ciko dan lainnya sedang meeting sehingga hanya ada aku Sekretaris yang stand by. Entah memang sifatnya begitu atau karena kepadaku saja, dia bicara begitu ketus.

"Ciko mana?"

Aku mendongak. "Meeting Mba," sahutku berusaha tetap sopan.

"Udah lama?" Tanyanya lagi. Masih ketus. Aku yang masih jengkel karena pertemuan dengan Tian, mulai terbakar.

"Udah dari jam 9. Gak tau sampai jam berapa,"

"Hmm," dia mendecakkan bibir lalu memandang ke meja Ciko yang kosong. "Ntar gue kesini lagi deh."

Aku diam saja. Mengangguk sedikit. Berharap dia akan pergi sehingga aku bisa melanjutkan pekerjaanku.

"Lo ya yang deket sama David akhir-akhir ini?" Aku melongo. Where the hell this topic suddenly comes up? "Gak ada apa-apanya."

Dia pun melangkah pergi.

"Hah? Iih. Rese amat," seruku begitu ia tak kelihatan lagi.

Itu satu. Kedua, saat aku akan makan siang dengan Emi, Tita, Mala, dan Fania di Semanggi. Kami sedang berjalan di lobby untuk mencegat taksi ketika di lobby yang sama ada geng beralis tebal dan berbibir merah. DFC. Refleks aku menyentuh rambutku. Bukan aku merasa tersaingi, tapi aku hanya tidak mau mereka menemukan hal yang bisa mereka ejek. Terlepas dari mereka membenciku karena David atau tidak.

"Fania," panggil salah satu dari mereka.

Fania melambai. Dia salah satu anak Accounting yang manis. Baik hati, mudah tersenyum, mungil. Tipe wanita yang ingin dilindungi pria. Kurasa, Fania pun cukup dekat dengan DFC.

"Mau kemana?" tanya dia lagi. Kuperhatikan, alisnya menukik di bagian ujung.

"Plangi," jawab Fania lembut.

"Gaji Sekdir cuma cukup makan di Plangi ya?" Mereka pun tertawa sambil memandangiku. Aku bertukar pandang dengan Emi. Fania yang disapa kenapa aku yang jadi sasaran?

"Bomat ah," aku berbisik pada Emi lalu langsung berjalan keluar. Mencari taksi secepat mungkin.

Ketiga. Semua terjadi di pekan yang sama. Sehingga aku benar-benar menantikan Sabtu, dimana aku bisa puas berteriak-teriak. Aku dan Pak Yusron ada meeting di lantai 17. Dimana lantai ini merupakan 'sarang' sebagian besar DFC yang rata-rata anak Produksi, Marketing, Humas. Pokoknya semua Divisi yang mengutamakan penampilan ada disini. Akibatnya mereka lebih yakin bisa mendapatkan David yang memang ganteng dan badannya pelukable (ini bahasa Emi, ngutip dari para DFC), karena menurut mereka, mereka cantik.

Aku keluar dari ruang meeting karena ingin ke toilet. Toilet kantorku memang cantik dan luas. Sehingga cukup nyaman dipakai gosip. Ketika kubuka pintu toilet, semerbak asap rokok langsung menyambut. Tidak hanya itu, diiringi pula tatapan sinis dari 3 orang wanita full make up. Aku sudah hampir mundur teratur sebelum salah seorang dari mereka memanggilku.

"Hai Mba Laura," katanya.

Aku tidak kenal siapa mereka, jadi hanya kubalas dengan mengangguk.

"Sini Mba, masuk aja. Toiletnya kosong kok."

Pelan-pelan aku masuk ke salah satu bilik yang kosong. Khawatir tiba-tiba ada yang melemparkan abu rokok atau mengunciku di dalam. Tapi tidak. Aku kebanyakan nonton film sepertinya.

Kubuka pintu bilik dan para harimau betina itu menatapku balik. Merasa tidak ada yang perlu diucapkan, aku menghampiri wastafel.

"Udah jadian sama David, Mba?"

Aku mendongak, memandang salah satu dari mereka melalui cermin.

"Nggak," jawabku.

"Heran deh. Kenapa David bisa milih lo ya," kali ini yang tadi merokok dekat cermin yang bicara. Dia memainkan rokoknya sambil mendekatiku. "Rambut, lepek. Bibir, tipis. Dada, palingan juga B kan?"

Sialan. B juga lumayan kali, pikirku. Tapi yang bicara memang lebih segalanya dariku sih.

"Alis, berantakan. Idung, ga mancung-mancung amat. Mata, softlens 80rebuan ya?"

Hadeh. Ini anak cari masalah deh.

"Intinya, kenapa David mau sama lo?"

"Lo tanya aja sama Davidnya sendiri," kataku ketus lalu berbalik dan meninggalkan mereka.

Saat aku kembali memasuki ruang meeting, baru kusadari bajuku bau rokok karena Pak Yusron langsung mengernyitkan kening.

"Tadi ada yang ngerokok di toilet Pak," kujawab pertanyaan nonverbal Pak Yusron.

Sialan.

***

David menjemputku di rumah pukul 8 pagi. Entah siapa yang lebih bersemangat menuju Dufan. Aku baru selesai mandi saat dia tiba. Akibatnya aku buru-buru berpakaian, berdandan sedikit, dan memasukkan barang seadanya ke tas kecil. Ketika aku menemuinya di ruang tamu, aku lihat dia sedang mengobrol dengan kakakku sambil menggendong Haniva, keponakanku yang baru 2 bulan.

"Cocok, Vid." Komentarku. Dia mendongak dan tersenyum.

"Iya udah pengen," jawab David. Kembali menimang Haniva, tatapannya lembut.

"Bikin lah. Nikah dulu tapi," kakakku melirik kami bergantian. Aku paham maksud dia jadi aku hanya diam saja. Mendekat untuk mengajak Haniva main. Dia sedang memainkan tangannya dan David mengajaknya 'mengobrol'.

"Mau berangkat sekarang?" Tanyaku pada si anak Corcomm ini.

"Bentar deh, masih pengen gendong Haniva," jawab David tanpa mengalihkan pandangannya dari bayi itu.

"Sarapan dulu aja sekalian," kakakku nyamber. Aku mengiyakan lalu berjalan menuju meja makan. David mengikuti di belakangku, masih sambil menggendong Haniva. Di dalam, dia bertemu ayahku yang baru selesai berkebun.

"Pacar baru Laura?" Tanya ayah langsung ke David. Ayah memang suka ceplas ceplos orangnya. Nurun ke kakakku. Sedangkan aku lebih banyak diam, dari ibuku.

David bengong tapi dia langsung cengengesan.

"Bukan. Temen," aku yang menjawab duluan. David terlihat kecewa tapi dia mengangguk dan tetap tersenyum. Dia mengalihkan Haniva kembali ke pangkuan ibunya dan duduk di sampingku.

"Sarapan Om," ajak David. Ini siapa yang tamu siapa yang tuan rumah?

"Iya ya. Yuk mari. Sarapannya agak berat gapapa ya," ayahku ikut duduk. Sayur asam, tempe, tahu, sambel, sudah terhidang di meja. "Buuu, sini makan."

Tibalah ibuku di keramaian. Senyum tersungging di wajahnya melihat David. Ibu tahu tentang Tian jadi kupikir saat melihat David, ibu merasa anaknya sudah menemukan pria baru. Hhh.

