Beda
dia bukan cowo tipeku. meskipun memang ganteng sih. mata dan hidungnya yang bisa bikin aku betah ngeliatin dia lama-lama. tentu kalau dianya gak sadar. tapi mungkin dia sadar tapi dianya diem aja. selain dua hal itu, dia bukan orang yang bakal aku sukai dan aku kejar. apalagi setelah pengalaman putus yang terakhir, rasanya aku malaaaaas sekali menjalin hubungan yang harus aku mulai duluan. biar aku yang dikejar deh.
aku tutup laptop yang kugunakan untuk menulis curahan hatiku. menggesernya ke pojok lalu merebahkan tubuhku di kasur. televisi sedang menyiarkan acara komedi yang dibawakan oleh duo host pria terkocak abad ini. aku memandanginya namun tak benar-benar memperhatikan apa yang ditayangkan. menghela nafas, aku pun tertidur.
pukul 07.30 aku sudah duduk manis depan komputer. jam kerja dimulai jam 8 jadi aku masih punya waktu 30 menit untuk melakukan ritual pagi. setelah selesai Shalat Dhuha, aku biasa sarapan. kali ini aku sedang menikmati omelet yang kubuat tadi pagi sambil membaca berita di portal online. aku suka dengan kondisi kantorku. kami duduk dengan denah yang berbeda dari kantor-kantor lainnya. jika biasanya meja dideretkan ke belakang seperti di sekolah atau setiap orang ditempatkan di kubikel-kubikel tertentu, di kantorku berbeda. ada satu meja bulat besar yang mirip seperti bentuk donat. setiap meja bundar tersebut bisa diisi hingga 6 orang. memang kami jadi tidak punya bilik sendiri yang membuat kami bisa menempel foto ataupun barang-barang kesayangan. tapi dengan suasana seperti ini, aku pribadi merasa kami lebih akrab karena suasananya kurang lebih seperti sedang kerja kelompok. 1 lantai ini diisi oleh Divisi Research and Development yang kurang lebih terdiri dari 60 karyawan. tidak ada sekat atau ruangan khusus. bahkan bos ku sendiri duduk dengan anak buahnya di meja bundar ini. bedanya, dia menempati meja itu sendirian. dengan dinding kaca dan atap setinggi 4 meter, aku merasa ruangan ini sangat luas! memang sih dengan posisi seperti ini, kamu tidak bisa pura-pura bekerja padahal sedang mengecek Facebook atau mencari produk diskon. tapi ketika kami lelah dan ingin mencari sedikit hiburan, pojok berisi bantal, karpet, majalah, juga minuman bisa kamu pergunakan.
aku menghabiskan omelet di piring dan membawanya ke sebuah meja di pojok sebrang Pojok Kreatif (ya, tempat yang nyaman dan berisi bantal itu kami beri nama Pojok Kreatif). itu meja dimana OB menyimpan makan siang pesanan kami dan kalau pagi hari, tempat kami menaruh piring kotor bekas sarapan. nanti akan ada OB yang mengangkut dan membersihkannya.
pintu kaca yang membatasi ruangan besar kami dengan ruang tamu dan resepsionis, terbuka dan aku terpana sebentar. kusempatkan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, 07.54. 6 menit sebelum kau dinyatakan datang terlambat. setelah itu kuperhatikan dia berjalan menuju mejanya. meskipun pagi, ekspresinya masih sama saja seperti itu. datar. dia duduk di mejanya, menyalakan komputer, mengganti sendal menjadi sepatu, lalu meminum air mineral yang telah disediakan.
ya, itulah rutinitasku setiap pagi. memperhatikan dia di pagi hari adalah salah satu aktivitas favoritku.
***
"Put, makan!" Hani memanggilku dari meja donut kami dan mengangkat tempat makannya yang berwarna merah.
"ntar Han. nanggung," aku berjalan melintasinya sambil membawa setumpuk dokumen yang harus dicopy. setelah dicopy, dokumen itu harus dicek oleh managerku lalu diserahkan ke kepala divisku. jika semua sudah disetujui, data-data dalam dokumen itu dibuat dalam presentasi untuk diperlihatkan kepada direktur. semua ini sungguh menguras tenagaku. membuatku lembur dalam seminggu ini. pulang paling malam dan datang paling pagi. juga sampai lupa makan. tentu saja ini begitu penting, data yang kubuat adalah mengenai review dua produk andalan perusahaan kami yang akan disebarkan produksinya hingga Eropa dan Amerika.
setelah selesai mengcopy, aku duduk di mejaku karena Pak Yudi sang manager belum menampakkan batang hidungnya. sama seperti aku, dia juga tersita banyak waktunya.
"nih aaaaaa," Hani menyodorkan satu sendok nasi dan nugget ke mulutku.
"nggak usah Han, ntar aja ntar," ujarku sambil mengobrak-abrik isi komputer dan mencari data tambahan yang diminta Bu Gwen, direktur R & D. tanganku mengibas menghentikan Hani.
"segitu sibuknya ya? gw ga pernah liat lo makan deh beberapa hari ini," ujar Hani.
"gw makan kok tapi gak keliatan lo. tenang-tenang," aku masih fokus ke depan komputer.
"Putri, ada?" aku mendongak. Pak Yudi menghampiri tempatku.
"ada pak. file-nya udah saya kirim ke bapak via email. ini dokumen hardcopy hasil riset 2 tahun terakhir," jawabku
"ya udah, review di meja saya ya," ujar Pak Yudi lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya.
aku mengangguk. sebelum berdiri, aku melirik sekilas ke arah tempat duduk Ray si-pendiam-dan-bukan-tipeku. tumben makan siang kali ini dia tidak bergerak ke kios di bawah. dia sedang lahap makan sambil mengobrol dengan Bella, salah satu dari sedikit orang yang akrab dengannya. aku sering sebal melihat itu. Bella kan sudah menikah dan bahkan sedang hamil. tapi sepertinya Ray betah saja dekat dengan dia.
aku menghela nafas lalu berdiri dan menghampiri meja Pak Yudi. namun tiba-tiba kakiku terasa lemas dan seluruh dunia mendadak gelap.
***
"Putri!" suara kencangnya mengalahkan suara orang-orang lain yang juga berteriak kaget. ia langsung berdiri dari kursinya dan berlari menghampiri tubuh Putri yang mendadak tergolek lemas di lantai dan tak sadarkan diri. begitu sampai di samping tubuh Putri, layaknya seorang ksatria sungguhan, ia mengangkat tubuh Putri, menyentuh pipinya dan memanggil nama Putri berkali-kali. setelah berkali-kali dipanggil dan Putri tak kunjung bangun, ia kemudian mengangkat tubuh Putri menuju Pojok Kreatif, dimana banyak bantal dan beanbag yang bisa membuat Putri lebih nyaman dibandingkan terkapar begitu saja di lantai yang dingin.
semua orang tercengang melihat keadaan ini. mereka semua hanya bisa diam melihat adegan tubuh Putri diangkat dengan gagahnya dan diletakkan dengan hati-hati di karpet empuk. Hani dan Firda adalah dua orang penonton yang paling cepat dan sadar lalu berlari menghampiri Putri sambil membawa air dan minyak kayu putih. di samping sang pangeran, mereka ikut berlutut lalu mengoleskan minyak kayu putih di atas bibir Putri dan memijat kakinya.
"ini pasti karena lo kurang makan deh Put," ujar Hani menggumam sambil memijat kaki Putri.
"emang dia ga pernah makan?" tanya Firda, teman dekat Putri lainnya, yang sekarang mengipasi Putri.
"sejak ngerjai proyek mega itu gw ga pernah liat dia makan deh, gak tau ya kalau malem, tapi seharian kerjaaa mulu. kayak jam makan siang gini juga," jawab Hani masih dengan wajah cemas.
sementara itu sang pangeran hanya diam. ia memegang tangan Putri sambil memberi pijatan halus. wajahnya juga tidak kalah cemas, tidak terlepas dari wajah Putri sedikit pun.
"thanks ya," Hani berucap sambil menyentuh pundak sang pangeran.
sang pangeran sekaligus ksatria itu mengangguk. "jangan bilang-bilang dia,"
***
aku mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha berkompromi dengan sinar terang yang masuk ke pupil mataku. kenapa aku terbaring begini ya? seingatku aku masih di kantor, kenapa sudah tertidur di rumah? eh, tapi ini bukan rumahku, atapnya terlalu tinggi. aku menoleh ke kanan dan kulihat Hani sedang mengetik di laptop.
"Han?"
"udah bangun lo? udah mendingan?"
"apanya?" aku membalas sambil berusaha duduk.
"pelan-pelan woy," Hani meletakkan laptop dan membantuku duduk. dia meletakkan bean bag besar dan menyuruhkan bersandar kesana.
"ya ampun gw kan harus review data sama Pak Yudi!" seruku sambil menepuk jidat.
"baru sadar dari pingsan masih aja mikirin kerjaan. Pak Yudi lagi review sendiri tuh,"
aku melirik ke tempat Pak Yudi namun tidak terlihat. "gw pingsan?"
"iya,"
"berapa lama?"
Hani melihat arlojinya. "tadi lo pingsan pas jam makan siang, jam setengah satu. sekarang jam 4,"
"buset lama amat!" aku buru-buru bangkit. sedikit limbung dan mendadak gelap lagi maka aku diam. Hani heboh di sebelahku tapi kudiamkan saja.
"istirahat dulu napa. lo pulang deh," Hani menyentuh bahuku.
"gak usah," penglihatanku kembali normal. "nanti gw balik kalau kerjaan gw udah selesai."
aku mencari sepatuku lalu berjalan menuju meja Pak Yudi. mengejar ketertinggalan selama 3 jam setengah aku pingsan.
***
tadi malam aku pulang jam 9. seharusnya bisa sampai jam 10 kalau Hani tidak terus mengomel di telingaku. calon penganten ini sudah merepet terus sejak pukul 5 sore jam pulang kantor, menyuruhku pulang juga. tapi aku memaksa bahwa aku harus lembur. dan berhasillah aku pulang jam 9. ada Pak Yudi juga di situ, yang membuatku tidak nyaman jika harus pulang duluan. namun karena dia tadi juga melihat aku pingsan, malah dia ikutan menyuruhku pulang. yang tidak kalah kocaknya adalah ketika aku bekerja dan Hani menyuapiku dengan nasi goreng. dia keukeuh sekali memaksaku makan.
pukul setengah 7 tumben-tumbennya satpam sudah datang. biasanya aku harus menunggu dulu sampai dia datang untuk bisa masuk. "pagi pak."
"pagi mbak. udah dateng aja," balas pak satpam.
"banyak kerjaan pak. saya masuk dulu ya," aku mengangguk lalu menuju mejaku.
rupanya di sana sudah ada 2 buah roti berukuran besar rasa coklat dan sarikaya, rasa-rasa favoritku. ditempel sebuah post it bertuliskan "jangan lupa sarapan, Put."
aku mengambil post it itu dan meneliti tulisannya, tapi sejak semua urusan dikerjakan komputer, aku jadi tidak bisa hafal tulisan tangan orang.
aku membawa post it itu dan keluar ruangan. tadi malam hanya ada aku, Pak Yudi, dan Hani yang lembur. itupun Pak Yudi pulang bersamaku dan aku tidak melihat ia menaruh apapun di meja. lagipula dia bukan tipe atasan yang akan melakukan hal semacam ini. tidak mungkin juga ada orang yang sengaja datang malam-malam hanya untuk memberiku roti. mungkin sih, tapi kecil sekali. jadi yang paling mungkin adalah ada yang menaruhnya pagi ini. antara satpam atau office boy yang datang lebih pagi dari aku.
tersangka pertama: satpam
"pak, bapak yang naro roti sama post it ini di meja saya?" aku melambai-lambaikan post it yang berwarna kuning itu
"nggak mbak. saya baru datang gak lama sebelum mbak Putri datang,"
aku memang melihat ia sedang menaruh jaketnya di kursi sih, yang artinya dia juga baru datang.
"ok."
tersangka kedua: para OB.
aku berjalan menuju pantry. tepat sekali ketiga OB sedang berkumpul.
"ojan, utuy, ijah, siapa yang naro roti di mejaa gue hari ini?" tembakku langsung.
mereka bertiga berpandangan.
