Kakak Kesayangan

aku dan Rinda sudah berteman dekat sejak SMA. pertama berkenalan sejak tidak sengaja duduk sebangku di masa orientasi siswa. selama 3 hari kami saling berkomunikasi dan berdiskusi dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan senior untuk si anak baru. siapa sangka ternyata kami ditempatkan di kelas yang sama dan sama lagi di tahun kedua dan ketiga. menyebabkan aku dan Rinda tidak punya teman sebangku lain selain satu sama lain. meski begitu kami tetap membangun hubungan pertemanan dengan banyak orang. ibarat layang-layang yang akan terbang ke sana kemari tapi kami akan kembali ke sang pemilik. begitu juga aku dan Rinda, aktivitas apapun yang kami kerjakan di sekolah, sebanyak apapun teman yang kami dapatkan, kami akan selalu saling mencari ketika menghadapi masalah atau kebahagiaan apapun.
 
keluarga kami pun sudah saling mengenal. bukan rahasia kalau Rinda yang aktif sebagai anak cheerleaders sering menginap di rumahku sehabis latihan karena rumahku dekat dengan sekolah dan rumahnya terhitung jauh padahal ia sering latihan sampai malam. bukan rahasia juga kalau aku sering mampir ke rumah Rinda setelah mengurusi kegiatan OSIS hingga ke luar sekolah karena Rinda sukarela meminjamkan mobilnya. hehehe.
 
Rinda kenal dengan papa, mama, kakak perempuan, adik laki-laki, dan juga kakak ipar serta keponakanku. sejak kakakku masih single sampai dia punya bayi, Rinda tahu. aku juga kenal dengan ayah, bunda, dan kakak perempuan dan laki-laki Rinda, meski aku lebih akrab dengan kakak perempuannya karena kakak laki-laki Rinda berangkat kuliah ke London sejak aku dan Rinda duduk di kelas 2 SMA.
 
saking dekatnya kami, orang-orang akan merasa aneh jika kami tidak terlihat bersama saat melakukan kegiatan di luar ekstrakurikuler kami. maka ketika lulus SMA dan kami akan melanjutkan kuliah ke tempat yang berbeda, Rinda ke UGM dan aku di UI, malah orang-orang yang lebih heboh menanggapi ini.
 
Rinda melirik ke arahku ketika kami sudah sama-sama resmi jadi mahasiswa. dia masuk melalui UM UGM dan aku melalui SNMPTN. minggu depan Rinda akan pindah ke Yogya dan aku tetap di Jakarta.
 
"gimana nih?" tanya Rinda.
 
"gak gimana-gimana Rin," jawabku sambil mengangkat bahu.
 
Rinda tertawa. dia yang lebih banyak tertawa dan aku yang lebih kalem. itulah sebabnya dia tidak cocok di OSIS dan aku tidak cocok jadi anak cheers.
 
"gue pasti bakal kangen banget sama lo. bakal susah deh gue dapet nasihat spesial kalau kita LDR-an gini," Rinda membuka tangannya dan kami berpelukan.
 
"gue juga pasti bakal kangen lo yang cerewet dan nelepon gue jam 2 malem cuma buat minta dibukain pintu,"
 
kami tertawa bersama mengingat masa-masa SMA.
 
"janji ya lo bakal rajin-rajin hubungi gue. lo kan sibuk banget anaknya," Rinda mencubit pipiku. aku berkata sambil susah payah.
 
"iya," balasku sambil mengangkat jari tanda peace. "lo juga jangan pacaran mulu, biar jadi pengacara yang membela orang yang lemah."
 
"siap! lo juga belajar yang bener, teknik susah lho. tapi jangan lupa cari pacar," Rinda mengacak-acak rambutku.
 
kami tertawa bersama lagi lalu melanjutkan nonton film sambil makan popcorn, sesuatu yang rutin kami lakukan tiap minggu dan akan jarang kami lakukan di kemudian hari.

***

4,5 tahun kemudian.

aku berhasil meraih gelar Sarjana Teknik tepat dalam 4 tahun masa kuliah. seperti yang dikhawatirkan Rinda, aku lupa cari pacar. saking sibuknya kuliah supaya bisa lulus tepat 4 tahun dan saking asiknya berorganisasi, pacar jadi urutan kesekian dalam aktivitasku. begitu lulus aku langsung bekerja di salah satu perusahaan konstruksi ternama. lagi-lagi disibukkan dengan berbagai pekerjaan. teman-temanku, baik teman-teman SMA ataupun teman-teman kuliah sudah mulai ada yang menikah dan orang-orang mulai bertanya kapan giliranku. menanggapi pertanyaan tersebut aku selalu melambaikan tangan dan tertawa, lalu bilang "masih ada yang harus diurus."

aku mengecek arloji yang menunjukkan pukul 7 malam. pagi tadi Rinda sudah kembali dari Yogya setelah menyelesaikan kuliah dan mengurus beberapa rekomendasi dari dosen agar dia bisa melanjutkan kuliah ke US. Rinda memang berniat untuk langsung S2 setelah selesai S1, sehingga dia pulang dari Yogya setengah tahun lebih lama dari waktu kelulusannya. untukku sendiri, aku mau bekerja dulu baru melanjutkan kuliah. Rinda sampai ketika aku masih bekerja, jadi aku tidak sempat menjemputnya. namun ia ingin kami bertemu sesegera mungkin. maka aku janji menemuinya di salah satu tempat makan favorit kami, Sushi Tei.

"Kamilaaaaaa!!!" aku mendongak begitu mendengar seseorang meneriakkan namaku begitu kencang. tidak peduli restoran ini sedang ramai pengunjung. teriakan ala cheerleader ini begitu khas sampai aku tidak perlu bertanya siapa yang memanggil. setting otakku sudah otomatis mengenali suara sahabatku itu.

"Rindaaaa!!" aku berdiri dan membuka kedua tangan lalu kami berpelukan.

"kangen banget gue sama lo!!" Rinda melepaskan pelukan lalu mengacak rambutku. rambut yang sudah kuikat ekor kuda jadi sedikit berantakan.

"gue juga! lo gak capek baru sampe dari jogja tadi pagi terus sekarang udah ketemu gue aja?" aku melepaskan pelukan dan mengajak Rinda untuk duduk.

"gak lah. mana ada capek. udah 4 tahun kita gak ketemu! makin cantik aja lo, Mil,"

aku tersenyum simpul. berkuliah di jurusan yang mayoritas laki-laki malah tidak membuat aku berdandan ala anak laki-laki, malah lebih feminim dari sebelumnya. "pengaruh lingkungan nih. lo juga makin kurus aja,"

Rinda mengangkat bahu. "namanya juga anak kosan."

kami tertawa lagi, setelah puas saling mengomentari penampilan masing-masing, kami memesan sushi tanpa peduli berapa banyak porsi yang dipesan. akan ada banyak hal yang perlu diceritakan, maka ada banyak juga makanan yang harus menemani.

"eh, Mil. gue mau nikah," kata Rinda di sela-sela mengunyah Dragon Roll-nya.

"apaaaaaa? kapaaannn?" aku hampir tersedak mendengar berita ini. selama 4 tahun jarak memisahkan mereka, Rinda memang beberapa kali berpacaran tapi setauku saat ini Rinda berstatus single.

"belom tau tanggal pastinya sih. 2 minggu lagi rencananya baru mau lamaran. mungkin sekitar 3 bulan lagi pernikahannya," kata Rinda sambil tersenyum berseri-seri.

"ya ampun! i'm so happy for you," aku beranjak dari kursiku dan duduk di kursi sebelah Rinda lalu memeluknya erat-erat.

"lo dateng ya pas acara lamarannya!"

"pastilah! gue gak mau lewatin masa-masa cewe petakilan ini akhirnya siap komiten selama-lamanya,"aku mencubit hidung Rinda. "siapa cowo kurang beruntung itu?"

Rinda tertawa sekaligus mencubit lenganku. "temen gue di kampus sebenernya. dia lebih tua 2 tahun dari gue. lumayan sering ngurusin beberapa hal bareng. dia mau ke US akhir tahun ini dan dia bilang dia mau ngajak istrinya buat nemenin dia selama di sana. lalu dia bilang kalau dia mau gue yang jadi istrinya."

"gilaaaaa, jadi selama ini kalian cuma saling kenal dan tiba-tiba dia ngajak nikah aja gitu?'

Rinda mengangguk.

"terus lo mau?"

"iyalah, kalau nggak, 2 minggu lagi gue gak akan lamaran,"

"bener-bener ya jodoh itu gak kemana,"

***

rupanya selama 4 tahun berpisah, selama itu juga aku kehilangan kontak dengan keluarga Rinda. pada hari ini, saat aku sedang duduk di deretan belakang dari pihak keluarga calon mempelai perempuan, aku baru tahu bahwa kakak perempuan Rinda sekarang menetap di Australia dengan suami dan kedua anaknya. sedangkan kakak laki-laki Rinda ternyata sudah menikah selama kuliah Masternya di London dan sekarang sudah punya anak laki-laki berusia 2 tahun. namanya Gamal. hidungnya mancung dan kulitnya putih, khas wajah orang timur tengah. rupanya ibunya memang berasal dari Turki. mereka bertemu ketika kuliah namun ketika akan diajak ke Indonesia, sang ibu meninggal karena kecelakaan.