"David," tamuku mengulurkan tangan dan menjabat kedua orang tuaku.

"Ayo ayo makan. Sederhana aja gak apa-apa ya,"

Dimulailah sarapan pagi ini. Keluargaku nampak menyukai David yang tidak banyak bicara tapi memiliki imej baik di mata mereka. Sehingga saat kami berangkat, mereka semua berpesan agar David lebih sering mampir. Kupikir, dia sebenarnya lebih sering mampir. Cuma berhenti di luar aja.

Aku tidak bercerita kepada David soal kelakuan para DFC. Buat apa? Toh tidak menyakiti aku juga. Hanya membuat kesal saja. Jadilah aku melampiaskan melalui wahana-wahana ekstrim. Semua kunaiki. David senang-senang saja. Dia juga suka. Sepanjang hari kami bermain, aku bersyukur karena David tidak berusaha menggenggam tanganku atau melakukan hal cheesy lainnya.

"Puas?" Tanya David saat kami melangkah keluar dari Dufan.

"Banget! Thanks Vid. Thanks karena udah ngusulin teriak-teriak di tempat seru ini," aku mengangkat kedua jempolku dan nyengir lebar.

"Aku lapar. Makan yuk," ajak David.

"Boleh. Makan dimana?"

"Di tempat istimewa. Kamu gak akan kecewa. Ikut aja ya,"

"Okeee," aku mengikuti David dengan sedikit curiga tapi aku percaya saja.

Rupanya kami keluar dari daerah Ancol menyusuri jalanan yang ramai oleh pasangan atau keluarga yang ingin malam Mingguan. Kami banyak mengobrol sepanjang jalan sehingga aku tak sempat bertanya kemana kami akan pergi. Ketika mobil berhenti, kusadari bahwa kami sudah sampai di rumah besar yang berhalaman begitu asri.

"Gantian. Aku yang ngajak kamu makan di rumahku." David tersenyum lebar. Aku melongo memandang rumahnya.

"Rumah kamu bagus banget," seruku jujur.

"Rumah bokap. Tapi iya, memang bagus. Yuk,"

Kami turun dari mobil dan David mendorong pintu sampai terbuka. Tidak ada siapa-siapa di ruang depan. Hanya terdengar sayup-sayup suara TV.

"Eh Bang," seorang pria muncul menghampiri kami. Sepertinya usianya masih awal 20an.

"Ibra, ini Laura. Laura, ini Ibra, adikku. Masih kuliah semester 3,"

Aku dan Ibra saling menjabat tangan dan tersenyum. Memang mirip sekali dengan David.

"Mama Papa mana Ib?"

"Mama lagi nonton. Papa masih bimbingan sama mahasiswanya di atas," Ibra menjawab sambil berjalan masuk ke bagian dalam rumah. David mengajakku masuk juga, aku mengikutinya. "Tumben Bang,"

Ibra menatap David dengan pandangan penuh arti. Namun aku tidak tahu apa artinya, yang jelas tatapan David mendadak gelap dan Ibra langsung mengangkat bahu lalu pergi. David mengajakku bertemu ibunya.

"Ma, kenalkan, ini Laura,"

Kutatap ibu David ini dan aku bengong sendiri. Mamanya masih muda sekali, seperti Donna Harun. rambutnya panjang dan halus, berwarna hitam. Aku terpukau. Pantas saja anaknya High quality begini.

"Halo Tante, saya Laura,"

"Halo Laura, Tante sering denger cerita tentang kamu dari David. Ternyata lebih cantik aslinya," Mama David menjabat tanganku lalu mencium pipi kiri dan kanan.

"Ah Tante bisa aja," classic line, ketika kamu bingung mau bilang apa lagi.

"David laper Ma, makan yuk,"

"Yah kamu pulang kalau ada maunya aja," Mama David mencubit pipi anaknya dan yang dicubit cengar-cengir. Mamanya lalu berbalik memandangku. "David ini jarang pulang ke rumah, sekalinya pulang, minta makan, numpang tidur, eh terakhir kemarin pulang minta nikah."

Aku melirik David yang langsung mengerang, malu ketahuan kelakuannya.

"Sekarang pulang lagi bawa cewe cantik," mama David pun bersiul, membuat aku tertawa.

Kami sampai di meja makan. Sudah ada Ibra yang sedang main game di iPad. Aku diminta duduk di sebelah David. Tidak lama kemudian muncul seorang Bapak dengan laki-laki yang beransel. Laki-laki itu pamit dan sang Bapak berbalik menghadap kami. Kulihat, dia mirip dengan Ibra. Wajahnya lebih ceria, berbeda dengan David yang teduh dan kalem.

"Wah ada siapa nih?" katanya lalu menghampiri meja. Aku berdiri dan menyalami tangannya.

"Laura, Om,"

"Saya papanya David. Gimana Laura, senang mainnya?"

Aku melirik David, dia tersenyum menampakkan giginya. "Senang Om. Puas banget,"

"Om juga udah lama gak main-main ke theme park. Tapi yah kalau di Dufan mau main apa lagi, udah tua begini," Papa David tertawa, aku ikut tersenyum. "Satu bagian sama David?"

"Nggak Om, aku Sekretaris Direktur," refleks aku tersenyum. Bangga mengingat direktur yang menjadi atasanku.

"Oh memang lulusan sekretaris?"

"Aku lulusan Psikologi sih. Tapi ditawarin untuk jadi sekretaris sama temen yang udah kerja duluan. Aku terima aja. Untungnya atasanku gak ngajarin soal kesekretariatan aja,"

"Psikologi. Ya bisa disambung-sambungin aja ya. Ada rencana kuliah lagi?"

Aku mengangguk bersemangat. "Ada Om. Tapi belum tahu mau ambil apa,"

"Ambil Manajemen Strategis aja. Nanti Om bisa bantu kamu,"

David tiba-tiba berdeham. "Pa, ngomongin kuliahnya nanti aja boleh gak? David dan Laura laper nih,"

"Oke sorry. Silakan Laura, dimakan. Maaf cuma ada hidangan sederhana ya,"

Aku mengangguk. Meski sederhana, namun hidangan di meja makan ini sangat variatif. Dari mulai daging ayam dan daging ikan, cumi, sayur-sayuran, buah. Luar biasa.

"Papaku dosen Pascasarjana. Jad dia seneng kalau bahas soal pendidikan," bisik David di telingaku saat orang tuanya sedang mengobrol dengan Ibra.

"Oh pantes. Tadi mahasiswa bimbingannya ya?"

David mengangguk. "Makanya aku juga langsung lanjut S2. Ibra juga nanti langsung lanjut S2,"

"Cool banget,"

David tersenyum bangga. Terlihat bahwa dia memang bangga pada orang tuanya.

Orangtuaku menyukai David. Orang tua David menyukaiku. Tapi apakah aku menyukai David?

***

"Em,"

"Yes babe,"

"Gue mau cerita,"

"Tentang David ya?" mata Emi mengerjap-ngerjap, tak sabar mendengar ceritaku.

"Iya," jawabku pelan. Melirik ke kanan dan ke kiri, khawatir ada yang mendengar.

"Apa apa?" Emi menggeser duduknya mendekatiku.