"gak tau, Mba Put. ini begitu datang langsung pada di Pantry," jawab Ijah.
"beneran? gak ada yang boong?"
"nggak, ngapain juga boong." jawab Ijah sambil mengangkat tangan membentuk huruf V
"ciye Mba Put ada yang ngasih surpris, ciyeee," kata Utuy sambil tertawa-tawa. membuat kedua rekannya tertawa juga.
"ya udah deh. gue kan mau bilang makasih," kataku lemas lalu berjalan masuk lagi.
siapa ya?
***
ada untungnya juga ternyata pingsan kemarin. mejaku penuh dengan makanan. dan yang lebih penting lagi, aku tak perlu repot-repot untuk makan sendiri. banyak orang yang dengan mudahnya bersedia menyuapiku, baik itu cemilan ataupun makan siang. ditambah Pak Yudi tiba-tiba mengajakku makan siang di The Grand Duck King, katanya aku harus istirahat dulu. maka siang ini kami pun berangkat bertiga, aku, Pak Yudi, dan Bu Gwen. untunglah mereka tidak membahas pekerjaan sedikit pun.
kembali ke kantor dengan perut lebih kenyang dan pikiran lebih fresh. sepertinya tragedi pingsanku ini membuat mereka mengevaluasi diri agar lebih manusiawi dalam mengerjakan proyek. memang kuakui selama proyek ini dijalankan, kami bekerja sedikit, oke banyak, lebih keras daripada biasanya. karena proyek ini sangat bermanfaat untuk pengembangan perusahaan kami yang bergerak di bidang Consumer Goods. produk yang bahan-bahannya berasal dari Indonesia ini diharapkan laku keras di Eropa karena bisa membawa ciri khas ke mata dunia. dengan proyek ini pula, Pak Yudi bisa dipromosikan ke cabang di luar negeri dan aku sebagai Assistant Manager-nya bisa dipromosikan jadi Manager. maka dari itu kami berusaha begitu keras.
aku keluar dari lift dan berjalan menuju ruangan besar kami. di samping meja Satpam dan resepsionis, aku melihat Ojan dan Ray sedang mengobrol. ray tersenyum dan menepuk pundak Ojan sedangkan Ojan mengangkat kedua jempolnya sambil mengedip. "tumben," pikirku. semakin aku mendekat, Ray ternyata menyadari keberadaanku dan dia langsung berbalik masuk. Ojan juga menyadari kehadiranku dan dia buru-buru melewatiku dengan ekspresi salah tingkah. aku memperhatikan ojan dan ray berganti-gantian kemudian kebingungan atas sikap mereka berdua.ya sudahlah.
"mba, susunya," aku mendongak dan melihat ojan meletakkan secangkir susu panas di sampingku. malam ini aku dan Pak Yudi lembur lagi. namun beliau sedang berdiskusi di ruangan Bu Gwen. selain aku, ada 3 orang dari departemen lainnya yang sedang lembur juga.
"kok tau gue suka susu?" aku menyentuh cangkir dan merasakan kehangatannya menjalar ke tubuhku.
Ojan cuma nyengir dan langsung beranjak pergi.
"eh bentar jan. gue kan gak minta. siapa yang kasih?" aku memegang tangan ojan, menahannya pergi.
"biar mba putri ga pingsan lagi," kata ojan sambil nyengir
Aku mengangkat alis "masa sih lo merhatiin gw segitunya jan? Siapa yang nyuruh? Yang naro roti di meja gw tadi pagi, lo juga ya?"
Ojan terdiam. Raut mukanya terlihat bingung.
"Jan," aku menggoyangkan tangannya.
"Iya mba. Tapi disuruh siapa, ojan ga bisa bilang ya. Itu a-ma-nah," lalu Ojan buru-buru melepaskan tangannya dariku dan ia kabur
Aku mengalihkan pandangan ke arah cangkir susu sambil bertanya-tanya siapa yang begitu perhatian padaku.
***
Dan selama seminggu ke depan aku menyelesaikan proyekku, setiap malam ojan menyediakan susu untukku. Awalnya dia langsung kabur begitu selesai meletakkan cangkir. Namun lama kelamaan dia ikut duduk dan kami pun mengobrol. Ojan mulai cerita bahwa setiap kali ia memberiku susu, ia diberi upah 20 ribu oleh si pangeran (sebutan pangeran itu ojan yang memberi. Soalnya katanya aku putri berarti si dia adalah pangeran). Ojan juga diwanti-wanti agar jangan sampai aku tahu siapa yang mengupahnya. Kata ojan lagi, si pangeran begitu khawatir akan kesehatanku terutama sejak aku pingsan pekan lalu.
"Tapi jan, kok dia cuma ngasih susu?" Tanyaku iseng. Pada malam terakhir aku lembur. Besok hari H presentasi depan direktur. Seharisnya aku audah pulang, tapi aku ingin menyiapkan segalanya dengan baik jadi aku di kantor hingga larut
"Yee, mau sama nasi goreng? Udah dikasih hati minta jantung nih,"
Aku tertawa. "Ya siapa tau jan. Murah banget tapi ya lo dibayarnya 20 ribu." Aku nyengir.
Ojan ikut nyengir. "Lumayan aja mba. Sebenernya kan emang ojan suka pulang malem, jadi kalau nyuguhin susu buat mba putri, sekalian aja. Tapi ya 20 ribu buat bonus aja gitu."
"Si pangeran tau gak kalau gue tau?"
Ojan merenung sebentar.
"Ojan sih gak ngasih tau dia, mba."
"Oke. Biar aja ceritanya gue gak tau apa-apa ya. Eh balik yuk jan."
"Baru jam 8 mba. Yakin? Biasanya jam 10."
"Hahaha. Hari terakhir proyek jan. Gapapa lah pulang cepet. Yuk," aku menyeruput susu hingga habis lalu mengambil tas. Ojan ikut berdiri dan kami pun pulang.
***
Pagi ini aku bahkan tak sempat menemui sang mood booster-ku. Ray. Sejak pagi hari aku langsung stand by di ruang rapat , mempersiapkan semuanya. Pak Yudi di sebelahku juga tampak tegang. Kami akan presentasi bergantian. Aku bagian hasil riset dan Pak Yudi bagian prospek di masa depan. Data-data dan penampilan kami harus meyakinkan agar direktur dan pemegang saham bisa setuju untuk melakukan perluasan usaha. Presentasi dan tanya jawab terasa alot dan panjang. Wajah-wajah direktur dan para pemegang saham semua terlihat serius. Data-data yang ditampilkan semua dipreteli satu per satu. Namun di akhir sesi tanya jawab semua direktur dan pemegang saham sepakat untuk meluncurkan produk kami di 3 negara terlebih dahulu, sebagai pilot project, yaitu Rusia, Inggris, dan Belanda. Berarti langkah selanjutnya adalah bersama tim produksi, tim R & D akan mempersiapkan ekspor bahan dan kerja sama dengan store di negara-negara tersebut. Dengan kata lain, aku akan perjalanan dinas ke Eropa! Hooray!!
Selesai meeting, aku kembali ke mejaku sambil tersenyum. Banyak orang yang menanyakan hasil meeting dan kujawab dengan penuh semangat. Mereka mengucapkan selamat dan bahkan sudah ada yang meminta oleh-oleh.
Setelah semua orang kembali ke tempatnya masing-masing, aku menyalakan konputer namun pandanganku tidak tertuju pada benda yang sedang berdengung itu. Aku memandang ke arah lurus di depanku. Posisi di mana Ray sedang asyik bekerja. Tempat dudukku menghadap ke selatan dan tempat duduk Ray menghadap arah timur. Jadi kalau aku memandanginya, aku bisa melihat wajahnya dari samping dengan pas. Hidungnya yang mancung terlihat begitu sempurna di mataku. Apalagi ketika matahari tenggelam, sinar matahari yang menembus jendela tepat di belakang Ray membuat dia semakin....gagah.
Aku tidak tahu apakah Ray sadar aku sering memandanginya seperti ini. Hani sih sadar, jelas. Selain karena dia duduk tepat di sebelahku, aku sering tidak fokus ketika dia mengajakku bicara karena aku sedang asyik memandangi Ray. Suatu saat Hani pernah marah padaku. "Kenapa sih ngeliatin Ray terus?" Hani mendengus kesal karena aku berhasil membuat dia bermonolog tentang rencana riset produk untuk kelas C.
"Ganteng," balasku tanpa mengalihkan pandangan dari Ray.
"Apanya? Idungnya mancung dan dia putih. Oke. Apa lagi?" Sudah beberapa kali Hani bertanya kenapa aku suka memandangi Ray dan kujawab seperti itu. Jadi dia sebenarnya tak perlu bertanya lagi.
"Itu udah tau. Kenapa masih nanya?" Aku balas bertanya. Kali ini memandang Hani karena Ray tiba-tiba keluar. Ke toilet sepertinya.
"Gini ya Put. Lo berdua tuh ngobrol ga pernah. Jalan bareng apa lagi. Gimana bisa suka sih?"
Aku menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Berusaha mengingat dan ternyata memang aku tak pernah mengobrol dengan Ray.
"Gue gak suka sama dia Han. Gue cuma seneng ngeliatin dia aja. Kalau lagi bete, liatin dia pasti gue hepi lagi. Apalagi kalau dia lagi main futsal. Wuih. Keren banget tuh!"
"Ya ya ya," lalu Hani kembali ke pekerjaannya.
Iya. Aku memang tidak pernah mengobrol dengan Ray. Dia juga sepertinya tidak minat untuk mengobrol banyak dengan orang lain kecuali teman satu departemennya. Pernah satu kali aku mengobrol dengan dia di awal perkenalan kami, ketika aku baru sebulan pindah di sini. Cuma sebentar. Tapi saat itu teman-teman dekatku yang berbeda divisi, (ini anak-anak yang satu kampus denganku dan sudah bekerja lebih dulu di sini. sebagai anak baru, otomatis aku langsung mencari teman yang sudah kukenal lebih dulu) yang saat itu sedang ada denganku, langsung heboh berkomentar, mereka bilang "oh jadi ini pengganti Damar?" dan "beda ya tipenya ama Damar," dan "mendingan ini sih daripada Damar," dan "semoga bener-bener move on dari Damar," dan "Damar itu mantan pacarnya Putri, Ray."
saat itu Ray diam saja. tapi sepertinya sejak itu dia langsung gerah dan tak mau dekat-dekat lagi denganku. mungkin takut disangka aku naksir dia. bah padahal saat itu aku baru putus beberapa minggu. mau pacaran pun masih pikir-pikir dulu. ini dia langsung kabur begitu saja.
maka dari itu aku dan Ray tidak pernah berkomunikasi sama sekali. hanya via email jika urusan pekerjaan. sisanya, dia seperti menganggap aku tidak ada. ya sudahlah. toh aku tetap bisa melihat wajahnya sesuka hatiku :p
Ray masih asik bekerja di mejanya dan aku masih asik memandangi wajahnya. waktu makan siang sudah lewat namun aku tidak berminat untuk makan. aku ingin diam saja dulu. kalau perlu, aku pulang kantor saat ini juga dan berfoya-foya atas lembur dua minggu berturut-turut dan proyek yang gol ini. ketika tiba-tiba Ray melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. dia menoleh ke sebelah kiri dan langsung memandangiku. aku langsung kaget dan gelagapan, sebisa mungkin pura-pura sedang sibuk mengerjakan sesuatu. malu juga rasanya ketahuan sedang memandangi seseorang seperti itu. sepanjang hari hingga waktu pulang aku tidak berani lagi memandangi Ray. aku hanya membuat rencana untuk pelaksanaan kelanjutan proyek dan tentunya barang apa yang akan kubawa untuk perjalanan dinas. begitu pukul 5, aku langsung ngibrit pulang. makan sushi sebagai reward untuk diriku sendiri!
***
ketauan ngeliatin dia gitu rasanya malu gak sih? yaaa lumayan lah ya. apalagi kalau ngeliatinnya sambil bengong dan mupeng gitu. untungnya, dia gak pernah nyapa aku duluan sih, jadi dia juga ga bisa nanya "ngapain lo ngeliatin gue?" dan kalau dia marah, ya udah terlanjur juga sih. kayaknya dia emang males sama aku. kalau makin males, ya udah :p
laptop kututup, selimut kubuka, dan aku bersembunyi di balik selimut tebal bermotif sapi. nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan? thank God!