Rinda tidak pernah bercerita tentang hal ini. kenapa ya?

proses lamaran berlangsung singkat. calon suami dan keluarganya datang, pihak yang dituakan menyampaikan maksud dari kedatangan, kemudian pihak dari keluarga Rinda menyampaikan kata-kata penerimaan, lalu menanyakan kepada Rinda apakah bersedia menerima pinangan Restu. dengan wajah sok malu-malu, Rinda mengangguk dan berkata pelan "iya". rasanya aku langsung ingin menjitak kepalanya karena tingkahnya berbeda sekali dengan kebiasaannya. setelah kedua pihak sepakat untuk melangsungkan pernikahan dan menentukan tanggal, acara lamaran selesai dan dilanjutkan dengan acara makan bersama. sang calon penganten sibuk berfoto-foto sementara aku langsung melipir ke stand makanan.

Aku sedang asyik menikmati sate ayam ketika seorang anak kecil menghampiri dan memperhatikanku. Ditatap seperti itu, aku langsung jaga imej. 

"Hai Gamal! Udah makan?" sapaku sambil berjongkok dan menyodorkan piring sate. Aku tahu sih anak 2 tahun mana mungkin makan sate langsung dari tusuknya. 

Gamal hanya diam. Dia lalu tertawa dan menepuk-nepuk pipiku. Aku malah cengengesan lalu kucubit pelan pipinya. "Ganteng banget, anaknya siapa siiihh?" 

"Anak saya," sebuah suara menjawab. Aku langsung mendongak dan berdiri,  kurasakan pipiku merona merah karena malu. Kak Rifki berdiri di belakang Gamal lalu menggendongnya, wajahnya tersenyum lebar. "Lama gak ketemu ya Kamila." 

"Iya Kak," jawabku singkat. Masih agak malu. 

"Kerja dimana sekarang?"

"Di Wika, Kak. Kak Rifki gimana?" 

"Lagi ngembangin bisnis sama temen-temen," jawabnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Bingung mau melanjutkan bicara tentang apa. "Sendiri aja kesini?" 

"Iya kak. Rinda ga undang temen yang lain kayaknya," 

"Nggak, maksudnya, ga sama pasangan?" Nada pertanyaan Kak Rifki ini agak, penasaran? Maksudku, pertanyaan simpel tentang pasangan biasanya bernada kepo, agak sedikit ingin menyindir, atau basa-basi. Ini...beda. Atau mungkin perasaanku saja. 

"Eh haha, single Kak," jawabku akhirnya. Kak Rifki mengangguk. Gamal mulai menunjuk-nunjuk arah stand minuman, haus katanya. 

"Saya ke sana dulu ya," katanya sambil menunjuk Gamal, maksudnya ingin memenuhi permintaan anaknya ini. 

"Iya Kak," 

***

"Lo kok gak pernah cerita tentang kalak-kakak lo selama kita kuliah?" aku memunculkan pertanyaan ini setelah rosesi lamaran selesai, para tamu dari pihak pria sudah pulang, dekorasi dan makanan dibereskan. Kak Rifki sedang mengobrol dengan ayahnya, Gamal tidur, Rinda terkapar di kasur sementara aku duduk di sofa kamar Rinda. 

"Gak penting ah," jawab Rinda sambil menyisir rambutnya dengan jari. 

"Gue baru tau kalau Kak Rifki udah punya anak," 

"Apalagi tentang itu," 

Merasa buntu bertanya tentang kakak-kakaknya kepada Rinda, aku memilih diam dan memandangi si calon penganten sedang guling-guling gak jelas di kasurnya. Hingga dewasa begini, Rinda masih tidur di ranjang ukuran single. Karena alasan inilah maka aku bisa dibilang tidak pernah menginap di rumahnya. Kamar lain penuh dan Rinda tidak sampai hati membuat aku tidur di lantai. Tapi sekarang harusnya bisa saja kalau aku mau menginap di sini. Dua kamar kakaknya kosong karena Kak Rifki sudah punya rumah sendiri. 

"Kalau Kak Riana, kayaknya sekilas gw sempet cerita deh. Waktu gue mau liburan ke Aussie, lalu gue bilang mau sekalian jengukin ponakan gue yang baru lahir. Inget gak?" 

Aku menggali ingatanku lalu tersadar, sekitar setahun lalu Rinda pernah bilang dia liburan ke Australia. "Oke gue inget. Tapi waktu itu gue gak follow up lebih jauh karena...guelagi mumet banget sama skripsi."

Rinda mengangguk. Ia menghampiri lemari lalu mengeluarkan daster belel. "Kalau Kak Rifki, gue aja males ngingetnya..." 

"Karena?"

"Waktu kita kelas 2 SMA, dia ke London buat ambil S1. Sekeluarga seneng dong ya. Gataunya dia langsung dapet beasiswa buat lanjutin S2. Gue beres S1 itu sebenernya dia juga baru beresin Masternya. Nah, di masa-masa dia kuliah itu, dia..." Rinda diam, menghela nafas lalu duduk lagi di kasur setelah berganti kostum dengan daster. "Katakanlah, kecelakaan. He went into the party, met a beautiful girl, and then it happened." 

Aku menahan nafas. Mungkin ini alasan Rinda tidak mau menceritakan tentang kakaknya kepadaku. 

"Ayah marah, jelas. Jauh-jauh ke Inggris buat kuliah malah aneh-aneh. Sebenernya kejadian itu gak bikin si cewenya hamil. Toh Gamal lahir juga hampir setahun setelah mereka nikah. Tapi Kak Rifki ngerasa jahat kalau gak nikahin cewek itu setelah apa yang mereka lalukan. Jadi dia nelepon ke rumah, bilang mau nikah sama cewe Turki, alasannya bla bla bla, ayah sama bunda langsung berangkat ke Inggris. Marah, tapi akhirnya ngijinin nikah meaki setelah itu Kak Rifki bener-bener dilepas. Gak dikasih uang saku, ditanya kabar sekedarnya, karena ayah pikir dia udah punya keluarga sendiri. Ketika Gamal usia 1 tahun, istri Kak Rifki kecelakaan, ketabrak pengemudi mabok, meninggal. Sejak saat itu Ayah Bunda jadi lebih lunak sama Kak Rifki. Apalagi karena cucu mereka ini udah kehilangan ibunya sejak kecil. Meski begitu, Kak Rifki harus selesein Masternya dulu sebelum bisa pulang ke Indonesia. Selama 1 tahun kuliah Master, dia bolak balik kuliah dan ngurus anak. Ketika pulang ke Indonesia, dia langsung mulai bisnis, sewa apartemen, tiap weekend tinggal berdua Gamal tapi kalau hari kerja, Gamal dititip disini. Setiap malem dijemput dan setiap pagi dianter. Begitulah..." 

Aku termangu. Terlalu takjub mendengar cerita Rinda. "Lo gak harus cerita semuanya sama fue sebenernya." 

Rinda mengangkat bahu. "Gue bukan gak mau, Mil. Gue cuma malu. Tapi karena lo sahabat gue tersayang, jadi gue merasa gapapa ceritain ini ke lo." Rinda berdiri dan duduk di sebelahku. Aku memeluk sahabatku itu. 

"Yah kita udah tahu banget satu sama lain lah Rin," aku menepuk pundak Rinda. 

***

"Kamila?"

"Yes," aku menyahut sambil menoleh dan kaget ketika ada sosok rapi khas orang kantoran sedang memegang tablet namun memandang ke arahku. "Kak Rifki?"

Aku menghampiri Kak Rifki dan dia pun sebaliknya. Aku menoleh sekilas ke arah temanku yang menunggu, memberi isyarat ke arah Kak Rifki. 

"Lagi ada perlu apa di sini?" tanya Kak Rifki begitu kami saling berhadapan. Ia sudah menyimpan iPadnya. Sekarang ia sedang tersenyum kepadaku. 

"Mau lunch meeting sama klien Kak. Kaka sendiri ngapain?" Aku balas tersenyum. 

"Mau cari tempat yang agak tenang buat ngerjain beberapa tugas dan deket sama tempat tinggal," 

"Oh yah, Kak Rifki emang tinggal dimana?" 

"Four Seasons Residence, ga jauh dari sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah asal. Aku mengangguk. 

"Gamal?" 

"Dia selalu dititip di rumah ayah bunda kalau aku kerja. Nanti sore kujemput," jawabnya lagi. 

"Kak, boleh aku pamit? Sepertinya klienku sudah menunggu," aku menunjuk ke arah Tokyo Belly. 

"Oh iya oke. Silakan. Eh, Mil,"

"Ya?" 

"Boleh minta nomor HP?" 