"Gak disini dan gak sekarang,"

"Lho kenapa?"

"Mungkin cerita gue bakal panjang. Belum lagi kalau disini bisa kedengeran orang lain,"

"Terus mau dimana? Lunch bareng kita?"

"Lo nginep rumah gue yuk,"

"Widih jauh amat Mba," Emi mengelus dagunya. "Gue gak bawa baju juga Sis."

"Lo bisa pinjem baju gue,"

"Daleman gue?"

"Beli aja di Mart-mart itu,"

"Hmm," Emi masih bimbang.

"Ayo dong. Lo rela melewatkan cerita gue yang seru ini?"

Mata Emi mendadak berbinar. "David udah nembak lo ya?! Ngaku lo?!"

"Sssst, bawel lo ah. Ntar gue cerita tapi lo iyain dulu nginep di tempat gue,"

"Oke oke. Ntar gue nginep ke rumah lo. Pake kereta kan? Pake uang elektronik berarti ya,"

Aku menggeleng, berdiri, bermaksud kembali ke mejaku sebelum dicari Pak Yusron dan dicari pencari Pak Yusron. "Dianter David."

"Wooooooow,"

***

"Makasih udah mau nemenin makan malem," David berkata saat mobilnya berhenti di depan rumahku. 

"Kayak baru pertama aja," balasku sambil menyunggingkan senyum tipis. 

"Iya baru pertama makan di dua tempat saking laparnya," balas David sambil menepuk-nepuk perutnya. Di jok belakang, Emi terkikik. Aku meliriknya dan dia langsung diam. 

"Mau masuk dulu?" Aku menawarkan. 

"Gak deh. Udah jam 9. Mungkin besok lusa aku mampir. Kangen Haniva," 

"Kangen Haniva apa tantenya?" Celetuk Emi dari belakang. 

Aku memutar bola mata dan David membalas celetukan Emi dengan tawa. "Tau lah Mi," 

"Ya udah. Hati-hati di jalan ya. Kabari..."

"... Kalau sudah sampai. Iya," 

Aku dan dia berbalas senyum lalu kubuka pintu mobil, diikuti Emi. Berdua kami masuk ke rumah setelah memastikan David sudah pergi. 

"Aaah, kamar lo emang the best!" Emi merebahkan diri di kasur berukuran Queen Size tanpa mengganti pakaiannya. 

Aku menyalakan AC dan bersiap mandi. 

"Jadi lo mau cerita apa?" Tanya Emi, berguling dari satu sisi ke sisi lainnya. 

"Nanti abis gue mandi. Bentar ya," 

Saat aku kembali ke kamar, kulihat Emi sedang asyik menelepon Tizar. Namun saat melihatku dia langsung menutup teleponnya. 

"Udah mandinya? Yuk langsung cerita," 

"Lo ga mandi atau ganti baju dulu?" Aku duduk bersila di kasur, menghadap Emi yang duduk di kursi rias. 

"Gue gosok gigi sama cuci muka aja. Ga keringetan amat juga. Ntar abis lo cerita. Jadi gimana?" Dia berpindah lalu duduk di sebelahku, menaruh guling di pangkuan dan dagu di telapak tangannya. 

"Gue rasa David suka sama gue," aku memulai. 

Emi mendengus. "Yaaa nenek-nenek salto juga tau lah Say. Kalau gak, mana mau dia anter lo pulang, ngajakin lo ke Dufan dan segala macemnya itu." 

"Iya. Dan menurut lo gue salah gak dengan menerima semua ajakan dia..."

Emi sudah akan berbicara namun aku melanjutkan. 

"...sementara gue belum bener-bener melupakan Tian?" 

"Tian lagi?!" Emi begitu marah mendengar nama itu. "Dari semua kosakata di dunia ini dan lo memilih menyebut nama Tian?" 

"Lo marah?" 

"Bukan. Gue cuma kesel. Lo masih inget sama Tian, itu masalah, Laura. Udah berapa lama ini sejak kalian putus? Lo masih mau balikan lagi sama dia?" 

"Iya," 

Jawabanku membuat Emi terhenyak dan amarahnya mendadak sirna. Dia jadi diam seperti laut setelah badai. 

"Gue sebenernya ga tau mau ngomong apa lagi. Awalnya gue setuju lo jadian sama Tian. Lo tampak begitu hidup dan bahagia sama dia. Kalian juga mirip. Apalagi kalau Tian udah main musik dan lo nyanyi. Tapi... Lama kelamaan gue tau bahwa itu doang gak cukup. Dia belum lulus bahkan saat lo sudah memulai karier. Dia juga masih asyik sama aktivitas di kampus. Jangan pikir soal kenaikan jabatan, kerja aja belum. Lo mau nunggu dia sampai kapan? Belum lagi saat dia ngegantungin lo itu. Paling kesel gue. Dihubungi susah, diajak ketemu ga bisa, diminta putus ga mau. Gue ga abis pikir sama dia saat itu. Tian yang gue kenal harusnya ga gitu. Setelah kalian putus, dia ada ngehubungi lo lagi? Nggak kan? Ya udah, lupakan Tian, Lau," 

"Masalahnya, ga semudah itu. He's my sun. Dia yang bikin hari gue cerah,"

Emi menepuk pipiku. "Gue tahu betapa cheesy-nya seseorang yang sedang jatuh cinta. Gue ke Tizar pun begitu."

"Jadi Em, gue belum bisa menerima David. Gue takut lama kelamaan dia berpikir bahwa gue menyambut perasaan dia. Padahal gue sekedar ingin berbuat baik saja. Sekedar mengapresiasi niat dia ke gue. Kalau gue tolak saat dia menyatakan perasaannya, nanti gue dibilang PHP." 

"Pertama, kita harus pastikan dulu perasaan David ke lo. Kalau memang dia baik ke semua cewe, lo ga boleh GR. Kalau dia memang suka ke lo, pilihannya ya memang antara lo terima atau tolak. Kedua, kalau lo memutuskan menerima, lupakan Tian. Buang dia jauh-jauh. Niatkan lo nerima David karena David memang cocok buat lo. Tapi kalau lo memutuskan untuk menolak, pastikan bahwa ga ada sakit hati dan salah paham diantara kalian." 

"Gue harus tahu dulu gimana sebenernya perasaan gue ke David," aku termenung. Teringat wajahnya yang mirip Christian Sugiono. 

"Emangnya gimana perasaan lo ke dia?" Tantang Emi. 

"Cuma temen, Em. Gak lebih. Gak bisa lebih untuk sekarang." 

"Ya ampun. Kalau laki sih ya disodorin cewe cakep berkualitas pasti langsung diembat. Ini cewe susah banget move on-nya," 

"Gue bukan kucing sih ya," kupaksakan tersenyum sedikit menghadapi analogi tersebut. 

"Menurut gue, cari orang yang bisa lo bikin bahagia, La. Tian jelas gak masuk itungan karena bikin lo sedih terus. David, mungkin David. Tinggal lo nya memutuskan mau berbuat apa," 

"Iya Em," aku menjatuhkan diri ke kasur. Memeluk boneka yang kumiliki sejak 5 tahun. "Tidur yuk." 

"Gue gosok gigi dulu ya," sahut Emi dan beranjak menuju kamar mandi. 

