Friendzone
seperti biasa, tidak ada yang aku tutup-tutupi dari Rico. pun saat aku sedang sangat mengantuk dan tidur begitu saja di sofa rumahnya sementara dia sedang asyik bermain PS melawan komputer. aku tahu pasti penampilanku begitu buruk setelah perjalanan naik kereta dari Jogja untuk bertemu klien. saat tidur nanti pasti mulutku menganga dan mungkin sedikit berliur. hiih. tapi biarlah, cuma Rico ini yang melihatnya. tidak akan ilfeel, tidak akan nafsu. aku aman.
sesungguhnya setelah perjalanan yang memakan waktu dan energi karena aku menggunakan kereta ekonomi, aku ingin tidur di kasurku yang empuk dan hangat setelah mandi dan mengenakan sabun beraroma jeruk favoritku. tapi apa daya, di hari Minggu nan indah ini aku masih harus bertemu klien yang jauh-jauh dari Singapura hanya karena besok dia sudah full schedule untuk meeting dan malamnya dia harus kembali ke negerinya. jadilah aku memilih tidur sebentar di rumah Rico yang lokasinya dekat dengan restoran tempatku bertemu klien.
Rico masih asik bermain PS. aku tidur saja.
***
hari pertama masuk kuliah. berbeda dengan mahasiswa baru lainnya yang begitu bersemangat mempelajari hal baru dan menemui situasi baru, aku malah berdiri dengan wajah masam, memandang ke Auditorium yang akan dipakai untuk kuliah umum di hari pertama. bergerombol anak baru masuk ke auditorium sambil tertawa. aku menarik tas yang dipenuhi peralatan baru (ya, seperti anak SD yang masuk tahun ajaran baru, mama membelikanku buku dan alat tulis baru, lengkap! hanya karena jurusan yang akan kutempuh pendidikannya adalah jurusan keinginan mama dan papa: auditor. padahal aku sendiri benci melihat terlalu banyak angka).
sebagai bentuk protes, tadi pagi aku berangkat tanpa sarapan. walaupun tidak menolak diantar papa sampai ke kampus. akibatnya, aku datang di kampus tepat waktu tapi sedikit kelaparan. kantin letaknya jauh dari auditorium. aku rasa ini strategi para petinggi kampus agar mahasiswa yang kuliah di auditorium bisa fokus dan tidak tertarik pergi ke kantin. aku berjalan perlahan ke arah pintu. kalau bisa, sebelum aku sampai di pintu, pintunya sudah tertutup, aku dinyatakan terlambat, dan aku punya alasan untuk pulang.
"hey," ada yang memanggil tepat di sampingku. kuacuhkan saja. mungkin dia memanggil temannya.
"hey," panggilnya lagi, kali ini sambil memegang lengan kiriku. aku berhenti berjalan, menoleh ke kiri, ke arah tangan yang sok akrab memegangiku, perlahan kuikuti lengan itu sampai kulihat wajah pemiliknya. "lo laper kan?"
dia mengulurkan satu bungkus roti rasa coklat yang masih baru. di dalam genggamannya masih ada bungkus roti lain yang tampaknya baru selesai dia telan, karena saat bicara, dia masih sedikit mengunyah.
"kok tau?" tanyaku polos. pura-pura polos tepatnya. kata teman-temanku aku memang sedikit oportunis. mencari kesempatan dimana pun. jadi saat ada yang menawari makanan bersegel begini (tentu saja aku gak mau nerima makanan bekas), aku bersiap menyambarnya meski belum tahu siapa dia.
"tadi perutnya keruyukan," balas orang itu.
refleks, aku pegang perutku. kaget karena bunyinya terdengar sampai ke samping. rasanya aku ingin kabur saat itu juga.
"nih, makan aja," dia menggoyangkan rotinya dan tanpa pikir panjang aku menyambarnya.
"thanks," bisikku lalu membuka bungkus roti dan melahapnya. di sampingku, dia tersenyum lebar melihat aku makan. aku pura-pura tidak tahu dia sedang memperhatikan.
"anak baru juga?" tanyanya.
aku mengangguk, masih sambil asyik mengunyah roti.
