Kisah Kasih Masa Lalu
"Hai, aku Dhana,"
"aku Shafira,"
dua anak usia SD itu berkenalan di suatu sore yang cerah. mentari malu-malu menyinari bumi dan angin bertiup sepoi-sepoi. sungguh suatu cuaca yang sangat menyenangkan untuk sekedar duduk dan bersantai di halaman belakang rumah. Dhana, anak laki-laki berusia 8 tahun itu tertarik untuk mendekati seorang anak perempuan hanya karena perempuan itu memegang boneka beruang kemanapun dia pergi. sama seperti Dhana yang tidak mau melepas mainan Tamiya kesayangannya. pasca berkenalan, mereka pun bermain bersama. duduk begitu saja di rerumputan, tidak peduli di sekitarnya banyak orang lalu lalang. para tamu undangan melihat mereka sedang asyik bermain lalu menggeleng, "anak kecil," pikir mereka. kedua orang tua Dhana dan Shafira, masih asyik bersosialisasi di acara pernikahan teman mereka ini. tidak terlalu khawatir anaknya pergi ke mana-mana. cukup melirik sekilas, sudah yakin bahwa anaknya aman bermain di pesta pernikahan bertema garden party ini.
"kamu cantik ya," Dhana berkata pada Shafira. di usianya yang baru 8 tahun ini, ia sering melihat ayahnya mengucapkan kalimat itu pada ibunya. kata ayahnya, itu karena ibunya enak dilihat dan membuat perasaannya nyaman. mendengar hal itu, Shafira hanya diam, lalu mengangguk, "terima kasih,". tanpa disadari, pipi anak berusia 6 tahun itu bersemu merah.
"Dhana, pulang yuk," seorang perempuan yang sedang hamil besar menghampiri kedua anak tersebut.
Dhana menoleh dan berdiri, segera setelah tamiyanya sudah kembali dalam genggaman.
"halo, siapa ini? cantik sekali," sapa ibu Dhana begitu sampai di tempat bermain putranya.
"Shafira, tante," jawab anak cantik itu sambil mencium tangan ibu Dhana.
"wah, namanya juga cantik. Dhananya harus pulang dulu ya, Shafira. nanti main lagi,"
Shafira mengangguk. "iya tante,"
namun 'nanti' itu rupanya tak serta merta terwujud.
***
14 tahun kemudian.
Dhana memarkirkan mobilnya di pelataran parkir kampus, keluar, lalu bersandar di pintu. ia melirik jam tangan lalu memandang ke arah gedung perkuliahan. pukul 5 sore. ia sudah setengah jalan menjauhi kampus ketika pacarnya, Clarissa, menelepon dan meminta Dhana kembali ke kampus. katanya ia batal nebeng temannya. tanpa banyak bicara, Dhana langsung memutar arah dan kembali ke kampus.
"hai," Clarissa berjalan santai menuju Dhana. senyumnya tersungging lebar. namun bukan senyum karena senang bertemu sang kekasih, melainkan senyum karena berhasil membuat orang lain mematuhi permintaannya. meski sudah membuat Dhana menunggu hampir 1 jam, Clarissa tidak tampak bersalah. Dhana pun hanya diam saja.
Clarissa menghampiri Dhana dan mengecup cepat pipi Dhana lalu berjalan ke arah pintu penumpang. tanpa basa-basi, Clarissa langsung bermonolog.
"tadinya aku mau nebeng sama Heru, tapi karena motor dia mendadak mogok, terpaksa deh aku telepon kamu untuk balik lagi. padahal aku masih lama lho pulangnya, tapi kamunya udah sampai aja di kampus," Clarissa tertawa, tidak merasa bersalah membuat Dhana menunggu lama.
"its okay," jawab Dhana yang sudah duduk di balik kemudi dan siap menjalankan CR-V-nya ke luar kampus.
"ish, anak itu ngapain sih di situ?" tiba-tiba Clarissa mencibir, pandangannya menghampiri gerombolan mahasiswi yang berdiri tidak jauh dari mobil Dhana.
"apa?" balas Dhana pelan.
"itu, kamu liat gak yang pake baju biru dan celana tie-dye abu-abu," Clarissa menunjuk salah satu mahasiswa yang berdiri malas-malasan di antara teman-temannya yang asyik mengobrol.
"yeah," balas Dhana.
"dia itu ya, nyebelin banget. masa cuma lewat doang cowo-cowo langsung pada ngeliatin dia? udah gitu untuk pemilihan Miss Kampus, banyak banget yang rekomendasiin dia, jadi dia ga perlu repot-repot daftar, namanya udah masuk di list peserta. untungnya dia didiskualifikasi karena saat malam final, dia malah ke Bandung sama temen-temennya," raut muka Clarissa terlihat sekali sangat merasa tersaingi oleh perempuan itu.
Dhana mengangkat alis. di dalam hatinya, ia bingung. untuk apa Clarissa cemburu jika cowo-cowo temannya memandangi gadis itu, toh pacarnya sendiri biasa saja melihat gadis itu. untuk apa pula Clarissa merasa tersaingi dalam pemilihan Miss Kampus? toh Clarissa adalah Miss Kampus 2 tahun lalu. jawabannya langsung muncul.
"aku gak suka aja ada yang langsung jadi peserta tanpa susah payah daftar. aku aja sampai harus nurunin berat badan dulu 5 kilo supaya bisa terpilih. lah dia gampang aja langsung keterima gitu,"
Dhana bersandar, mengalihkan perhatian dari sumber masalah. lebih baik Dhana langsung saja memindahkan mobilnya keluar dari tempat ini, agar pacarnya tidak berceramah lebih panjang lagi.
***
Shafira menggerak-gerakkan kemeja tanpa lengan berwarna biru yang ia kenakan. cuaca sekitar membuat ia berkeringat, apalagi ia sedang berada di pelataran parkir yang kurang pepohonan. rambut panjang bergelombang yang sedari tadi ia urai, dengan sigap ia jepit dengan jepit bebek. tidak peduli banyak helai-helai rambut yang lepas ataupun jepitannya tak rapi.
"jadi gimana?" Shafira bertanya ke teman-temannya. mereka masih berdiskusi akan bekerja kelompok di tempat siapa.
"di rumah lo aja deh Shaf," celetuk Yurike
"lho, kan rumah gue gak masuk opsi," jawab Shafira kaget. tangan kanan yang tidak memegang laptop, berkacak pinggang.
"tapi di rumah lo selalu ada makanan," balas Tania, yang paling hobi makan.
Shafira tertawa. "ya udah, dari tadi kek diputusin, biar gak kepanasan nih gue."
"sipdeh. yuk cabut," ajak Yurike dan mereka berlima (plus Wulan dan Zahra) berjalan menuju mobil Yurike yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi.
"lo tadi liat Kak Rissa gak?" Wulan membuka obrolan saat mereka semua sudah berada di dalam mobil Yurike.
"liat, kenapa?" balas Zahra yang duduk tepat di samping Wulan.
"satu, highlight rambutnya warna pink! dua, flatshoesnya keluaran Zara yang harganya 500ribu. tiga, kukunya dipasangin nail art yang lucu banget. empat, tasnya Hermes," Wulan melipat satu per satu jarinya setiap menyebut 'prestasi' Clarissa.
"lo bisa apal banget sama gayanya Kak Rissa?" tanya Tania dari bangku depan.
"iyalah, gue kan sering merhatiin majalah mode, tapi gak mampu beli. jadi kalau ada orang yang pake, gue jadi inget banget," jawab Wulan berapi-api.
sementara itu, Shafira hanya sekilas mendengarkan cerita Wulan, ia keburu tertidur.
***
"hari ini masak apa Tante?" tanya Tania begitu selesai mencium tangan ibu Shafira di rumah mungil Shafira. rumah yang hanya dihuni oleh Shafira dan ibunya sejak ayah Shafira meninggal 2 tahun lalu dan kakaknya tinggal bersama istrinya di rumah lain.
"Tante gak masak hari ini. tapi ada tempe goreng, sayur kangkung, sama ikan bandeng cabe ijo. buatan Shafira," jawab ibunya sambil tersenyum bangga. Shafira sendiri sudah melengos ke kamarnya sejak Tania membahas makanan.
"emang deh ibu dan anak jago banget masak," ucap Zahra sambil melirik meja makan dan sederetan masakan Shafira yang terhidang di atasnya.
"makan dulu aja kalau mau," jawab Shafira, selesai mengganti celana tie-dye-nya dengan celana jeans pendek.
"pastinyaaaa," seru teman-temannya dan mereka langsung mengambil posisi di meja makan. Shafira geleng-geleng lalu duduk di sebelah Tania. ibunya hanya tersenyum. Shafira melirik lagi ibunya yang sedang tersenyum, lalu ikut nyengir. senang juga sebenarnya masakannya dimakan begitu lahap oleh teman-temannya. ucapan terima kasih untuk ibunya yang jago masak dan merintis usaha katering pasca ditinggal ayahnya.
***
"Dhan, skripsi kamu gimana?" tanya ayahnya sambil duduk di samping Dhana yang sedang bermain Nintendo Wii.
"lancar Pa, udah mau masuk bab 3. kalau progresnya gini terus, 2 bulan lagi Dhana bisa sidang. terus ikut wisuda yang semester ganjil," jawab Dhana tanpa melepaskan pandangannya dari layar.
"bagus, keep up the good work, son," balas ayahnya sambil menepuk pundak Dhana. dhana mengangguk, masih tidak melepaskan pandangan dari permainannya. "nanti kalau udah wisuda, langsung ke kantor papa ya."
untuk yang ini, Dhana langsung menghentikan permainannya. "soal ini Pa, boleh gak Dhana lanjut kuliah?"
"wah, ya boleh. papa ga pernah denger kamu mau S2," papanya terkaget-kaget tapi ikut bersemangat mendengar keinginan anaknya untuk melanjutkan kuliah. "di mana? Inggris? US? Jepang?"
"Indonesia aja Pa," lalu Dhana menceritakan tawaran S2 dari dosennya, beasiswa penuh bisa dia dapatkan. dosennya tertarik akan kemampuan bisnis Dhana dan otaknya yang encer sehingga ia sering jadi asisten dosen di kampusnya. selama 6 bulan terakhir ini dia dan dosennya sedang terlibat sebuah proyek dan jika Dhana melanjutkan kuliah, proyek ini pun bisa tetap Dhana tangani.
"prospeknya di masa depan gimana? dampaknya ke kamu sendiri gimana?" tanya ayahnya saat Dhana menceritakan perihal proyek ini.
"dengan bisnis real estate kita ini pa, proyek eksplorasi Usaha Kecil dan Menengah ini bisa kita kolaborasikan. jadi para pengusaha skala kecil dan menengah ga akan merasa tergusur bahkan kalau convenience store makin merajalela. karena kita buat mereka punya lokasi sendiri dengan fasilitas yang sederhana tapi mampu bersaing."
"good idea. tapi kamu bisa tetap sambil mulai kerja? karena kamu juga kan sudah harus belajar soal perusahaan papa yang bakal kamu teruskan,"
"itu bisa diatur pa,"
"okay then. good luck son,"
Dhana tersenyum, senang dan bersyukur karena keluarganya selalu mendukung dan mau mendengarkan apa yang ingin dia katakan.
***
Shafira menguap dan masuk ke kamarnya. sudah mandi dan cuci kaki. Shafira menyetel radio lalu menyusup di balik selimut. ia senang tidur diiringi dengan musik, agar tidak terasa begitu sepi. sejak ayahnya tiada, ia semakin sering merasakan kesepian. ia bisa sangat senang ketika kakaknya menginap di rumah dan membawa serta dua keponakannya yang masih kecil dan super cerewet. tapi malam ini ia harus merasakan kesepian lagi. Shafira memeluk boneka beruang kesayangannya, yang ia rawat dan jaga sejak kecil. setelah berdoa, Shafira pun terlelap.
di rumah lain, yang berjarak 50 KM dari kediaman Shafira, Dhana sedang memandangi langit berwarna biru tua sambil memegang secangkir kopi. pikirannya menjelajah ke sana ke mari. sudah beberapa hari ia merasa ada sesuatu yang ia lupakan. namun setiap kali ia berusaha mengingatnya, setiap itu pula Dhana merasa ada yang aneh dalam hatinya. malam ini, Dhana merelakan saja jika ia gagal lagi mengingat sesuatu yang ia lupakan itu.
Shafira bermimpi tentang sebuah pernikahan dengan desain pesta kebun. ia mengenakan gaun berwarna hijau muda, berkeliling kebun sambil memeluk boneka beruang kesayangannya. lalu ia bertemu dengan seseorang yang mengenakan kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Shafira melambai tapi anak itu malah pergi. Shafira mengejarnya tapi anak laki-laki itu berlari semakin menjauh. keesokan paginya, Shafira merasa lelah. "apa itu?"
***
Dhana sedang ada janji bertemu dengan salah seorang mahasiswa yang sedang merintis bisnis makanan. meski belum lulus, tapi ia sudah sukses dengan bisnisnya, meskipun kecil-kecilan. kali ini, Dhana bermaksud untuk mengajaknya bekerja sama. ia janji bertemu di Fakultas Hukum, tempat kuliah orang yang akan ditemuinya. Dhana duduk di kantin dan mengeluarkan iPad-nya. membaca situs berita untuk mendapatkan informasi ter-update. ia janji bertemu pukul 2. tapi karena urusannya sudah selesai, pukul setengah 2 ia sudah sampai di Fakultas Hukum. lebih baik datang lebih dulu daripada terlambat, pikir Dhana.