***
sengaja deh datang agak siang, setelah datang pagi pulang malem terus. rupanya ada kejutan lain menanti di meja. ada satu bungkus nasi uduk, wafer sari gandum, dan setangkai bunga mawar putih. di atas paket itu ada post it bertuliskan, "Congrats!"
"whoa!" seruku. aku memandang berkeliling, melihat siapa yang sekiranya memberikan ini semua. hampir seluruh penghuni divisi R & D memperhatikan aku karena aku berteriak cukup keras dan bunga mawar kugoyang-goyangkan. tapi tentu saja, ada satu orang yang bahkan melihat pun tidak.
tas kutaruh dan langsung kubawa bunga itu ke luar.
"Ojan!"
Ojan menoleh dari tumpukan gelas dan piring yang baru saja dibersihkannya.
"pangeran lagi?" tanyaku sambil menyodorkan bunga
Ojan nyengir
"kapan dia ngasih?"
"baru tadi pagi mba put. kalau mba put datang pagi sih pasti harusnya liat dia bawa."
"masalahnya gue dateng siang. apa dia tau ya gue suka datang siang kalau abis sukses ngerjain sesuatu?"
ojan mengangkat bahu
"oke, kalau gue tanya ke orang lain berarti orang lain tau kan?"
"eh jangan," ojan mendadak panik. "mba put pura-pura gak tau aja."
"emang kenapa sih kalau gue tau?"
"dia gak mau mba put tau. malu katanya,"
"hah. cowo kan tapi? ngeri juga kalau yang naksir gue ternyata cewe,"
"cowo kok cowo. ganteng banget malah,"
"anak R & D?"
"iya! eh," Ojan langsung menutup mulut, pertanda seharusnya informasi ini pun tidak sampai ke telingaku.
"thanks Jan," kutepuk pundak Ojan dan aku kembali ke tempat. setidaknya Hipotesa pertama sudah kubuat.
***
"Han,"
"yes," balas Hani tanpa melepas headset dan mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
"pas gue pingsan, lokasinya dimana?"
"di belakang kursi lo banget,"
"oke. terus gimana caranya gue bisa sadar di Pojok Kreatif? gue gak jalan sendiri kan?"
"Ray yang ngangkut lo kesana," jawab Hani cepat dan dia langsung membeku. aku nyengir. "eh, Ray apa siapa ya. eh gak tau deh gue,"
Hani langsung salting dan pura-pura sibuk mengetik.
"iya ya, siapa ya," aku menimpali pura-pura tidak tahu
***
hari Rabu ini tumben-tumbennya Ray masih ada di kantor hingga pukul 7. kalau aku memang sering pulang pukul 7 atau 8. hmm, sepertinya ada yang dia kerjakan. karena Rita, Winda, Ino, teman-teman sedepartemennya juga masih ada. aku membereskan isi tasku, membiarkan handphone dan mawar tetap di luar. aku menunggu momen yang pas dan ternyata momen itu datang sendiri tanpa harus ditunggu lama. Rita dan Winda sepertinya sedang ke toilet. meninggalkan Ino yang sedang mendengarkan musik dan Ray yang sangat fokus. aku berdiri dan berjalan menghampiri meja donat mereka. kuhenyakkan diri di kursi berlengan milik Bella, yang empunya sudah pulang sejak tadi. Ray menoleh dan aku tersenyum semanis mungkin. buatku sendiri, ini prestasi. karena biasanya aku tidak pernah bisa memandang Ray, apalagi tersenyum.
"makasih ya buat roti, susu, nasi uduk, wafer, bunga, dan semuanya," kataku cepat, wajah Ray terlihat bingung dan dia seperti ingin membantah tapi aku tak membiarkan dia bicara. aku langsung berdiri dan berjalan cepat ke luar. kabur.
ya, aku tau itu dia. setelah aku sering tanpa sengaja melihat dia dan ojan tiba-tiba akrab. setelah aku tahu bahwa Ray yang mengangkat aku ke Pojok Kreatif ketika aku pingsan. setelah semua orang bereaksi atas kelancaran proyekku dan cuma dia saja yang bersikap sebaliknya. ya, aku tau. apalagi setelah aku berhasil memaksa ojan untuk jujur dan akhirnya dia buka suara bahwa Ray yang menyuruhnya. yaaa setelah uang 100 ribu nangkring di dompetnya. dia bilang Ray sangat khawatir melihat aku pingsan dan bingung harus berbuat apa karena dia bukan termasuk orang-orang yang dekat denganku.
aku tersenyum. memandangi foto aku dan Ray yang ku-crop ketika kami sedivisi R & D sedang ada acara gathering dan tanpa sadar aku berdiri sebelahnya. foto itu kutempel di samping layar laptop. sambil memandangi foto itu sambil aku merasa bingung sendiri. aku putus dengan Damar sudah 3 bulan, sudah kubuang semua barang-barang yang mengingatkanku padanya. aku sebal karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya tapi masih sempat untuk jalan bareng dengan teman kantornya, yang lama kelamaan aku tahu bahwa teman kantornya itu naksir berat dengan Damar. toh setelah putus pun Damar tidak pernah menghubungi aku lagi jadi kuasumsikan Damar dan perempuan nyebelin itu sudah hidup bahagia. aku tidak mau begitu saja mencari orang baru hanya untuk melupakan sakit hatiku pada Damar. tapi sedikit demi sedikit aku akui bahwa perasaan sakit hatiku teralihkan dengan adanya Ray. meski aku sekedar melihat Ray dari jauh, melihat dia bekerja, tertawa, makan, atau hanya diam saja, aku senang. apa aku suka? apa tanpa interaksi apapun aku bisa suka dia? entah.
***
"don't misunderstand me,"
"eh?" aku menoleh. baru sadar bahwa di lift menuju lantaiku ternyata tidak hanya aku sendiri. hampir kulempar hapeku saking kagetnya. memang sejak masuk lift aku terus menunduk memandang hape. tidak sadar bahwa orang ada di belakangku. "Ray, pagi," jawabku grogi. ini masih pukul setengah 7 dan dia sudah tiba. kena angin apa?
Ray bersandar di dinding lift. tangannya terlipat di dada. wajahnya serius. tatapannya seakan menusukku langsung di dada. aku jadi semakin bingung harus bagaimana. selama dua detik kami saling diam akhirnya dia melepas lipatan tangannya dan mendekatiku.
"i've been in love with you ever since we first met," katanya
wah, aku berseru dalam hati. tapi yang keluar dari mulutku cuma bunyi 'rrrr' tak jelas seperti orang sendawa.
"tapi rasanya gue gak bisa. gue gak mampu jadi orang yang pantas buat lo. lo aja sekarang udah Asisten Manager. sementara gue masih Staf doang. lo punya proyek yang gede sedangkan gue masih gini-gini aja. mana berani gue maju. tambah lagi pas pertama kita ngobrol, temen-temen lo langsung heboh dan bilang gue pengganti Adam..."
"Damar," aku mengoreksi
"iya Damar. gue bukan tipe orang yang suka diciyein di depan umum kayak gitu. apalagi kalau beneran kita jalan bareng mungkin omongan orang bakal lebih dari itu. tapi jujur, gue sangat khawatir melihat lo kerja keras seperti itu. terutama setelah lo pingsan. makanya gue refleks nyamperin lo pas lo pingsan. di luar kuasa dan janji gue untuk cuma ngeliatin lo dari jauh. maafin gue dengan ngasih lo berbagai macam hal itu. maafin gue,"
pintu lift terbuka tapi tidak ada satu pun di antara kami yang bergerak ke luar. aku diam mematung memandang Ray, mencerna setiap ucapannya yang jauh lebih panjang dari jumlah seluruh kata-kata dia selama ini padaku. dia juga sepertinya kaget akan apa yang dia katakan. wajahnya bersemu merah dan pundaknya naik turun. selama 5 detik setelah selesai bicara, dia masih memandangku dan detik keenam dia mundur lalu bersandar sambil menutup muka dengan tangan kirinya.
"ah, keucap juga kan."
lama-lama aku tersenyum melihat tingkah lakunya. pintu lift sudah tertutup lagi namun tidak bergerak. kudekati dia dan kuraih tangannya, "ngobrol di luar yuk,"
pintu lift terbuka lagi dan kami keluar. masih dengan aku memegang tangannya. pintu menuju ruangan kami masih terkunci dan satpam belum tiba. aku ajak Ray menuju meja resepsionis di mana di sampingnya tersedia sofa empuk besar tempat tamu menunggu. aku duduk dan ray ikut duduk di depanku.
"lo beneran suka sama gue?" tanyaku langsung. kali ini aku yang melipat kedua tanganku layaknya guru BP menginterogasi muridnya.
"yeah," jawab Ray pelan, memandang lukisan di belakangku
"kenapa bisa?"
"hari pertama lo masuk, lo perkenalan di depan kita semua. cara lo ngenalin diri lo bikin gue tertawa, gue dan orang-orang lainnya. tapi gue merasa bahwa ada yang beda dengan diri gue sendiri saat gue melihat lo. gue kira lo masuk buat jadi staf, karena gue tau lo baru 24, beda 1 taun doang sama gue. ternyata lo masuk dan jadi Asisten Manager, sejak itu gue gak berani buat mendekati lo."
aku bingung. apa salah ya kalau aku sudah menempati posisi AsMan di usia 24? mungkin salah, ketika pria yang mau mendekatiku malah mengurungkan niatnya.
"tapi lo kan gak bisa mikirin apa kata orang terus, Ray. mereka ya mereka. lo ya lo. gue ya gue. kalaupun misalnya gue jadian sama lo emang mereka mau komentar? ya silakan aja mereka mau komentar apa. peduli amat," nada suaraku tiba-tiba meningkat dan malah aku yang emosi.
"gue tau. gue cuma males menyebabkan perkataan itu muncul. jadi kalau bisa gue cegah ya gue cegah,"
"dengan mengorbankan perasaan lo sendiri? atau lo sebenernya gak segitu sukanya sama gue ya?"
kali ini Ray yang mengerang. ekspresi wajahnya menunjukkan kata-kataku tidak benar.
"kalau gue gak suka sama lo, mana mungkin gue jadi orang pertama yang nyamperin lo ketika lo pingsan. mana mungkin gue perhatiin semua tingkah laku dan kebiasaan lo. lo tuh suka dateng jam setengah 7 pagi karena lo males kena macet. lo suka makan sayur tapi males banget makan buah. lo seneng nonton festival musik, penyanyi favorit lo Tulus, lo paling suka makan sushi, ganti sprei di kamar 2 minggu sekali, pengen banget tinggal di Jepang makanya ada miniatur menara Tokyo di samping komputer lo, mantan pacar lo cuma 2, yang 1 namanya Damar, yang 1 namanya Ksatria. lo pacaran sama Ksatria ini pas SMP karena kalau kalian jalan bareng, nama kalian kedengeran keren,"
"Oh My God," aku menutup mulut lalu tertawa. cuma sedikit yang tahu bahwa aku mengganti sprei 2 minggu sekali dan mantan pacarku yang pertama kuterima karena namanya Ksatria. "how did you know all of these?"
Ray cuma mengangkat bahu. lalu dia tertawa juga.
"so..." ucapku setelah aku lebih bisa mengontrol tawa.
"so?" balas Ray
"lo maunya apa?"
ekspresi wajah Ray kembali menjadi bingung, lalu salah tingkah, dia bersandar ke sofa, memandang ruangan kami yang masih gelap. aku ikut bersandar di sebelahnya.
"gue mau leluasa melakukan hal ini," kata Ray sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. "tapi tanpa ketahuan orang-orang kantor ini."
"hah?" aku bangkit dan memandang Ray. "wh-what? backstreet gitu?"
"yes. karena orang-orang pasti bakal heboh,"
"tapi itu kan cuma bentar palingan Ray. beberapa hari doang abis itu udahan. harus banget ya?"
"i dont think its necessary for people to know about relationship,"
"i dont think its necessary to hide our relationship. geez,"
aku duduk bersandar lagi. melipat kedua tangan dan menolak memandang Ray.
"di luar kantor kita bebas mau ngapain aja, tapi di kantor, jangan ya. jangan ada yang tau juga," ujar Ray dengan lembut tapi wajahnya serius.
"are you ashamed of having a girlfriend like me?"