***

"Udah mau Christmas ya," kata David saat kami berjalan beriringan di Plaza Indonesia. 

Kuperhatikan aneka dekorasi di sekitar kami yang dipenuhi warna merah, hijau, atau pohon natal dan Sinterklas. "Iya. Khas banget." 

"Walaupun aku gak merayakan, aku ikut senang melihat euforia rekan kita yang merayakan. Aku sendiri jadi kangen Idul Fitri," Tatapan David menerawang, sepertinya mengingat momen Lebaran bersama keluarganya. 

"Masih lama Lebarannya," kucolek lengan David, menghentikan lamunannya. 

"Haha iya. Yuk ah buruan, aku udah lapar," lalu mendadak, untuk pertama kalinya, dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Membimbingku menuju tempat makan malam ini, Sushi Tei. Aku bingung antara harus kulepas atau kubiarkan saja. Kuputuskan untuk membiarkan dia menggenggam jemariku, untuk sementara. 

Piring berserakan di meja kami, 80% David yang makan. Sementara aku cuma 20% nya karena lebih banyak bercerita daripada makan. Memang David yang kelaparan sehingga dia lebih fokus makan daripada bicara. Saat makanan sudah tandas, dia yang mulai mengambil alih topik. 

"La," 

"Hmm," sahutku tanpa mengalihkan pandangan dari piring-piring yang sedang kubereskan. Agar nanti waitress bisa membereskannya dengan mudah. 

"Aku memang kenal kamu baru-baru aja. Tapi, aku ingin kenal kamu lebih dalam lagi. Dan bukan sekedar...pacaran ala anak SMA. Aku ingin cari pasangan hidup, La. Aku mau itu kamu," 

Gerakanku terhenti. Kutarik perlahan tanganku dan kuletakkan di pangkuan. Pelan-pelan kuangkat wajah dan kutatap David. 

"Aku kaget..." Wajah David tampak gugup. Entah seperti apa wajahku. "Aku tersanjung Vid.." 

Aku diam lagi. David juga. Keheningan merajalela di sekitar kami. Setelah menelan ludah beberapa kali, aku memberanikan diri untuk bicara. 

"Aku...maaf. Aku gak bisa. Aku gak bisa menjalin hubungan serius dengan siapapun saat ini. Tidak denganmu, tidak dengan siapapun. Bukan salahmu, ini salahku. Maaf kalau aku sempat membuatmu berharap. Tapi ini sekedar aku berusaha memiliki teman baik lainnya. Maaf David. Aku gak bisa." 

David tercekat. Dia terlihat kecewa. Tentu saja reaksinya akan seperti itu. Masih untung dia tidak tiba-tiba marah-marah. 

"Apa, kenapa kamu gak bisa? Bahkan bukan hanya denganku. Dengan yang lain juga gak bisa. Kenapa?"

Aku tertawa miris. "Aku gak kena penyakit menular kalau itu yang kamu khawatirkan. Aku sedang tak percaya cinta. Aku tak mau jatuh cinta," 

Jawabanku membuat David makin kebingungan. "Tak mau..jatuh cinta?" 

Aku mengangguk, lanjut membereskan meja. Bahkan sempat memanggil waitress untuk meminta bill. "Aku lelah dan ingin beristirahat dari segala urusan ini." 

"Akan kutunggu," tangkas David. Ia mengulurkan tangan tapi buru-buru kutarik tanganku sehingga gerakannya terhanti di udara. 

"Gak perlu. Entah sampai kapan ini terjadi. Banyak perempuan yang mau mendapatkan hatimu, Vid. Ga ada gunanya menanti aku yang gak jelas," 

"I fell for you, Laura," bisik David dengan nada suara yang belum pernah kudengar dari dia sebelumnya. 

"Sekarang kamu bisa bilang begitu. Tapi setelah aku menolak, beberapa bulan lagi kamu bisa mengatakan itu kepada gadis lain," aku sekedar mengatakan hal yang terlintas di benakku. Karena begitu banyak contoh yang terjadi. Ditambah dengan kondisiku saat ini yang tak peduli dengan cinta, pertanyaan seperti itu mudah sekali terlontar. 

David menggeleng kuat-kuat. "Akan kubuktikan bahwa aku bukan laki-laki seperti itu,"

"Silakan,"

"Tapi apa yang membuat kamu resisten seperti ini? Aku cuma gak mengerti, Laura. Selama apapun aku bisa menunggu tapi...aku harus tahu." 

"Kamu gak harus tahu. Sebagian dari masa laluku tidak ingin kubahas lagi dan saat ini aku sedang berusaha mengatasinya," 

Mendengar kata masa lalu membuat raut wajah David jadi semakin muram. Menurutku, dia juga menyimpan sesuatu yang tak mau dia bagi denganku. 

"Ayo pulang," aku berdiri lebih dulu setelah membayar makanan kami. Pelan-pelan, David mengikuti. 

"Apa aku masih boleh bertemu, menjemput, mengajakmu berkencan?" 

"Kalaupun kularang apa kamu mau nurut?" 

David nyengir. Menggeleng. 

"Tak perlu terlalu memaksakan, Vid. Kita jalani dulu saja semuanya semampu kita," 

"KJAD? Kita Jalanin Aja Dulu?" 

Aku tertawa, menonjok pelan lengan David. Bersama, kami berjalan menuju pintu keluar. 

*** 

"Lo nolak David karena Tian?!" Emi memekik. Aku sibuk membekap mulutnya. Sepagi ini kami sudah 'ngerumpi', mumpung sekretaris lain belum tiba. 

"Bukan karena Tian. Karena gue yang belum bisa. Segala sesuatu yang dipaksakan kan gak baik, Em," 

Emi menggeleng. "Tapi kalian gak musuhan atau apa kan?" 

"Nggak. Dia tetep bisa jemput dan ketemu gue kayak kemarin. Tapi dia juga harus tahu bahwa gue ga bisa menjanjikan apa-apa selain pertemanan,"

"Sadis. Sadis lo nolak cowo yang dikejar separo cewe di kantor kita." 

"Berhubung gue bukan salah satu dari cewe yang ngejar, gue ga ngerasa bersalah," aku mengangkat bahu. Memulai ritual pagi, mencatok rambut. 

"Tapi gue penasaran sama David," aku berhenti. Memandang Emi yang sedang mencoba kutek yang kubeli kemarin. "Gue penasaran sama riwayat percintaan dia." 

"Lo mau bandingin diri sama mantan-mantan dia?" 

"Maybe," aku mengangkat bahu tak acuh. "Gue rasa ada yang dia sembunyikan di masa lalunya. Apalagi gara-gara komentar Ibra saat gue mampir ke rumahnya." 

"Hmm, siapa ya temen dia yang bisa ditanyain?" Emi dan aku sama-sama berpikir. Tiba-tiba kami berpandangan dan berseru bersama-sama. 

"Iman!" 

***

"Man, ceritain tentang David dong," Emi berkata langsung to the point begitu kami duduk manis di salah satu warung belakang kantor. Iman bergantian melirik aku dan Emi. 

"Bukannya Laura yang lebih deket sama David?" 

"Malah Laura yang mau tau lebih dalam tentang David. Makanya, lo cerita tentang apa yang kira-kira Laura gak tahu," Emi mendesak. Iman berpikir.