Dhana meneguk es teh tarik lalu menoleh, melihat sekeliling. kantin ini tidak terlalu ramai, mungkin karena para mahasiswa sudah masuk ke kelas lagi. di suatu sudut kantin, duduk empat orang perempuan dan salah satunya menarik perhatian Dhana. itu sosok yang dibicarakan pacarnya kemarin. apa benar ucapan Clarissa? bahwa setiap ada gadis itu, para laki-laki tidak bisa melepaskan pandangannya? memang, menurut Dhana sendiri pun gadis itu cantik. tipe perempuan cantik yang galak, yang tidak sadar dia sebenarnya cantik, bertingkah laku serampangan, tapi tetap saja cantik. Dhana meletakkan tangannya di meja, kepalanya ditaruh di telapak tangan, matanya memandangi gadis itu dan sekitarnya. ingin memastikan kebenaran kata-kata Clarissa. dua orang laki-laki membeli minuman di kios tidak jauh dari tempat duduknya. mereka tidak melepas pandangan sedikit pun selain ketika mengambil minuman dan membayar. satu orang laki-laki yang awalnya berjalan cepat, jadi berjalan sangat lambat sambil memperhatikan gadis itu. satu orang laki-laki lagi bahkan sampai menjatuhkan laptopnya karena terlalu asyik melihat gadis itu. sementara yang ditatap berusaha mengubah posisi duduknya agar tidak terlalu terekspos tapi tetap saja. teman-temannya sampai cekikikan.
"lagi asik liatin Shafira juga bang?" sebuah suara mengagetkan Dhana.
"eh, Tom," Dhana buru-buru mengalihkan pandangannya dan menyalami Tomi, orang yang ditunggunya. "nggak, lagi liatin orang-orang aja."
Tomi tersenyum. "emang kalau ada dia, suka banyak korban, bang."
"maksudnya?' tanya Dhana tidak mengerti.
"suka ada aja yang barangnya jatoh, gelas pecah lah, tabrakan gak sengaja lah. pada asyik ngeliatin dia," balas Tomi sambil ikut memandangi Shafira. Dhana ikut mengalihkan pandangannya ke arah Shafira. kali ini, Shafira melambaikan tangan sambil tersenyum. Tomi ikut melambai.
"lo kenal?" tanya Dhana
"kenal bang. pernah beberapa kali kerja bareng di kepanitiaan. anaknya asik banget. seru, baik, loyal, dan pinter masak,"
Dhana mengangguk. "lo gak termasuk cowo-cowo yang cedera kalau liat dia?"
Tomi tertawa. "nggak bang, saya udah mau nikah," balas Tomi sambil melambaikan tangan kirinya.
"whoa. cool,"
Tomi mengangguk saja. "jadi mau bahas apa bang?"
***
awalnya Shafira merasa gerah setiap ada laki-laki yang melihatnya tanpa melepaskan sedikit pun pandangan mereka. Shafira berkali-kali mengecek pakaian ataupun wajahnya, tapi tidak ada yang salah. lama kelamaan ia mulai cuek dan membiarkan saja orang lain mau bersikap apa padanya. asalkan masih dalam batas kewajaran. teman-temannya masih saja terkikik setiap ada yang kecelakaan ketika memperhatikan Shafira. Shafira sendiri memilih untuk memainkan gadget, membaca, atau mengobrol dengan orang lain, orang yang tidak sibuk terkikik ketika ada yang memperhatikan Shafira.
kali ini, Shafira yang memperhatikan seseorang. orang yang duduk bersama Tomi ini rasanya sering dia lihat. sering, atau mungkin juga tidak. namun Shafira merasa familiar. ia memandangi pria yang sedang mengobrol dengan Tomi ini. mengenakan celana jeans dan kaos yang menonjolkan badannya yang rajin dilatih di gym, namun bukan membuat dirinya berotot berlebihan seperti Ade Rai. melainkan membuat yang melihatnya ingin bersandar. eh, Shafira buru-buru menepuk pipinya, membuatnya kembali ke kenyataan.
"jangan ngiler gitu Shaf," Wulan mencolek pipi Shafira lalu tersenyum jahil.
"apaan, nggak," kata Shafira sambil mengelap bibirnya. padahal tidak ada iler setetes pun.
"jangan liatin Kak Dhana segitunya. dia pacarnya Kak Rissa," kata Wulan sambil melirik ke meja nun jauh di sana
"oh yah?" Shafira tau Kak Rissa. seniornya di jurusan Akuntansi. senior paling galak, tapi pinter, kaya, dan fashionable-nya gak ketulungan.
"iya. lo emangnya gak kenal Kak Dhana? dia kan anak Manajemen," lanjut Wulan, matanya membelalak. seakan tidak percaya bahwa temannya ini tidak mengenali sosok senior ganteng di kampus.
"gue gak terlalu merhatiin siapa yang ganteng sih," balas Shafira asal. ia memindahkan rambutnya ke belakang telinga. membuat seorang mahasiswa yang sedang berjalan terantuk kaki kursi.
"gue heran Kak Dhana mau sama Kak Rissa. Kak Dhana kan baik banget. Kak Rissanya gitu," tiba-tiba Tania menimpali dari sela-sela mengunyah mie ayam.
"ada sesuatu yang kita gak tahu kali, Tan," balas Shafira lalu melanjutkan main game di hapenya.
***
Shafira kembali ke fakultas karena ada janji diskusi dengan dosennya meski saat itu sudah pukul 5 sore. Kegiatan perkuliahan S1 sudah banyak selesai dan kampus lebih banyak diisi oleh mahasiswa yang menjalani kegiatan organisasi ataupun mahasiswa kelas ekstensi/karyawan. Rupanya janji temu dengan dosen hanya sebentar, Shafira hanya diminta untuk menghandle tugas yang diberikan dosen karena pertemuan berikutnya beliau berhalangan hadir. Setelah keluar ruang dosen, Shafira berjalan melewati taman kampusnya yang asri. Langkahnya pelan-pelan terhenti saat 5 meter di depannya, Dhana sedang duduk sambil membaca. Shafira melangkah ragu-ragu. Sebagian dari dirinya ingin untuk menghampiri Dhana dan berkenalan. Sebagian lainnya berkata bahwa Shafira cukup mengenal sosok itu. Sisanya, memperingati bahwa Dhana berlabel 'dont touch!' Karena ia adalah milik Kak Rossa, senior yang galak dan jelas-jelas membenci Shafira. Akhirnya Shaffira memutuskan untuk berbalik arah dan menjauhi Dhana.
***
Dhana akhirnya tahu. Tahu apa yang membuat perasaannya terasa hilang. Dhana tahu memori apa yang hilang dari ingatannya. Dhana memandang sosok yang berjalan menjauhi dirinya. Sedikit kecewa karena sosok itu malah membatalkan niatnya berjalan ke arah Dhana. Buku yang sedang dibacanya ditaruh ke dalam tas dan Dhana berjalan menuju tempat parkir, pulang. Niat ini sudah lama ingin dilakukannya tapi diurungkan sejak ia melihat Shafira masuk ke ruang dosen. Maka Dhana memutuskan untuk menunggunya di situ. Bermaksud mengajaknya bicara. Tapi mungkin memang keberaniannya belum terlalu besar atau Dhana sendiri belum yakin 100% untuk akhirnya 'make a move'.
Pekan kemarin keluarganya (ayah, ibu, adik perempuannya), menghadiri hari perayaan ulang tahun pernikahan salah satu sahabat dekat ayahnya. Ulang tahun pernikahan yang ke-14. Di acara yang meriah meski hanya untuk kalangan tertentu, album foto dibuka, topik-topik masa lalu diungkapkan.
Dhana sedang menikmati lasagna sembari diam, mendengarkan alunan I'm Your Man dari Michael Buble yang diputar sayup-sayup. Di sofa sebelahnya, adik perempuannya sedang mendapat giliran untuk melihat-lihat album pernikahan pasangan Satria. Yang ulang tahun pernikahannya sedang dihadiri Dhana.
"Ini bukannya abang?" Nuri, adik Dhana mencolek lengan kakaknya lalu menunjuk sebuah foto di album.
"Masa?" Dhana melongok ke arah yang ditunjuk adiknya dan menyipitkan mata.
"Iya. Aku kan apal wajah abang waktu kecil, plus tamiya yang suka abang bawa-bawa," Nuri mengangguk-angguk.
Dhana memperhatikan lagi. Ya itu betul dirinya. Mengenakan kemeja dan dasi kupi-kupi sambil memegang mobil-mobilan Tamiya, yang sekarang jadi pajangan
di samping tempat tidurnya.
"Sama siapa nih bang?" Nuri bertanya lagi. Membuat Dhana lebih memperhatikan foto itu.
Dhana tidak sendirian. Di foto itu, ia dan partnernya bahkan tidak melihat ke arah kamera. Mereka sedang asyik bermain. Dhana bermain mobil dan temannya bermain boneka. Ekspresi wajah mereka terlihat lepas dan bahagia.
"Ini kayak..." Dhana diam. Ia meletakkan piring dan langsung mengambil album foto dari pangkuan adiknya. "Bentar."
Dhana membawa album foto itu ke Om dan Tante Satria. "Om," panggil Dhana sambil agak terengah-engah. Maklum, ia harus menyelinap di antara tamu-tamu yang hadir sambil berlari.
"Dhana," panggil Om Satria sambil tersenyum. Di sampingnya, istrinya tersenyum juga.
"Ini siapa ya om?" Dhana langsung membuka album foto dan menunjukkan foto dirinya.
Om Satria menyipitkan mata lalu memandang Dhana. "Bukannya itu kamu?"
"Bukan, eh, iya. Yang sebelah saya maksudnya," Dhana menunjuk anak perempuan yang ada di foto itu.
"Oh itu Shafira, putrinya Yanuar lho Pi." Tante Satria yang menjawab
"Siapa?" Tanya Dhana. Jantungnya agak deg-degan.
"Shafira. Ayahnya senior kami di kampus, Dhan. Orang yang baik hati dan termasuk idola banyak mahasiswi. Sayang 2 tahun lalu ia meninggal karena serangan jantung. Harusnya Shafira dan Kalia, ibunya, hadir juga di sini. Tapi tidak bisa karena ada pesanan katering, katanya. Kalia buka bisnis katering sejak suaminya meninggal," Tante Satria menjelaskan panjang lebar tentang keluarga Shafira.
"Tante udah pernah ketemu Shafira dewasa?" Tanya Dhana pelan. Ingin menguatkan hipotesanya.
"Pernah. Waktu ulang tahun Rio tahun lalu, Shafira dan ibunya yang menyediakan makanan. Tante pengennya mereka lagi yang bantu-bantu hari ini. Tapi sayang, kalah cepet booking." Lalu Tante Satria tertawa. Suaminya tersenyum, sepakat untuk bagian penyedia katering di pesta kali ini.
"Apa...wajahnya seperti ini?" Dhana mengambil handphone-nya. Membuka Path dan scrolling timeline hingga agak ke bawah. Rasanya temannya pernah meposting foto dengan Shafira, ketika mereka tidak sengaja berpapasan di mall. Setelah foto yang dimaksud ditemukan, Dhana mengulurkan handphone ke arah Tante Satria.
"Iya. Makin cantik aja ya. Dari dulu ga berubah, anaknya manis. Kamu kenal dia Dhan?"
Dhana menggeleng. "Not really, Tan. But we're on the same circle."
"Sampaikan salam Tante ke Shafira kalau kamu ketemu dia ya. Bilang, Tante kangen masakan Shafira."
"Iya Tante,"
Itulah saat di mana Dhana akhirnya paham bahwa memori yang ia cari selama ini adalah mengenai pertemuannya dengan Shafira, 14 tahun silam.
***
Di rumah Shafira sedang ramai. Ada pesanan katering untuk syukuran rumah baru. Jadilah akhir pekan ini Shafira sibuk membantu ibunya, ditambah beberapa tetangga dan saudara yang juga sukarela membantu Shafira. Kalau sudah begini, Shafira akan senang sekali. Ia bisa sejenak melupakan kesepiannya.
Setelah 6 jam berkutat dengan bahan makanan, Shafira bisa beristirahat karena makanannya sudah diantar ke tempat acara oleh salah seorang tetangga yang membantu menyediakan transportasi untuk pengiriman pesanan.
"Neng cantik, udah punya pacar belum?" Bi Rina, salah seorang sepupu ibunya, tiba-tiba menghampiri dan bertanya itu.
Shafira tertawa. "Belum Bii, ntar aja ah,"
"Ih kenapa?"
"Masih mau nemenin mama dulu," kata Shafira sambil nyengir. Merasa tidak nyaman dengan diskusi soal pacaran, Shafira buru-buru pamit ke dapur dan mencari bahan masakan. Memasak adalah salah satu cara ampuh untuk mengalihkan perhatian Shafira. Terutama dari perasaan kosong yang terus menderanya sejak kepergian ayahnya. Shafira memang bisa tersenyum, tertawa, tapi selalu ada ruang kosong di hatinya karena ayahnya telah tiada. Dengan memasak, Shafira lupa segala permasalahannya. Ditambah dengan reaksi orang yang memasak makanannya, ia merasa jauh lebih baik.
Macaroni schotel terhidang di meja. Entah siapa yang akan menikmatinya. Mungkin tetangga atau saudara. Shafira beranjak ke kamar lalu merebahkan diri di kasur. Ia tiba-tiba teringat Kak Dhana. Seseorang yang rasanya pernah ia kenal sebelumnya.
"Cin, ikut ke Pulau Seribu gak?" pesan Whatsapp muncul di hape Shafira. Dari Wulan.
"Ga tau deh Wul. Gue belum bilang sama Mama," balas Shafira langsung. Saat itu juga langsung terlihat Wulan membalas pesannya.
"Perlu gue yang bilang?" Wulan berinisiatif mengajukan diri.
"Ga usah. Gue tanya dulu, kakak gue ada jadwal ke rumah gak pas kita ke Bidadari itu. Biar mama ada temennya," balas Shafira.
"Oke deh cin. Kabari gue ASAP ya biar bisa daftarin lo,"
"Thanks, Wul 😘"
Shafira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ke Pulau Seribu berarti menginap di luar selama 2 malam. Perjalanan random yang diinisiasi beberapa anak fakultasnya ternyata berkembang jadi banyak orang yang berminat. Shafira ingin ikut, karena pada dasarnya ia anak yang senang bepergian. Tapi ia harus memastikan kakaknya menginap di rumah agar ibunya tidak kesepian. Meski sebenarnya ibunya termasuk wanita tangguh yang tidak masalah tinggal sendirian di rumah. Tapi Shafira merasa tidak enak saja.