"more of that, i'm so proud of you that i'm afraid to be compared," lalu dia mengecup puncak kepalaku dan pergi ke toilet.
ya, diary, aku punya pacar baru sekarang tapi gak boleh ada yang tahu.
***
mungkin aku punya bakat akting ternyata. di kantor, aku dan Ray benar-benar mendiamkan satu sama lain. seperti kami yang dulu. pura-pura tidak ada hubungan apapun. dia sibuk dengan pekerjaannya dan aku juga mulai melanjutkan proyekku. meeting dengan Divisi Sales & Distribution dan Divisi Marketing hampir setiap hari. kadang meninjau pabrik kami dan kalaupun diam di meja, aku pasti mengolah data. suatu saat, setelah seminggu kami mulai pacaran, baru pertama kali Ray menghubungiku via email.
Aeneas Raedi, 13:51: udah makan siang belum?
Putri Nyneve, 14:26: belum
Aeneas Raedi, 14:27: mau makan apa?
Putri Nyneve, 14: 30: apa aja deh
dan 10 menit berikutnya sudah ada nasi plus ayam penyet terhidang di mejaku. yang mengantarkan siapa lagi kalau bukan Ojan. ketika kulirik Ray, dia pura-pura tidak tahu dan tetap fokus ke komputernya.
"makan mba, sekarang juga," kata Ojan setelah meletakkan kotak nasi
"iya jan," balasku sambil memperbaiki posisi kotak itu tapi tidak membukanya
"sekarang. ojan ga pergi kalau mba putri ga makan," wajah ojan sangat serius. aku melirik Ray lalu menghela nafas
"iya nih gue makan ya," lalu aku ambil lagi kotak itu dan mulai melahap ayam dan nasi yang masih hangat. "bilang makasih sama si pangeran ya."
ojan mengangguk dan tersenyum lalu dia pergi.
selain karena rumahku dan tempat kostnya arahnya berlawanan, kami tidak pernah pulang bareng dan dia pun biasanya selalu pulang lebih dulu dari aku. jika ia pulang, dia pamit lewat SMS. katanya kalau via WhatsApp takut ketahuan orang lain. karena nama yang muncul kan nama aslinya dia. sementara kalau via SMS, orang yang kepo bisa mengira itu pesan dari orang lain, karena aku memberi nama 'pangeran' untuknya di hapeku. untunglah selama ini aku tidak perlu menjelaskan kepada siapapun mengenai siapa itu pangeran.
kalau kebanyakan orang pacaran lain menjalani proses pendekatan sebelum mulai pacaran, buatku, aku memulai proses pendekatan setelah pacaran. untuk Ray mungkin dia sudah lebih dulu mencari tahu tentang aku, tapi buatku, ini baru permulaan. baru saat ini aku benar-benar mencari tahu seperti apa karakter pacarku itu.
ternyata dia tidak sependiam yang aku pikirkan. dia sangat senang bicara, tapi pada orang tertentu saja. sekarang aku masuk ke daftar orang yang sering dia ajak bicara. kalau kami sedang keluar (malmingan kalau kata anak muda), aku dan dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya sekedar mengobrol tentang bermacam-macam hal. karena kami berdua senang bicara. untunglah dia mau mendengarkan saat aku bicara dan tidak memotong apa yang aku sampaikan.
di pembicaraan kami itu juga, aku baru tahu kalau dia pernah beberapa kali juara futsal. hmm, di SMP 3x, di SMA 5x, di kuliah 8x. oke, total 16x. itu banyak. rupanya itu yang membuat badannya terlihat bagus dan gagah. aku senang melihat sosok pundak dan dadanya yang terlihat begitu bidang. hehehe.
hal yang membuatku kaget adalah ternyata dia juga senang ikut kegiatan sosial dan suka masak! oke yang terakhir gak bener-bener dia hobi masak sih. tapi kalau sedang tidak ada makanan di rumah, dia bisa membuat makanan untuk dirinya sendiri. kegiatan sosial yang dia ikuti seputar campaign lingkungan dan tentang kanker. tapi katanya sekarang sudah jarang. aku jadi kaget sendiri. kuperhatikan mukanya saat dia bercerita, sampai-sampai dia gerah sendiri kuperhatikan seperti itu. "gak percaya pacaranya ini orang baik?" katanya.
oiya, dia itu anak bungsu dari 2 bersaudara. kakaknya perempuan, beda usia 2 tahun, tinggal bersama orang tuanya di Bogor. kakaknya belum menikah, sebentar lagi, katanya. dia sendiri ngekos di daerah Kuningan, dekat kantor kami. dia bilang kalau sudah menikah, dia ingin tinggal di Bogor saja. karena kakaknya kemungkinan besar akan dibawa oleh suaminya. hmm, apa ini kode?
dia paling malas disuruh membaca. berkebalikan dengan aku yang bisa membaca berbagai jenis bacaan, kecuali horor tentunya. dia banyak mendengar, dari situ sumber informasi dan pengetahuan yang dia punya. tidak heran kalau dia sering duduk di warung, tukang nasi goreng, bahkan kedai kopi sekelas Starbucks, hanya untuk ikut diskusi dan menyerap ilmu orang lain.
"diam-diam menghanyutkan ya kamu. nih, kayak air sungai," aku menyodorkan gambar sungai ke depan wajahnya.
Ray melirik sedikit lalu kembali fokus menyetir.
"masa?"
"iya. gak banyak ngomong, gak banyak heboh, tapi kalau diajak ngobrol apa-apa, nyambung, ngerti," aku kembali fokus ke hapeku. melanjutkan membaca isi timeline Path.
"yaaa kan emang gak perlu diliat-liatin ke orang lain juga. kalem aja gak usah heboh,"
"yee nyindir nih yaaaa," aku manyun. itu kan aku banget! kadang suka show off, sering heboh, dan paling sering ngomong
"nggak, Ndut. itu kan nunjukkin kalau kita saling melengkapi," balas Ray dengan santai lalu dia menepuk-nepuk puncak kepalaku. dibegitukan aku diam lagi.
oiya, seminggu setelah kami pacaran, dia memutuskan memanggilku "Ndut" katanya sindiran buatku karena aku jarang mau makan. makan pagi gak pernah, makan siang ditunda-tunda, dan anti makan malam. beda dengan Ray yang makan rutin 3x sehari, ngemil jalan terus, tapi badannya masih tetap keren. aku sempat protes dipanggil begitu, "nanti aku makin gak mau makan kalau dipanggil gitu!" tapi dia cuma mengangkat bahu dan pergi. jadilah aku balas dengan memanggilnya "Kur" alias Kurus.
"udah ada tanggal kamu ke Eropa?"
"belum. ini masih nyiapin bahan-bahan buat dibawa ke sana. Tim Sales & Distribution masih mempertimbangkan apa coba buka kebun di sana atau ekspor bahan baku dari sini. Diliat suhu, kontur tanah, bibit, ketahanan tanamannya, dan segala macamnya. Dibandingin sama kalau ekspor, bahannya kuat berapa lama dan ongkos ya berapa. Tim Marketing juga masih mikirin strategi marketing yang bisa barengan di sana dan di sini. Biar bisa naikin brand value produk kita di Indonesia juga."
"Itu bukannya lebih enak kalau langsung berangkat ke sana ya? Lebih real kalau mau perbandingan apa-apa."
"Iya, tapi katanya kalau yang bisa diriset di sini, di sini dulu. Biar hemat. Karena kalau semua di sana, waktu dan anggarannya bisa gede banget."
"Berarti bisa tetep ada rencana riset langsung di sana kan? Biarpun ga keseluruhan?"
"Sepertinya. Kalau jadi, aku bakal 2 minggu stay di sana buat riset singkat di 3 negara."
Meskipun tidak kentara, tapi perihal pekerjaan ini selalu membuat raut wajah Ray sedikit berubah. Seakan semakin menjelaskan bahwa aku lebih 'senior' daripada dia.
"Eh udah sampe!" Seruku senang. Senang karena pembicaraan perihal pekerjaan bisa teralihkan.
"Penuh, Ndut," Ray memajukan tubuhnya mendekati kemudi, berusaha melihat mana lahan parkir yang kosong.
"Wajar sih Kur. Malem minggu kan. Tapi masih jam 3 harusnya masih ada yang kosong sih," aku ikut melongok mencari lahan parkir. Saat ini kami mau menikmati waktu layaknya pasangan muda lainnya. Tapi karena kami backstreet, sebisa mungkin mencari lokasi yang kecil kemungkinan membuat kami bisa bertemu dengan teman sekantor. Maka dipilihlah Margo City ini. Letaknya di Depok, antara Bogor (rumah Ray) dan Jakarta (rumahku) dan seharusnya sih ya, tidak banyak teman sekantor kami yang mampir kesini.
Makan, nonton, ngobrol, ngopi, foto2, main game, kami habiskan waktu sepuasnya. Sepuas aku menggandeng tangan Ray tanpa takut harus melepasnya. Ternyata tidak sedikit pasangan yang berseliweran di malam minggu begini. Aku makin pede untuk menggandeng Ray, kalau begini, sifat manjaku keluar deh.
"Aku mau belanja beberapa barang dulu. Ke bawah yuk!"
"Giant? Belanja apa?"
"Bahan masakan! Mulai sekarang aku mau makan siang menu buatanku sendiri," seruku bersemangat
"Emang kamu bisa masak? Eh, sempet makannya?" Ray menaikkan sebelah alisnya tapi bibirnya tersenyum iseng
"Yeee makanya ini aku masak sendiri biar inget makan. Kalau gak dimakan kan sayang udah dimasak,"
"Bagus bagus. Nanti aku coba masakan kamu ya,"
"Gak bisa. Kan kita gak kenal kalau di kantor," kataku iseng. Tapi Ray sungguh-sungguh cemberut.
Layaknya pria menemani wanita belanja, Ray berjalan lambat sambil mendorong troli. Sementara aku berjalan kesana kemari mengambil barang mengacu oada daftar yang aku tulis. Walaupun ujung-ujungnya barang yang tak aku butuhkan pun tetap aku beli. Hehe.
"Kur, kamu mau buah apa?" Aku membawa satu buah apel, satu buah jeruk, satu buah alpukat, dan sesisir pisang, menghampiri Ray yang sedang berdiri membelakangiku di dekat konter es krim.
"Lho, Putri?" Panggil sebuah suara dari hadapan Ray, sosoknya tidak kulihat dan tiba-tiba muncul begitu saja.
Ray berbalik panik dan saat itulah aku melihat Ratna, teman satu departemenki yang bawelnya minta ampun.
"Kalian lagi barengan?" Ratna menunjuk Ray dan aku bergantian. Ray menoleh salah tingkah.
"Er, Rat, gue balik duluan ya," dan Ray langsung berbalik dan mendorong troli menjauh dari Ratna.
"Eh gue juga masih harus belanja lagi. Bye Na," dan aku langsung kabur mengikuti Ray sebelum Ratna bisa berkata apa-apa lagi.
Setelah berhasil menyusul Ray, "kok bisa ketemu Ratna?" Tanyaku terengah-engah
"Aku lupa. Dia bukannya orang Depok ya?" balas Ray
"Ya ampun, iya. Tadi kamu ngobrol lama sama dia?"
"Nggak. Gak berapa lama setelah dia nyapa, kamu muncul. Yuk balik, udah malem juga. Kamu udah selese belanjanya?"
"Belom sih," aku memandangi buah-buahan di tanganku. "Tapi ya udah deh. Yuk pulang."
Kayaknya Ratna curiga kenapa kami bisa jalan bareng di malam minggu begini. Mungkin gak lama lagi dia bakal nyebarin info ini ke seantero kantor. Aku pribadi gak masalah. Tapi bakal masalah besar buat Ray karena dia gak suka. Aku juga sebagai pendampingnya, berusaha mendukung dia selama masih masuk akal. Kita lihat nanti.
***
Rupanya Ratna masih bisa menjaga diri untuk tidak bicara banyak hal tentang aku dan Ray. Syukurlah. Jadi selama seminggu ke depan aku hanya perlu mengkhawatirkan pekerjaan saja. Untung pacarku baik hati.
Aku sudah mulai makan siang dengan masakanku sendiri. Pertama kali aku masak dan memanaskannya di microwave, itu juga kali pertama Ray memandangiku cukup lama. Pandangannya menunjukkan bahwa dia senang karena aku makan tepat waktu, apalagi masakan sendiri. Juga sebal karena tidak bisa mencicipi.