"David itu S2 di Belanda. Selese kuliah langsung kerja disini. Terus.."

"Yang kita gak tahu dong Man," potong Emi. Jadi dia yang lebih bersemangat mengorek tentang David. 

"Lo mau tau tentang apanya sih Em?" 

Emi melirikku, bertanya dalam diam. Aku mengiyakan. 

"Mantan-mantannya David," kata Emi mantap. Ini refleks membuat Iman tertawa. 

"Bilang dong dari tadi," Iman mendeham. Emi sepertinya sudah ingin mencubit Iman. "Setau gue sih saat ini dia lagi gak pacaran sama siapa-siapa." 

"Iyalah. Kalau dia masih punya pacar terus deketin Laura, gue jitak juga."

"Pacar seriusnya cuma 2," lanjut Iman.

"Pacar serius?" Emi mengulang, menekankan pada kata serius. Matanya menyipit curiga.

"Yang gak serius bejibun, Em." kami berpandangan pasca mendengar cerita Iman. "Gue sama dia kan temen SMA ya. Setau gue dia sih sempet sering jalan bareng cewe-cewe,"

"Playboy?" akhirnya aku bersuara.

"Semacam itu. Ya dengan muka David kayak artis gitu cewe-cewe ngantri lah. Belum lagi dia aslinya emang pinter, karena Bapaknya dosen. Dia juga tajir asli. Jadi pada ngantri lah tuh cewe-cewe. Tapi yang serius, maksudnya yang dia akui di depan umum sebagai pacar, cuma dua."

"Siapa?" tanya Emi penasaran.

"Yang pertama waktu dia SMP. Yang sekarang jadi penyanyi itu, Ghaisa, itu mantannya David. Yang kedua, sekarang jadi dokter. Tipenya memang yang cantik imut gitu,"

Aku dan Emi berpandangan. Aku tahu Ghaisa, manis dan cantik, juga baik hati. Aku tidak kenal yang lainnya. Tapi Iman bilang tipenya cantik dan imut. Sedangkan aku? Tinggi dan tidak imut sama sekali.

"Sejauh apa mereka pacarannya?" tanya Emi. Membuatku langsung melotot padanya, dia cuek saja.

"Wah gue gak tau. Kan gak pernah gue ikutin terus. Lo tanya aja sama si David, dia pernah 'itu' gak," Iman tertawa terbahak-bahak. Emi memukuli Iman. Aku sendiri diam saja. Pikiran-pikiran yang menurutku mengerikan, mulai bermunculan.

"Tapi La," Iman memanggil namaku, membuatku memperhatikan dia lagi. "Sebusuk-busuknya David, dia tetap orang yang baik kok,"

Aku tersenyum masam. Memilih mengabaikan fakta-fakta baru yang kudapat dan berfokus pada gado-gado yang jadi menu makan siangku.. Iman tidak tahu bahwa aku baru menolak temannya itu.

Kami bertiga kembali ke kantor tepat pukul 1. Di lobby kulihat David sedang mengobrol sesuatu yang nampak serius dengan salah seorang anak Marketing. Nampaknya salah satu DFC. Begitu melihatku masuk, David menoleh dan tersenyum lebar. Ia menghentikan obrolannya dan menghampiri kami. Membuat salah satu fansnya merengut kesal dan memperhatikan kami dengan tatapan 7 juta Volt.

"Hai, maaf gak bisa gabung. Meetingnya baru selesai," kata David kepada kami, kepadaku tepatnya. Sifat jahilku keluar, alih-alih menjauhkan diri dari David, aku malah mengulurkan tangan dan menyapu sebagian rambut yang jatuh di kening David. perlahan tapi pasti. Membuat si DFC menggeram kesal.

"Jadinya udah makan?"

"Udah, tadi diajak makan sekalian meeting," jawab David. Dia juga terpana akan tingkah lakuku. Kusadari bahwa itu bisa berbahaya mengingat aku baru saja menolaknya, aku buru-buru menurunkan tangan dan berjalan ke arah lift.

"Nanti pulang jam berapa?"

"Gak tau. Lembur lagi,"

"Aku juga ada lembur. Nanti kita pulang bareng ya,"

Aku berbalik menghadap David. "Gak boleh,"

David, Iman, dan Emi langsung memandangiku.

"Pertama, kamu bukan pacarku, jadi gak ada kewajiban buat pulang bareng. Kedua, aku sudah menolak kamu, jadi aku mau gak ada interaksi lebih dari standar, pulang bareng hampir setiap hari adalah tindakan lebih dari standar. Ketiga, kosanmu dekat dan rumahku jauh jadi aku gak enak kalau setiap hari kamu malah menjauhi kosanmu terus nanti balik lagi. Keempat, kita kalau ketemuan weekend aja,"

Iman melongo. Dia baru tahu bahwa aku habis menolak David. Emi menepuk pundakku, tanda bahwa dia mendukung keputusanku. Sementara David menampilkan wajah datarnya lagi.

"Katanya boleh usaha," David merengut seperti anak kecil.

"Ini tantangannya. Shuuu shuuu," aku mendorong David menjauh. Memasuki lift lebih dulu dan menekan tombol lantai 18. Meninggalkan dia bersama Iman.

***

David menurut, dia tidak begitu intens lagi tiba-tiba muncul di lantaiku. Melainkan dia jadi sering meminta ijin, 'boleh jemput?' atau 'boleh ajak makan siang bareng?' Kadang kujawab boleh, tapi lebih sering kujawab tidak. Sampai suatu saat entah sadar atau tidak, dia mengirimkan iMessage berisi tulisan, "Laura, kangen." Aku mengulang membaca pesan itu berkali-kali. Memastikan bahwa aku tidak salah baca susunan huruf yang dikirimkan David. Aku anggap pesan itu tidak pernah sampai.

"La,"

"Hai, Man."

"Para Sekdir kemana? Gue mau ketemu Donni,"

"Hmm, Donni ijin pulang cepet hari ini. Soalnya adiknya wisuda, dia harus dateng. Bisa lo titip ke gue aja kalau lo mau,"

Iman mengulurkan dokumennya dan langsung kutandai lalu kutaruh di laci.

"Ngomong-ngomong, lo masih gantungin David, La?"

"Lho, kenapa tiba-tiba bahas David?"

"Pengen aja," Iman mengangkat bahu lalu duduk di kursi depan mejaku. "Tega lho lo ke dia. Dia jadi gak konsen kerja, sering bengong."

"Ah lo lebay Man," aku berusaha mengacuhkan Iman dan kembali membalas email-email yang masuk.

"Beneran. Dia sering menghela nafas terus malah jadi sering lembur di kantor. Waktu gue tanya, dia bilang 'daripada gak ngapa-ngapain di kosan'. Sedih amat kan nasibnya,"

"Hehe. Kan dia bisa aja keluar ama temen-temennya atau sama fans-fansnya,"

"Itu yang gue heran. Dia udah cuek banget sama cewe. Mungkin karena suka sama lo. Kelepek-kelepek dia."

Aku menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari jemari dan berpikir. "Gue harap sih nggak. Gue gak bisa ngasih apa-apa ke David, ga bisa bales perasaan dia. Jadi lebih baik lo bantu David supaya move on dari gue,"

"Kenapa lo gak bisa nerima dia?"