***
"Untung Kak Rissa ikut ya," bisik Wulan kepada Shafira saat mereka sedang mengarungi lautan menuju Gugusan Kepulauan Seribu.
"Kenapa emang?" tanya Shafira sambil merapikan rambutnya yang tertiup angin. Mengikatnya asal, yang penting tidak mengganggu pandangannya.
"Jadinya kita bisa naik cruise gini," kikik Wilan sambil menunjuk kapal canggih yang mereka naiki.
Shafira dan Zahra berpandangan lalu keduanya menggeleng dan mengangkat bahu.
"Kalau gini kan jadi gak perlu naik kapal kayu biasa," lanjut Wulan lagi
"Gue gak keberatan sih kalau harus naik kapal kayu," balas Shafira sambil bersandar. Memandangi kota Jakarta bagian utara yang semakin kecil.
"Gue pun," timpal Zahra dan Tania.
"Gue juga gak masalah sih. Tapi kan jarang-jarang kita naik kapal bagus," Wulan nyengir.
Shafira menganggguk, "tapi kan ke Pulau Bidadari emang selalu naik kapal kayak gini."
"oh gitu ya? hahaha," Wulan tertawa malu.
Clarissa memutuskan untuk ikut di perjalanan ke Kepri setelah Dhana mengatakan akan ikut juga. Sekarang orangnya lebih memilih untuk tidur selama perjalanan.
"oh gitu ya? hahaha," Wulan tertawa malu.
Clarissa memutuskan untuk ikut di perjalanan ke Kepri setelah Dhana mengatakan akan ikut juga. Sekarang orangnya lebih memilih untuk tidur selama perjalanan.
Sebanyak 25 orang sepakat untuk menghabiskan akhir pekan di Kepri. Termasuk Shafira, Wulan, Zahra, Tania, Yurike, Dhana, Clarissa, dan teman-teman seangkatan mereka. Awalnya Clarissa tidak mau ikut karena Shafira ikut, tapi karena Dhana keukeuh ikut dan kali ini Clarissa gagal membuat Dhana menuruti kata-katanya, Clarissa terpaksa ikut. Sebelum berangkat tadi, ekspresi Clarissa cemberut terus, sementara Shafira cuek saja. Malah senang karena bisa liburan, kakaknya setuju untuk menginap di rumah.
Letak pulau yang tidak terlalu jauh membuat mereka sampai di cottage sebelum tengah hari. Setelah pembagian kamar, mereka beristirahat sejenak sebelum melakukan snorkeling dan berwisata keberbagai pulau. Tanpa disadari perjalanan itu terkelompokkan ke dalam 2 kubu. Angkatan Shafira dan kawan-kawan dan angkatan Clarissa dengan angkatan di bawahnya. Kondisi ini tidak terlalu dipedulikan Shafira. Ia datang ke sini untuk liburan. Bukan untuk mempedulikan bagaimana tanggapan orang lain terhadapnya.
"Lihat deh anak itu. Sok cuek banget. Padahal udah berapa kali coba ada yang ngajak dia kenalan," Clarissa mencibir saat di kejauhan, ada sekelompok pria yang menghampiri Shafira dan mengajak berkenalan.
"Emangnya kenapa kalau ada yang ngajak dia kenalan?" balas Dhana yang sedang berdiri di sebelah Clarissa, sudah siap untuk snorkeling dengan setelan celana pendek dan kaus tanpa lengan yang memperlihatkan ototnya.
"Di sini kan bukan tempat buat tebar pesona," balas Clarissa marah. Terlihat sekali bahwa ia sebenarnya iri. Ia juga mau ada yang menghampirinya dan mengajak berkenalan.
"Suka-suka dia lah, Ris," ujar Dhana lalu meninggalkan Clarissa. Di dalam hati Dhana sebenarnya ada perasaan sedikit cemburu. Ditinggalkan begitu saja oleh pacarnya, Clarissa makin marah.
Shafira menoleh ke arah Clarissa. Suaranya yang melengking saat memanggil Dhana mampu membuat orang-orang penasaran akan apa yang sedang terjadi. Saat sadar sedang dilihat oleh Shafira, Clarissa langsung melotot. Shafira langsung mengangkat sebelah alis lalu kabur, menghampiri pemandu wisata mereka yang sudah menunggu.
Snorkeling, bermain bersama lumba-lumba, ikut water sports, foto-foto bersama teman-temannya, sungguh membuat Shafira begitu senang. Ia banyak sekali tertawa bersama Tania, Yurike, Wulan, dan Zahra. Sejenak melupakan rutinitas di kampus ataupun masalah-masalah pribadi. Ketika matahari tenggelam, Shafira mengajak teman-temannya 'berpose alay'. "Foto background sunset sambil pegangan tangan yuk," ajak Shafira. Teman-temannya langsung mengiyakan. Siapa sangka rombongan yang lain juga tertarik (berpegangan tangan dengan Shafira yang tetap menawan meski hanya pakai celana pendek dan kaos gombrong dengan rambut diikat kuda. Akhirnya seluruh rombongan anak Ekonomi itu lebih banyak berfoto bersama di saat matahari terbenam. Tidak terkecuali Clarissa, yang berhasil diseret untuk foto setelah diajak beberapa kali.
Malamnya, mereka menikmati barbeque di halaman cottage. Ada semacam panggung kecil dan live music yang diselenggarakan di situ. Yurike tiba-tiba punya ide dan menyuruh MC mengundang Shafira untuk bernyanyi di atas panggung. Tanpa sepengetahuan Shafira tentunya. Ditembak MC untuk bernyanyi, mau tidak mau Shafira naik juga ke panggung. Ia kemudian menyanyikan lagu Raisa yang berjudul LDR. Suaranya melengking di not-not yang tepat, ekspresinya seakan menunjukkan bahwa ia sedang menjalani hubungan jarak jauh, beberapa improvisasi dia lakukan. Penampilannya ini membuat pengunjung, baik teman-temannya atau bukan, bertepuk tangan dan bahkan memberikan standing applaude saat Shafira selesai bernyanyi. Di samping pemanggangan barbeque, Dhana memperhatikan Shafira sambil memainkan gelas jus di tangannya. Menimbang apa yang akan dia lakukan terhadap Shafira. Sekedar 'hi, kita pernah kenalan lho dulu' atau mengobrol lebih panjang lagi.
"Gila lo ya, suara pas-pasan gini lo suruh gue nyanyi depan orang banyak?" seru Shafira kepada Yurike sambil mengepit kepala Yurike di ketiaknya.
Yurike tertawa-tawa sambil meminta ampun.
"Bagus kok Shaf," kata Zahra, mengangkat kedua jempolnya.
"Malu ah," Shafira memegang kedua pipinya, pura-pura malu. "Eh gue mau berenang dulu yak."
"Malem-malem gini?" tanya Tania, mulutnya mengunyah potongan sosis kesekian. Heran karena Shafira malah memilih berenang di saat banyak makanan melimpah.
"Iya, bakar kalori," sahut Shafira lalu mencubit perut Tania. Yang dicubit cuma cengengesan.
"Bukannya mau nyobain pake bikini, Shaf?" seru Wulan, matanya berkilat nakal.
"Sstt," Shafira meletakkan jari di bibirnya. Menyuruh Wulan diam saja. Ia memang berniat mengenakan bikin saat di Pulau Bidadari ini. Tapi masih belum berani jika dipakai di depan orang banyak. Jadi Shafira memilih mengenakannya di malam hari, di saat orang-orang asyik dengan acara lain. Tak perlu dipamerkan ke orang lain, Shafira hanya ingin mengenakannya.
"Yuk," Wulan menggamit tangan Shafira dan bersama-sama mereka menuju kamar untuk mengganti baju. Wulan juga akan berenang bersama Shafira malam ini.
Kolam renang itu sepi. Orang-orang sedang asyik menikmati barbeque dan hiburan live music. Pelan-pelan Shafira membuka handuk yang menutupi tubuhnya, menaruh handuk di kursi lalu langsung menceburkan diri ke kolam renang. Ia senang berenang, ditambah mengenakan bikini yang sudah lama dibelinya. Shafira berenang berkali-kali lalu istirahat sebentar.
"Seksi abis," kata Wulan di sebelah Shafira. Mereka bersandar di pinggir kolam sambil memandangi bintang-bintang.
"Lo?" tanya Shafira
"Lo! Gak kebayang deh kalau ada cowo ngeliatin lo, pada mimisan kali. Pake baju lengkap aja lo udah bikin cowo pada kecelakaan. Apalagi kalau liat lo cuma ditempel kaen begini," Wulan menggeleng tak percaya.
"Makanya gue pakenya malem-malem. Biar gak diliat orang," Shafira mencubit hidung Wulan lalu melanjutkan berenang
"Shaf," terdengar suara Wulan di tengah rally renang yang dilakukan Shafira. Shafira menghentikan renangnya dan mengangkat kepala dari air.
"Apa?" tanyanya langsung. Shafira langsung kaget karena di kolam renang ini tidak hanya ada 2 orang saja, melainkan ada tambahan 2 orang lainnya.
"Gue, naik duluan ya," Wulan memang sudah berdiri di tepi kolam renang. Ekspresinya malu-malu. Di samping Wulan berdiri Kevin, senior mereka, salah satu teman segeng Dhana. Tidak jauh dari mereka bersua, seperti yang sudah diduga Shafira, berdiri Dhana. Mengenakan celana khaki selurut dan kemeja putih. Tangannya dimasukkan ke dalam saku. Ekspresi wajahnya datar.
"Mau ke mana?" tanya Shafira pada Wulan. Pelan-pelan mendekati tei kolam renang dekat Wulan berdiri di samping Kevin.
"Ngobrol," jawab Kevin sambil tersenyum lalu menarik tangan Wulan dan mereka oun pergi. Wulan sempat melambaai dan mengedip kepada Shafira. Shafira hanya menggeleng dan berdoa semoga tidak ada kejadian aneh. Wulan memang sudah lama naksir Kevin, entah kenapa sekarang mereka tiba-tiba akrab.
"Gak takut masuk angin?" suara lain memecah keheningan malam. Dhana melepas sandal dan duduk di tepi kolam, tepat di hadapan Shafira.
"Gak tuh. Ntar tinggal dikerok aja," jawab Shafira asal. "Boleh saya lanjut berenang?"
"Silakan," jawab Dhana sambil membuka tangannya, menunjuk ke arah kolam. Shafira mengangguk lalu berenang lagi. Mencoba berbagai gaya berenang yang ia bisa. Berbeda dengan tadi, kali ini ia berenang sambil memikirkan Dhana. Dhana yang masih duduk di samping kolam, memperhatikan Shafira dengan ekspresi datarnya.
Farid Ardhana. sulung dari dua bersaudara. ayahnya punya bisnis real estate dan properti. sejak kecil aktif di kegiatan seputar bisnis, beberapa kali mencoba memulai bisnis sendiri dan sekarang sudah punya 5 macam bisnis yang berbeda-beda. pacaran dengan Clarissa Amaria sejak mahasiswa baru, berarti sudah 3 tahun. orangnya ramah, ganteng, pintar, badannya bagus, mobilnya banyak (lho?). lebih banyak beraktivitas di luar kampus tapi sering juga jadi asisten dosen. itu info seputar Dhana yang diingat Shafira. selebihnya ia tidak tahu. bagian 3-tahun-berpacaran-dengan-Clarissa yang membuat Shafira malas memikirkan Dhana lebih jauh.merasa risih karena dipandangi terus oleh dhana, akhirnya Shafira menyerah. ia berenang menghampiri Dhana lalu berhenti di depannya. "kok gak ikutan acara barbeque?"
Dhana mengangkat bahu. "udah sering. lo?"
"apanya?"
"kok gak ikutan barbeque?"
"lagi pengen berenang aja, Kak," tidak mungkin kan Shafira bilang ia menyelinap dari acara utama karena ingin mencoba mengenakan bikini ini.
"Dhana aja, gak usah pakai 'kak',"
"tapi kan lebih tua," kata Shafira polos. ia beranjak menuju tangga dan keluar dari kolam renang. dengan santainya berjalan menuju handuk yang disampirkan di kursi dekat tempat Dhana duduk. Shafira tidak sadar bahwa dirinya yang berjalan mengenakan bikini ini mampu membuat Dhana menelan ludah berkali-kali.
"cuek aja, gak usah kaku gitu," balas Dhana setelah mampu menguatkan dirinya lagi.
"hmm, i'll consider it," Shafira menyampirkan handuk di tubuhnya, menutupi badannya dari pandangan Dhana sekaligus menghalau angin malam. selesai berenang di siang hari saja bisa membuat tubuh super kedinginan. apalagi di malam hari begini. Shafira memeluk handuknya rapat lalu duduk di samping Dhana dan mencelupkan kakinya ke kolam.
"maksudnya?"
"yaa kalau di depan orang banyak pasti bakal panggil 'kak' juga. bakal aneh aja kalau gak pake embel-embel begitu," Shafira mengangkat bahu lalu memandang Dhana.
Dhana mengangkat bahu. "up to you,"
keheningan muncul di antara mereka berdua. Shafira masih memandangi Dhana sementara yang ditatap hanya diam memandang kejauhan.
"kita sudah kenal berapa lama?" Dhana memutuskan untuk memecah keheningan yang muncul diantara mereka berdua.
"hmm, kita gak pernah kenalan beneran kan Kak?" Shafira menggerakkan kepalanya ke kanan, berusaha mengingat.
Dhana mengernyit, masih sedikit enggan dipanggil 'kak', tapi dia diam saja. "pernah,"
"masa? kapan?" shafira menggali ingatannya namun gagal menemukan momen di mana dia berkenalan dengan Dhana.
"14 tahun lalu," jawab Dhana cepat. matanya memandang lekat ke arah Shafira.
"pardon me?"