Kali ini pekan kedua aku masak. Aku memanaskan makananku di microwave seperti biasa. Ketika aku kembali ke meja, aku heran karena Hani dan Ratna, dua-duanya sedang memandangi komputerku. Melihatku mendekat, mereka buru-buru kembali ke mejanya masing-masing.
"Abis ngapain kalian?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan curiga kepada Hani dan Ratna
"Itu, gue mau minta data riset konsumen Permen Janis yang taun kemarin. Mau gue buka PC lo tapi gak tau passwordnya," jawab Hani
"Gue kirim email ya," aku duduk dan mengetikkan password komputerku. Seketika muncul email dari Aeneas Raedi yang sudah terbuka. Padahal seingatku tadi sebelum aku memanaskan makanan, email ini belum ada.
Aku panik. Jangan-jangan sebenarnya Hani dan Ratna sudah membaca email ini. Kalau kutanyakan, nanti mereka makin curiga. Kalau aku diam saja, aku juga takut mereka tahu. Apalagi isi emailnya adalah "Ndutku sayang, makanan kamu wangi banget. Jadi pengen nyoba." Haduh. Matilah aku. Apalagi ketika aku menoleh ke arah Ray, wajahnya juga tegang. Sepertinya dia juga sadar bahwa emailnya kemungkinan besar dibaca orang selain aku.
"Eh, Han. Udah gue kirim ya request lo,"
"Oke, thank you Put,"
Pastikan bahwa komputermu selalu berada dalam keadaan terkunci jika tidak kngin rahasiamu diketahui orang lain.
***
"Aku pengen liat kamu main futsal, Kuuurr," seruku sambil mencubit pipinya. Dia sedang asik bekerja dengan laptop di pekarangan rumah kostnya. Hari ini Sabtu dan dia memutuskan bekerja. Jadilah aku masak banyak hal dan membawa ke tempat kostnya. Dia sebdiri sedari tadi cuma kerja, makan, kerja, ngemil, kerja, kerja, kerja. Aku dicuekin. Fix!
"Ya liatin aja," jawabnya sambil tetap bermain dengan angka dan statistik.
"Kapan sih jadwal kamu main futsal sama anak-anak?"
"Tiap hari Selasa malem. Tapi kalau kamu ikut, kamu harus cari tebengan, Ndut."
"I know I know. Kan ga mungkin kamu mau angkut aku ke tempat futsal," kataku sambil cemberut.
"Sori Ndut," Ray mendongak dari laptopnya lalu mengelus pipiku. Oke. Gak jadi ngambek.
***
"Man, lo suka latihan futsal sama anak-anak kantor kan?"
Firman mendongak dari laptopnya dan memandangiku heran.
"Ssst, di Finance ga boleh berisik, Put," bisik Firman sambil melirik ke kanan ke kiri. Aku ikut menunduk dan ikut melirik.
"Sori sori. Gue mau ikut latihan futsal dong,"
"Lo? Ikut futsal?" Firman memandangiku dari atas ke bawah lalu tertawa tapi ditahan.
"Apa sih?" Aku ikut memandangi dandananku hari ini. Biasa saja. Hanya rok pendek kulit warna hitam, blus biru muda, kalung, rambut diikat ekor kuda, dan tidak lupa heels biru dongker bertali. Tidak ada yang salah.
"Cewe kayak lo mau ikutan futsal?"
"Ish bukan. Gue mau nonton aja. Boleh kan?"
"Boleh aja. Lo mau cari pengganti Damar di tempat futsal?" Firman tersenyum-senyum jahil. Dia memang kenal dengan Damar dan tahu juga betapa betenya aku putus dengan Damar.
"Hmmm,"
"Ya udah hari Selasa lo nebeng gue naik motor. Tapi lo cari helm sendiri karena gue cuma punya 1. Dan pake celana, jangan rok."
"Oke Man. Thank you bro!"
***
Keringat dan feromon dimana-mana. Dimana-mana. Aku terduduk kaku di bangku panjang. Di sampingku tas milik para pemain futsal berjejer berserakan. Para pemain futsal itu berlari kesana kemari sambil tertawa. Kadang bergantian menghampiri samping lapangan untuk minum dan sedikit menyapaku. Ray sudah mulai bermain ketika aku datang dengan Firman. Dia tersenyum saat aku hadir. Pada bola. Hmpft.
Ray ternyata memang jago. Dia mengoper bola pada saat yang pas. Mengisi space kosong di lapangan. Mengambil bola dari kuasa orang lain dan menggiringnya ke gawang lawan. Selama 2 jam latihan, dia berhasil menggolkan hingga 4x. Dia juga banyak tertawa dan bercanda dengan teman setimnya. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
"Gimana lo baliknya?" Firman menghampiri dan duduk di sebelahku. Bau keringat yang luar biasa.
"Lo anterin gue sampe naik busway lah Man."
"Gue bau keringet lho ini," Firman menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku
"Ihhhh Firmaaaannn! Joroookk!" Aku berdiri dan menjauh dari Firman. Tak sadar bahwa Ray berdiri tidak jauh dari aku.
Firman tertawa puas.
"Lo ganti baju dulu deh. Baru ntar anter gue balik."
"Siap nyonya!"
"Bau ya?" Adalah kata pertama Ray saat ia meneleponku malam harinya.
"iyaaaa huhu,"
"Ya udah nanti ga usah ikut lagi ya," ujar Ray lembut
"Tapi mau liat kamu main," seruku merajuk
"Ya tapi resikonya bau keringet,"
"Gapapa deh asal bisa liat kamu," aku mencoba gombal
"Oke. Tapi jangan ngeluh-ngeluh bau keringet lagi ya. Kalau aku sampe denger, kamu gak aku ijinin nonton futsal lagi,"
"Iya kuruuusss. Bobo gih. Udah mandi belum?"
"Udah. Kamu juga tidur gih Ndut. Katanya kalau tidur kemaleman ga baik buat kecantikan,"
"Hmmm. Met tidur Kur. Muach?"
"Good night Princess. Love,"
***
tanggal keberangkatanku ke Inggris, Rusia, dan Belanda sudah ditetapkan. selama 2 minggu aku, Pak Yudi, 2 orang tim Marketing dan 2 orang tim Sales berangkat ke Eropa. ketika kukabarkan hal ini pada Ray, sudah dapat dipastikan dia langsung muram.
"ya, semoga semua kerjaan kamu lancar ya. selamat bolak balik ke Indonesia. dijaga makannya, jangan sampe lupa," cuma itu pesannya untukku.
alhasil selama 2 minggu sebelum keberangkatan aku lembur lagi. menyiapkan semua barang, data, bahan, koordinasi dengan berbagai pihak, tentu ditemani susu dari ojan atas perintah Ray. hanya malam Selasa saja aku tidak lembur, demi bisa melihat Ray bermain futsal.
lama kelamaan aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan futsal yang penuh dengan teriakan, tawa, tendangan bola, keringat, air mineral, bahkan kadang lagu dangdut yang tiba-tiba diputar. seperti biasa aku datang dengan Firman, yang juga rajin latihan. malam ini, kelihatannya Ray sedang berapi-api. dia tidak banyak mengoper bola ke rekannya tapi lebih memilih menggiringnya langsung ke gawang. untunglah dia memang jago, jadi skor akhir 10-2 dengan sumbangan Ray sebanyak 8 gol, tidak banyak diprotes oleh teman-teman lainnya. begitu selesai bermain, Ray langsung menghampiriku.
"pulang yuk," Ray berdiri di depanku, masih berkeringat dan ngos-ngosan tapi sudah mengangkut tasnya.
"masih jam 9," balasku pelan. ragu-ragu kuperhatikan reaksi orang-orang. kena angin apa Ray tiba-tiba mengajakku pulang padahal jam latihan futsal belum selesai. lagipula, ini kan di depan banyak orang sekantor?! ray kesambet apa sih.
"biarin aja. yuk," Ray menyodorkan tangan kanannya kepadaku. perlahan kusambut uluran tangannya dan dia pun menuntunku ke luar arena futsal. "bro, balik duluan."
"yoo, Ray," balas teman-temannya. aku tidak berani memandang mereka.
"unpredictable banget kamu, Ray," begitu kami sudah duduk manis di mobil Ray.
"sometimes i surprised myself," balas Ray sambil mengangkat bahu.
"itu kan depan anak-anak semuanya. emang mereka gak bakalan curiga kenapa kamu tiba-tiba gandeng aku pulang padahal aku datang sama Firman?"
"mereka bukan tipe orang yang suka gosip kok," Ray menyalakan mesin dan mulai memundurkan mobilnya.
"tapi kan..." dan aku terdiam. tubuhku mendadak kaku. kondisi seperti ini bukan kondisi yang aku bayangkan ketika melakukan hal ini untuk pertama kalinya. aku membayangkan akan melakukannya di pinggir pantai atau di manapun yang pemandangannya indah. bukan di dalam mobil yang gelap, di kawasan parkiran, dengan tubuh pacarku bau keringat sehabis main futsal. lagipula pintar sekali dia bisa menemukan letak bibirku dalam kegelapan.
"Raaaayyy, bauuuuuuuuuuuuuuu!!!!"
***
dua minggu di Eropa sungguh menyenangkan. kami pulang ke Indonesia dengan banyak hal positif untuk proyek pengembangan produk kami, apalagi di akhir perjalanan kami menyempatkan diri mengunjungi Buckingham Palace dan Hogwarts! seperti mimpi yang menjadi nyata!
internet ataupun wi-fi sengaja kumatikan agar aku fokus ke pekerjaan. maka ketika sampai di Indonesia dan mengaktifkan paket internet pada hari Rabu malam, beratus-ratus pesan masuk ke hapeku. aku langsung membuka 120 pesan yang dikirimkan oleh Ray melalui WhatsApp. most of the messages said that he missed me. maka langsung kubalas pesannya:
"touchdown Jakarta, Kur,. cant wait to see you. xo,"
aku kira dia sudah tidur. karena saat itu pukul 11 malam. tapi rupanya 1 menit kemudian dia membalas. "syukurlah. sehat kamu Ndut?"
"alhamdulillah sehat. kamu kok belum bobo?"
"udah tadi. tapi begitu hape bunyi dan tau itu dari kamu, aku bangun lagi. pulang sama siapa?"
"dijemput papa. ini masih di mobil,"
"udah makan belum?"
"belum Kur. aku mau tidur dulu. capek banget. besok kayaknya baru makan,"
"besok kamu masuk?"
"iya, nyiapin review hasil perjalanan dinas,"
Ray tidak membalas walaupun aku tahu dia masih online.
"kur,"
"ya ndut,"
"besok makan siang bareng yuk. aku gak sanggup kayaknya kalau harus masak. aku mau sekalian cerita banyak,"
"oke."
"sip, kamu tidur gih. jangan sampai gak masuk ya. aku kangen soalnya,"
"iya ndut. istirahat juga ya."
aku tersenyum sepanjang percakapan kami berdua. membuat ayahku menoleh dan bertanya, "kenapa ti?"
"gapapa pa, baca grup WA yang ditinggal 2 minggu nih,"
***
"aku tunggu di basement nanti pas jam makan siang ya"
pesan sang pangeran muncul ketika aku sedang asik menatap excel (baca: mulai mengantuk melihat data), dan langsung membuat aku tersenyum-senyum hingga waktu makan siang.
kulihat dia beranjak dari tempat duduknya 10 menit sebelum pukul 12. 10 menit kemudian aku juga pamitan kepada teman-temanku dan berkata ada perlu di luar. mereka bertanya aku mau kemana tapi aku menghindar sebisa mungkin. padahal bisa terlihat makin mencurigakan sih, tapi ya sudahlah.
rupanya si Grand Livina Hitam sudah dinyalakan mesinnya ketika aku datang. "hai," sapaku penuh semangat.
"apa kabar?" balas Ray sambil menyeringai
"baik dan sangat kangen pacarnya," aku menjawab sembari memasangkan saferty belt
"mau makan siang di mana?" tanya kami berbarengan dan langsung tertawa.
"yang agak jauh tapi gampang juga baliknya," jawabku
"hmm, GI?"
"Sushi dong?" langsung kukeluarkan jurus merajuk.