"Karena..sesuatu dari diri gue, Man. Ditambah dengan sifat David yang dulu ternyata begitu. Gue...gak bisa aja,"

"Itu kan dulu, La. Lo sama dia sama-sama punya masa lalu yang harus dilupakan. Sekarang kalian sudah saling memiliki, tinggal iyain aja."

"Di situ masalahnya, Man. Hati gue kayaknya udah beku. Gak bisa mencintai siapapun saat ini. Entah jmungkin nanti tapi gue gak bisa dan gak mau jamin. Gue begitu lelah menghadapi hal-hal semacam ini."

"Lo gak bisa melupakan cinta La. Lo harus kembali,"

"Gue tahu. Tapi entah kapan. Gue sedang menikmati pekerjaan dan aktivitas gue. Itulah kenapa gue meminta David menjauh dari gue daripada dia buang-buang waktunya nunggu gue yang gak tahu akan berkelana sampai kapan,"

"Kayaknya masa lalu lo pait banget," Iman menyipit menatapku. Aku menggeleng.

"Gak perlu gue ceritain lah Man,"

"Yah. Gue berharap yang terbaik aja buat kalian berdua. Yuk ah gue ke bawah lagi. Titip buat Donni ya,"

"Yo Man,"

Haruskah kujawab bahwa aku lelah karena cinta? Lelah karena Tian. Karena dia yang membuatku resisten terhadap cinta.

***

Aku sedang terlibat dalam program mengajar gratis untuk anak-anak di sekitar rumahku. Usul dari Karang Taruna demi memajukan kesejahteraan anak-anak. Maka hari Sabtu ini aku beranjak ke Gramedia Matraman untuk membeli buku-buku yang sekiranya mereka sukai. Buku pelajaran, buku cerita. Setelah kantongku penuh, aku bergerak menuju bagian novel-novel. Kadangkala aku juga senang membaca cerita-cerita kisah cinta manis yang bertolak belakang dari kisahku sendiri.

Saat kubaca judul-judul novel petualangan, tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang juga sedang memperhatikan rak.

"Eh, sorry," aku bergegas mundur. "Lho Ibra ya?"

"Mba Laura ya?" Ibra melepaskan headset yang dia pakai selama memilih buku. "Sama Bang David?"

"Hah? Oh nggak. Sendirian aja. Kamu?"

"Sendirian juga."

"Lagi cari apa, Ibra?"

Dia mengangkat dua buah novel. "Novel fantasi aja. Buat nambah imajinasi."

"Oh kamu suka baca juga,"

"Saya dan Bang David juga suka baca,"

"Oh gitu," aku mengangguk, bingung mau membahas apa lagi.

"Sebenernya, Mba Laura dan Bang David udah jadian belum ya?"

Aku terperangah. Cepat-cepat aku menggeleng. "Gak jadian."

"Kenapa?"

"Kenapa?" aku mengulang pertanyaan Ibra.

"Apa karena Bang David playboy? Sering gonta-ganti pacar?"

Aku masih diam saja, tak menjawab. Sesungguhnya penasaran akan maksud di balik kata-kata Ibra.

"Kenapa Mba?"

"Aku belum siap aja," Kami sama-sama diam. Ibra yang pertama bicara lagi.

"Bang David memang sering ajak cewe ke rumah. Tapi cuma Mba yang diajak ketemu mama dan papa, bahkan ngobrol sampe lama. Dan cuma ke Mba juga Bang David punya tatapan lembut kayak kalau dia lagi ngerawat kucing kami di rumah,"

"David suka ngajak cewe ke rumah? Ngapain?" Dari semua kalimat yang diucapkan Ibra ke rumah, kenapa aku harus bertanya bagian itu? Bodoh.

Ibra mengangkat bahu. "Tapi itu dulu kok. Dia udah gak gitu lagi sekarang. Saya tahu tatapan dia ke Mba beda. Mama dan papa juga gak berhenti ngomongin Mba, nanya Bang David kapan ajak Mba ke rumah lagi. Jadi, Mba gak akan rugi nerima Bang David."

Aku tersenyum masam. Cerita Ibra malah membuatku semakin ingin mundur.

"Duluan Mba," Ibra melambaikan novelnya dan berbalik menuju kasir. Mendadak tanganku terasa lemas dan aku pun jatuh terduduk.

***

"Em, lagi dimana lo?"

"Lagi pacaran ama Tizar. Kenapa babe?"

"Gue nimbrung dong,"

"Heeeh? Lo mau jadi orang ketiga?"

"Ah lo, kayak gak kenal gue aja. Gue baru ketemu Ibra, adiknya David, dan gue pusing. Gue butuh cerita. Untung ada Tizar juga jadi gue bisa denger pendapat dia."

"Bentar gue tanya Tizar dulu," sayup-sayup kudengar bisikan antara Emi dan Tizar. "Kami lagi mau makan siang di daerah Senopati. Lo nyusul langsung ke sana aja gimana?"

"Boleh. Gue berangkat sekarang ya,"

Sejam kemudian aku sudah duduk di antara Tizar dan Emi. Tizar adalah teman kuliah aku dan Emi jadi pada dasarnya kami bertiga sudah saling mengenal. Kuceritakan sedetil mungkin cerita Ibra kepadaku.

"Menurut lo gimana Zar?"

"Hmm," Tizar mengunyah lalu menelan steak-nya. "Kalau dia masih kayak gitu, gue sarankan jauhi aja, La. Tapi kalau dia udah tobat, dan masih sehat, terima aja."

"Lagian lo kan gak mau berhubungan sama siapa-siapa. Jadi harusnya apapun yang terjadi sama David, lo gak peduli dong?" Emi menimpali.

"Ah bener juga,"

"Emang kenapa Laura harus nolak David?" tanya Tizar penasaran.

Emi menceritakan alasanku, menyebut nama Tian, membahas kekecewaanku.

"Gue termasuk tim yang gak setuju lo sama Tian sih, La. Walaupun sekarang Tian udah mulai serius buka bisnis. Tapi yaa, dia juga belum serius untuk menikah. Jadi sudahlah, abaikan Tian. Dan gue juga gak setuju kalau karena ini, membuat lo gak percaya dan gak mau kenal lagi sama urusan cinta. Lo gak bisa nutup diri lo sendiri La. Nanti susah kalau ada cowo yang mau ngetuk pintu hati lo," jelas Tizar panjang lebar.

"Ini udah bukan ngetuk lagi, Say. Mau ngedobrak bahkan," tambah Emi. "Tapi dianya aja ngerante pintu hatinya."

"Kasih gue waktu," kataku akhirnya.

"Jangan lama-lama," kata Emi yang diamini oleh Tizar.

"Dan kalau lo mempertimbangkan David untuk diajak ke jenjang yang lebih serius, lebih baik kalian saling cerita secara lebih detil. Itu jauh lebih baik daripada saling menyimpan dugaan masing-masing."

"Thanks Em, Zar," kutepuk pundak pasangan sejoli ini.

***

"Aku gak boleh ketemu kamu sering-sering tapi aku pengen ketemu kamu malam ini, boleh?"

David tiba-tiba menghampiri mejaku pada suatu siang. Kedatangannya yang tiba-tiba membuat Yura, Donni, dan Ciko memperhatikan kami. Kedua pria nyengir-nyengir tak jelas sementara Yura langsung manyun.