"yeah, udah lama banget memang," Dhana menggeleng. "di acara nikahan temen bokap."
ingatan Shafira kemudian dipenuhi kilasan-kilasan kejadian. gaun warna hijau muda, garden party, boneka beruangnya, mobil-mobilan tamiya, dasi kupu-kupu, ucapan 'kamu cantik ya', lambaian tangan dari anak laki-laki yang baru dikenalnya.
"mobil-mobilan tamiya warna biru," bisik Shafira
Dhana mengangguk. "boneka beruang?"
Shafira mengangguk bersemangat. "Iyaaa. How do you know?"
Dhana lalu menceritakan pertemuannya dengan Om dan Tante Satria yang membuat ia paham.
"what a small world we live in," Shafira berbisik setelah Dhana selesai bercerita. ia mengeratkan handuk yang menutupi tubuhnya, merasakan angin malam semakin menusuk. entah sudah jam berapa ini. wajar saja jika cuaca semakin dingin.
"kamu percaya takdir?" tanya Dhana pelan. tiba-tiba ber-aku-kamu setelah tadi masih ber-gue-lo.
"yeah," jawab Shafira tidak kalah pelan.
"then it must be a destiny, bahwa kita bisa ketemu lagi sekarang, di sini," setelah mengucapkan kata-kata itu Dhana mencondongkan tubuhnya ke arah Shafira yang tiba-tiba terasa kaku. pelan-pelan bibir dhana menyentuh bibir Shafira dan keduanya terhanyut dalam perasaan yang mulai ditanam bertahun-tahun lalu. tubuh Shafira terasa lemas, namun dengan sigap Dhana merangkul Shafira dan menciumnya lebih lama.
tanpa Dhana dan Shafira sadari, Clarissa memperhatikan kejadian itu dari kejauhan. tangannya mengepal, geram. Clarissa murka.
***
Shafira memandangi matahari terbit tanpa berekspresi apapun. ia menaiki sepeda menyusuri tepi pantai Pulau Bidadari ditemani Yurike, Wulan, Zahra, dan Tania tapi pikirannya tidak benar-benar di situ. ia mengingat kejadian tadi malam dengan Dhana. mereka memisahkan diri setelah Shafira tiba-tiba ingin bersin, karena angin malam yang masuk setelah ia berenang.
"sorry," bisik Shafira sambil menggosok hidungnya dengan handuk.
Dhana tertawa. "lebih baik kamu masuk ke kamar. kita harus istirahat untuk besok,"
Shafira mengangguk dan menarik kakinya dari kolam renang, membetulkan letak handuk (yang masih sempurna menutupi badannya), lalu berjalan menjauhi Dhana. bingung harus bicara apa. Dhana pun diam saja.
"err, kak," Shafira berbalik. ia berdiri salah tingkah. "anggap pertemuan kita malam ini cuma membahas soal kita yang sudah kenal dari dulu. ga ada kejadian yang lainnya. ya?"
"kenapa?" Dhana berdiri dan menghampiri shafira. yang dihampiri malah mundur sambil menunduk, menolak memandang Dhana.
"its not right," bisik Shafira lalu berbalik dan sedikit berlari menuju kamarnya.
ia baru tidur 2 jam karena hampir semalaman terjaga, memikirkan Dhana. belum sempat tidur lama, teman-temannya membangunkan Shafira dan memaksanya ikut bersepeda. awalya Shafira menolak, tapi karena ia diseret terus, akhirnya Shafira menurut. untunglah acara pagi ini tidak bersama dengan rombongan lainnya.
saat menyusuri pantai, di lapangan voli terlihat beberapa orang sedang bermain voli pantai. satu regu adalah senior Shafira, lawannya sepertinya pengunjung lain. melihat Shafira dan kawan-kawan mendekat, Kevin langsung menghentikan permainan, meminta yang lain untuk menggantikannya, lalu langsung menghampiri Wulan, yang berseri-seri.
"balik kamar jam berapa dia tadi malam?" tanya Shafira pada Zahra.
"jam 11," jawab Zahra singkat.
"abis ngapain katanya?" Shafira mendadak kepo
Zahra melirik Tania dan Yurike lalu tertawa. "cuma ngobrol doang. wong pas Wulan cabut dari kolam renang itu ketemu kita. terus mereka cuma ngobrol depan kamar sampe jam 11."
"oh ya? untunglah gak macem-macem tuh anak," Shafira mengangguk lalu merapikan rambutnya yang tertiup angin.
"lo sendiri, ngapain sampe baru balik kamar jam 1 malem?" Tania menyenggol sikut Shafira, matanya berkilat-kilat dan bibirnya tersenyum.
"berenang," jawab Shafira polos
"cuma itu?" Yurike ikutan kepo
"iya,"
"sama siapa?"
"sendiri," Shafira tidak bohong kan. Dhana kan cuma duduk di tepi kolam, tidak ikut berenang dengannya.
"okedeh," Zahra menepuk pundak Shafira. menghentikan diskusi meski sebenarnya mereka berharap Shafira bercerita lebih.
mereka berempat mengikuti Wulan yang sekarang sedang duduk di ayunan sambil mengobrol dengan Kevin dan menikmati es kelapa muda. Shafira memarkirkan sepedanya di dekat pohon lalu ikut memesan es kelapa muda bersama teman-temannya. sebenarnya sudah sejak tadi Shafira sadar bahwa tidak jauh dari tempat mereka, ada Dhana sedang berduaan dengan Clarissa. seakan-akan ibu harimau yang menjaga anaknya dari pemburu, Clarissa merangkul lengan Dhana lebih erat dari biasanya. berkali-kali bicara terlalu dekat dengan wajah Dhana. Shafira mendengus ketika tanpa sengaja melihat Clarissa saat menempelkan tubuhnya begitu dekat ke arah Dhana.
"not my business," bisik Shafira.
"apaan Shaf?" Yurike menoleh
"kelapa muda pake essss," balas Shafira.
"oke," temannya mengiyakan.
Shafira sengaja menjaga jarak dari Dhana selama sisa liburan mereka. sebelum tadi malam pun mereka tidak terlalu dekat jadi tidak aneh jika Shafira dengan sepenuh hati menjaga jarak dari Dhana. meski jadi agak sulit, Shafira berusaha tetap tersenyum dan menikmati Pulau Bidadari ini. ketika sampai di Marina Bay, Shafira luar biasa lega.
"yuk langsung balik," Shafira menarik tangan Yurike agar langsung memasuki mobil dan pulang.
"gak pamitan dulu?" Yurike menunjuk teman-teman dan para senior yang masih berdadah-dadah.
"ga usah,"
"tapi Wulan masih mentok di sana tuh," Yurike menunjuk Wulan yang masih mengobrol dengan Kevin
"mungkin Kak Kevin mau anterin dia. gue tunggu di dalam mobil deh ya. mana kuncinya?"
***
"you dont have to run like that," alih-alih bicara 'halo', orang di seberang sambungan telepon ini malah bicara seperti itu.
"hee?" balas Shafira yang tadi masih bicara ramah, sekarang jadi bingung.
terdengar suara orang menghela nafas di kejauhan. "ga usah menghindariku seperti itu Shaf,"
akhirnya Shafira mengenali suara yang sedang bicara dengannya. "i'm not," Shafira membetulkan posisi duduk yang seenaknya di sofa. hari Minggu siang, ia sedang menikmati film di televisi sambil ngemil kacang. ibu dan kakak iparnya sedang di dapur. kakak dan keponakannya sedang main di belakang.
"yes you are. gak mau ngeliat apalagi ngobrol selama di Bidadari. pulang juga kabur gitu aja,"
Shafira diam. ia sudah mau membalas ketika Dhana melanjutkan. "yang gak perlu kita bahas cuma soal kita ciuman aja kan?"
"hey!" Shafira refleks berteriak. bagaimana kalau ada yang dengar soal itu?
"kenapa Ra?" ibunya menyahut dari dapur.
"gapapa ma," balas Shafira lalu berbisik pada orang di telepon. "kan udah kubilang gak usah dibahas, kak."
"oke. lalu?"
"lalu?"
"kenapa?"
"oh," Shafira diam. Dhana diam. dua-duanya saling menunggu. "Clarissa."
Dhana diam lagi. tanpa bisa dilihat Shafira, Dhana mengacak rambutnya. "yeah, you're right. sorry,"
"you don't have to say sorry, kak,"
"how about saying 'please open your door'?" pertanyaan Dhana sukses langsung membuat Shafira bangun dari sofa dan berlari menuju pintu depan dan membukanya.
Dhana balas memandangnya sambil melambaikan tangan dan menaruh handphone ke dalam saku.
"Hai," sapa Dhana sambil tersenyum
"Oh My Goat," Shafira menepuk keningnya dan bersandar di pintu.
"Kenapa?" Dhana membungkuk ke arah Shafira yang sudah melorot ke lantai
"Gapapa," Shafira berdiri lagi. "Silakan masuk."
Dhana masuk ke rumah Shafira dan pelan-pelan mengamati isinya. Banyak peravotan di rumah ini. Termasuk perabotan memasak, wadah, buku-buku. "Who loves reading?" Dhana menunjuk deretan buku yang terpajang di ruang tamu.
"My father. Me," Shafira mempersilakan Dhana duduk di kursi tamu lalu pamit ke dapur untuk mengambilkan minuman.
"kena angin apa main ke rumahku? dan tahu dari mana?" Shafira meletakkan segelas es teh manis di meja dan duduk di depan Dhana. sang tamu langsung menyambar es teh manis dan menyisakannya hingga hanya setengah gelas.
"tanya sama Om Satria," jawab Dhana singkat.
"oh, apa kabar Om Satria? udah lama banget gak ketemu beliau,"
"baik, sehat, bahagia,"
Shafira manggut-manggut.
"ada siapa aja di rumah?" Dhana bertanya setelah keduanya saling diam selama beberapa detik.
"mama, kakak, kakak ipar, keponakan. semua lagi di sini," Shafira menggerakkan tangannya ke belakang. menunjukkan bahwa anggota keluarganya ada di rumah bagian belakang.
"mama sehat?"
"alhamdulillah. mamanya Kak Dhana sehat?"
Dhana menaikkan sebelah alisnya sebelum menjawab. "sehat,"
"kalau gak salah, waktu kita pertama ketemu itu mamanya Kak Dhana lagi hamil ya?"
"yeah, jadinya si Nuri itu. udah kelas 2 SMP,"
mulut Shafira membentuk huruf o. pada dasarnya Dhana memang tidak banyak bicara dan Shafira sebenarnya agak salah tingkah terhadap Dhana. akhirnya keduanya lebih banyak diam saja.
"can we make a deal?" akhirnya Dhana bersuara lagi.
"about what?"
"kamu gak boleh panggil aku 'kak' kalau kita cuma berdua gini,"
Shafira diam. seakan-akan di masa yang akan datang ada banyak momen-momen mereka bisa berduaan lagi, pikir Shafira.
"tapi kalau di depan banyak orang, kamu boleh panggil aku kak. how?"
"kenapa gak boleh pake kak?"
"kenapa harus?"
"karena kak dhana lebih tua dari aku,"
"sounds awkward," Dhana menggeleng
"oke,"
"hah?"
"iya aku gak panggil pake kak,"
senyum Dhana mengembang lebar. sejak itu Dhana lebih banyak bicara dan Shafira lebih nyaman bersikap
***
Ini aneh, pikir Shafira. Ia duduk sambil memandangi Dhana yang sedang mengerjakan skripsi di ruang tamu keluarganya. sudah sejak pukul 7 Dhana sampai di rumahnya, menyapa ibunya, mengobrol, dan sekarang lanjut mengerjakan skripsi. sementara itu Shafira hanya diam, menemani sambil menonton TV dan ngemil, kadang-kadang memandangi laptop Dhana.
sudah hampir sebulan Dhana jadi rutin ke rumahnya setiap malam. awalnya sekedar berbincang di ruang tamu, lama kelamaan jadi lebih sering di ruang keluarga. ibunya juga tidak keberatan akan keberadaan Dhana. terutama karena orang tua Dhana ternyata kenal dengan ibu dan ayah Shafira. rumah pun jadi lebih ramai karena keberadaan Dhana. mungkin ibunya senang karena hal itu juga. tapi Shafira belum memberi tahu bahwa Dhana sudah punya Clarissa. di samping kedekatan mereka sebulan terakhir ini, di kampus mereka masih tampak seperti orang asing. pura-pura tidak akrab, saling menghindar kalau bertemu, menyapa seperlunya kalau terpaksa. tentu saja semua karena Clarissa. Shafira merasa aneh karena berani bergerak sejauh ini.
Shafira menarik bantal sofa dan memeluknya, potato chipsnya sudah habis dan sekarang ia sedang mencoba menikmati siaran komedi di televisi, meskipun matanya sudah terasa berat sehingga Shafira menyandarkan kepalanya ke sofa.
"ngantuk ya, sini," Dhana meraih kepala Shafira dan meletakkannya di pundak Dhana.
"Hmm," kantuknya hilang seketika karena diperlakukan begitu oleh Dhana, tapi ia tidak menjauh dan malah menyandarkan kepalanya dengan lebih rileks di pundak Dhana. Sehingga Dhana menghentikan kegiatannya mengetik skripsi dan memeluk Shafira dari samping.
"Tidur aja,"
"Mendadak gak ngantuk," jawab Shafira lalu memandangi layar laptop yang masih ada di pangkuan Dhana.
"kok bisa?" Dhana tertawa pelan, mengelus rambut Shafira
"entah," Shafira mengangkat bahunya. "kita ini cepet banget ya."
"apanya?" Dhana menyandarkan kepalanya ke arah Shafira. total menghentikan kegiatannya mengetik skripsi
"hubungannya. sebulan lalu masih strangers, tiba-tiba jadi rajin ketemuan, terus sekarang udah gini aja. meski ga ada judulnya ini hubungan kita..."
Dhana diam. terbersit perasaan bersalah di hatinya. memang sudah sejak lama ia tidak punya perasaan apa-apa pada Clarissa. mereka pun pacaran hanya karena orang tuanya punya kedekatan dalam bisnis. alasan Dhana bisa bertahan selama 3 tahun hanya karena tidak punya alasan untuk memutuskan Clarissa. tapi sekarang, setelah cinta pertamanya muncul, harusnya Dhana bisa lebih berani untuk menyelesaikan hubungannya dengan Clarissa.