"oke,"
"horeeeee!"
***
acara makan siang tadi seharusnya jadi acara yang super menyenangkan sih. kalau tidak ada pembahasan mengenai pekerjaan. tentu saja. awalnya aku hanya menjelaskan mengenai apa yang aku lakukan untuk persiapan pilot project kami. bagaimana respon dari calon konsumen yang menjadi sasaran kami, bagaimana prospek penempatan produk kami, termasuk pertimbangan mengenai pembuatan lahan ataupun kemampuan ekspor. setelah menyinggung bagian liburan, Ray mulai terlihat cemberut.
"enak ya,"
"iya, seru banget! sayangnya gak ketemu Ratu Elizabeth atau Baby George sih," aku menimpali bersemangat. gagal paham arti dari ekspresi Ray. setelah itu aku masih saja mencerocos menceritakan pengalamanku di Inggris yang rupanya semakin membuat Ray kesal.
"balik kantor yuk,"
"masih jam setengah 1 kok,"
Ray tidak membantah tapi dia hanya diam dan bersandar. sushi pesanannya belum habis tapi dia sudah tidak menyentuhnya. aku menaruh sumpit dan melipat tangan di meja.
"kamu sebel ya aku cerita-cerita soal ke Inggris?"
"yeah," jawabnya pelan
"emang kenapa sih? kok gak ikut seneng pas aku senang?"
"enak ya privilege seorang AsMen. aku mana mungkin bisa kasih kamu kesempatan kayak gitu,"
"Ray, udah ah. kok iri-irian gitu sih. ini juga kan urusan kerjaan," yah, salah ngomong.
"iya, emang kerjaan kamu udah enak banget," lalu dia mengeluarkan dompet dan memanggil waitress meminta tagihan. "ini semua aku aja yang bayar, aku masih mampu."
"RAY! sumpah ya, kamu kok gitu sih. gak perlu kan hubungan kita disambung-sambungin sama kerjaan terus. iya kamu memang masih staf, tapi kan..."
dia tidak mendengarkan aku lagi karena dia sudah berdiri dan menuju mobil. aku menggebrak meja sedikit dan mengikutinya menuju mobil. sepanjang perjalanan kembali ke kantor, kami tidak bicara sepatah kata pun.
"nih," aku meletakkan snow globe bertuliskan LONDON di meja Ray tepat sebelum aku pulang. tadinya mau kuberikan dengan cara lebih romantis. tapi melihat tingkahnya siang tadi, aku jadi malas. aku sengaja memberikannya di depan orang banyak. biar dia marah sekalian. memang sih dia langsung kaget dan memandangiku. tapi aku biarkan saja dan langsung pulang. dia toh tak akan berani mengejarku.
***
"makasih oleh-olehnya, Ndut," adalah kalimat pertama Ray saat dia meneleponku hampir menjelang pukul 1 malam.
"hmpft," selain karena ngantuk, aku juga masih kesal padanya
"besok ikut latihan futsal ya," lanjutnya
"hmmm, katanya aku gak boleh ikutan lagi kalau ngomel karena bau keringet,"
"ini special case deh,"
"gak mau ah. kamu bahkan gak minta maaf karena kejadian tadi siang terus sekarang cuma bilang makasih dan ngajak aku ke tempat futsal. apaan," aku mendengus sambil memejamkan mata. sungguh aku masih mengantuk.
"ya udah kalau gak mau. gih lanjutin tidurnya,"
"iya emang ini masih tidur kok," dan kututup teleponnya. que sera sera deh.
***
tanggal keberangkatanku ke Inggris, Rusia, dan Belanda sudah ditetapkan. selama 2 minggu aku, Pak Yudi, 2 orang tim Marketing dan 2 orang tim Sales berangkat ke Eropa. ketika kukabarkan hal ini pada Ray, sudah dapat dipastikan dia langsung muram.
"ya, semoga semua kerjaan kamu lancar ya. selamat bolak balik ke Indonesia. dijaga makannya, jangan sampe lupa," cuma itu pesannya untukku.
alhasil selama 2 minggu sebelum keberangkatan aku lembur lagi. menyiapkan semua barang, data, bahan, koordinasi dengan berbagai pihak, tentu ditemani susu dari ojan atas perintah Ray. hanya malam Selasa saja aku tidak lembur, demi bisa melihat Ray bermain futsal.
lama kelamaan aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan futsal yang penuh dengan teriakan, tawa, tendangan bola, keringat, air mineral, bahkan kadang lagu dangdut yang tiba-tiba diputar. seperti biasa aku datang dengan Firman, yang juga rajin latihan. malam ini, kelihatannya Ray sedang berapi-api. dia tidak banyak mengoper bola ke rekannya tapi lebih memilih menggiringnya langsung ke gawang. untunglah dia memang jago, jadi skor akhir 10-2 dengan sumbangan Ray sebanyak 8 gol, tidak banyak diprotes oleh teman-teman lainnya. begitu selesai bermain, Ray langsung menghampiriku.
"pulang yuk," Ray berdiri di depanku, masih berkeringat dan ngos-ngosan tapi sudah mengangkut tasnya.
"masih jam 9," balasku pelan. ragu-ragu kuperhatikan reaksi orang-orang. kena angin apa Ray tiba-tiba mengajakku pulang padahal jam latihan futsal belum selesai. lagipula, ini kan di depan banyak orang sekantor?! ray kesambet apa sih.
"biarin aja. yuk," Ray menyodorkan tangan kanannya kepadaku. perlahan kusambut uluran tangannya dan dia pun menuntunku ke luar arena futsal. "bro, balik duluan."
"yoo, Ray," balas teman-temannya. aku tidak berani memandang mereka.
"unpredictable banget kamu, Ray," begitu kami sudah duduk manis di mobil Ray.
"sometimes i surprised myself," balas Ray sambil mengangkat bahu.
"itu kan depan anak-anak semuanya. emang mereka gak bakalan curiga kenapa kamu tiba-tiba gandeng aku pulang padahal aku datang sama Firman?"
"mereka bukan tipe orang yang suka gosip kok," Ray menyalakan mesin dan mulai memundurkan mobilnya.
"tapi kan..." dan aku terdiam. tubuhku mendadak kaku. kondisi seperti ini bukan kondisi yang aku bayangkan ketika melakukan hal ini untuk pertama kalinya. aku membayangkan akan melakukannya di pinggir pantai atau di manapun yang pemandangannya indah. bukan di dalam mobil yang gelap, di kawasan parkiran, dengan tubuh pacarku bau keringat sehabis main futsal. lagipula pintar sekali dia bisa menemukan letak bibirku dalam kegelapan.
"Raaaayyy, bauuuuuuuuuuuuuuu!!!!"
***
dua minggu di Eropa sungguh menyenangkan. kami pulang ke Indonesia dengan banyak hal positif untuk proyek pengembangan produk kami, apalagi di akhir perjalanan kami menyempatkan diri mengunjungi Buckingham Palace dan Hogwarts! seperti mimpi yang menjadi nyata!
internet ataupun wi-fi sengaja kumatikan agar aku fokus ke pekerjaan. maka ketika sampai di Indonesia dan mengaktifkan paket internet pada hari Rabu malam, beratus-ratus pesan masuk ke hapeku. aku langsung membuka 120 pesan yang dikirimkan oleh Ray melalui WhatsApp. most of the messages said that he missed me. maka langsung kubalas pesannya:
"touchdown Jakarta, Kur,. cant wait to see you. xo,"
aku kira dia sudah tidur. karena saat itu pukul 11 malam. tapi rupanya 1 menit kemudian dia membalas. "syukurlah. sehat kamu Ndut?"
"alhamdulillah sehat. kamu kok belum bobo?"
"udah tadi. tapi begitu hape bunyi dan tau itu dari kamu, aku bangun lagi. pulang sama siapa?"
"dijemput papa. ini masih di mobil,"
"udah makan belum?"
"belum Kur. aku mau tidur dulu. capek banget. besok kayaknya baru makan,"
"besok kamu masuk?"
"iya, nyiapin review hasil perjalanan dinas,"
Ray tidak membalas walaupun aku tahu dia masih online.
"kur,"
"ya ndut,"
"besok makan siang bareng yuk. aku gak sanggup kayaknya kalau harus masak. aku mau sekalian cerita banyak,"
"oke."
"sip, kamu tidur gih. jangan sampai gak masuk ya. aku kangen soalnya,"
"iya ndut. istirahat juga ya."
aku tersenyum sepanjang percakapan kami berdua. membuat ayahku menoleh dan bertanya, "kenapa ti?"
"gapapa pa, baca grup WA yang ditinggal 2 minggu nih,"
***
"aku tunggu di basement nanti pas jam makan siang ya"
pesan sang pangeran muncul ketika aku sedang asik menatap excel (baca: mulai mengantuk melihat data), dan langsung membuat aku tersenyum-senyum hingga waktu makan siang.
kulihat dia beranjak dari tempat duduknya 10 menit sebelum pukul 12. 10 menit kemudian aku juga pamitan kepada teman-temanku dan berkata ada perlu di luar. mereka bertanya aku mau kemana tapi aku menghindar sebisa mungkin. padahal bisa terlihat makin mencurigakan sih, tapi ya sudahlah.
rupanya si Grand Livina Hitam sudah dinyalakan mesinnya ketika aku datang. "hai," sapaku penuh semangat.
"apa kabar?" balas Ray sambil menyeringai
"baik dan sangat kangen pacarnya," aku menjawab sembari memasangkan saferty belt
"mau makan siang di mana?" tanya kami berbarengan dan langsung tertawa.
"yang agak jauh tapi gampang juga baliknya," jawabku
"hmm, GI?"
"Sushi dong?" langsung kukeluarkan jurus merajuk.
"oke,"
"horeeeee!"
***
acara makan siang tadi seharusnya jadi acara yang super menyenangkan sih. kalau tidak ada pembahasan mengenai pekerjaan. tentu saja. awalnya aku hanya menjelaskan mengenai apa yang aku lakukan untuk persiapan pilot project kami. bagaimana respon dari calon konsumen yang menjadi sasaran kami, bagaimana prospek penempatan produk kami, termasuk pertimbangan mengenai pembuatan lahan ataupun kemampuan ekspor. setelah menyinggung bagian liburan, Ray mulai terlihat cemberut.
"enak ya,"
"iya, seru banget! sayangnya gak ketemu Ratu Elizabeth atau Baby George sih," aku menimpali bersemangat. gagal paham arti dari ekspresi Ray. setelah itu aku masih saja mencerocos menceritakan pengalamanku di Inggris yang rupanya semakin membuat Ray kesal.
"balik kantor yuk,"
"masih jam setengah 1 kok,"
Ray tidak membantah tapi dia hanya diam dan bersandar. sushi pesanannya belum habis tapi dia sudah tidak menyentuhnya. aku menaruh sumpit dan melipat tangan di meja.
"kamu sebel ya aku cerita-cerita soal ke Inggris?"
"yeah," jawabnya pelan
"emang kenapa sih? kok gak ikut seneng pas aku senang?"
"enak ya privilege seorang AsMen. aku mana mungkin bisa kasih kamu kesempatan kayak gitu,"
"Ray, udah ah. kok iri-irian gitu sih. ini juga kan urusan kerjaan," yah, salah ngomong.
"iya, emang kerjaan kamu udah enak banget," lalu dia mengeluarkan dompet dan memanggil waitress meminta tagihan. "ini semua aku aja yang bayar, aku masih mampu."
"RAY! sumpah ya, kamu kok gitu sih. gak perlu kan hubungan kita disambung-sambungin sama kerjaan terus. iya kamu memang masih staf, tapi kan..."
dia tidak mendengarkan aku lagi karena dia sudah berdiri dan menuju mobil. aku menggebrak meja sedikit dan mengikutinya menuju mobil. sepanjang perjalanan kembali ke kantor, kami tidak bicara sepatah kata pun.
"nih," aku meletakkan snow globe bertuliskan LONDON di meja Ray tepat sebelum aku pulang. tadinya mau kuberikan dengan cara lebih romantis. tapi melihat tingkahnya siang tadi, aku jadi malas. aku sengaja memberikannya di depan orang banyak. biar dia marah sekalian. memang sih dia langsung kaget dan memandangiku. tapi aku biarkan saja dan langsung pulang. dia toh tak akan berani mengejarku.