***

ada satu rahasia yang tidak pernah kuceritakan pada Rinda selama hampir 8 tahun kami bersahabat. aku tidak pernah berani bilang pada Rinda bahwa aku suka pada kakaknya. berawal dari perasaan kagum ketika pertama bertemu. saat itu Rinda begitu bangga memiliki kakak yang pintar, ganteng, jago beladiri, dan perhatian pada adiknya. tak henti-hentinya Rinda membicarakan sosok kakak yang paling dekat dengannya, membuatku penasaran seperti apa wujud kakak yang paling dibanggakan Rinda. suatu hari aku mampir ke rumah Rinda setelah menjalani pelatihan OSIS dan saat itulah aku bertemu dengan Kak Rifki. terburu-buru masuk rumah masih dengan pakaian seragam SMA dan dalam 10 menit sudah berlari keluar lagi untuk ikut latihan karate. Rinda hanya sempat menghentikannya sebentar untuk berkenalan denganku. ia pun memandangiku sekilas lalu segera pergi dengan mobil Karimunnya. sejak saat itu, momen-momen mampir ke rumah Rinda selalu kugunakan untuk mencuri perhatian kakaknya.

sayang, dengan prestasi yang begitu membanggakan, Kak Rifki lebih memilih orang lain untuk jadi kekasih hatinya. memang sejak aku pertama kenal, ia sudah berpacaran dengan seorang adik kelas finalis model cover majalah. jadi aku cukup puas dengan mengaguminya dari jauh, mengetahui setiap aktivitas dan memperhatikan keadaannya. ketika ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke London, saat itu juga aku merasa pintu untuk menggapainya tertutup sempurna. Rinda tidak pernah tahu ini dan ia tidak perlu tahu.

***

7 tahun yang lalu.

"Rin," Rifki langsung menghampiri kamar adik satu-satunya setelah pulang latihan Karate.

"apa?" Rinda mendongak dari soal matematika yang tengah dikerjakannya, besok ia akan ulangan dan materi ini belum ia kuasai.

"temen kamu yang tadi itu . . ."

"Kamila?"

"iya,"

"kenapa?"

Rifki terdiam. sedikit malu untuk mengutarakan niat awalnya bertanya perihal teman adiknya yang baru dikenalkan tadi sore. meski hanya sekilas tapi sosoknya mampu membuat Rifki tidak berkonsentrasi saat latihan karate. memang ia sudah punya pacar dan alasan inilah yang membuatnya sedikit ragu saat akan bertanya pada Rinda. namun naluri laki-lakinya menuntut ia untuk tetap berani bertanya. "baik gak orangnya?"

mata Rinda menyipit. paham benar sebenarnya maksud kakaknya bertanya bukan ini. "baik. baik banget, pinter pula. dia lagi dideketin sama Ketua OSIS di sekolah. kakak yang juara Olimpiade Fisika itu lho,"

"oh gitu,"

"kakak kan udah punya Kak Cherry, kenapa nanyain cewe lain?"

"cuma nanya," balas Rifki lalu keluar dari kamar Rinda. terbersit rasa kecewa di hatinya.

***

"Mil, lo bisa nginep di rumah gue kan? belom puas nih ngobrol-ngobrolnya," tanpa basa basi Rinda langsung nyerocos saat teleponnya kuangkat.

"hari ini?" aku melirik jam tangan yang menunjukkan hari, hari Jumat sih.

"iya, mumpung besoknya kan Sabtu. abis itu lo temenin gue belanja buat keperluan seserahan dan kawan-kawannya,"

"gue ga bawa baju ganti, Rin," balasku sambil memasang headset lalu melanjutkan menelepon sambil bekerja.

"lo bisa pake baju gue,"

aku tertawa mengingat badan Rinda yang ukurannya XS, aku sendiri berukuran M. "yang muat jempolnya doang kali,"

"ya udah lo belanja dulu," usul Rinda sambil tertawa.

"lo jemput gue terus kita belanja baju terus ke rumah lo. oke?" aku mengusulkan jalan keluar. kebetulan kantorku dekat mall.

"oke! gue akan sampai di kantor lo sebelum lo absen pulang," sahut Rinda antusias.

"kalau bisa sih sekarang aja lo jemput gue Rin," balasku sambil tertawa juga.

***

 entah karena pengaruh baru gajian atau kami pada dasarnya memang konsumtif. begitu Rinda menjemputku, kami langsung bertolak menuju Plaza Senayan, aku yang tadinya hanya akan membeli keperluan untuk satu malam, jadi tergoda membeli sepatu dan blus lainnya, Rinda juga membeli sebuah tas, katanya untuk persiapan di USA nanti. setelah itu kami asyik mengobrol sambil makan malam dan baru sampai di rumah Rinda sekitar pukul 11. Rinda langsung bergerak menuju kamarnya sementara aku bergerak menuju kamar yang dulu ditempati Kak Rifki. berhubung orangnya sudah tinggal di apartemen sendiri, kamarnya dijadikan kamar tamu. kamar Kak Riri dijadikan semacam gudang. aku membersihkan diri di kamar mandi yang ada di setiap kamar lalu bergelung dan tertidur.

aku tidak tahu berapa lama aku tertidur ketika rasanya ada gerakan di sampingku. saking ngantuknya, aku tak kuat membuka mata dan memutuskan apapun yang bergerak di sebelahku hanyalah bagian dari mimpi.

sinar matahari menyorot masuk dan pelan-pelan kubuka mataku. saat itulah aku merasa ada yang aneh. ada beban tambahan di bahuku, aku yang tidur menyamping ke sebelah kanan perlahan membalikkan tubuh dan ketika itulah aku melihat tangan Kak rifki yang sedari tadi hinggap di bahuku.

"Kak Rifki!" seruku kaget lalu buru-buru berdiri dan menjauh. aku hampir berteriak dan marah kalau ternyata Kak Rifki melakukan itu dengan sengaja. tapi diteriaki seperti itu Kak Rifki hanya meringis dan terdiam lagi. aku merasa ada yang aneh. pelan-pelan kudekati sosok yang sedang tertidur itu lalu kusentuh keningnya. panas sekali!

"Kak Rifki," panggilku lagi.

ia membuka matanya sedikit lalu menutupnya lagi. "Kamila, kok . . . disini?"

"aku nginep di sini tadi malem," jawabku cepat, dilema antara melanjutkan percakapan dan mengetahui kenapa dia tiba-tiba hinggap disini atau bergegas keluar dan memanggil bantuan.

"kirain . . . ga ada orang. kalau weekend, suka nginep, sini," Kak Rifki membalas masih sambil memejamkan mata dan bicara terbata-bata.

"Kak, ga usah banyak bicara. aku panggilkan yang lain ya," segera aku bangkit dan bermaksud keluar. belum sempat pintu kamar kubuka, Kak rifki sudah bergumam lagi.

"maaf ya, Kamila,"

***

rencana belanja Rinda batal. melihat kakaknya mendadak sakit begini ia jadi tidak tega untuk pergi berbelanja. dokter langganan dipanggil ke rumah dan ternyata Kak Rifki hanya demam biasa karena kecapaian. ia bekerja terlalu keras sampai lupa makan dan istirahat. Jumat kemarin ia pulang ke rumah setelah bertemu klien seharian dan bermaksud menjemput Gamal. namun karena sudah malam dan tubuhnya lemas sekali, ia memutuskan untuk beristirahat di kamarnya, kamar yang dulu ia pakai. Kak Rifki tidak tahu bahwa aku menginap di situ, ditambah kondisi yang tidak sadar dan lampu kamar dimatikan, wajar saja ia tidak menyadari ada aku.

setelah dokter memeriksa kondisi ayahnya dan Kak Rifki sudah lebih sadar, Gamal terus berguling-guling di dekat ayahnya. sementara itu Rinda memandangi mereka berdua dengan tatapan yang tidak kumengerti. Bunda mereka berkali-kali mengajak Gamal keluar karena Kak Rifki butuh istirahat, tapi Gamal tidak mau.

"papanya mau istirahat, Gamal main sama tante yuk?" akhirnya aku mencoba untuk turun tangan. berusaha melepaskan Gamal dari Kak Rifki agar Kak Rifki bisa istirahat. kasihan dia belum sempat memejamkan mata setelah diperiksa dokter tadi.

Gamal hanya memandangiku lalu kembali berguling di samping ayahnya. tak kehabisan akal, kusambar robot yang tadi dibawa namun diacuhkan Gamal. aku gerak-gerakkan robot itu dengan suara yang diberatkan. ternyata berhasil, Gamal menoleh kepadaku dan aku pun langsung menggendongnya, mengajaknya bermain di halaman belakang rumah.

***

"halo," sahutku begitu telepon dari nomor tak dikenal kuangkat.

"Kamila," panggilnya.

"ya, Kamila disini,"

"Rifki,"

"oh Kak Rifki. apa kabar Kak? sudah sehat?" aku menghentikan kegiatanku di depan PC dan lebih fokus kepada sambungan telepon ini. beruntunglah saat ini sedang jam istirahat jadi tidak ada orang yang akan menguping pembicaraanku.

"sudah. hmm, aku mau minta maaf untuk kejadian tidak disengaja waktu itu,"

"ah ga usah dipikirin Kak. toh ga sengaja juga kan," aku meringis, untunglah Kak Rifki tidak dapat melihat ekspresiku ini.

"yeah, tapi itu cukup memalukan," tambahnya.

aku terdiam, dalam hati mengakui hal itu juga.

"dan makasih juga karena membantu menjaga Gamal ketika aku sakit,"

"oh, itu gapapa banget Kak. aku emang suka anak kecil, sayangnya cuma sempet main sebentar. Gamal sehat kan Kak?" nada suaraku berubah antusias. mungkin aku memang bukan sosok yang paling akrab dengan anak kecil, tapi aku bisa saja berjam-jam bermain dengan anak-anak, terutama setelah punya 2 keponakan yang super lincah.