"aku mau tidur aja," Shafira mendadak berdiri dan berjalan ke arah tangga.
"hei, jangan marah, Shaf," Dhana buru-buru mengikuti Shafira
"i'm not mad at you. aku cuma mau tidur aja. kamu juga lebih baik pulang. nanti dicariin," Shafira menepuk-nepuk pipi Dhana sambil menyunggingkan senyum. teringat bahwa suatu saat Dhana tinggal di rumahnya sampai pukul 11 dan ibunya menelepon dengan panik.
"yeah, udah jam 10. aku pulang. selamat istirahat," Dhana mencium kening Shafira lalu membereskan barang-barangnya. Shafira menunggu sampai Dhana siap lalu mengantarkan dhana sampai naik mobil. saling melambai hingga Dhana tak terlihat lagi.
***
"hei cewe selingkuhan,"
Shafira menghentikan langkahnya menuju kantin. Yurike dan Wulan ikut berhenti. Shafira tidak akan berhenti karena ia tidak merasa sebagai selingkuhan siapapun (iya sih dia merasa, tapi masa mau ngaku terang-terangan?), tapi seseorang menarik tas yang dikepitnya sehingga ia terpaksa berhenti. mereka bertiga berbalik dan melihat Clarissa menjulang tinggi dengan heels 13 senti, di sampingnya berdiri Kikan, sama cantik dan gayanya seperti Clarissa, namun tidak sepintar temannya.
"gue tau lo sekarang selingkuh sama cowo gue," Clarissa berkata pedas tepat di depan wajah Shafira. Shafira diam saja. sementara itu Yurike dan Wulan terbelalak memandang Shafira.
"gue liat kalian ciuman di kolam renang waktu kita di Pulau Bidadari dan gue juga tau kalau Dhana setiap malam ke rumah lo. tolong yaaa, gue sama dia itu udah pacaran lama. jangan jadi pengganggu urusan orang ya lo."
Shafira masih diam. sekarang ia benar-benar menyesal kenapa membuka pintu rumah dan pintu hatinya untuk Dhana sebelum Dhana benar-benar selesai dengan Clarissa.
"gue udah berusaha baik dengan ngebiarin kalian bertingkah kayak gitu. tapi kali ini gue gak akan diam gitu aja. kalau sekali lagi gue tau Dhana masih berhubungan sama lo, lo abis."
"bukan gue yang mulai duluan," kata Shafira. matanya memandang Clarissa tapi nada suaranya tidak mantap karena ia merasa membuat kesalahan.
"jadi lo mau bilang Dhana yang keganjenan deketin lo? emangnya cowo gue kayak cowo-cowo murahan yang ngefans sama lo? sorry ya. jangan ke-GR-an lo!"
Shafira diam lagi. ingin benar-benar pergi saja dari sini.
"sekali lagi ya gue ingetin lo jangan deketin Dhana sesenti pun. he's mine and forever mine!" kuku lentik Clarissa terarah tepat ke antara mata Shafira. wajah Clarissa benar-benar marah. orang-orang sudah mulai memperhatikan mereka.
"kalau gue cinta sama Dhana gimana?" pelan-pelan Shafira berkata.
"PLAK!" tamparan keras mendarat di pipi Shafira. meninggalkan bekas merah dan sedikit luka terkena kuku Clarissa yang tajam. Shafira tidak membalas, ia hanya memegangi pipinya yang ditampar Clarissa. Yurike dan Wulan kaget, mereka merangkul Shafira tanpa berani berbuat apa-apa kepada Clarissa.
"never in million years!" teriak Clarissa sambil menghentakkan heels-nya lalu berbalik dan pergi.
Shafira masih diam. ini gak seberapa, masih ada hal lain yang membuat hatinya sakit sampai ingin menangis terus. ini gak seberapa dibanding kehilangan ayahnya. Shafira tidak akan menangis.
"yuk ke kantin," Shafira menarik nafas dalam. menekan pipinya sedikit, lalu berjalan seakan tidak ada kejadian apa-apa. Yurike dan Wulan mengikuti sambil kebingungan.
"so..." Wulan angkat bicara setelah mereka bertiga menghabiskan makan siang dalam diam. "lo dan Kak Dhana..."
Shafira menatap Wulan, tatapannya sulit diartikan. "gak di sini juga ceritanya, Wul."
Wulan baru akan menimpali ketika handphone Shafira berbunyi, ada telepon dari Dhana.
"ya," sapa Shafira. memegang handphone dengan tangan kiri sementara tangan kanannya memijat pelan pipi. lukanya dibiarkan begitu saja.
"Clarissa nampar kamu?"
"iya,"
"are you okay?"
"how can you say I'm okay, Dhan?" Shafira bicara dengan nada datar, tidak marah pada Dhana, ia lebih marah pada dirinya sendiri, dan dhana masih bisa bertanya apakah Shafira baik-baik saja atau tidak, tentu saja tidak.
"i'm sorry i'm not around. i'll see you soon, okay. i'll finish my business here and . . ."
"don't make everything worse, please. i hope we're done. kamu temui Clarissa aja. bikin dia lebih tenang. i'll be fine. i have faced something worst, Clarissa wont bring me down."
"what do you mean with 'we're done'?"
"wrong term? coz actually we never start anything, right?"
"Shafira..."
"stop coming by my home, Dhan. okay?" nada Shafira terdengar sedikit memohon.
"what? why?"
"end of conversation," lalu Shafira menutup sambungan telepon. menyadari Wulan dan Yurike sedang memandanginya.
"apa?" tanya Shafira mendadak ketus.
"kalau mau nangis, nangis aja," Yurike memegang tangan Shafira.
"nope. i'm okay," Shafira mengambil tasnya dan berjalan menuju ruangan tempat kelas mereka berikutnya. Shafira memang terlihat tegar, tapi Yurike bisa melihat bahwa matanya menunjukkan Shafira tidak baik-baik saja.
***
malam itu Yurike, Wulan, Zahra dan Tania menginap di rumah Shafira. mereka 'menuntut' untuk diceritakan apa kejadian sebenarnya. mereka tidak memaksa, hanya merasa prihatin dengan kondisi Shafira yang masuk kelas dengan luka goresan sepanjang 2 senti di pipinya yang mulus. sepanjang sisa hari itu, ratusan pertanyaan muncul akan luka itu dan dijawab Shafira hanya dengan senyuman dan "gak apa-apa."
hari itu Dhana seharian tidak di kampus karena ada urusan dengan skripsinya. jadi ia juga tidak menemui Shafira sama sekali. namun telepon dan ratusan pesan ia kirimkan pada Shafira dan tidak ada satupun yang dibalas. baguslah, pikir Shafira, daripada menambah runyam keadaan hari ini yang sudah runyam.
Shafira menceritakan semua hal kepada teman-teman dekatnya ini. termasuk pertemuan pertamanya dengan Dhana 14 tahun lalu. di mana sejak pertemuan itu sebenarnya Shafira sudah menaruh hati pada Dhana, meski Shafira tidak tahu seperti apa dhana setelah dewasa. Shafira juga menceritakan kejadian di kolam renang, yang memancing pekikan dari Wulan. juga cerita bahwa Dhana sering datang ke rumahnya hingga ibu dan kakaknya pun akrab dengan Dhana.
"that's it," adalah kalimat penutup dari Shafira untuk ceritanya.
"gue gak nyangka lho. ternyata kalian udah kenal dari lama," Zahra berkomentar pertama.
"yang gue gak nyangka, lo diem-diem menghanyutkan ya Shaf," Wulan menggeleng.
"ngapain aja Dhana kalau ke rumah lo?" pertanyaan Tania dihadiahi gebukan bantal dan guling dari yang lain.
Shafira senyum, "cuma ngobrol, ngerjain skripsi, nonton TV, baca buku, ya gitu,"
"gak ciuman lagi?"
"Tania! kepo banget!" zahra melotot kepada Tania sementara Tania cuma nyengir.
"cuma sekali itu doang, pas di kolam renang. kebanyakan kalau di rumah gue ya cuma yang gue sebutin tadi sih. palingan dia suka nyium kening gue aja."
keempat temannya langsung berciye-ciye dan mengikik ala cewe-cewe di film. Shafira tersenyum simpul. Shafira menikmati perlakuan Dhana tapi ia juga masih belum bisa benar-benar menerima Dhana yang statusnya masih kekasih orang.
"Shafira," terdengar suara ibunya memanggil dari lantai bawah.
"ya ma," sahut Shafira lalu berlari menuju pintu. "gue ke bawah dulu ya girls."
"ada ap..." kata-kata Shafira terhenti setelah melihat ibunya sedang berbicara dengan siapa.
"mama tinggal ya," ujar ibu Shafira lalu menepuk pundak Dhana sembari senyum lalu menyentuh lengan putrinya dan menghilang ke kamar. ibu Shafira memang membiasakan teman-teman putra putrinya untuk menyebut dirinya 'mama' saja.
sepeninggal ibu Shafira, Dhana langsung menghampiri Shafira lalu memegang pipi yang tergores kuku Clarissa. Shafira mundur selangkah, menghindar.
"masih sakit?" tanya Dhana
Shafira menggeleng. lebih memilih menatap lantai daripada Dhana.
"kamu kenapa di sini?" tanya Shafira pada lantai.
Dhana menghela nafas sebelum menjawab. "karena khawatir sama kamu. aku udah ketemu Clarissa sebelum ke sini."
"oke, lalu?" kali ini Shafira mengangkat kepala dan bicara langsung kepada Dhana. tangannya dilipat di depan dada.
"i can't," Dhana menggeleng. menghenyakkan diri ke sofa dan memijat kepalanya. Shafira masih menunggu Dhana melanjutkan kata-katanya. "aku gak bisa putus sama dia."
Shafira mendengus, mengusap rambutnya, melirik ke arah lain, yang penting tidak memandang Dhana.
"dia mengancam akan bunuh diri," lanjut Dhana
Shafira tertawa geli, orang seperti Clarissa bunuh diri? sulit dibayangkan. itu pasti hanya akalnya agar Dhana tidak memutuskan dia.
"dan kamu percaya?"
"gimana aku gak percaya kalau dia beneran megang cutter dan tangannya beneran udah berdarah?" Dhana berdiri lalu berdiri tepat di hadapan Shafira, berusaha mengambil kembali perhatian Shafira.
"you are the only one I love, Shaf," Dhana menyentuh kedua pipi Shafira, mengelus pelan luka dii pipi Shafira.
"silly," Shafira melepaskan kedua tangan Dhana dari wajahnya. dengan getir, Shafira menggigit bibirnya. "anggap aja kita gak ada apa-apa. selama sebulan ini gak ada apa-apa. perasaan kita juga gak ada apa-apa."
"gak mungkin bisa begitu dong,"
"why not? kamu masih sama Clarissa, Dhan. gak mungkin juga aku paksa kamu putus dengan kondisi dia begitu. dan aku juga gak mau jadi orang ketiga. memang aku salah membuka pintu rumah dan hati aku buat kamu, tapi aku gak mau ngelanjutin kesalahan ini."
"kamu bilang perasaan kita salah?"
"iya, salah. salah banget. gak perlu dilanjutkan lagi. please,"
"kamu gak mau berjuang?"
"untuk apa? kalau aku bertahan, akan ada orang yang tersakiti atau bahkan mungkin nyawa melayang. apa aku sejahat itu sampai membiarkan hal begitu terjadi?"
"aku yang akan tersakiti kalau kamu menyerah,"
"but at least you're alive, Dhana," nada suara Shafira putus asa
"apa artinya hidup tapi terikat pada sesuatu yang tidak kita inginkan? apa bedanya sama zombie?"
"kamu bisa coba mencintai Clarissa,"
"gak akan seperti aku padamu,"
"stop this bullshit, dhana. get out of my house and pretend we never know each other,"
"Shafira," panggil Dhana agak keras
"GO!" Shafira berteriak sambil menampar pipi Dhana. harinya penuh dengan saling menampar. efek tamparannya mungkin tidak banyak terhadap Dhana yang berbadan besar, Dhana pun sebenernya bisa saja menghindar, tapi ia memilih diam. Shafira memandang Dhana yang masih bergeming lalu menunduk dan berlari ke kamarnya.
***
"Lo tau, banyak banget yang sering ngajak gue jalan, yang nawarin gue pulang bareng, atau ngasih gue makanan. Tapi semuanya gue tolak. Dan masih ada aja yang kayak gitu. Padahal harusnya sih gue jahat ya. Tapi mereka masih pada betah aja. Semua itu karena gue ga mau bikin orang salah paham, anggap ngasih harapan. Sementara perasaan gue nyangkutnya cuma sama satu orang. Orang yang mukanya aja gue ingat samar-samar. Sekarang gue tau siapa orangnya, perasaan gue makin tumbuh. Tapi malah gue ga bisa bahkn cuma deket sama dia sekalipun. Mungkin ini karma kali ya karena gue nolak perhatin cowo ke gue?"
Shafira berceeita dalam keheningan malam. Teman-temannya sudah tidur, lampu kamar sudah dimatikan. Tadi Shafira sudah bercerita tentang pertemuannya dengan Dhana. Tapi ia baru berani bercerita tentang ini ketika teman-temannya sudah terlelap.
"There will always a way, darling. Tidur lo," zahra rupanya mendengarkan kata-kata Shafira dan menyahut. Shafira hanya senyum.
***
"Kita dapet pesenan katering buat siapa ma?" Shafira mengenakan celemek sambil terburu-buru lalu menghampiri ibunya yang sudah berkutat di dapur. Di sekeliling mereka ada tetangga yang biasa membantu kalau ada order besar.
"Temennya Satria. Kamu kenal Om Satria kan? Yang tahun kemarin anaknya ulang tahun?" Shafira mengangguk. "Nanti malam teman anaknya ulang tahun tapi kateringnya ada miskom gitu. Jadi kita diminta bikin dessert buat tambahan. Om Satria yang rekomendasiin kita."