"yok masuk," tanpa peringatan apa-apa, dia menarik tanganku dan langsung menyeret aku masuk ke auditorium. dengan kondisi tangan kiri memegang roti, tangan kanan memegang tas, dan beberapa pasang mata menatap kami, sulit untuk memberontak. tadinya aku ingin kabur, malah langsung terjebak di auditorium untuk kuliah umum selama 2,5 jam.
***
"Manda, bangun. udah jam 5,"
"hmm, 5 menit lagi," sambil setengah sadar aku mengangkat kelima jariku dan berguling ke kanan. menabrakkan wajah ke punggung sofa.
"lo udah ngomong gitu dari setengah jam lalu. bangun,"
"haduh!" aku bangung buru-buru, kupegang pipiku yang terasa basah dan kulihat Rico sedang berdiri memandangiku sambil memegang gelas. dia menyeringai sedikit lalu berbalik. "biasa aja sih."
aku berguling turun dari sofa lalu menghampiri wastafel, mencuci muka sekenanya lalu menghampiri tas dan memasang sedikit dempul di wajah.
"kalau gak berangkat sekarang, ntar kena macet," Rico bersandar di pegangan tangga sambil minum kopi kaleng. favoritnya dia. di tangan kirinya sudah bergantung kunci mobil.
"yuk," tanpa berlama-lama, aku menyambar tas ranselku dan berjalan mendahului Rico menuju ke pintu. rambut yang masih sedikit acak-acakan kuikat sekedarnya.
"ketemu klien dengan dandanan begini?" tanya Rico dari belakang.
aku berbalik dan mengedip. "to give you a sexy look,"
"itu sih messy, bukan sexy," balas Rico.
***
"Co..." aku berbisik pelan begitu teleponku diangkat Rico. aku tahu dia sedang meeting dengan salah satu calon investor bisnisnya. ya, meski masih semester 3 tapi Rico mulai serius membangun bisnis. tadi siang dia sudah mewanti-wanti aku agar tidak melakukan kecerobohan karena dia akan sulit menemuiku. nyatanya...
"apa lagi?" Rico menghela nafas sebelum bertanya. aku sudah tahu bahwa di ujung sana dia sudah menduga ada yang tidak beres.
"lo tau kan gue lagi belanja buat hadiah nikahan Ratri, sendirian, di Ace Hardware..." pelan-pelan kubuka pembicaraan. Rico kurang suka dengan caraku bercerita yang dimulai dengan Latar Belakang. sementara dia sendiri lebih senang langsung pada Rumusan Permasalahan.
"yaaa..." sahut Rico. namun Rico selalu mendengarkan ceritaku. mendengarkan dengan baik.
"uangnya nyampe 1 juta, Co.."
"dan..."
"uangnya ditaro di dompet gue..."
"lalu..."
"dompetnya di mobil lo. kayaknya jatoh pas gue ngeluarin tempat make up tadi pagi pas lo jemput gue," aku menggigit bibir. akhirnya kuceritakan juga. bisa kubayangkan di ujung sana Rico pasti sedang menggaruk bagian belakang kepalanya. sudah jadi kebiasaan Rico untuk berbuat seperti itu kalau sedang bingung atau lelah.
"lo bisa tahan 1 jam? nanti gue anter dompet lo kesana sekalian bantuin bawa barangnya,"
"bisa! yeay, thanks Rico! i know i will always can count on you,"
satu jam tepat aku menunggu. setelah hampir mati gaya karena tidak enak pada petugas Ace Hardware, Rico masuk dan langsung mengulurkan dompet krem panjang punyaku sambil berkata,"lo gak akan tahu gimana hidup lo tanpa gue."
***
Rico memarkirkan mobilnya di depan rumahku. kami berdua turun dan aku membuka pintu pagar lalu Rico mengikuti di belakang. ini sudah seperti sebuah kebiasaan. aku kesana kemari bertemu klien, Rico mengantarku (sebagai seorang businessman, tentu saja dia punya banyak waktu luang), lalu kalau malam sudah terlalu larut, dia akan mengantarku sampai ke dalam rumah, dia akan bertemu dengan mama dan papa sedangkan aku sudah kabur ke kamar, tidur. malam ini pun tak ada bedanya. begitu mama membukakan pintu, Rico langsung memulai pembicaraan, sementara aku menyeret tas dengan mata setengah tertidur, langsung ke lantai atas dan tanpa sempat mandi, langsung tertidur.