"iya Gamal sehat. hmm, dia nanyain kamu. nanti malam, bisa ketemu? makan malem bareng mungkin?"

aku tersedak, buru-buru kututup speaker HP agar Kak Rifki tidak mendengar jelas responku yang salah tingkah.

"ini Gamal kok yang minta ketemu," Kak Rifki menambahkan, terdengar grogi juga.

aku tersenyum diam-diam. "boleh Kak, ketemu dimana?"

"jam 7? tempatnya terserah kamu, ketemu di lokasi aja gapapa? karena aku harus jemput Gamal dulu dari tempat bunda,"

"boleh Kak. sampai ketemu nanti malam ya,"

"ya, Kamila,"

***

makan malam berlanjut ke makan malam lalu berlanjut ke makan siang dan nonton bersama. makan malam bertiga berkembang jadi makan malam berdua, berdua, atau bertiga. telepon dan SMS terima kasih berubah jadi sekedar menyapa sedang apa atau kemana hari ini. pertanyaan sederhana berubah jadi permintaan pendapat lebih dalam. ajakan keluar bertiga berubah jadi ajakan hidup bertiga.

iya, Kak Rifki sudah memintaku jadi istrinya setelah hubungan kami semakin dekat selama 2 bulan terakhir ini. caranya gak romantis sama sekali, menurutku. kami sedang sama-sama kepanasan saat menonton motoGP di Sepang (jangan bilang-bilang orang kantor kalau aku ambil cuti untuk berangkat ke Malaysia). Kak Rifki lalu tiba-tiba meraih tanganku dan bilang, "jadi istriku ya,"

"hah? Kak?" aku menoleh kebingungan dan menggoyangkan tanganku di depan wajahnya. siapa tau dia kerasukan.

"aku serius," ia menarik tanganku dari depan wajahnya dan dengan demikian ia menggenggam kedua tanganku. tidak peduli saat itu penonton yang lain sedang asyik memperhatikan laga. "tapi ya, kamu pikirkan saja dulu,"

lalu dia melepas kedua tanganku dan kami kembali memperhatikan moto GP, pulang ke Indonesia, bertemu Gamal, dating, dan beraktivitas seakan-akan tidak pernah ada kata-kata lamaran.

itu kejadian 2 minggu yang lalu dan aku masih sering tersentak setiap bertemu atau menerima pesan darinya. aku takut tiba-tiba ditanya apa jawaban atas permintaannya saat di Sepang itu. aku bisa saja menjawab 'ya' tapi tidak semudah itu. kami merahasiakan hubungan kami dari keluarga masing-masing. Rinda tidak tahu aku sudah berpacaran dengan kakaknya. orang tua kami pun tidak tahu. saat Kak Rifki berangkat ke Malaysia, dia berdalih bertemu dengan klien di Singapura. sedangkan aku, aku bilang mau mencari me-time ke Kuala Lumpur. sengaja kami memilih tujuan berbeda agar orang-orang (Rinda) tidak curiga.

Sabtu ini aku menemani Rinda untuk test food. pernikahannya tinggal sebulan lagi dan ia masih bingung menentukan hidangan apa untuk tamu-tamunya. pekan kemarin Rinda dan restu sudah sepakat memilih suatu menu tapi Rinda kemudian mengubah pendapatnya dan hari ini kami harus testfood lagi. Restu tidak ikut karena lebih baik ia percayakan saja pada Rinda.

aku lebih banyak menemaninya sambil diam. lebih banyak memikirkan apa reaksi Rinda saat tahu aku berpacaran dengan kakaknya.

"waktu Kak Riana nikah, gue ga peduli sama urusan beginian, gue cuma terima pake kebaya bagus dan dirias, lalu makan-makanan yang ada. ternyata ngurusinnya ribet gini ya," tiba-tiba Rinda curhat di sela-sela kegiatannya icip-icip makanan. "apalagi waktu Kak Rifki nikah, gue dateng aja nggak. eh, dirayain aja nggak."

"Kak Rifki gak minat nikah lagi, Rin?" kucoba membuat nada pertanyaanku hanya sekedar pertanyaan selewat. walaupun sebenarnya aku deg-degan menanti jawabannya.

"gue udah lama sebenernya gak ngobrol sama dia. hubungan gue sama dia sekarang beda sama gue dan dia dulu, sebelum dia berangkat ke London. jujur aja, gue kecewa waktu dia memutuskan menikah sama orang yang baru dia kenal. yang lebih bikin gue kecewa sih karena dia bisa ngelakuin 'itu'. gue jadi kesel banget sama dia. akibatnya, sama Gamal pun gue gak begitu deket. gue malah lebih sering Skype-an sama Titania yang jauh di Aussie daripada main sama Gamal yang serumah. mungkin Kak Rifki ingin menikah lagi, dia masih muda, baru 26, tapi gue gak tau, apakah gue mau mencari tahu gimana rencananya ke depan atau gue mau ngerestuin seandainya dia memilih menikah lagi," kilatan di mata Rinda benar-benar menunjukkan kekecewaaannya terhadap kakak yang paling dia banggakan itu. aku menggenggam tangan sahabatku dan memeluknya.

"gue gak sedih lho ya," sahut Rinda dan kami tertawa. "lo gak minat sama kakak gue kan? lebih baik jangan. you deserve much better man than my brother."

Rinda menepuk tanganku yang melingkari pundaknya dan aku hanya senyum pahit.

***

"hai," sapaku saat pintu apartemen dibuka dan Kak Rifki serta Gamal masuk. menginjak bulan kedua kami pacaran, Kak Rifki menggandakan kunci apartemennya untukku. jadi seperti hari ini, ketika aku pulang kerja lebih cepat, aku mampir ke apartemen dan membuatkan mereka makan malam.

"mommy!" Gamal yang baru turun dari gendongan Kak Rifki langsung lari menghampiriku dan berteriak seperti itu. aku menggendongnya sambil memandang Kak Rifki dengan kebingungan.

yang ditatap mengangkat bahu lalu duduk di sofa dan melepas sepatu serta kaos kakinya. "tadi siang bunda ajak gamal ke pengajian ibu-ibu. banyak ibu-ibu muda yang bawa anak seumuran dia. terus kayaknya Gamal lihat kalau anak-anak itu pada manggil ibunya 'mommy'. bunda gak sadar kalau Gamal merhatiin itu. ketika pulang, Gamal nanya, kenapa pada panggil 'mommy'. kata bunda, 'itu panggilan buat ibu kamu, perempuan yang paling kamu sayangi'. Gamal ga respon apa-apa kata bunda. gak tau deh tiba-tiba dia manggil kamu begitu,"

aku memandang Gamal yang sedang kupeluk, dia menepuk-nepukkan tangannya ke pipiku lalu tertawa.

"Gamal sayang sama aku?" panggilku lembut lalu menempelkan hidungku pada hidungnya.

"Gamal sayang mommy," jawabnya lalu memelukku. aku jadi ingin menangis. padahal dia bukan anak yang lahir dari rahimku tapi rasanya aku terharu sekali saat ia bilang sayang padaku.

"daddy sayang Gamal dan mommy," Kak Rifki menghampiri aku dan Gamal yang berpelukan sambil berdiri lalu memeluk kami berdua.

***

Gamal tidur tidak lama setelah menghabiskan makan malamnya. Kak Rifki masih memegang tugas membimbing Gamal menggosok gigi, mencuci kaki, dan shalat. setelah Gamal tertidur lelap di kamarnya, kami duduk di sofa.

"kak Rifki tuh, udah lama ya gak ngobrol sama Rinda?" aku membuka pembicaraan.

"ngobrol kok," jawabnya santai sambil mengambil remote dan menyetel TV.
 
"ngobrol lebih dekat. like you both used to do every single day when you were younger," aku menekankan nada bicaraku, mengarahkan maksudnya ke arah mana.
 
"dia kecewa sekali padaku, Mila. gara-gara kesalahan aku di masa lalu. dan aku belum pernah punya kesempatan untuk bicara berdua dengannya, menjelaskan bahwa aku menyesal,"
 
"lalu mau sampai kapan begini? masa kakak adik suasananya awkward begini? Rinda juga perlu tahu apa yang ada di pikiran dan perasaan kakaknya," aku mengulurkan tangan dan mengelus rambut Kak Rifki.
 
"entahlah apa dia mau denger,"
 
"Rinda pasti mau. sebentar lagi Rinda menikah, lalu dia akan ikut Restu ke USA dan menetap di sana entah sampai kapan. sebelum Rinda berangkat, kalian harus sudah memperbaiki hubungan,"
 
"ya, i'll try," Kak Rifki meraih tanganku yang sedang mengelus rambutnya lalu menciumnya. "lalu, ada apa lagi yang mau kamu bilang?"
 
"ketauan ya?"
 
"keliatan jelas sih di mata,"
 
aku nyengir. mengambil posisi duduk lebih nyaman, aku lalu memulai bercerita apa yang mengganggu pikiranku.
 
"waktu aku nemenin Rinda test food Sabtu kemarin, aku iseng nanya apakah Kak Rifki mau menikah lagi atau gak. setelah bla bla bla jawab, Rinda kemudian melarang aku kalau aku punya perasaan ke Kak Rifki. katanya lagi, I deserve much better man than you do."
 