"Ngedadak banget! Pantesan mama sampe nelepon aku supaya buru-buru pulang. Kirain ada apa,"
"Ada permintaan yang harus dipenuhi," jawab ibunya sambil mencubit pipi Shafira hingga belepotan tepung.
Malam itu Shafira sendiri yang mengantarkan pesanan ke tempat acara. Diantar oleh Yudi, tetangganya. Mereka berdua menghubungi salah satu panitia acara yang akan menunjukkan di mana mereka harus meletakkan berbagai pesanan. Karena hanya melengkapi, Shafira hanya perlu menyimpan makanan dan menerima pembayaran, tanpa perlu menyiapkan alat-alat makan karena itu sudah disediakan katering utama. Setelah selesai bertransaksi, Shafira buru-buru mengajak Yudi untuk pulang. Namun langkahnya terhenti karena seorang ibu-ibu berdiri di depannya.
"Ini Shafira?" Tanyanya ramah. Bajunya rapi dan make upnya membuat ia terlihat 5 tahun lebih muda.
"Aku Widya, ibu dari Rima yang ulang tahun hari ini," Tante Widya mengulurkan tangan dan disambut dengan malu-malu oleh Shafira dan Yudi. "Makasih ya udah mau direpotin sama pesanan mendadak."
"Gapapa Tante. Kami yang makasih karena udah dikasih kepercayaan." Shafira tersenyum dan diikuti Yudi.
Tante Widya tertawa lalu mengibaskan tangannya. "Kayaknya kita berdua harus berterima kasih ke satu orang aja. Itu dia orang yang rekomendasiin kamu ke Tante. Dhana!"
Tubuh Shafira membeku. Ia tidak berani untuk memastikan bahwa orang yang dipanggil Tante Widya adalah orang yang dia kenal juga.
"Ini Dhana. Dia yang bilang mama kamu punya usaha katering. Kalian saling kenal dong ya?" Tante Widya menepuk pundak Dhana masih sambil senyum dan memperhatikan Shafira. Tanpa memandang Dhana, Shafira mengangguk. "Kalau gitu, Shafira jangan dulu pulang ya. Makan dulu aja di sini. Dhana temani Shafira ya."
"Ya Tante,"
"Er Tante, saya harus pulang. Ditunggu mama," Shafira berusaha menolak sebelum Tante Widya pergi.
"Nanti Tante yang hubungi mama kamu supaya kamu diijinkan tinggal. Lagian Yudi juga kayaknya lapar ya?" Tante Widya menoleh ke arah Yudi yang langsung cengar-cengir. Shafira langsung mendelik tapi Yudi tidak paham. "Enjoy the party, say."
Shafira menggerutu. Bagaimana dia bisa enjoy the party kalau orang lain pakai dress dan dandan cantik sementara ia hanya pakai celana pendek dan kaos, sendal kepit seadanya, dan rambut diikat ekor kuda. Apalagi ada Dhana di sampingnya. Dhana yang sudah ia coba hindari hingga 2 minggu.
"Thanks for coming," Dhana bersuara. Shafira berbalik, mendelik sedikit kepada Dhana, lalu menarik Yudi menjauh dari Dhana sekaligus dari kerumunan. Biar mereka berdiri di antara bayang-bayang. Jadi perugas katering kalau perlu. Supaya tetap memenuhi perintah Tate Widya tapi tidak terlalu kentara keberadaannya.
"Mau ke mana?" Dhana mengejar mereka berdua. Yudi yang tidak paham kondisinya, hanya melirik mereka berdua bergantian.
Shafira diam saja. Ia sudah sukses nyuekin Dhana sampai 2 minggu. Jangan sampai malam ini rekornya harus pecah.
"Shafira," Dhana menarik lengan kiri Shafira dan membuat langkahnya terhenti. Shafira menarik nafas pelan lalu memandang Dhana.
"Lepas," Shafira berbisik.
"Gak akan,"
Shafira berusaha menarik lengannya tapi pesta baru dimulai tepat tidak jauh dari tempat Shafira, Dhana, dan Yudi berdiri. Akan sangat aneh kalau mereka membuat keributan. Jadilah Shafira mengalah, memilih diam dan mengikuti saat Dhana mengajaknya berdiri di pinggir.
"Tante Widya teman papa dan Om Satria. Kebetulan Rima udah kayak adik aku jadi aku ikut tahu kondisi pesta ultahnya hari ini. Saat tiba-tiba kateringnya gak nyediain dessert, aku langsung kepikiran kamu. Murni untuk bantu bisnismu. Bukan apa-apa. "
Shafira diam. Memandang acara di kejauhan. "Thanks," akhirnya dia berkata.
"Kamu mau makan?" Dhana menawari setelah MC mempersilakan hadirin untuk menikmati sajian. Shafira menggeleng tapi Yudi tidak.
"Mbak, makan dulu yuk. Saya lapar nih,"
Shafira melotot. "Yudi, di rumah aja. Nanti gue buatin makanan deh. Lagian lo kan pake jeans dan kaos doang. Belel lagi. Malu sama tamu lain,"
"Biar gue yang ambil makanannya. Lo mau makan apa?" Dhana maju ke arah stand makanan sambil memandang Yudi.
"Apa aja Mas," Yudi nyengir malu-malu dan disambut anggukan dari Dhana.
"Malu-maluin," desis Shafira sambil mencubit tetangga yang lebih muda 3 taun darinya ini.
Dhana kembali dengan sepuring penuh lasagna dan satu mangkok zuppa soup. "Kalau kurang nanti gue ambilin lagi."
"Ini aja udah cukup kok Mas. Makasih banyak!" Yudi menyambut makanan dari Dhana lalu langsung makan dengan lagap. Dhana menepuk pundak Yudi dan tersenyum.
"Masih gak mau ngobrol sama aku?" Dhana bersandar di samping Shafira, mengajak Shafira mengobrol. Sementara yang diajak hanya memandang ke arah panggung musik.
"Fokus banget dengerin musiknya. Lagu favorit sih ya," Dhana ikut memandang ke arah panggung, band teman Rima sedang memainkan lagu Ed Sheeran, membuat Rima dan teman-temannya meleleh.
"Kuliahmu gimana?" Dhana masih gigih bertanya.
"Berisik! Kamu jangan gang..." Shafira berbalik menghadap Dhana, bermaksud untuk memarahi Dhana yang masih saja berusaha mendekatinya. Tapi kalimatnya tertahan karena Dhana mengambil kesempatan itu untuk mencium Shafira. Shafira kaget dan buru-buru menarik tubuhnya menjauh.
"I misa you a lot," bisik Dhana.
Shafira geregetan. Akhirnya ia hanya menghentakkan kaki lalu keluar dari tempat pesta. Kali ini Dhana tidak mengejarnya.
***
Clarissa dirawat di rumah sakit selama seminggu karena percobaan bunuh dirinya. hampir setiap hari itu pula dhana selalu menemani Clarissa di rumah sakit. setelah aktivitas di kampus dan bisnis yang sedang dibangunnya, ia selalu menenmani Clarissa. menyediakan apa yang dibutuhkan Clarissa, memanggil dokter, mengajak ngobrol keluarga. namun malam-malam yang dilaluinya di rumah sakit dihabiskan Dhana dengan memikirkan orang lain, menghela nafas berat setiap kalinya. Clarissa tahu bahwa dhana hanya menunaikan kewajibannya sebagai pacar yang baik, meski sebenarnya hati Dhana sepenuhnya tidak di situ. Setelah dari rumah sakit, clarissa sempat bed rest 2 hari lalu kembali ke kampus. beberapa kali ia sempat berpapasan dengan Shafira tapi Clarissa hanya mendelik dan tidakk berkata apa-apa. clarissa juga tahu, bahwa setiap kali ada kesempatan, Dhana selalu diam-diam mencari Shafira, memandanginya dari jauh karena yakin Shafira akan menghindar dari Dhana. clarissa juga tahu, bahwa ia hanya menghalangi perasaan dua orang yang saling bertaut.
seminggu setelah pesta ulang tahun Rima, Clarissa masih teguh pada pendiriannya memisahkan Dhana dari Shafira. namun Dhana mulai menjalankan rencananya untuk mendapatkan kembali Shafira. malam itu angin berhembus kencang. Dhana memarkirkan mobilnya di depan rumah Shafira lalu keluar, bersandar di mobilnya sambil memandang rumah Shafira. rumah yang hanya dihuni dua orang itu tampak sepi. setelah berdiam diri selama 10 menit, lampu di kamar lantai artas tiba-tiba menyala, pelan-pelan Dhana mengeluarkan smartphone dari saku celananya dan menelepon penghuni rumah itu.
"halo," tanpa disangka, Shafira mengangkat telepon tersebut.
"aku di depan rumahmu," balas dhana
"aku tau,"
"bisa ngobrol?"
"mama lagi ga ada di rumah, aku ga bisa ajak orang asing masuk,"
Dhana menghela nafas dan menggaruk kepalanya. "di teras aja,"
selama 2 detik tidak ada jawaban apa-apa dari Shafira dan malah telepon dimatikan. tapi tidak lama kemudian Shafira muncul dan membuka pintu pagar rumahnya. Dhana tersenyum, mengangguk, lalu masuk. Shafira sudah menunggunya sambil duduk di teras, bahku repot-repot duduk di bangku, tapi begitu saja melipat kakinya di ubin. Dhana membuka jaketnya lalu menaruhnya di pangkuan Shafira.lalu duduk di samping Shafira. keduanya memandangi taman kecil di depan rumah.
"masih belum putus dari Kak Rissa?" Shafira yang pertama angkat bicara.
"belum," Dhana menjawab pelan, merasa bersalah.
"terus ke sini mau ngapain?"
"mau ngobrol," jawaban Dhana membuat Shafira menoleh lalu mencibir.
"di kampus juga bisa," balas Shafira
Dhana tertawa getir. keduanya tahu kenyataannya bagaimana.
"gimana katering?" Dhana mencoba membahas topik lain. one topic leads to another. kadang mereka tertawa, kadang mereka hanya saling bicara dan mendengarkan. mengobrol seakan tidak ada ganjalan apa-apa di antara mereka. sampai ketika keduanya sudah lelah bicara, Shafira menyandarkan kepalanya di pundak Dhana.
"aku gak tau lagi main permainan apa sama kamu dan Kak Rissa," Shafira mengelus tangan kiri dhana yang digenggamnya. sementara itu tangan kanan Dhana merangkul pundak Shafira.
"i don't know either,"
"how to end this game?"
"somebody need to lose,"
"aku? karena di level ini aku yang posisinya lemah,"
"i don't know, Shafira. kita gak akan tahu siapa pemenang sebuah game sebelum benar-benar berakhir."
"kamu mau siapa yang menang?"
"kamu tahu jawabannya," Dhana mengecup lama puncak kepala Shafira. menyesali sikapnya yang tidak tegas.
"pulanglah dhan. nanti kamu dicariin," Shafira menjauhkan diri dari pelukan Dhana, melepaskan jaket dhana yang menutupi kakinya, lalu berdiri.
"ya, udah gede gini masih aja dicariin." dhana tertawa getir. "aku akan segera punya waktu di mana aku akan menetukan semuanya sendiri."
Shafira tersenyum. "ya, i cant wait for the moment to come,"
"see you," Dhana melambai dan berjalan ke luar.
"ya, see you," Shafira melambaikan tangan kanannya lalu berbalik dan masuk ke dalam rumah.
***
"i have something to say," clarissa menaruh garpu dan pisau lalu memandang ke seluruh peserta makan malam. saat ini Clarissa dan Dhana sedang makan malam dengan kedua orang tua mereka. semuanya menghentikan gerakan makannya lalu memandang Clarissa. "aku . . . mau putus dari kamu, Dhana."
kedua orang tua mereka terhenyak, memandang kedua anak itu bergantian. "kenapa, Clarissa?" tanya ibunya.
"clarissa bosen, Ma," jawab Clarissa dengan nada seolah-olah ia bosan dengan tas barunya. seharusnya Dhana tersinggung, tapi dhana malah senyum sedikit lalu melanjutkan makannya.
***
"kamu tahu sebenernya aku gak akan pernah mau putusin kamu. bunuh diri pun aku rela demi bisa mertahanin kamu sama aku," clarissa mulai meneteskan air mata seiring dengan pengakuannya di depan Dhana seorang. kedua orang tua mereka sudah pulang. saat ini Clarissa dan Dhana sedang berada di basement hotel tempat mereka makan malam bersama. Dhana akan mengantarkan Clarissa pulang untuk terakhir kalinya. "aku sayang banget sama kamu Dhana, sejak kita masih SMA. aku sangat bersyukur kita bisa jalin hubungan. tapi sekian tahun kita bersama, kamu gak pernah mencium aku, kamu gak pernah menggenggam tangan aku, kamu gak pernah menunjukkan rasa cinta kamu ke aku. aku selalu berdoa suatu saat akan melihat binar cinta itu di mata kamu. ya, akhirnya aku melihatnya. tapi bukan untukku, melainkan untuk Shafira. di hari pertama dia muncul di kampus sebagai mahasiswa baru, aku langsung menyadari ada yang berbeda di mata kamu ketika memandang dia. kamu memang gak kayak cowo lain yang sibuk mendekati dia, tapi aku tahu bahwa posisiku terancam. karena itulah aku sangat benci pada Shafira. hingga akhirnya kalian menyadari perasaan kalian satu sama lain. aku masih berusaha untuk mempertahankan kamu, tapi semakin lama aku makin merasa lebih sakit. karena bahkan saat kamu denganku pun aku tahu siapa yang menyita hati dan pikiran kamu."
Clarissa yang biasanya terlihat galak dan tegar, kali ini menangis tersedu-sedu. perlahan, dhana memeluk Clarissa agar dia lebih tenang. pelukan sebagai seorang teman baik.
"i'm sorry," bisik Dhana. Clarissa menggeleng dalam pelukan Dhana.
"a-aku pasti bakal dapet cowo yang jauh lebih baik dari kamu. lebih ganteng, lebih kaya, lebih pinter."