***
"makasih oleh-olehnya, Ndut," adalah kalimat pertama Ray saat dia meneleponku hampir menjelang pukul 1 malam.
"hmpft," selain karena ngantuk, aku juga masih kesal padanya
"besok ikut latihan futsal ya," lanjutnya
"hmmm, katanya aku gak boleh ikutan lagi kalau ngomel karena bau keringet,"
"ini special case deh,"
"gak mau ah. kamu bahkan gak minta maaf karena kejadian tadi siang terus sekarang cuma bilang makasih dan ngajak aku ke tempat futsal. apaan," aku mendengus sambil memejamkan mata. sungguh aku masih mengantuk.
"ya udah kalau gak mau. gih lanjutin tidurnya,"
"iya emang ini masih tidur kok," dan kututup teleponnya. que sera sera deh.
***
Kami tiba di tempat futsal setengah jam lebih cepat dari jadwal. Ray langsung menyelinap ke kamar ganti sementara aku duduk di luar jaring pembatas lapangan. Masih ada tim lain yang menggunakan lapangan A, lapangan yang selalu digunakan kantor kami untuk futsal. Tak berapa lama, Ray sudah kembali dengan kostum futsalnya. Ia menaruh tas di bawah bangku dan duduk sangat dekat di sampingku. Sepanjang perjalanan tadi kami tidak bicara sepatah kata pun. Di kantor pun dia hanya mengirim pesan 'yuk' dan kami langsung berjalan menuju tempat parkir dalam diam.
"Ndut," panggilnya
"Hmm," balasku tanpa memandang ke arahnya
"Kukenalkan ke anak-anak ya," itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Menoleh ke sebelah kanan dan memandangi Ray dengan kebingungan.
"Are you sure?"
"100%," jawabnya
Aku mengangkat bahu. Ikut saja dengan apapun keputusannya. Meskipun dalam hati aku deg-degan juga. Khawatir menanti respon dari teman-temannya.
Namun begitulah pria, berbeda dengan para wanita. Ketika Ray mengenalkan aku ke teman-temannya sebagai pacarnya, hmm oke ralat, dia bilang aku calon teman hidupnya. Geli banget sih. Apalagi dengan ekspresinya yang serius. Kebanyakan orang memang sudah kenal dengan aku juga. Jadi ketika mereka tahu aku dan Ray pacaran, mereka cuma bilang "oh bisa juga si Ray punya pacar" atau "oh ternyata lo punya pacar Put,". Dan urusan pun selesai. Lain kali aku datang ke tempat futsal, aku gak perlu nebeng Firman lagi.
***
Tapi ternyata kamu ga bisa menduga seberapa 'comel' para pria itu. Heboh sih nggak, tapi kadang ya tetep aja 'bocor'. Ketika pagi hari orang-orang datang ke kantor, semuaaaa langsung menghampiri aku dan mengkonfirmasi hubunganku denga Ray. "Put, beneran pacaran sama Ray? Sejak kapan?" Pertanyaan sejenis itu muncul terus tak henti-henti. Tak kujawab dengan pasti melainkan cuma 'hah heh hoh' saja. Kasihan Ray, dia langsung ditodong pertanyaan bahkan sejak baru keluar lift. Belum sempat bicara apapun, dia langsung digiring dan didudukkan di sebelahku. Kami dikelilingi orang-orang yang, kepo. Akhirnya Ray bilang dengan tegas, "iya gw pacaran sama Putri. Udah 3 bulan," dan langsung disambut koor "ciyeeeee" dari sedivisi R & D. Parah. Aku cuma bisa menutup wajah.
"Udah, udah, kerja sana," seru Ray sambil berdiri. Kukira dia akan langsung kembali ke mejanya. Tapi ternyata dia masih sempat mengecup puncak kepalaku di depan orang-orang dan mereka pun langsung heboh lagi. Untung para bos belum tiba. Ray, you surprised me again!
***
Nothing's changed. Meski semua orang sudah tahu bahwa aku dan Ray sekarang pacaran. Bedanya cuma antara kami berdua saja. Aku bisa leluasa melihat wajahnya kapanpun aku mau. Dia juga bisa leluasa makan siang dengan masakanku. Sesuatu yang ingin dia lakukan sejak aku mulai rajin memasak. tapi ternyata yang Ray takutkan tak benar-benar terjadi.
mungkin karena Ray termasuk orang yang sering berinteraksi dengan divisi lain di luar R&D dan dia juga dikenal sebagai orang yang penyendiri, ketika kemana-mana sekarang dia sering bersamaku, orang lain jadi sibuk bertanya padanya.
pernah suatu hari, seminggu setelah kami berterus terang tentang hubungan kami, Ray diam lebih lama di belakang setir sebelum mulai menyalakan mesin.
"kenapa Kur?" aku menoleh dan memegang keningnya. "sakit?"
"nggak. apa perlu ya aku konferensi pers atau kemana-mana bawa papan pengumuman? biar orang gak nanya-nanya terus?"
aku tertawa. "biarin aja. nanti juga pada diem sendiri. itu artinya orang-orang perhatian sama kamu,"
"atau mereka sekedar heran kenapa aku bisa dapetin kamu?"
***
pernikahan Hani, teman sebelahku yang paling perhatian, adalah pernikahan pertama yang aku hadiri dengan Ray jadi pendampingku. Hani memberikan kain khusus untuk kami yang satu departemen dengannya. kain berwarna merah menyala itu aku buat menjadi gaun dengan paduan brokat biru untuk memberikan paduan warna yang mencolok. kata Ray, penampilanku 'menyilaukan', namun yang lebih mengagumkan adalah Ray sendiri. dia mengenakan jas biru dongker, kemeja hitam dan dasi merah. senada dengan warna pakaianku. ketika kami berjalan memasuki ballroom hotel, hampir setiap orang melihat kami 3 detik lebih lama.
"cewe-cewe mulai naksir kamu tuh, tapi pada kecewa liat ada aku gandeng tangan kamu," aku berbisik saat kami mengantri untuk memberi selamat pada Hani.
"yah, itu resiko orang ganteng berpacar," balas Ray dengan wajah datar.
"heh," aku mencubit lengannya, pura-pura sebal. tumben dia narsis begitu. dicubit olehku, dia tertawa saja. "lagian kamu kok ganteng banget hari ini?"
"karena aku tahu kamu pasti tampil cantik banget untuk pernikahan Hani ini. jadi aku gak boleh kalah," jawab Ray sambil tersenyum.
"aw, thank you," aku mengeratkan peganganku pada lengannya. sukses membuat saudari-saudari Hani yang sejak tadi memperhatikan Ray, semakin cemberut.
"jadi, udah go public nih ya? ga perlu sembunyi-sembunyi lagi?"
aku yang sedang mengelap wajah Ray yang belepotan saus pasta, menoleh ke asal suara. Ratna, yang memergoki kami dulu ketika berbelanja, berdiri sambil bertolak pinggang. gaun hijaunya terlihat kesempitan di tubuhnya yang cukup berisi.
"hai, Na," balasku sambil tersenyum. Ray, sementara itu, asik mengunyah lasagna. "sendiri aja?"
"nggak kok, gue sama anak-anak Finance, cuma mereka lagi pada ngantri makan,"
"lo gak ikutan makan?" tanyaku iseng.
"no, i'm on diet. tadinya gue gak akan datang, tapi karena gw kenal sama Hani dan Vino jadi ya gue harus tetep dateng," jawab Ratna dengan gerakan berlebihan. seakan-akan ingin seluruh dunia tahu bahwa dia kenal banyak orang.
"oh oke,"
"kalian kapan nyusul Hani?" celetuk ratna. spontan aku melirik ke arah Ray yang piringnya sudah bersih.
"secepatnya," jawab Ray. jawabannya membuat pipiku terasa memanas. berarti Ray sudah ada rencana untuk serius denganku. senang sekali mendengar ini.
"udah kekumpul duitnya, Ray? kalau kalian nikah, nanti banyakan Putri kali ya yang biayain urusan rumah tangga kalian?" lalu Ratna tertawa. tawanya terdengar seperti peri jahat di kisah Barbie. tentu saja, karena menurutku kata-katanya sudah kurang ajar. apalagi ini menyangkut isu sensitif yang bahkan antara aku dan Ray pun sering jadi masalah.
"lo jangan sok tahu gitu deh, Na," balasku nyolot ssambil melangkah mendekati dia.
"Putri, kita pulang," Ray meraih tanganku dan memegangnya cukup erat. nada suaranya dan panggilannya kepadaku membuat aku yakin dia sudah sangat kesal. aku mundur lagi.
"ati-ati kalau komentar ya, Na," ujarku lagi lalu berusaha tersenyum, tapi malah terlihat seperti orang sariawan.
Ray langsung menarikku keluar ballroom tanpa bicara apa-apa lagi.
"Ray, bentar dong, susah nih jalan pake heels dan gaun," seruku pada punggung Ray yang semakin menjauh. dia sudah lupa untuk menggandeng aku dan sepertinya ingin cepat-cepat sampai ke mobil. setelah kuteriaki, ia baru berhenti lalu menolah. dari ekspresinya bissa terlihat bahwa ia kesal sekali. "ga usah dengerin Ratna deh, dia emang udah naksir kamu dari lama kan. makanya dia ngelakuin itu, sengaja banget buat bikin kita berantem. kalau kita berantem, putus, terus dia bisa pdkt-in kamu lagi deh,"
"tapi dia ada benernya, kalau kita nikah nanti, kamu yang lebih banyak biayain hidup kita kan, padahal harusnya aku yang jadi tulang punggung keluarga,"
"Ray! please deh, is that really matter? I mean, ketika kita menikah nanti kan kebutuhan kita tanggung bersama, bukan itung-itungan gitu,"
"yes its matter, Put. its not who owns the money but its my pride as a man,"
"lalu kamu maunya apa?" aku berteriak histeris. untung saat ini parkiran masih kosong karena kebanyakan orang masih di dalam ballroom. "penghasilanku saat ini mungkin lebih besar dari kamu. meski sebenernya aku gak tau gaji kamu berapa, kamu juga ga tau gaji aku berapa. cuma karena level jabatan aja yang beda dan bikin kita berdua berasumsi adanya gap di penghasilan. tapi please ray, hanya karena itu makanya jadi masalah? lalu kamu maunya apa? kamu mau kita putus aja supaya ga ada lagi masalah soal uang kayak gini? lalu kamu cari perempuan lain dan aku juga cari orang lain? kamu mau gitu?"
air mataku ternyata sudah mengalir turun. aku menggosok mataku, tak peduli bahwa aku menggunakan maskara yang tidak tahan air. entah seperti apa wajahku saat ini. aku tak peduli.
Ray meraihku ke dalam pelukannya, mencium rambutku lama, dan aku sekarang membasahi jasnya dengan air mata.
"bukan begitu, Putri. tapi seorang pria sudah sepantasnya untuk punya penghasilan lebih dari wanitanya,"
"ya kamu usaha dong,"
"yes, i will,"
"dan jangan ngambek-ngambek lagi soal kayak gini, aku ga suka," aku menarik wajahku dari dadanya dan memandang Ray.
Ray tersenyum. "iya,"
lalu aku peluk lagi Ray erat-erat, seakan tak ingin kulepaskan.
***
pukul 5 subuh sudah jadi kebiasaan untukku membangunkan Ray. kutelepon hapenya minimal supaya dia bangun. biasanya setelah kutelepon, dia akan tidur lagi sih. gara-gara tempat kosannya sangat dekat dengan kantor. namun hari ini teleponku tak diangkat. bahkan tidak tersambung sama sekali. hmm, mungkin low bat tadi malam dan dia belum sempat men-charge-nya. aku mencoba untuk berpikir positif dan beranjak ke kamar mandi.
setengah 7 aku sampai di kantor aku coba lagi untuk menghubungi Ray, masih tidak tersambung. aku coba untuk mengirim pesan melalui whatsapp. hanya centang 1. aku mulai gelisah. tapi lagi-lagi aku coba untuk berpikir bahwa mungkin ia masih tidur dan belum menyalakan handphone-nya.
pukul 8 pagi semua orang sudah berkumpul, siap bekerja. Ray masih juga tidak ada. aku cek pesanku melalu whatsapp Ray, masih centang 1. aku telepon lagi, masih tidak tersambung. lalu ketika kuperhatikan meja kerja Ray, meja itu sudah bersih. tidak ada post it yang biasa dipasang di layar PC-nya. tidak ada snow globe LONDON yang kuberikan padanya. seakan-akan tidak pernah ada siapapun disitu.