"hmm,"
 
"Kak Rifki tahu gak sih bahwa aku sebenernya udah suka sama kakak sejak kita pertama kali kenalan dulu? tapi aku gak berani bilang, saat itu Kak Rifki sudah punya pacar dan gak lama kemudian Kak Rifki berangkat ke London. aku juga gak berani cerita sama Rinda karena aku gak yakin dia bakal ngijinin aku naksir kakaknya,"
 
"oh yah? kamu suka aku sejak dulu?"
 
aku mengangguk.
 
"tapi aku kubur perasaan aku dalam-dalam. aku juga mulai hilang harapan sejak Rinda gak pernah lagi cerita tentang keluarganya, termasuk Kak Rifki. dan aku sangat kaget ketika tahu bahwa Kak Rifki sudah menikah dan punya anak."
 
"lalu perasaan kamu mulai hilang setelah aku jadi duda beranak satu?"
 
aku menggeleng dan tersenyum sedikit. "aku gak akan duduk di sini, di depan Kak Rifki kalau perasaanku sudah ga ada. mencintaimu berarti menerima semua yang ada pada dirimu, termasuk masa lalu dan buah hatimu. kan?"
 
"i have loved you since we were younger, too," ucap Kak Rifki, sambil merangkulkan tangan ke pundakku.
 
"really?"
 
"yeah, but Rinda banned me too. ga cuma karena aku masih punya pacar dan kamu lagi dideketin cowo lain, sepertinya Rinda juga berpikir bahwa aku terlalu jelek untuk temannya yang luar biasa ini,"
 
"haha, gak kebalik tuh? aku kali yang terlalu jelek buat Kak Rifki,"
 
Kak Rifki membalas kata-kataku dengan cubitan di hidung. "ga ada yang terlalu jelek atau terlalu bagus. menurutku, kamu pas buatku dan aku pas buatmu,"
 
mendengar itu aku hanya diam, diamku tanda setuju, bahwa kami memang pas untuk satu sama lain.
 
"sudah, gak usah dipikirkan apa yang terjadi di jaman dulu. biar jadi pelajaran aja dan kita tatap masa depan kita," Kak Rifki bicara lagi.
 
"kata-katanya kayak iklan calon presiden deh," aku tertawa
 
"memang, seperti Presiden yang harus lihai meyakinkan orang. buatku, meyakinkan Rinda dan orang tua kita,"
 
***
 
"kok lo ada di sini?" adalah kata-kata pertama Rinda saat dia memasuki apartemen Kak Rifki dan menemukan aku sedang duduk di sofa.
 
"hai, Rin," aku menghampiri sahabatku itu, bermaksud memeluk dan menyapanya seperti biasa. tapi Rinda malah mundur dan memandang ke sekeliling.
 
"Kak Rifki mana?" tanya Rinda sedikit lebih galak.
 
"lagi ketemu temennya dulu di bawah, ada urusan mendadak," jawabku masih dengan nada suara pelan.
 
hari ini Kak Rifki mengundang Rinda ke apartemennya untuk bicara lebih dalam tentang hubungan kakak-adik mereka yang mendingin beberapa tahun terakhir ini. Kak Rifki sengaja meminta Rinda datang ke apartemen agar pembicaraan mereka tidak didengar orang lain. setelah itu Kak Rifki ingin membicarakan soal kami pada adik satu-satunya ini. karena itulah aku ada di sini.
 
"Kamila, lo kok ada di sini?" Rinda mengulangi pertanyaannya lagi. kami berdiri berhadapan dengan canggung, tidak pernah seperti ini sebelumnya.
 
"Kak Rifki yang minta gue ada di sini," aku menjawab setenang mungkin.
 
"kok bisa? ada hub..."
 
pintu terbuka, aku dan Rinda refleks menoleh ke arah pintu. Kak Rifki memasuki apartemen lalu tersenyum."kita ngobrol sekarang yuk," ajaknya pada Rinda.
 
Rinda mengangguk tapi ia masih menatapku dengan penasaran.
 
"akan kakak jelaskan juga kenapa Kamila ada di sini," Kak Rifki bergerak ke arah ruang kerjanya dan Rinda mengikuti. ia sempat melirikku namun aku hanya tersenyum dan mengisyaratkan bahwa ini hanya urusan dia dan kakaknya.
 
aku kembali duduk di sofa, merasa sedikit kesepian karena Gamal ada di rumah kakek-neneknya meskipun ini sedang weekend. dengan perasaan harap-harap cemas aku menanti apa yang sedang dibicarakan kakak beradik ini. aku ambil novel yang sedang kubaca, kucoba melanjutkan membaca novel itu meski pikiranku tidak seluruhnya di situ. ketika satu bab berhasil kubaca, Kak Rifki memanggilku.
 
"Kamila,"
 
aku menoleh dan buru-buru bangkit, berlari kecil menghampiri Kak Rifki yang membukakan pintu dan menyuruhku masuk.
 
"jadi...kalian pacaran?" Rinda berdiri menghadap aku dan Kak Rifki sambil melipat kedua tangannya di dada.
 
aku menoleh ke arah Kak Rifki, meminta isyarat harus merespon seperti apa. Kak Rifki mengangguk maka aku pun mengaku.
 
"iya,"
 
"udah cukup ya hari ini gue sempet curhat-curhatan sama kakak gue, sempet marah-marah juga. sekarang ternyata temen baik gue pacaran sama kakak gue, dimana mereka berdua udah saling suka dari dulu tapi gak jadian cuma gara-gara gue!"
 
"Rinda," panggilku.
 
Rinda terduduk di kursi, masih bicara sendiri sambil menatap meja.
 
"kalau saat itu gue biarkan kalian berdua kenal lebih deket, mungkin Kak Rifki gak akan menikah di Inggris dan gak akan mengubah hubungan gue sama kakak gue seperti yang terjadi sekarang. mungkin semuanya bakal berjalan lebih baik,"
 
"Rin, gak gitu," aku menghampiri Rinda dan memeluknya. "semua kejadian pasti ada hikmahnya. ga ada yang perlu disalahkan sama apa yang sudah terjadi."
 
"tapi gue beneran nyesel banget. cuma gara-gara gue..."
 
"iya, cuma gara-gara kamu, Rin. kalau kamu ijinin kami sekarang, semuanya benar-benar bisa lebih baik," Kak Rifki menghampiri aku dan Rinda lalu berlutut di depan adiknya.
 
"gue gak nyangka! bakal kayak apa kalau kakak gue nikah sama sahabat gue?" Rinda mulai menangis tapi dia juga tertawa. aku memeluknya makin erat dan tertawa juga.
 
"bakal bahagia, Rin," sahutku, nyengir. Kak Rifki tersenyum.
 
***
 
aku duduk di kursi penumpang dalam mobil Rinda, dalam perjalanan menuju rumah Rinda. katanya setelah sesi tangis-tangisan, "ayo kita ke rumah ayah bunda gue. gue harus minta maaf sama keponakan gue dan kalian harus ngaku di depan ayah bunda." Kak Rifki mengikuti dari mobil yang berbeda. katanya supaya sekaligus menjemput Gamal dan mengantarku pulang nanti.
 
mobil Rinda memasuki garasi dan mobil Kak Rifki berhenti di carport. aku menunggu sampai Kak Rifki turun dari mobil lalu memasuki mobil bersama-sama. Rinda berjalan di depan seakan menjadi pengawal atau pengantar kami menuju pengadilan. Rinda mengajak kami ke ruang TV, dimana Gamal sedang tiduran di pangkuan kakeknya sambil dibacakan cerita Pandawa Lima. melihat aku dan ayahnya tiba, Gamal langsung berdiri dan berlari menghampiri kami.
 
"daddy! mommy!" seru Gamal sambil memeluk kami berdua. aku langsung salah tingkah, karena Rinda dan ayahnya terlihat sama-sama kaget, dengan kadar berbeda.
 
"halo jagoan Daddy," panggil Kak Rifki sambil mengangkat Gamal ke pangkuannya dan menciumnya.
 
"hai Gamal," sapaku lalu mencium pipi tembemnya.
 
ayah Kak Rifki semakin terlihat kebingungan. Rinda memilih diam saja. sementara itu, bundanya Rinda menghampiri kami.
 
"eh ada Kamila juga,"
 
"malam tante," sapaku lalu mencium tangan bunda dan lalu menghampiri ayah.
 
"kenalin, yah, bun, ini Kamila, calon istri Rifki dan calon ibu Gamal," kata Kak Rifki.
 
***
 
aku memandang ke luar jendela mobil sambil memeluk Gamal yang tertidur di pangkuanku. hampir 2 jam aku dan Kak Rifki dinasehati oleh ayah dan bundanya setelah dengan gamblang Kak Rifki bilang ingin menikah denganku. ayah dan bunda berkali-kali bertanya apa kami sudah yakin dengan keputusan ini. apakah Kak Rifki benar-benar yakin memilih aku? lalu untukku, dengan kondisi Kak Rifki yang sudah memiliki 1 orang anak apakah aku masih mau menerimanya? ayah dan bunda juga menanyakan apa aku bisa menerima masa lalu Kak Rifki? bagaimana pendapat orang tuaku? setelah hampir lelah meyakinkan bahwa aku sendiri siap dan Kak Rifki pun siap, ayah dan bunda terdiam. pada dasarnya mereka setuju, apalagi mereka sudah kenal aku sejak lama. tapi, mereka menyerahkan keputusan akhir kepadaku, aku harus meminta izin kepada orang tuaku. jika orang tuaku mengijinkan, ayah dan bunda akan langsung mengajukan lamaran resmi.

sekarang yang jadi pikiranku adalah orang tuaku. apakah  . . .