Dhana tertawa. "ya, you deserve it, Clarissa. ayo pulang."
Clarissa mengangguk. bersamaan dengan berbunyinya smartphone Dhana.
"halo?" sapa Dhana. Clarissa berjalan menuju mobil Dhana sambil memperhatikan.
ekspresi Dhana tiba-tiba berubah menjadi mendung. tangannya gemetar. cepat-cepat ia menutup sambungan telepon dan menghampiri mobilnya, di mana Clarissa sudah menunggu.
"Shafira . . ." dhana tergagap. Clarissa diam. ". . . kecelakaan. aku harus . . ."
"aku pulang pakai taksi aja, kamu langsung temui Shafira." Clarissa tersenyum, kata-katanya tulus.
"thank you and sorry, Clar," Dhana langsung masuk ke mobil dan menjalankan mobilnya dengan cepat.
"ditinggal juga," bisik Clarissa setelah mobil Dhana hilang dari pandangan.
***
malam itu baru pukul 9, ketika Dhana berlari kalang kabut menuju UGD. lampu UGD menyala, di depan ruangan sudah ada ibu dan kakak Shafira serta beberapa teman. teman laki-laki berwajah pucat dan teman perempuannya beberapa bahkan menangis.
"ma," panggil Dhana kepada ibu Shafira.
"dhana. terima kasih sudah datang," ibu Shafira tidak menangis, tapi terlihat sekali dia khawatir, tangannya bergetar dan pandangan matanya tidak fokus.
"iya ma. kondisi Shafira?"
"masih di UGD sejak setengah jam lalu," kakak Shafira yang menjawab. Dhana mengagguk.
"kejadiannya?" tanya Dhana lagi yang kali ini dijawab kakak shafira dan menunjuk ke arah teman-teman Shafira. Dhana berbalik, pelan menghampiri Zahra, Yurike, Wulan, dan Tania.
"Kak Dhana," panggil Zahra yang paling terlihat tegar di antara mereka berempat. Tania menangis paling keras dan Yurike menangis dalam diam.
"gimana?" tanya Dhana.
"tadi kami rapat, sampai malam, untuk acara ulang tahun himpunan. jam 8 shafira ijin pulang duluan karena harus menemani ibunya. dia pulang naik ojek, Kak. kami pikir baik-baik aja karena sering begitu. tapi 15 menit kemudian kami dapat telepon dari Gamal," zahra menunjuk laki-laki yang duduk tidak jauh dari mereka. "kata Gamal, Shafira kecelakaan."
Dhana menoleh ke arah Gamal. Gamal mengangguk sedikit.
"Gamal temen kami beda fakultas. dia lagi nyetir naik mobil mau pulang. katanya, ojek yang dinaiki Shafira jalan di depannya. entah karena apa, Shafira ga pake helm. mungkin karena ada lubang dan ojeknya telat sadar, dan habis hujan juga,m ojeknya oleng dan penumpangnya kelempar, sayangnya rok Shafira nyangkut di motor jadi dia agak keseret gitu. ojeknya sendiri gapapa. sekarang tukang ojeknya lagi dibawa ke polisi. Gamal yang telepon ambulans dan kami semua langsung ke sini."
hati Dhana langsung sakit mendengar penuturan Zahra. rasanya berat membayangkan Shafira jatuh dari motor dan terseret motor, tanpa mengenakan helm pula.
"gimana kondisi saat Shafira di bawa ke sini?" Dhana bertanya lagi.
"kata Gamal, kepala shafira ngebentur trotoar lalu keseret beberapa meter di trotoar. tangan kanannya juga kena," sepertinya zahra masih terbayang posisi shafira saat ditemukan. karena setelah bercerita, zahra langsung menangis.
dhana mengusap wajahnya dan beristigfar berkali-kali. berdoa tidak ada apa-apa yang terjadi kepada Shafira.
dokter keluar dari ruang UGD dan mengatakan kepala Shafira terkena cedera parah dan harus segera dioperasi. biayanya hingga 90 juta. semua orang di situ shock mendengar berita ini. apalagi ibu dan kakak Shafira. jika uangnya belum terkumpul, dokter baru bisa memberikan penanganan sederhana saja.
"bisa dibayar setengahnya dulu?" Dhana maju mendekati dokter dan suster.
"bisa pak, kita urus di kasir aja," jawab suster dan langsung mengajak dhana ke arah kasir.
Dhana mengangguk, ibu dan kakak Shafira terkejut. "Zahra, mungkin kita bisa bantuan dari temen-temen untuk donasi buat Shafira. kamu bisa bantu?" Zahra mengangguk dan cepat-cepat mengambil gadgetnya.
"ma, apa gapapa Dhana bertindak seperti ini? Dhana akan bayar 50% biaya operasi Shafira, sisanya Dhana dan teman-teman Shafira akan minta donasi," Dhana menghampiri ibu Shafira dan menggenggam tangannya.
"terima kasih Dhana, terima kasih," ibu shafira akhirnya menangis juga. kakaknya pun mengangguk. "akan segera kami ganti."
"ga usah dipikirin, kak," Dhana tersenyum sebentar lalu langsung mengikuti suster untuk mengurusi pembayaran.
***
operasi Shafira berhasil tapi Shafira masih belum sadar juga. otaknya yang mengalami kerusakan cukup parah membutuhkan waktu lama untuk pulih, sementara itu tulang pundak hingga siku tangan kanan Shafira patah sehingga ia harus menjalani perawatan intensif juga. Dhana menemani Shafira setiap jam. ia ingin menjadi orang yang pertama dilihat Shafira saat Shafira sadar. skripsi ia kerjakan dari rumah sakit, bisnisnya ia jalankan dari rumah sakit, bahkan ia sampai meminta temannya untuk mengantarkan baju ke rumah sakit.
di hari ketiga Shafira di rumah sakit, kedua orang tua Dhana tiba. pada dasarnya kedua orang tua dhana dan Shafira saling kenal jadi Dhana tidak perlu mengenalkan mereka bertiga. Dhana juga tiodak perlu repot-repot menjelaskan kenapa ia ada di rumah sakit berhari-hari. beberapa kali teman-teman Shafira menjenguk, banyak pula fans Shafira yang mengirimkan berbagai hal. dhana hampir menolak segerombolan mahasiswa yang ingin menjenguk Shafira dan membuang barang pemberian mereka kalau tidak ingat ibu Shafira menerima mereka dengan tangan terbuka. malam-malam dingin ketika dhana tidak bisa tidur saat di rumah sakit, ia akan duduk di samping kasur Shafira, menggenggam dan mencium tangan Shafira,, bercerita banyak hal, kondisi di kampus, Clarissa yang sudah putus dengannya, progres skripsi, hingga gosip artis. kadang, Dhana juga nekat naik ke tempat tidur dan tidur sambil memeluk Shafira. membisikkan doa-doa dan harapan agar shafira segera sadar.
pagi itu Dhana terlambat bangun. malam harinya, ia menyusup ke kasur pasien dan tidur di sebelah Shafira. biasanya saat adzan subuh ia akan bangun, shalat, lalu melanjutkan tidur di sofa. kali ini ia bangun ketika ada teriakan suster.
"mas gak boleh tidur sama pasien!" Dhana terkejut dan buru-buru turun. di depannya, suster sudah melotot dan berkacak pinggang.
"gimana kalau tanpa sengaja kena alat-alat? atau nabrak badan pasien. itu bisa bahaya! jangan diulangi lagi ya!" suster melotot memandangi Dhana seperti guru BP memarahi muridnya yang nakal.
"maaf sus," Dhana menunduk berkali-kali.
"untuk pasiennya gak kenapa-kenapa. ya kan mba?" suster menggangti botol infus sambil memandang ke arah tempat tidur pasien. Dhana ikut menoleh dan melihat Shafira sedang tersenyum memandangi Dhana dan ibunya yang sedang berdiri di samping Dhana.
"kamu sudah sadar?" dhana langsung mendekati Shafira, menggenggam tangannya. shafira tersenyum dan mengangguk sedikit.
"syukurlah," bisik Dhana lalu mencium bibir kering shafira dan langsung dijitak oleh suster.
"Mas!"
***
Dhana kembali ke rumah sakit setelah akhirnya pulang ke rumah. setelah pagi tadi yakin kondisi Shafira sudah baikan dan ia sukses jadi orang pertama yang dilihat Shafira saat sadar, Dhana akhirnya pulang ke rumah, mandi dengan benar, makan dengan benar, membeli bunga dan kembali ke rumah sakit.
Shafira sedang ditemani ibu dan kakak iparnya. ia memang belum bisa bicara banyak, kepalanya masih diperban, dan tangannya digips. ketika dhana masuk dan membawa bunga, Shafira menyunggingkan senyum lebar.
"Dhana, mama mau beli obat dulu ya. titip Shafira,"
"iya Ma," jawab Dhana sambil mengangguk sopan. setelah ibu dan kakak ipar Shafira pergi, Dhana menarik kursi dan duduk di sebelah kiri Shafira.
"gimana perasaanmu?" tanya Dhana sambil mengelus kepala Shafira.
"baik," jawab Shafira pelan.
"ada yang sakit?"
"kepala. dikit,"
"ga usah banyak gerak dan bicara berarti,"
"hmm," balas shafira.
"aku dan Clarissa sudah putus," dhana memberi pengumuman.
"aku tahu,"
"kamu tahu? dari mana?"
"di mimpi. ada yang bilang,"
Dhana tertawa. "ternyata apa yang aku sampaikan ketika kamu koma, kedengeran juga sama kamu ya?"
"ya," Shafira senyum.
"tadi aku ke kampus, minggu depan aku sidang. semoga kamu bisa datang,"
"selamat,"
Dhana bangkit berdiri lalu duduk di samping Shafira. pelan-pelan dari sakunya dikeluarkan kotak kecil beludru berwarna biru.
"setelah lulus, aku akan memulai banyak hal, kuliah, terutama bisnis. dan aku butuh pendamping ya tepat. will you marry me?"
Shafira mendengus lalu tertawa sekeras yang diijinkan kondisinya.
"sengaja ya, pas aku kayak gini, biar ga bisa nolak?" shafira berkata terbata-bata
"mungkin ya," balas Dhana sambil memasangkan cincin terssebut di jari manis tangan kiri Shafira. "mungkin juga tidak."
Dhana mencondongkan tubuh ke arah Shafira dan menciumnya lagi, dengan sepenuh hati, dengan lebih bebas.
***
Clarissa dirawat di rumah sakit selama seminggu karena percobaan bunuh dirinya. hampir setiap hari itu pula dhana selalu menemani Clarissa di rumah sakit. setelah aktivitas di kampus dan bisnis yang sedang dibangunnya, ia selalu menenmani Clarissa. menyediakan apa yang dibutuhkan Clarissa, memanggil dokter, mengajak ngobrol keluarga. namun malam-malam yang dilaluinya di rumah sakit dihabiskan Dhana dengan memikirkan orang lain, menghela nafas berat setiap kalinya. Clarissa tahu bahwa dhana hanya menunaikan kewajibannya sebagai pacar yang baik, meski sebenarnya hati Dhana sepenuhnya tidak di situ. Setelah dari rumah sakit, clarissa sempat bed rest 2 hari lalu kembali ke kampus. beberapa kali ia sempat berpapasan dengan Shafira tapi Clarissa hanya mendelik dan tidakk berkata apa-apa. clarissa juga tahu, bahwa setiap kali ada kesempatan, Dhana selalu diam-diam mencari Shafira, memandanginya dari jauh karena yakin Shafira akan menghindar dari Dhana. clarissa juga tahu, bahwa ia hanya menghalangi perasaan dua orang yang saling bertaut.
seminggu setelah pesta ulang tahun Rima, Clarissa masih teguh pada pendiriannya memisahkan Dhana dari Shafira. namun Dhana mulai menjalankan rencananya untuk mendapatkan kembali Shafira. malam itu angin berhembus kencang. Dhana memarkirkan mobilnya di depan rumah Shafira lalu keluar, bersandar di mobilnya sambil memandang rumah Shafira. rumah yang hanya dihuni dua orang itu tampak sepi. setelah berdiam diri selama 10 menit, lampu di kamar lantai artas tiba-tiba menyala, pelan-pelan Dhana mengeluarkan smartphone dari saku celananya dan menelepon penghuni rumah itu.
"halo," tanpa disangka, Shafira mengangkat telepon tersebut.
"aku di depan rumahmu," balas dhana
"aku tau,"
"bisa ngobrol?"
"mama lagi ga ada di rumah, aku ga bisa ajak orang asing masuk,"
Dhana menghela nafas dan menggaruk kepalanya. "di teras aja,"
selama 2 detik tidak ada jawaban apa-apa dari Shafira dan malah telepon dimatikan. tapi tidak lama kemudian Shafira muncul dan membuka pintu pagar rumahnya. Dhana tersenyum, mengangguk, lalu masuk. Shafira sudah menunggunya sambil duduk di teras, bahku repot-repot duduk di bangku, tapi begitu saja melipat kakinya di ubin. Dhana membuka jaketnya lalu menaruhnya di pangkuan Shafira.lalu duduk di samping Shafira. keduanya memandangi taman kecil di depan rumah.
"masih belum putus dari Kak Rissa?" Shafira yang pertama angkat bicara.
"belum," Dhana menjawab pelan, merasa bersalah.
"terus ke sini mau ngapain?"
"mau ngobrol," jawaban Dhana membuat Shafira menoleh lalu mencibir.
"di kampus juga bisa," balas Shafira
Dhana tertawa getir. keduanya tahu kenyataannya bagaimana.
"gimana katering?" Dhana mencoba membahas topik lain. one topic leads to another. kadang mereka tertawa, kadang mereka hanya saling bicara dan mendengarkan. mengobrol seakan tidak ada ganjalan apa-apa di antara mereka. sampai ketika keduanya sudah lelah bicara, Shafira menyandarkan kepalanya di pundak Dhana.
"aku gak tau lagi main permainan apa sama kamu dan Kak Rissa," Shafira mengelus tangan kiri dhana yang digenggamnya. sementara itu tangan kanan Dhana merangkul pundak Shafira.