***
"baliknya pada gimana nih?" Dina, memandangi kami satu per satu. kepanitiaan seminar tingkat kampus yang kuikuti baru saja selesai mengadakan acara buka puasa bersama di salah satu restoran dekat kampus. Dina sebagai ketua panitia merasa bertanggung jawab akan keselamatan kami semua, salah satu wujudnya adalah dengan rela mengantarkan kami pulang, dengan catatan kami tidak mungkin pulang sendiri.
para cowo langsung menghampiri motor masing-masing dan menawari beberapa cewe untuk pulang bersama dan langsung disambut dengan bahagia. setelah hampir semuanya terangkut, tersisa aku, Dina, dan Irma yang masih berdiri di depan restoran.
"lo dijemput, Ma?" tanya Dina.
"iya, dijemput bokap. tapi kayaknya masih di jalan deh," kata Irma sambil memandang hapenya, menduga sisa jarak tempuh yang harus ditempuh ayahnya berdasarkan percakapan terakhir mereka.
"gue temenin deh. Rico juga kayaknya baru selese tarawih," kataku ceria.
Dina dan Irma langsung berpandangan lalu terkikik.
"kalian tuh jadian gak sih?" tanya Irma antusias, ditanggapi dengan anggukan bersemangat oleh Dina.
"nggak kok. cuma sahabatan doang," aku menggeleng kuat-kuat dan mengangkat tangan. gak kebayang rasanya aku pacaran sama Rico.
"masa sih? tapi akrab banget. kemana-mana berdua. kalau keluar malem, dijemput Rico. kalau butuh apa-apa, nyarinya Rico. apalagi Rico juga ganteng," Dina mencubit lenganku sambil menyeringai.
"kebetulan aja Rico itu anaknya bisa diandelin banget sejak dari awal masuk sampai sekarang semester 5," aku mengangkat bahu. "coba kalian berdua minta bantuan Rico, pasti dia iyain."
"iya sih Rico anaknya baik banget. gue juga pernah dibantuin bawa barang dari sekre ke tempat acara kita yang dulu itu, padahal gue gak minta," Irma mengingat.
"itu dia," aku menjentikkan jari.
"yah, lagian kasian Rico sih kalau jadian sama lo. dia kan mandiri, kalem, baik hati, rajin ibadah. sementara lo, cerewet, manja, berisik, hidupnya suka-suka," kata Dina iseng.
"eh enak ajaaaa," aku mengulurkan tangan untuk mencubit Dina ketika ada seseorang memanggilku.
"Manda,"
aku menoleh, Rico, berkemeja biru muda dengan celana jeans dan sepatu, berdiri memandangi kami bertiga.
"eh, boleh gue duluan?" aku menoleh ke arah Dina dan Irma.
"boleeeh," sahut mereka serempak. kikiknya pun sama.
***
"Manda, Manda, pulang bareng yuk!" Nia, si junior auditor menghampiri sambil memeluk sweater berwarna pelangi. anak ini memang dikenal sebagai pribadi yang super ceria. dengan tubuh mungilnya dan kebaikan hatinya, dia jadi favorit di KAP kami.
"Nia! mau banget sih, tapi kayaknya gak bisa. maih banyak banget yang harus dikerjain oleh-oleh dari Jogja," aku menunjuk berbagai kertas yang kubawa dari Jogja kemarin.
"ada yang bisa gue bantu?" Nia menarik kursi dan duduk di sebelahku.
"kopi sama indomie rebus enak sih," kataku sambil menyeringai.
"gue udah kayak OB ya," kata Nia pura-pura sebal. kami tertawa dan Nia beranjak, mencari OB untuk diminta tolong membuatkan permintaanku. Nia baru 3 bulan bekerja disini, sebelumnya ia dari KAP lain. tapi selama 3 bulan itu bisa dibilang kami sangat akrab. dia dan aku sama-sama cerewet, sama-sama senang mengenakan baju berwarna cerah dan tidak bisa diam. yang membuatku kaget adalah kami juga sama-sama suka Sherlock Holmes, tapi dia versi Benedict Cumberbatch sedangkan menurutku Robert Downey Jr lebih cool.
pukul 10 malam aku dan Nia baru turun ke lobby. bukan sesuatu yang aneh ketika kulihat Rico sedang duduk bersama security dan ngemil kacang. dia sering diam-diam menungguku bersama security, tidak melapor, tidak memburu-buru.