"jangan terlalu serius mikirinnya," Kak Rifki menepuk-nepuk kepalaku lalu tersenyum. mungkin dia sadar aku diam saja sedari pulang dari rumahnya.

"gak mungkin gak serius, Kak," aku menjawab, mengeratkan pelukan kepada Gamal.

"pasti ada jalan keluar. jalan keluar terbaik buat kita berdua," Kak Rifki mengulurkan tangannya dan aku balas menggenggamnya.

"iya,"

Kak Rifki mengantarku sampai ke rumah, setelah memindahkan Gamal ke car seat, aku berpamitan dan masuk ke rumah. ia akan datang lagi besok siang, karena kami ingin menyelesaikan semua urusan sesegera mungkin.

"hati-hati ya," bisikku dan dibalas dengan senyuman dan kecupan di kening.

***

"kak, ada yang nyariin tuh," Dodi, adikku menghampiri ketika aku sedang menemani mama masak di dapur. aku langsung menelan ludah tanda gugup. aku melirik mama namun mama sedang asyik membuat sop, maka aku menoleh ke Dodi dan mengangguk.

kuhampiri pintu depan dan aku melihat Kak Rifki sedang memperhatikan Gamal yang berlari-lari di sepetak halaman rumput depan rumahku.

"cepet juga sampainya," sapaku begitu sampai di sebelah Kak Rifki.

"iya jalanan sepi," Kak Rifki melirik ke dalam rumah, ketika keadaan aman, ia mengecup pipiku cepat.

"Gamal!" sambil memanggil, aku menghampiri dan langsung menggendong anak 2 tahun itu.

"mommy!" Gamal langsung memelukku dan aku balas memeluknya. "masuk yuk,"

"orang tua kamu ada?" Kak Rifki mengikutiku masuk ke dalam rumah.

"ada. mama lagi masak, papa lagi beresin kebun belakang, Dodi lagi belajar buat ujian besok, Kak Nia lagi gak main ke rumah hari ini,"

Kak Rifki mengangguk, wajahnya mulai agak gugup. aku menghentikan langkah dan menggenggam tangannya.

"Kak Rifki pasti bisa!"

dia tertawa, apalagi setelah Gamal ikut menepuk-nepuk pundak ayahnya, seperti mengerti.

"aku panggilin mama dan papa ya. Kak Rifki dan Gamal tunggu sini ya. sebentar ya sayang," aku menyerahkan Gamal ke pangkuan Kak Rifki dan ayah anak itu lalu duduk dengan manis.

"ma, ada tamuku yang mau ketemu mama sama papa," aku menghampiri mama dulu, karena mama yang bisa lebih kalem menghadapi apa pun, seperti misalnya ketika Kak Nia tidak sengaja memecahkan kaca jendela di sekolah, mama yang tetap dengan kepala dingin, sementara papa langsung berteriak-teriak, "gimana kalau kamu berdarah Nia? gimana kalau kena orang lain? bla bla bla..."

sesungguhnya aku khawatir dengan bagaimana respon papa, karena aku sudah tahu bagaimana karakter papa. tapi aku sengaja tidak menceritakannya pada Kak Rifki agar pikirannya masih jernih.

"siapa?" tanya mama, mengalihkan perhatian dari sambal yang sedang dibuatnya.

"hmm, pacarku,"

mata mama langsung berbinar. "oh oke, mama cuci tangan dulu nanti mama keluar. kamu panggil papa,"

aku mengangguk lalu buru-buru menghampiri papa yang sedang merapikan tatanan bunga.

"pa, ada yang mau ketemu papa,"

"siapa?" tanya papa di sela-sela rokok.

"pacar Mila,"

papa langsung berhenti, melepas rokoknya. "kamu sudah punya pacar?"

aku mengangguk. "makanya, papa harus ketemu dia sekarang."

papa memandangiku dengan tatapan menyelidik, lalu masuk ke rumah, aku mengikuti dengan sedikit was-was. ketika sampai di ruang tamu, kulihat mama sedang mengobrol dengan Kak Rifki.

"papa, ini Kak Rifki. Kak Rifki, ini papa,"

Kak Rifki bangkit berdiri dan menyalami papa. di sebelahnya, Gamal juga ikut berdiri dan mengulurkan tangan. dengan kebingungan, papa bersalaman dengan Gamal.

"ini anak saya om," kata Kak Rifki. aku langsung diam, mama terlihat serba salah, dan papa langsung kaget.

"pa, hmm, Kak Rifki ini kakaknya Rinda. papa mama kenal Rinda kan? Kak Rifki memang sudah pernah menikah ketika kuliah di London tapi istrinya sudah meninggal. sekarang Kak Rifki di Jakarta sedang membangun bisnis sambil membesarkan Gamal," aku meresume biografi Kak Rifki agar kedua orang tuaku tidak terlalu bingung. walaupun sudah kulihat bahwa papa langsung keberatan ketika pacarku ternyata sudah punya anak.

"saya sudah kenal Kamila sejak lama om, tante. hanya jalur hidup baru mempertemukan kami sekarang ini, setelah saya menikah dan punya anak. niat saya kepada Kamila serius dan jika om tante mengizinkan, saya ingin melamar Kamila untuk jadi istri saya,"

aku menelan ludah berkali-kali. tidak berani memandang siapapun, bahkan Gamal pun nampaknya paham dengan situasi yang serius ini karena ia menghampiriku setelah bersalaman dengan papa dan diam saja di pangkuanku.

"anak saya, Gamal, sudah akrab juga dengan Kamila, kami pernah beberapa kali keluar bersama dan tidak ada masalah antara Gamal dengan Kamila,"

papa dan mama masih diam. aku juga tidak tahu mau bicara apa selama papa dan mama belum mengutarakan pendapatnya. Kak Rifki juga bingung mau bicara apa lagi. memang kata-katanya sudah cukup merangkum apa yang ingin kami berdua sampaikan.

"gini nak. pada dasarnya om menyerahkan pilihan tentang pendamping hidup ke anak-anak sendiri. walaupun om dan tante tetep perlu melihat calon yang mereka bawa. asalkan calon itu baik, om dan tante pasti memberikan izin," akhirnya papa bersuara.

aku memandang papa dan kulihat papa sedang serius memandangi Kak Rifki.

"om akan bicarakan dulu dengan Kamila tentang hal ini," lalu papa berdiri dan pergi. melihat papa pergi, mama langsung mengambil alih.

"papa kaget, Mila. lebih baik nanti kita bicara bertiga saja. mungkin lebih banyak yang ingin papa tanyakan, tapi tidak di depan Rifki,"

tanpa bicara, aku melirik Kak Rifki dan ia balas tersenyum kepadaku, semacam menenangkan.

"saya sudah sampaikan apa yang saya rasa perlu sampaikan dari pihak saya. kalau begitu, saya pulang dulu tante. terima kasih banyak waktunya. mohon. . . dipertimbangkan," Kak Rifki bangkit lalu mencium tangan mama. aku juga berdiri sambil menggendong Gamal, mengantarkan mereka berdua ke luar.

"maaf," kataku, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.

"kamu gak perlu minta maaf. aku yang harusnya minta maaf. kalau aku fokus kuliah aja mungkin kita gak akan susah seperti begini," Kak Rifki mengelus puncak kepalaku

mendengar itu, aku menggeleng kuat-kuat.

"gak boleh ngomong gitu. karena ketika Kak Rifki menikah, ada Gamal. kalau Kak Rifki menyesali pernikahan itu, berarti menyesali adanya Gamal,"

Kak Rifki memandang Gamal yang balas memandangnya. ia menarik tangan Gamal lalu mencium tangan putra kecilnya itu.

"maafin daddy ya,"

"Gamal loves daddy," sahut Gamal ceria. aku terharu melihat pemandangan itu, betapa mereka bisa saling menguatkan.

"aku pulang dulu. kamu coba bicara dengan orang tuamu ya,"

"iya,"

"see you," Kak Rifki mengambil Gamal dari gendonganku lalu mencium keningku lagi.

"bye mommy,"

"bye Gamal," balasku lalu mencium pipi tembamnya.

***

"pa, ma," aku membuka pembicaraan saat aku, papa, mama, dan Dodi duduk di meja makan untuk makan siang. Dodi yang tidak tahu kejadian tadi kebingungan melihat suasana yang hening.

"Kamila, kamu itu sudah punya pendidikan tinggi, kerjaan bagus, memangnya gak bisa dapet suami yang single?" kata-kata papa langsung menusuk ke tempat paling sensitif. betul kan, masalahnya bukan di karakter ataupun kemampuan finansial, seperti topik-topik umum pasangan yang tidak direstui orang tua. melainkan di status Kak rifki yang duda dan beranak satu.