"i don't know either,"
"how to end this game?"
"somebody need to lose,"
"aku? karena di level ini aku yang posisinya lemah,"
"i don't know, Shafira. kita gak akan tahu siapa pemenang sebuah game sebelum benar-benar berakhir."
"kamu mau siapa yang menang?"
"kamu tahu jawabannya," Dhana mengecup lama puncak kepala Shafira. menyesali sikapnya yang tidak tegas.
"pulanglah dhan. nanti kamu dicariin," Shafira menjauhkan diri dari pelukan Dhana, melepaskan jaket dhana yang menutupi kakinya, lalu berdiri.
"ya, udah gede gini masih aja dicariin." dhana tertawa getir. "aku akan segera punya waktu di mana aku akan menetukan semuanya sendiri."
Shafira tersenyum. "ya, i cant wait for the moment to come,"
"see you," Dhana melambai dan berjalan ke luar.
"ya, see you," Shafira melambaikan tangan kanannya lalu berbalik dan masuk ke dalam rumah.
***
"i have something to say," clarissa menaruh garpu dan pisau lalu memandang ke seluruh peserta makan malam. saat ini Clarissa dan Dhana sedang makan malam dengan kedua orang tua mereka. semuanya menghentikan gerakan makannya lalu memandang Clarissa. "aku . . . mau putus dari kamu, Dhana."
kedua orang tua mereka terhenyak, memandang kedua anak itu bergantian. "kenapa, Clarissa?" tanya ibunya.
"clarissa bosen, Ma," jawab Clarissa dengan nada seolah-olah ia bosan dengan tas barunya. seharusnya Dhana tersinggung, tapi dhana malah senyum sedikit lalu melanjutkan makannya.
***
"kamu tahu sebenernya aku gak akan pernah mau putusin kamu. bunuh diri pun aku rela demi bisa mertahanin kamu sama aku," clarissa mulai meneteskan air mata seiring dengan pengakuannya di depan Dhana seorang. kedua orang tua mereka sudah pulang. saat ini Clarissa dan Dhana sedang berada di basement hotel tempat mereka makan malam bersama. Dhana akan mengantarkan Clarissa pulang untuk terakhir kalinya. "aku sayang banget sama kamu Dhana, sejak kita masih SMA. aku sangat bersyukur kita bisa jalin hubungan. tapi sekian tahun kita bersama, kamu gak pernah mencium aku, kamu gak pernah menggenggam tangan aku, kamu gak pernah menunjukkan rasa cinta kamu ke aku. aku selalu berdoa suatu saat akan melihat binar cinta itu di mata kamu. ya, akhirnya aku melihatnya. tapi bukan untukku, melainkan untuk Shafira. di hari pertama dia muncul di kampus sebagai mahasiswa baru, aku langsung menyadari ada yang berbeda di mata kamu ketika memandang dia. kamu memang gak kayak cowo lain yang sibuk mendekati dia, tapi aku tahu bahwa posisiku terancam. karena itulah aku sangat benci pada Shafira. hingga akhirnya kalian menyadari perasaan kalian satu sama lain. aku masih berusaha untuk mempertahankan kamu, tapi semakin lama aku makin merasa lebih sakit. karena bahkan saat kamu denganku pun aku tahu siapa yang menyita hati dan pikiran kamu."
Clarissa yang biasanya terlihat galak dan tegar, kali ini menangis tersedu-sedu. perlahan, dhana memeluk Clarissa agar dia lebih tenang. pelukan sebagai seorang teman baik.
"i'm sorry," bisik Dhana. Clarissa menggeleng dalam pelukan Dhana.
"a-aku pasti bakal dapet cowo yang jauh lebih baik dari kamu. lebih ganteng, lebih kaya, lebih pinter."
Dhana tertawa. "ya, you deserve it, Clarissa. ayo pulang."
Clarissa mengangguk. bersamaan dengan berbunyinya smartphone Dhana.
"halo?" sapa Dhana. Clarissa berjalan menuju mobil Dhana sambil memperhatikan.
ekspresi Dhana tiba-tiba berubah menjadi mendung. tangannya gemetar. cepat-cepat ia menutup sambungan telepon dan menghampiri mobilnya, di mana Clarissa sudah menunggu.
"Shafira . . ." dhana tergagap. Clarissa diam. ". . . kecelakaan. aku harus . . ."
"aku pulang pakai taksi aja, kamu langsung temui Shafira." Clarissa tersenyum, kata-katanya tulus.
"thank you and sorry, Clar," Dhana langsung masuk ke mobil dan menjalankan mobilnya dengan cepat.
"ditinggal juga," bisik Clarissa setelah mobil Dhana hilang dari pandangan.
***
malam itu baru pukul 9, ketika Dhana berlari kalang kabut menuju UGD. lampu UGD menyala, di depan ruangan sudah ada ibu dan kakak Shafira serta beberapa teman. teman laki-laki berwajah pucat dan teman perempuannya beberapa bahkan menangis.
"ma," panggil Dhana kepada ibu Shafira.
"dhana. terima kasih sudah datang," ibu Shafira tidak menangis, tapi terlihat sekali dia khawatir, tangannya bergetar dan pandangan matanya tidak fokus.
"iya ma. kondisi Shafira?"
"masih di UGD sejak setengah jam lalu," kakak Shafira yang menjawab. Dhana mengagguk.
"kejadiannya?" tanya Dhana lagi yang kali ini dijawab kakak shafira dan menunjuk ke arah teman-teman Shafira. Dhana berbalik, pelan menghampiri Zahra, Yurike, Wulan, dan Tania.
"Kak Dhana," panggil Zahra yang paling terlihat tegar di antara mereka berempat. Tania menangis paling keras dan Yurike menangis dalam diam.
"gimana?" tanya Dhana.
"tadi kami rapat, sampai malam, untuk acara ulang tahun himpunan. jam 8 shafira ijin pulang duluan karena harus menemani ibunya. dia pulang naik ojek, Kak. kami pikir baik-baik aja karena sering begitu. tapi 15 menit kemudian kami dapat telepon dari Gamal," zahra menunjuk laki-laki yang duduk tidak jauh dari mereka. "kata Gamal, Shafira kecelakaan."
Dhana menoleh ke arah Gamal. Gamal mengangguk sedikit.
"Gamal temen kami beda fakultas. dia lagi nyetir naik mobil mau pulang. katanya, ojek yang dinaiki Shafira jalan di depannya. entah karena apa, Shafira ga pake helm. mungkin karena ada lubang dan ojeknya telat sadar, dan habis hujan juga,m ojeknya oleng dan penumpangnya kelempar, sayangnya rok Shafira nyangkut di motor jadi dia agak keseret gitu. ojeknya sendiri gapapa. sekarang tukang ojeknya lagi dibawa ke polisi. Gamal yang telepon ambulans dan kami semua langsung ke sini."
hati Dhana langsung sakit mendengar penuturan Zahra. rasanya berat membayangkan Shafira jatuh dari motor dan terseret motor, tanpa mengenakan helm pula.
"gimana kondisi saat Shafira di bawa ke sini?" Dhana bertanya lagi.
"kata Gamal, kepala shafira ngebentur trotoar lalu keseret beberapa meter di trotoar. tangan kanannya juga kena," sepertinya zahra masih terbayang posisi shafira saat ditemukan. karena setelah bercerita, zahra langsung menangis.
dhana mengusap wajahnya dan beristigfar berkali-kali. berdoa tidak ada apa-apa yang terjadi kepada Shafira.
dokter keluar dari ruang UGD dan mengatakan kepala Shafira terkena cedera parah dan harus segera dioperasi. biayanya hingga 90 juta. semua orang di situ shock mendengar berita ini. apalagi ibu dan kakak Shafira. jika uangnya belum terkumpul, dokter baru bisa memberikan penanganan sederhana saja.
"bisa dibayar setengahnya dulu?" Dhana maju mendekati dokter dan suster.
"bisa pak, kita urus di kasir aja," jawab suster dan langsung mengajak dhana ke arah kasir.
Dhana mengangguk, ibu dan kakak Shafira terkejut. "Zahra, mungkin kita bisa bantuan dari temen-temen untuk donasi buat Shafira. kamu bisa bantu?" Zahra mengangguk dan cepat-cepat mengambil gadgetnya.
"ma, apa gapapa Dhana bertindak seperti ini? Dhana akan bayar 50% biaya operasi Shafira, sisanya Dhana dan teman-teman Shafira akan minta donasi," Dhana menghampiri ibu Shafira dan menggenggam tangannya.
"terima kasih Dhana, terima kasih," ibu shafira akhirnya menangis juga. kakaknya pun mengangguk. "akan segera kami ganti."
"ga usah dipikirin, kak," Dhana tersenyum sebentar lalu langsung mengikuti suster untuk mengurusi pembayaran.
***
operasi Shafira berhasil tapi Shafira masih belum sadar juga. otaknya yang mengalami kerusakan cukup parah membutuhkan waktu lama untuk pulih, sementara itu tulang pundak hingga siku tangan kanan Shafira patah sehingga ia harus menjalani perawatan intensif juga. Dhana menemani Shafira setiap jam. ia ingin menjadi orang yang pertama dilihat Shafira saat Shafira sadar. skripsi ia kerjakan dari rumah sakit, bisnisnya ia jalankan dari rumah sakit, bahkan ia sampai meminta temannya untuk mengantarkan baju ke rumah sakit.
di hari ketiga Shafira di rumah sakit, kedua orang tua Dhana tiba. pada dasarnya kedua orang tua dhana dan Shafira saling kenal jadi Dhana tidak perlu mengenalkan mereka bertiga. Dhana juga tiodak perlu repot-repot menjelaskan kenapa ia ada di rumah sakit berhari-hari. beberapa kali teman-teman Shafira menjenguk, banyak pula fans Shafira yang mengirimkan berbagai hal. dhana hampir menolak segerombolan mahasiswa yang ingin menjenguk Shafira dan membuang barang pemberian mereka kalau tidak ingat ibu Shafira menerima mereka dengan tangan terbuka. malam-malam dingin ketika dhana tidak bisa tidur saat di rumah sakit, ia akan duduk di samping kasur Shafira, menggenggam dan mencium tangan Shafira,, bercerita banyak hal, kondisi di kampus, Clarissa yang sudah putus dengannya, progres skripsi, hingga gosip artis. kadang, Dhana juga nekat naik ke tempat tidur dan tidur sambil memeluk Shafira. membisikkan doa-doa dan harapan agar shafira segera sadar.
pagi itu Dhana terlambat bangun. malam harinya, ia menyusup ke kasur pasien dan tidur di sebelah Shafira. biasanya saat adzan subuh ia akan bangun, shalat, lalu melanjutkan tidur di sofa. kali ini ia bangun ketika ada teriakan suster.
"mas gak boleh tidur sama pasien!" Dhana terkejut dan buru-buru turun. di depannya, suster sudah melotot dan berkacak pinggang.
"gimana kalau tanpa sengaja kena alat-alat? atau nabrak badan pasien. itu bisa bahaya! jangan diulangi lagi ya!" suster melotot memandangi Dhana seperti guru BP memarahi muridnya yang nakal.
"maaf sus," Dhana menunduk berkali-kali.
"untuk pasiennya gak kenapa-kenapa. ya kan mba?" suster menggangti botol infus sambil memandang ke arah tempat tidur pasien. Dhana ikut menoleh dan melihat Shafira sedang tersenyum memandangi Dhana dan ibunya yang sedang berdiri di samping Dhana.
"kamu sudah sadar?" dhana langsung mendekati Shafira, menggenggam tangannya. shafira tersenyum dan mengangguk sedikit.
"syukurlah," bisik Dhana lalu mencium bibir kering shafira dan langsung dijitak oleh suster.
"Mas!"
***
Dhana kembali ke rumah sakit setelah akhirnya pulang ke rumah. setelah pagi tadi yakin kondisi Shafira sudah baikan dan ia sukses jadi orang pertama yang dilihat Shafira saat sadar, Dhana akhirnya pulang ke rumah, mandi dengan benar, makan dengan benar, membeli bunga dan kembali ke rumah sakit.
Shafira sedang ditemani ibu dan kakak iparnya. ia memang belum bisa bicara banyak, kepalanya masih diperban, dan tangannya digips. ketika dhana masuk dan membawa bunga, Shafira menyunggingkan senyum lebar.
"Dhana, mama mau beli obat dulu ya. titip Shafira,"
"iya Ma," jawab Dhana sambil mengangguk sopan. setelah ibu dan kakak ipar Shafira pergi, Dhana menarik kursi dan duduk di sebelah kiri Shafira.
"gimana perasaanmu?" tanya Dhana sambil mengelus kepala Shafira.
"baik," jawab Shafira pelan.
"ada yang sakit?"
"kepala. dikit,"
"ga usah banyak gerak dan bicara berarti,"
"hmm," balas shafira.
"aku dan Clarissa sudah putus," dhana memberi pengumuman.
"aku tahu,"
"kamu tahu? dari mana?"
"di mimpi. ada yang bilang,"
Dhana tertawa. "ternyata apa yang aku sampaikan ketika kamu koma, kedengeran juga sama kamu ya?"
"ya," Shafira senyum.
"tadi aku ke kampus, minggu depan aku sidang. semoga kamu bisa datang,"
"selamat,"
Dhana bangkit berdiri lalu duduk di samping Shafira. pelan-pelan dari sakunya dikeluarkan kotak kecil beludru berwarna biru.
"setelah lulus, aku akan memulai banyak hal, kuliah, terutama bisnis. dan aku butuh pendamping ya tepat. will you marry me?"
Shafira mendengus lalu tertawa sekeras yang diijinkan kondisinya.
"sengaja ya, pas aku kayak gini, biar ga bisa nolak?" shafira berkata terbata-bata
"mungkin ya," balas Dhana sambil memasangkan cincin terssebut di jari manis tangan kiri Shafira. "mungkin juga tidak."
Dhana mencondongkan tubuh ke arah Shafira dan menciumnya lagi, dengan sepenuh hati, dengan lebih bebas.
- THE END -
Komentar