"Sekarang udah ketemu, Vid," kataku lirih. Berusaha mengurangi perhatian orang-orang dari kami.

"Gak di kantor, La," David sekarang duduk di depanku, mencondongkan tubuhnya.

"Mau ngapain sih? Aku gak bisa ah,"

"Masa lembur kamu udah selese. Aku udah konfirm sama Pak Yusron sendiri, tadi ketemu abis selesai meeting. Jadi gak ada alasan lembur," Baru kulihat David begitu memaksa seperti ini.

"Aku mau pulang cepet,"

"Aku anterin pake mobil gak usah desek-desekan di kereta,"

"David apaan sih kok kamu maksa banget?"

"Pokoknya aku gak akan pergi dari sini sampai kamu mengiyakan keluar denganku malam ini,"

Aku melirik ke kanan kiri, menyadari bahwa tidak hanya ketiga sekretaris yang memperhatikan kami, namun beberapa tamu yang ada urusan dengan direktur juga. Mukaku jadi memerah.

"Kamu nanti dicariin Bu Clara kalau disini terus," sekali lagi aku berusaha mengusirnya, mendesis mengancam.

"Bu Clara gak masuk hari ini. Dia ambil cuti karena besok mau Natalan," David malah tersenyum sekarang. "Iyakan saja ya La? Sebelum Pak Sandi dateng dan mergokin kita disini."

Mendengar nama CEO kami disebut-sebut, aku langsung panik.

"Iya iya malam ini aja kan? Oke. Sana sana," aku menggerakkan tanganku menuju arah pintu keluar. David menjentikkan jari dan tersenyum makin lebar.

"Perfect. Sampai nanti malam," Dia pun berlalu sambil bersiul. Aku yang garuk-garuk kepala.

***

Dia mengajakku untuk duduk-duduk di taman Setiabudhi One. Sebelumnya, menyodorkan satu kotak susu coklat yang dia tahu sangat kusukai. 

"Aku mencoba mencari tahu kenapa kamu menolak aku dan rasanya aku tahu," dia membuka pembicaraan. Matanya lurus menatapku dan aku berusaha sebisa mungkin tampil polos, menatapnya sambil menyedot susu. "Karena Tian kan?"

Aku mengerjapkan mata perlahan kemudian mengangguk. "Dari mana kamu tahu?"

"Emi," jawab David cepat, seperti sudah kuduga. "Awalnya dia gak mau cerita. Tapi lama-lama malah dia cerita lebih berapi-api."

"Haha. Dasar Emi," kuletakkan kotak susu di samping lalu berbalik kembali ke David. "Bukan Tian yang jadi penyebab utamanya, Vid. He's my ex, that's true. Mungkin memang dia juga yang jadi pemicunya. Tapi pada intinya aku sendiri yang lelah, aku yang males, aku yang gak mau. Aku belum siap untuk memberikan hati dan perhatianku lagi ke pria lain."

"Apa yang membuat kamu bisa berpikir begitu? Berpikir bahwa kamu lelah untuk memberi?"

"Karena selalu aku yang berusaha. Selalu aku yang jatuh cinta lebih dulu. Selalu aku yang mencari. Selalu aku yang bertanya. Tapi selalu aku yang diputuskan. Alasannya bisa karena aku terlalu PDA, karena aku terlalu berisik, karena aku terlalu high quality untuk mereka, dan sejuta alasan lainnya. Itulah kenapa aku capek. Aku gak mau berusaha kalau akhirnya aku juga yang pertama ditinggalkan." Diam-diam air mataku mengalir. Rasa yang mendesak dan mengganjal di hati, memberanikan untuk tumpah dan keluar.

David mengulurkan tangan bermaksud menyeka air mataku. Namun aku menghindar. Aku menyeka air mataku sendiri. setelah kurasakan cukup, aku kembali menatap David.

"So please, no. I'm not ready yet,"

"Tapi ini bukan kamu yang berusaha. Aku yang berusaha. Aku yang menginginkan kamu lebih dulu. Dan aku janji aku gak akan seperti pria-pria itu."

"Aku gak berani. Mungkin sama halnya seperti orang yang trauma dengan pesawat. Dia tahu bahwa kalau dia naik pesawat lagi dia bisa benar-benar selamat atau malah jatuh lagi, tapi dia memilih untuk menghindar. Begitulah aku Vid. Aku masih belum siap ambil resiko."

"Laura..."

"Aku gak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu, Vid. Hatiku sudah hancur berkeping-keping terlalu banyak. Butuh waktu lama untuk menyatukannya lagi. Sekali lagi mending kamu cari perempuan lain."

"Jangan bahas aku, gak ada perempuan yang mau sama aku,"  David merengut.

Aku tertawa, masih di sela-sela isak tangis. "Dulu kamu punya banyak pacar,"

"Kamu menyelidiki aku juga?" 

Aku mengangguk. "Aku perlu tahu seperti apa latar belakang kandidat yang berusaha melamar hatiku,"

"Dan yang kamu tahu adalah?"

"Katanya David itu pacar seriusnya cuma dua, tapi banyak juga yang diajak jalan bareng sampe ke rumah," 

Alis David bertaut, ekspresinya keruh. "Dan kamu berpikir kalau aku ajak cewe ke rumah itu..."

Aku mengangguk, polos sekali aku ini ya.

"Ya ampun La," David menepuk keningnya sendiri. Bingung antara geram atau ingin tertawa. "Ngapain juga kayak gitu di rumah? Mending di hotel sekalian. Tapi nggak, aku gak pernah ngapa-ngapain sama cewe-cewe itu. Berani sumpah! Kamu tahu, jaman-jaman aku sering jalan bareng cewe itu jaman sekolah sampe kuliah S1. Daripada jalan keluar ngabisin duit banyak mending aku di rumah aja. Toh mereka juga seneng-seneng aja ngeliatin koleksi buku papa atau sekedar duduk di taman. Tapi aku gak pernah mau mereka sampai ketemu sama mama papa karena itu artinya aku sudah serius sama cewe. Intinya La, aku gak pernah berbuat aneh-aneh sama cewe. Jeez, papaku dosen, mamaku dokter. Mana berani aku berbuat aneh-aneh sama perempuan,"

Aku bengong, kaget mendengar penjelasan David.

"Jadi Laura, pemujamu ini memang ganteng dan banyak diidolakan perempuan. Tapi gak sebusuk itu,"

Bibirku bergerak sedikit. Dari senyum tipis sampai akhirnya tertawa. Kontras dengan sisa air mata yang masih ada di pelupuk mataku. Menggeleng tak percaya akan kepolosanku. "Memang apa-apa harus dikonfirm ke sumber utamanya langsung ya."

David mengangguk. "Aku harus jitak orang yang nyebar info sembarangan itu."

"Haha jangan, kasian," 

"So?"

"So apa?"

"Jadi udah percaya kan aku anak baik-baik? Dan yang kuinginkan cuma kamu," 

"Makasih udah jujur, Vid. Tapi belum cukup. Setidaknya aku tahu bahwa kamu memang oke. Namun aku memang belum bisa."

"Aku gak bisa maksa juga sih. Yang penting kamu tahu bahwa aku serius. Saat kamu sudah siap, aku akan ada disitu."