"memangnya masalah ya kalau Kamila memilih untuk menikah dengan Kak Rifki?"

"apa kata orang nanti?" papa balas bertanya.

"kenapa harus mikirin kata orang? yang jalanin pernikahan kan Kamila. yang keluarga Kamila kan papa, mama, Dodi, Kak Nia. lagipula Kak Rifki juga bukan kriminal, bukan buronan. kita juga gak beda agama. Kamila udah kenal keluarga Kak Rifki karena Kamila sudah lama sahabatan dengan adiknya. Kak Rifki juga bukan seorang pengangguran,"

"papa gak mau kamu menikah dengan duda! apalagi sudah punya anak!"

"apa salahnya?" nada suaraku semakin meninggi, diiringi denga air mata saking kesalnya.

"kamu pantas dapat yang lebih baik,"

"gimana kalau dia yang terbaik? dan Kamila gak akan pernah dapet yang terbaik hanya karena papa melarang Kamila?" aku benar-benar menangis. kubiarkan makanan yang belum tersentuh dan aku lari memasukki kamarku.

***

"Kamila," mama memasukki kamarku, menghampiri aku yang sedang tiduran sambil melamun.

"hmm," balasku.

"papa kamu cuma perlu diyakinkan," mama duduk di sampingku lalu mengelus rambutku.

"menurut mama sendiri gimana?"

"mama kaget sih kamu punya pacar, udah beranak. tapi ketika mama ngobrol sama dia tadi, mama gak ngerasa ada yang salah. dia baik, sorotan matanya ke kamu juga nunjukkin rasa sayangnya, dan dari ceritanya, dia pekerja keras kok. kalau mama mau komersil, lulus London pula! anaknya pun, siapa namanya?"
"Gamal,"

"iya Gamal, baik dan gak rewel, cakep pula,"

aku tersenyum.

"jadi mama gapapa kalau aku nikah sama Kak Rifki?"

mama mengangkat bahu. "selama dia sayang sama kamu dan bisa membimbing kamu, kenapa nggak? cuma memang ya kamu dapet 'bonus',"

aku tertawa.

"lagian kayaknya Gamal juga udah akrab ya sama kamu. kok bisa?"

lalu aku menceritakan pertemuan kami kembali dan bagaimana aku akhirnya dekat dengan Kak Rifki dan Gamal, termasuk bagaimana perasaan kami sejak dulu, sejak sebelum dia berangkat ke London.

"jadi udah saling tertarik dari dulu? wah..."

"Kamila gak melihat di mana salahnya menikah dengan orang yang sudah pernah menikah. Kak Rifki juga gak jadi single karena ada kasus, istrinya meninggal karena kecelakaan. lalu Gamal, Gamal butuh ibu,"

"dan kamu pikir kamu bisa jadi ibu yang baik buat Gamal?"

"Kamila dekat dengan Gamal,"

"dekat saja gak cukup untuk jadi seorang ibu yang baik. memberi pendidikan, memberi contoh, memelihara, menjaga kesehatan, memperhatikan kesehatannya, hal-hal yang terlihat mudah tapi sebenarnya sulit. ketika kamu menikah dengan orang yang single, setidaknya kamu masih punya waktu untuk mengenali pasangan kamu, mendefinisikan bagaimana kalian akan membentuk keluarga setelah ada anak. tapi kamu, ketika kamu menikah dengan Rifki, kamu harus beradaptasi dengan Rifki dan langsung berkompromi dengan Gamal sekaligus. kamu harus dengan cepat mampu mengurus Gamal, menyediakan pendidikannya, menjaga kesehatannya. waktu persiapan kamu sedikit. kamu siap?"

aku termenung. aku baru sadar akan hal itu.

"mama mengijinkan kamu untuk menikah dengan Rifki. tapi dengan catatan, selama kamu juga siap untuk bergerak lebih cepat karena setelah menikah kamu akan langsung jadi ibu, bukan hanya seorang istri. kalau kamu sudah siap, temui papa dan rayu papa supaya mengizinkan kamu menikah dengan Rifki. ya?"

"ya ma. terima kasih ma," aku memeluk mama dan mengecup pipinya. mamaku memang luar biasa. mampu memberikan pandangan berbeda, yang selama ini belum aku sadari.

***

aku berangkat kerja keesokan harinya tanpa membahas kejadian kemarin dengan kedua orang tuaku. papa pun nampaknya datar-datar saja. tapi aku perlu meyakinkan sesuatu sebelum melancarkan manuver untuk meminta izin kepada papa.

siang itu aku meminta izin kepada atasan untuk pulang lebih cepat. aku langsung bertolak ke rumah Rinda, dimana Gamal pasti sudah dititipkan Kak Rifki ke ayah dan bunda. ketika aku sampai, Rinda yang membuka pintu.

"Mil," panggilnya.

"hai, Gamal ada?"

"lagi main sama bunda di dalem." Rinda menyingkir dan memberikan jalan agar aku bisa masuk. "katanya kemarin lo ngajak Kak Rifki ketemu papa mama?"

"iya,"

"lalu?"

"papa gak setuju,"

Rinda menghela nafas. "gak aneh,"

"gue tau. makanya gue harus meyakinkan papa, tapi sebelum itu, gue harus meyakinkan diri gue sendiri dulu."

"caranya?"

aku mengangkat tangan, tepat saat kami sudah sampai di ruang tengah dimana Gamal sedang main robot-robotan dan bunda sedang membaca.

"bunda," panggilku

"mommy!" Gamal melemparkan robotnya dan berlari menghampiriku. aku langsung mencium dan memeluk Gamal. kuajak dia menghampiri bunda dan kucium tangan bunda dari sahabat dan orang yang kusayangi.

"gak kerja, Mila?"

"izin setengah hari, bunda,"

"kemarin gimana? Rifki belum cerita,"

aku menggeleng sambil tersenyum kecut. "papa gak setuju, bunda."

"karena Rifki sudah punya anak?"

aku mengangguk. "tapi mama setuju. jadi aku mau berusaha dulu untuk meyakinkan papa,"

"kalian bener-bener mau maju terus?"

"kenapa nggak, bunda? toh ga ada masalah yang benar-benar berarti kan?"

bunda kali ini tersenyum simpul.

"oh iya, Mila boleh minta tolong? Mila mau jagain Gamal seharian ini. bunda dan Rinda biar melakukan apapun yang kalian mau. biar Gamal sama Mila,"

"lho kenapa?" tanya bunda bingung.

aku memandang Gamal yang sudah turun dari pangkuanku dan sedang bermain robot lagi.

"kalau Mila jadi menikah dengan Kak Rifki nanti, Mila akan langsung punya anak. gak ada waktu untuk beradaptasi lagi. maka Mila harus mulai adaptasi dari sekarang, Mila harus siap dari sekarang. itu pesan mama. Mila bilang memang bersedia menerima kondisi Kak Rifki, tapi Mila belum pernah terjun langsung di kondisi tersebut. maka dari itu, sekarang Mila mau memulai. jika memang siap, maka Mila pun lebih mantap untuk bertemu papa. jika tidak, berarti PR Mila masih banyak,"

Rinda menghampiriku dan matanya terbelalak. bunda juga bengong. "salut gue," Rinda lalu memelukku.

"hahaha apaan sih Rin,"

"ya sudah, Bunda tinggalkan kalian berdua ya,"

"iya. makasih Bunda,"

Bunda dan Rinda lalu meninggalkan aku dan Gamal. "saatnya beraksi,"

***

"lho, kamu disini?"

aku menoleh dan mendapati Kak Rifki berdiri kebingungan memandangi aku yang baru selesai memakaikan piyama pada Gamal.

"oh, hai," balasku sambil nyengir.

"daddy daddy!" Gamal melompat-lompat lalu Kak Rifki menggendongnya.

"sejak kapan?"

"tadi siang. aku ijin dari kantor lalu kesini. aku mau latihan gimana ngurus Gamal seharian," mendengar kata-kataku itu, Kak Rifki penasaran.

"lalu?"

"tadi siang aku masakin gamal sop sama perkedel kentang buat dia makan. selama aku di dapur, dia juga ikut sambil main robot-robotan. aku sempet takut juga kalau dia deket-deket kompor, tapi untungnya dia anteng main.paling cuma manggil dan nanya-nanya. setelah itu kami makan di ruang keluarga, aku suapin sambil Gamal lari-larian main pedang-pedangan. abis itu dia ngantuk karena udah kenyang dan capek. aku ajak tidur di kamar kamu. setelah dia tidur, aku beresin mainannya dan ikut tidur bentar. hehe. pas dia udah bangun, dia mau eek, jadi aku temenin ke WC dan aku cebokin, terus dia mau nonton film kartun dan aku temenin dia nonton. dia banyak nanya, 'kenapa A kenapa B kenapa C' dan aku coba jawab sebisa aku. sekitar jam 4 aku ajak dia mandi sore, aku mandiin, abis itu aku kasih minyak kayu putih dan minyak wangi, pakein piyama, lalu Kak Rifki datang,"

"gimana rasanya?" Kak Rifki tersenyum lebar mendengar ceritaku.