Bu Miranda, kepala departemen Ray, tiba-tiba berdiri dan meminta kami semua satu divisi R&D, berkumpul. perasaaanku mulai tidak enak.
"selamat pagi, teman-teman," sapa Bu Miranda dan dibalas dengan penuh semangat oleh orang-orang, kecuali aku, yang perasaannya semakin tidak karuan. "saya mau menyampaikan suatu informasi. mulai hari ini, salah satu rekan kita, Aeneas Raedi, sudah tidak bekerja di sini lagi karena berpindah tempat kerja. dia resign baik-baik, tidak ada masalah apa pun, tapi memang dia meminta saya untuk tidak menyampaikan apapun pada siapapun sampai hari ini, ketika dia sudah mulai bekerja di tempatnya yang baru. Ray juga menyampaikan permohonan maaf untuk teman-teman semua, maaf kalau ada salah selama 2 tahun dia bekerja di sini."
aku bengong. kakiku mendadak lemas dan aku jatuh terduduk di kursiku.
"dia pindah kemana Bu?" tanya Rita, menyuarakan hal yang sama persis yang ada di kepalaku.
"saya tidak bisa bilang, Ray minta saya merahasiakannya," jawab Bu Miranda. hatiku makin terluka dan kecewa.
sekilas, Bu Miranda melirik ke arahku, ia melihat aku yang kebingungan dan sepertinya dia juga sudah diminta Ray untuk tidak mengatakan apapun padaku, bahkan jika aku memaksa.
"sekian informasi dari saya. selamat kembali bekerja,"
semua orang kembali ke tempatnya masing-masing. aku memandang layar PC tapi kepalaku penuh dengan pertanyaan, kenapa Ray tiba-tiba pergi?
"Put, Ray pindah kemana?" Rita dan Winda menghampiriku. aku menatap mereka berdua dengan kebingungan.
"gue juga gak tau," jawabku pelan.
mungkin karena Ray termasuk orang yang sering berinteraksi dengan divisi lain di luar R&D dan dia juga dikenal sebagai orang yang penyendiri, ketika kemana-mana sekarang dia sering bersamaku, orang lain jadi sibuk bertanya padanya.
pernah suatu hari, seminggu setelah kami berterus terang tentang hubungan kami, Ray diam lebih lama di belakang setir sebelum mulai menyalakan mesin.
"kenapa Kur?" aku menoleh dan memegang keningnya. "sakit?"
"nggak. apa perlu ya aku konferensi pers atau kemana-mana bawa papan pengumuman? biar orang gak nanya-nanya terus?"
aku tertawa. "biarin aja. nanti juga pada diem sendiri. itu artinya orang-orang perhatian sama kamu,"
"atau mereka sekedar heran kenapa aku bisa dapetin kamu?"
***
pernikahan Hani, teman sebelahku yang paling perhatian, adalah pernikahan pertama yang aku hadiri dengan Ray jadi pendampingku. Hani memberikan kain khusus untuk kami yang satu departemen dengannya. kain berwarna merah menyala itu aku buat menjadi gaun dengan paduan brokat biru untuk memberikan paduan warna yang mencolok. kata Ray, penampilanku 'menyilaukan', namun yang lebih mengagumkan adalah Ray sendiri. dia mengenakan jas biru dongker, kemeja hitam dan dasi merah. senada dengan warna pakaianku. ketika kami berjalan memasuki ballroom hotel, hampir setiap orang melihat kami 3 detik lebih lama.
"cewe-cewe mulai naksir kamu tuh, tapi pada kecewa liat ada aku gandeng tangan kamu," aku berbisik saat kami mengantri untuk memberi selamat pada Hani.
"yah, itu resiko orang ganteng berpacar," balas Ray dengan wajah datar.
"heh," aku mencubit lengannya, pura-pura sebal. tumben dia narsis begitu. dicubit olehku, dia tertawa saja. "lagian kamu kok ganteng banget hari ini?"
"karena aku tahu kamu pasti tampil cantik banget untuk pernikahan Hani ini. jadi aku gak boleh kalah," jawab Ray sambil tersenyum.
"aw, thank you," aku mengeratkan peganganku pada lengannya. sukses membuat saudari-saudari Hani yang sejak tadi memperhatikan Ray, semakin cemberut.
"jadi, udah go public nih ya? ga perlu sembunyi-sembunyi lagi?"
aku yang sedang mengelap wajah Ray yang belepotan saus pasta, menoleh ke asal suara. Ratna, yang memergoki kami dulu ketika berbelanja, berdiri sambil bertolak pinggang. gaun hijaunya terlihat kesempitan di tubuhnya yang cukup berisi.
"hai, Na," balasku sambil tersenyum. Ray, sementara itu, asik mengunyah lasagna. "sendiri aja?"
"nggak kok, gue sama anak-anak Finance, cuma mereka lagi pada ngantri makan,"
"lo gak ikutan makan?" tanyaku iseng.
"no, i'm on diet. tadinya gue gak akan datang, tapi karena gw kenal sama Hani dan Vino jadi ya gue harus tetep dateng," jawab Ratna dengan gerakan berlebihan. seakan-akan ingin seluruh dunia tahu bahwa dia kenal banyak orang.
"oh oke,"
"kalian kapan nyusul Hani?" celetuk ratna. spontan aku melirik ke arah Ray yang piringnya sudah bersih.
"secepatnya," jawab Ray. jawabannya membuat pipiku terasa memanas. berarti Ray sudah ada rencana untuk serius denganku. senang sekali mendengar ini.
"udah kekumpul duitnya, Ray? kalau kalian nikah, nanti banyakan Putri kali ya yang biayain urusan rumah tangga kalian?" lalu Ratna tertawa. tawanya terdengar seperti peri jahat di kisah Barbie. tentu saja, karena menurutku kata-katanya sudah kurang ajar. apalagi ini menyangkut isu sensitif yang bahkan antara aku dan Ray pun sering jadi masalah.
"lo jangan sok tahu gitu deh, Na," balasku nyolot ssambil melangkah mendekati dia.
"Putri, kita pulang," Ray meraih tanganku dan memegangnya cukup erat. nada suaranya dan panggilannya kepadaku membuat aku yakin dia sudah sangat kesal. aku mundur lagi.
"ati-ati kalau komentar ya, Na," ujarku lagi lalu berusaha tersenyum, tapi malah terlihat seperti orang sariawan.
Ray langsung menarikku keluar ballroom tanpa bicara apa-apa lagi.
"Ray, bentar dong, susah nih jalan pake heels dan gaun," seruku pada punggung Ray yang semakin menjauh. dia sudah lupa untuk menggandeng aku dan sepertinya ingin cepat-cepat sampai ke mobil. setelah kuteriaki, ia baru berhenti lalu menolah. dari ekspresinya bissa terlihat bahwa ia kesal sekali. "ga usah dengerin Ratna deh, dia emang udah naksir kamu dari lama kan. makanya dia ngelakuin itu, sengaja banget buat bikin kita berantem. kalau kita berantem, putus, terus dia bisa pdkt-in kamu lagi deh,"
"tapi dia ada benernya, kalau kita nikah nanti, kamu yang lebih banyak biayain hidup kita kan, padahal harusnya aku yang jadi tulang punggung keluarga,"
"Ray! please deh, is that really matter? I mean, ketika kita menikah nanti kan kebutuhan kita tanggung bersama, bukan itung-itungan gitu,"
"yes its matter, Put. its not who owns the money but its my pride as a man,"
"lalu kamu maunya apa?" aku berteriak histeris. untung saat ini parkiran masih kosong karena kebanyakan orang masih di dalam ballroom. "penghasilanku saat ini mungkin lebih besar dari kamu. meski sebenernya aku gak tau gaji kamu berapa, kamu juga ga tau gaji aku berapa. cuma karena level jabatan aja yang beda dan bikin kita berdua berasumsi adanya gap di penghasilan. tapi please ray, hanya karena itu makanya jadi masalah? lalu kamu maunya apa? kamu mau kita putus aja supaya ga ada lagi masalah soal uang kayak gini? lalu kamu cari perempuan lain dan aku juga cari orang lain? kamu mau gitu?"
air mataku ternyata sudah mengalir turun. aku menggosok mataku, tak peduli bahwa aku menggunakan maskara yang tidak tahan air. entah seperti apa wajahku saat ini. aku tak peduli.
Ray meraihku ke dalam pelukannya, mencium rambutku lama, dan aku sekarang membasahi jasnya dengan air mata.
"bukan begitu, Putri. tapi seorang pria sudah sepantasnya untuk punya penghasilan lebih dari wanitanya,"
"ya kamu usaha dong,"
"yes, i will,"
"dan jangan ngambek-ngambek lagi soal kayak gini, aku ga suka," aku menarik wajahku dari dadanya dan memandang Ray.
Ray tersenyum. "iya,"
lalu aku peluk lagi Ray erat-erat, seakan tak ingin kulepaskan.
***
pukul 5 subuh sudah jadi kebiasaan untukku membangunkan Ray. kutelepon hapenya minimal supaya dia bangun. biasanya setelah kutelepon, dia akan tidur lagi sih. gara-gara tempat kosannya sangat dekat dengan kantor. namun hari ini teleponku tak diangkat. bahkan tidak tersambung sama sekali. hmm, mungkin low bat tadi malam dan dia belum sempat men-charge-nya. aku mencoba untuk berpikir positif dan beranjak ke kamar mandi.
setengah 7 aku sampai di kantor aku coba lagi untuk menghubungi Ray, masih tidak tersambung. aku coba untuk mengirim pesan melalui whatsapp. hanya centang 1. aku mulai gelisah. tapi lagi-lagi aku coba untuk berpikir bahwa mungkin ia masih tidur dan belum menyalakan handphone-nya.
pukul 8 pagi semua orang sudah berkumpul, siap bekerja. Ray masih juga tidak ada. aku cek pesanku melalu whatsapp Ray, masih centang 1. aku telepon lagi, masih tidak tersambung. lalu ketika kuperhatikan meja kerja Ray, meja itu sudah bersih. tidak ada post it yang biasa dipasang di layar PC-nya. tidak ada snow globe LONDON yang kuberikan padanya. seakan-akan tidak pernah ada siapapun disitu.
Bu Miranda, kepala departemen Ray, tiba-tiba berdiri dan meminta kami semua satu divisi R&D, berkumpul. perasaaanku mulai tidak enak.
"selamat pagi, teman-teman," sapa Bu Miranda dan dibalas dengan penuh semangat oleh orang-orang, kecuali aku, yang perasaannya semakin tidak karuan. "saya mau menyampaikan suatu informasi. mulai hari ini, salah satu rekan kita, Aeneas Raedi, sudah tidak bekerja di sini lagi karena berpindah tempat kerja. dia resign baik-baik, tidak ada masalah apa pun, tapi memang dia meminta saya untuk tidak menyampaikan apapun pada siapapun sampai hari ini, ketika dia sudah mulai bekerja di tempatnya yang baru. Ray juga menyampaikan permohonan maaf untuk teman-teman semua, maaf kalau ada salah selama 2 tahun dia bekerja di sini."
aku bengong. kakiku mendadak lemas dan aku jatuh terduduk di kursiku.
"dia pindah kemana Bu?" tanya Rita, menyuarakan hal yang sama persis yang ada di kepalaku.
"saya tidak bisa bilang, Ray minta saya merahasiakannya," jawab Bu Miranda. hatiku makin terluka dan kecewa.
sekilas, Bu Miranda melirik ke arahku, ia melihat aku yang kebingungan dan sepertinya dia juga sudah diminta Ray untuk tidak mengatakan apapun padaku, bahkan jika aku memaksa.
"sekian informasi dari saya. selamat kembali bekerja,"
semua orang kembali ke tempatnya masing-masing. aku memandang layar PC tapi kepalaku penuh dengan pertanyaan, kenapa Ray tiba-tiba pergi?
"Put, Ray pindah kemana?" Rita dan Winda menghampiriku. aku menatap mereka berdua dengan kebingungan.
"gue juga gak tau," jawabku pelan.
-THE END-
Komentar