Aku terkikik. Mendorong pundak David. "Kayak polisi aja,"

"Asal jangan kamu usir aku terus," David menarik tanganku yang mendorong pundaknya dan menggenggam dengan kedua tangannya. Begitu hangat. Dia menatapku begitu dalam. Aku cuma membalasnya dengan senyum.

***

Dia jadi semacam penjajah, dalam arti baik. Berulangkali berusaha diusir tapi malah tetap datang dan datang. Saat tak lagi kularang, dia bisa kembali menantiku untuk lembur, mendatangi rumahku bahkan saat aku tak ada, demi bermain bersama keponakan kecilku. Dia tidak berusaha secara kentara dengan berani memegang tangaku saat kami jalan bersama, tidak mencoba menciumku saat kami hanya berdua. He's more like a friend, a special one. Aku ingat saat suatu waktu aku hari pertama menstruasi dan lupa membawa pembalut. Sepulang makan siang dia memberanikan diri berangkat ke minimarket demi membelikanku obat dan pembalut sementara aku mengerang menahan sakit perut. Dia juga yang heboh saat Haniva tiba-tiba panas tinggi. Mobil di rumahku ada dua, satu dipakai kakak iparku dan satu dipakai ayah untuk bekerja. Jadi saat Haniva mendadak sakit ibu dan kakakku cukup bingung karena kedua kendaraan sedang tak ada. Badan Haniva mendadak panas dan dia menangis terus. Tanpa pikir panjang, David yang saat itu baru sampai rumahku untuk mengantar pulang, langsung putar balik dan ke rumah sakit. 

Begitu banyak pengorbanan dia untukku tapi aku masih belum juga bisa membuka pintu hatiku untuknya. 

"Rapi gak?" David muncul di sebelahku sambil merapikan jasnya. Aku berbalik menghadapnya. Memperhatikan jas dan dasinya. Kuluruskan dasinya sehingga lebih enak dilihat. Hari ini pernikahan Emi dan Tizar. Emi memberiku seragam bridemaids dan dia juga meminta David mengenakan jas khusus pendamping pengantin. Katanya karena David adalah pasanganku. Padahal sudah kuingatkan berkali-kali kami cuma teman. 

Dasi berwarna hijau tua itu begitu cocok dengan gaunku yang juga berwarna hijau tua. "Udah rapi kok."

"Sip, yuk masuk." Kami berjalan beriringan memasuki ballroom. Selesai akad nikah, Emi dan Tizar masih berganti baju, kami menunggu pengantin di dalam. Saat itulah kulihat dia. 

"Laura," panggil Tian. Siapa sangka dia sudah tiba pukul setengah 7, padahal acara resepsi dimulai pukul 7. Aku tak kira dia akan datang, ketika kuingat Tian adalah salah satu teman dekat Tizar.

"Tian," mulutku kaku, badanku seperti mau kejang-kejang. David sepertinya sadar akan perubahan suasana sehingga dia langsung meletakkan jemarinya diantara milikku, semacam memberi energi baru. Hal ini membuatku mampu untuk tersenyum. "Sama siapa?"

"Sama anak-anak," Tian menunjuk kerumuman pria berbatik di belakangnya. "Kamu?"

"Apanya?"

"Bridemaids?"

"Iya," 

"Cantik," komentar Tian, yang langsung ditimpali dengan batuk dahsyat dari David. Tian menoleh kepada David yang tangannya masih menyentuh jariku.

"David," kata David, mengulurkan tangan kanannya. Tian membalas salam David dengan cepat dan langsung menurunkan tangannya lagi. 

"Aku balik ke yang lain dulu, La," Tian menunjuk teman-temannya lagi.

"Ya, enjoy the party," aku melambai, Tian berbalik, begitu juga aku, menuju samping pelaminan tempat aku dan David akan berdiri menyambut Emi dan Tizar.

"Kamu bisa bikin Tian berpikir kita pacaran," bisikku, setelah menarik lepas jari dari pegangan David.

"Terus? Kamu kecewa?" David berbalik, wajahnya terlihat kesal.

"Untungnya enggak. Sepertinya dia sudah tidak memberi efek apa-apa kepadaku," aku melirik sekilas Tian dan teman-temannya. David menghela nafas.

"Completely move on dari dia?"

"99% maybe," 

"And the rest 1% goes to?"

"World's conspiracy I think," 

David menggeleng. "Sampai kapan..." bisiknya.

"Katanya mau nunggu?" aku menggodanya, tersenyum jahil dan mencolek pipinya.

"Iya, iya, aku sabar kok," David mengangkat bahu, memasukkan tangan ke saku celananya.  Wajahnya masih manyun.

"Senyum dong, nikahan Emi nih," aku terkikik melihat dia yang seperti anak kecil ini.

"Nih," Dia menampilkan giginya yang putih dan rapi, mirip pose iklan pasta gigi.

"Pinter," kuacak rambutnya, dia langsung menghindar. 

"Hei nanti berantakan, gak ganteng lagi," David berjalan selangkah menjauh, merapikan rambut yang tadi rapi dan sekarang berantakan karena aku.

"Rambutnya kayak apa juga tetep ganteng kok," AKu tertawa melihatnya.

"Masa?" Dia kembali berdiri di sampingku, matanya berbinar, mungkin karena aku bilang dia ganteng.

"Pernah denger salah satu DFC bilang begitu," jawabku acuh tak acuh. 

"Yah," David melengos, pundaknya turun, lemas.

"Maaf ya pujiannya bukan dari aku," 

David mengangkat bahu, kemudian mengeluarkan iPhone dari sakunya. "AKu mau kamu denger ini,"

Dia mengulurkan iPhone ke telingaku, tepat ketika terdengar suara Tulus bernyanyi,
'Bila kau sanggup untuk melupakan dia
Biarkan aku hadir dan menata
Ruang hati yang telah tertutup lama
Jika kau masih ragu untuk menerima
Biarkan hati kecilmu bicara
Karena ku yakin kan datang saatnya
Kau jadi bagian hidupku'

Aku menyeringai, menarik lengannya untuk kugandeng. "Mungkin, gak perlu seribu tahun kok."

-THE END-

Epilog: memang gak perlu 1000 tahun. Cukup 1 tahun. Saat aku sedang menghadapi lembur akhir tahun lagi, David bertanya lagi apakah aku mau jadi pendamping hidupnya. Kali ini kujawab ya. Tidak lama menanti, begitu masa lemburku selesai, dia langsung mengajak papa mama dan Ibra ke rumahku, melamar langsung ke hadapan orang tua. Bulan Maret, kami menikah dan satu bulan kemudian aku resign, bermaksud melanjutkan pendidikan dengan ayah mertuaku yang jadi dosennya. Aku juga menyempatkan diri membantu mengurus bayi Emi dan Tizar yang selama Emi bekerja, dititipkan pada pengasuh. 

Dear David, terima kasih karena membuatku percaya lagi pada cinta. Bahwa cinta bukan hanya usaha satu pihak melainkan semua yang terlibat. Bahwa cinta bukan hanya kamu ke aku, tapi juga semua atribut yang melekat di diriku. Terima kasih bahwa kamu mencintai kekuranganku dan aku pun mencintai kamu dan segala hal yang ada pada dirimu. Terima kasih untuk selalu membuatku tertawa dan bahagia. Love, Laura.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?