"amazing!" aku menghela nafas tapi tertawa. "gak nyangka bahwa jadi ibu ternyata sedetil ini ya. bagian paling sulit adalah ketika nonton dan Gamal banyak tanya. beneran aku harus punya wawasan luas buat jawab semua pertanyaan dia,"

aku mencubit pipi Gamal dan dia nyengir, ayahnya senyum-senyum saja memandangi kami.

"jadi, udah siap jadi ibu?"

"yes I am," jawabku sigap sambil hormat ala-ala anak SMP upacara.

tanpa banyak bicara, Kak Rifki langsung menciumku, meski saat itu Gamal sedang memperhatikan kami.

and yes, this is our first kiss.

***

sepertinya mama sudah bercerita pada Kak Nia tentang aku dan Kak Rifki. karena ketika aku pulang ke rumah, Nadia, keponakanku yang berusia 5 tahun yang membukakan pintu.

"Nadia!" aku berseru kegirangan.

"tante Mila!" Nadia balas memekik dan kami berpelukan erat.

"sama siapa kesini?" aku menggandeng tangan Nadia dan kami memasuki rumah bersama.

"ada mama di dalem,"

"papa gak ikut?"

"papa belum pulang, nanti papa jemput Nadia sama mama kesini,"

Kak Nia sedang duduk bersama papa dan mama. aku langsung menghampiri kakak sulungku dan mencium tangan serta cipika cipiki.

"sehat, Mil?"

"sehat Kak. kak Nia gimana? udah isi lagi belum?" aku nyengir, apalagi setelah Kak Nia membalas dengan mencubit lenganku.

"tutup pabrik dulu," katanya. "nadia, mama sama opa oma dan tante mila mau ngobrol. kamu bisa samperin Om dodi di atas?"

"oke mama," Nadia lalu berlari ke arah tangga dan menuju kamar Dodi. adikku itu sepertinya sedang main game online.

setelah Nadia naik, Kak Nia memandangiku. "papa dan mama udah cerita. kamu mau nikah ya?"

aku melirik ke arah papa dan mama. mama tersenyum dan papa memalingkan wajah.

"iya,"

"udah yakin?"

"iya, tadi seharian Mila ngurusin Gamal. memang berat sih, tapi i found it interesting,"

"itu cuma sehari. gimana kalau sebulan, dua bulan, setahun?" Kak Nia menantangku

"Kak Nia juga bisa kan ngurusin Nadia sampai gede?"

Kak Nia menggeleng. "beda. Nadia lahir dari rahim aku, Mil. aku tahu setiap perkembangan dia. rasanya akan beda, mengurusi anak yang kamu buat dan kamu rawat sendiri dengan anak orang lain."

aku terdiam lagi. "iya, pasti beda. tapi, aku akan berusaha dan aku pasti bisa menganggap dia seperti anakku sendiri,"

Kak Nia memandang papa dan mama. mama mengangguk, Kak Nia melanjutkan.

"tunggu sebentar, aku mau menyampaikan sesuatu," aku berdeham. papa, mama, Kak Nia mendengarkan. "mama baru menyadarkan aku bahwa menikah dengan orang yang sudah punya anak berarti harus bersedia untuk langsung jadi seorang ibu. papa menyadarkan aku tentang bagaimana pandangan orang lain. pertama, aku gak begitu mempedulikan bagaimana pandangan orang lain, karena ini hidupku. yang penting kita semua, orang terdekat, tahu bahwa Kak Rifki adalah orang dengan akhlak yang baik, pria yang bertanggung jawab, mau berusaha buat keluarga, intinya dia punya kualifikasi yang oke untuk jadi seorang kepala keluarga. menjadi seorang duda bukan suatu masalah, itu pun terjadi bukan atas keinginan dia. istrinya meninggal karena kecelakaan dan itu sudah kehendak Tuhan. kedua, mungkin aku masih perlu banyak belajar untuk jadi seorang ibu buat Gamal, tapi aku yakin aku bisa. itu pemaparan yang aku berikan dan aku berharap mama dan papa mau merestui kami. tapi . . ."
 
aku menarik nafas dalam.
 
"mama dan papa adalah orang tuaku, dua orang yang paling aku sayangi di muka bumi ini. orang yang membuat aku lahir ke dunia dan membuat aku jadi seperti sekarang ini. Mila sayang papa dan mama dan Mila selalu akan berusaha memberi yang terbaik buat mama dan papa. jadi, dengan pertimbangan yang Mila berikan, jika pada akhirnya papa tidak merestui Mila menikah dengan Kak Rifki, Mila akan menuruti apa kata papa dan mama. Mila sudah bilang ini kepada Kak Rifki dan dia setuju untuk menuruti kesepakatan dari keluarga Mila. Kak Rifki tahu, kalaupun Mila tidak jadi menikah dengannya, itu bukan karena Mila tidak mencintai dia, tapi karena Mila jauh lebih menyayangi dan memilih orang tua Mila. sekian,"
 
kupandangi satu per satu wajah papa, mama, dan Kak Nia. semuanya nampak terkejut mendengar pemaparanku. aku berusaha tersenyum, karena kata orang, senyum membuat mood lebih baik.
 
"jangan pada tegang gitu," sahutku lalu tertawa.
 
"sini sayang," panggil mama.
 
aku berdiri dan duduk di antara papa dan mama.
 
"mama sayang sama Kak Nia, Mila, Dodi. mama bangga denger kata-kata kamu," mama merangkul pundakku dan mencium kepalaku. "gimana pa?"
 
papa melirikku dan saat tahu aku juga memandanginya, papa memalingkan wajah. "ya, papa juga mengharapkan yang terbaik buat Nia, Mila, Dodi. sepertinya papa harus kenal Rifki lebih jauh. sering-sering aja diajak kesini."
 
wajahku langsung berubah sumringah. aku peluk papa yang duduk di sebelahku tapi menolak untuk melihatku. "makasih papa. Mila sayang banget sama papa,"
 
"iya iya," sahut papa, nada suaranya seakan cuek tapi aku melihat papa senang juga. ketika kulirik kak Nia, dia tersenyum memandangi kami.
 
"thank you," kataku tanpa suara. Kak Nia mengangguk.
 
***
 
2 tahun kemudian.
 
"lo pulang kan lebaran tahun ini?" tanyaku melalui Skype pada Rinda yang sedang menyetrika.
 
"mau sih tapi . . ."
 
"lo harus pulang lah Rin, udah kayak Bang Toyib lo gak pulang-pulang,"
 
"yee, baru juga 2 tahun gue di LA. gak kayak Bang Toyib 3 kali puasa gak tau dimana,"
 
aku tertawa. "gue kangen sama lo nih,"
 
"4 tahun kita gak ketemu lo gak pernah bilang begini. sekarang gue tinggal 2 tahun, udah lemes aja lo," Rinda terkikik geli.
 
"bawaan bayi kali ya," kataku asal.
 
Rinda langsung diam. mematikan setrika dan langsung mendekati laptop. sekarang wajahnya begitu besar di layar.
 
"bayi?"
 
aku mengangguk bersemangat. "Gamal mau punya adik nih,"
 
Rinda langsung berteriak kegirangan. "berapa bulan Miil?"
 
"baru 3 bulan, Rindaa. makanya lo pulang dong. jangan tiba-tiba pulang pas anak gue udah 5 tahun,"
 
"heh, gue juga lagi hamil tau! udah 2 bulan, makanya gue bingung ntar Lebaran pulang ke Indonesia apa nggak," Rinda malah balik mengejutkan aku.
 
"serius?! bisa kayak gini ya?"
 
kami tertawa bersama-sama. takjub karena usia kehamilan dua sahabat ini bisa berdekatan.
 
"kenapa sih ketawa-ketawa? kedengeran sampai dapur," Kak Rifki muncul dan ikut serta dalam pembicaraan aku dan Rinda.
 
"urusan cewek kak. kepo amat deh," Rinda mengibaskan tangannya, menyuruh Kak Rifki menghilang dari layar.
 
"urusan istri, suami harus tahu Rin," jawab Kak Rifki kalem, malah duduk di sebelahku. Rinda pura-pura merisleting mulutnya, menolak bicara pada Kak Rifki.
 
"gue harus jemput Gamal dari rumah ayah bunda dulu ya Rin, sampai ketemu pas Lebaran. pulang ya! awas kalau gak," aku menutup pembicaraan dan melambai pada Rinda. "salam buat Restu."
 
Rinda melambai juga. "akan gue usahakan untuk pulang. Kak! jagain sahabat aku, jangan sampai kenapa-kenapa," ancam Rinda galak.
 
"yaiyalah, namanya juga suami siaga," kata Kak Rifki. "jangan lupa pulang, ayah bunda mau kita semua kumpul di Jakarta pas Lebaran."
 
"iyeeee," balas Rinda dan sambungan dimatikan.
 
"Lebaran kali ini pasti ramai," kataku begitu sambungan Skype diputus dan laptop dimatikan.
 
"iya, pasti. tapi yang jelas, ini Lebaran pertama aku setelah menikah dengan kamu, dan aku bersyukur karenanya," Kak Rifki berdiri dan aku pun ikut berdiri. ia melingkarkan lengannya di pinggangku dan menyentuhkan dahinya ke dahiku.
 
"i love you,"
 
"love you too,"
 
-THE END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq

cumlaude dan IPK tertinggi

mimpi mimi apa?