"wah ada cowo ganteng," kata Nia tiba-tiba. aku menoleh kepada Nia dan mengikuti arah yang ditunjuk Nia. Rico? aku memiringkan kepala ke sebelah kanan. masih tanpa bicara apa-apa, kami berjalan lagi. aku semakin mendekati Rico. ketika dia menyadari keberadaanku, dia ikut berdiri dan menepuk pundak security, berpamitan.
"Co.." panggilku. "kenalin, ini Nia, junior auditor baru. Nia, ini Rico, my super duper best friend," Nia tampak kaget karena aku kenal dengan cowo yang dibilangnya ganteng tadi. Rico mengulurkan tangan dan tersenyum, sekilas. sementara itu Nia terpesona begitu lama.
"mau anter Nia sampai Stasiun Cawang gak? kosan dia deket stasiun," aku berinisiatifmengajak Nia pulang bersama.
"boleh," jawab Rico.
"yuk, Ni."
***
"Siapa tuh?" Rico mengangkat wajah dari buku yang dibacanya. Mengikuti sosok yang tadi menemaniku hingga perpustakaan.
"Kak Eros, 2 tahun di atas kita, anak Teknik. Kenal?" Aku menarik kursi dan duduk di samping Rico. Menaruh tas di atas meja lalu mengeluarkan print out jurnal yang harus kureview.
"Kenal. Abis ngapain dia?" tanya Rico, masih penasaran. Aku memandanginya sebentar, menimbang apakah harus kuceritakan atau tidak. Setelah kuyakini bahwa Rico adalah sahabat terbaik yang kumiliki, aku memutuskan bercerita.
"Dia minta gue jadi pacarnya. Menurut lo gimana?" aku menyangga kepalaku dengan tangan kanan, rambutku terurai ke samping.
Rico berjengit dan mundur sedikit. Dia berdeham, menunduk, lalu memandangku kembali dengan tatapan khasnya. "Lo-nya suka sama dia?"
Aku mengangkat bahu. "Ntar deh gue pikirin."
***
Kupandangi wajah Rico yang sedang mengetik. Saat menghadapi laptop, sekarang ia mengenakan kacamata. Membuatnya jadi lebih intelek. "Apa?" tanya Rico tanpa mengangkat kepala dari laptopnya.
Aku bersender pada kursi di Starbucks ini dan mengambil hape yang aku biarkan selama sejam. Rekor. Biasanya 15 menit tanpa hape saja aku sudah tidak tahan. "Jadi, Nia gimana?"
"Gimana apanya?" Rico mengangkat wajah dan memperhatikanku. Aku pura-pura fokus ke layar hape, padahal foto Pevita Pearce terbaru yang diupload di Instagramnya tidak benar-benar kuperhatikan.
"Gue denger kalian beberapa kali jalan bareng," aku berusaha terdengar cuek dan bukan kepo. Padahal aku ingin tahu bagaimana perjalanan cinta sahabatku ini setelah terakhir kali kandas di bangku kuliah.
"Cuma gak sengaja ketemu sekali abis itu nonton sekali," jawab Rico, menyesap kopinya lalu lanjut mengetik.
Aku memonyongkan bibir membentuk huruf O tanpa mengeluarkan suara. "Lo suka Nia gak? Anaknya baik lho, ceria banget pula."
"Ngobrol aja baru 3x, Gimana tau suka atau nggak?"
Aku manyun. "Kan ada yang namanya love at the first sight."
"Tertarik iya. Suka belum tentu."
"Terus, lo tertarik gak sama Nia?" Aku mencondongkan tubuh ke arah Rico, bersemangat mendengar tanggapan Rico tentang Nia.
"Dia baik..." Rico memulai.
"Aaaah, klise banget," aku mundur lagi ke sofa, menyilangkan kaki dan tangan.
"Ya, ya, sebagai cowo gue tertarik. Dia cantik,"
"Yeay!" Aku bertepuk tangan keras sampai para pengunjung memperhatikanku. Sementara Rio masih asyik dengan pekerjaannya.
***
"Lo rese banget!" Kulemparkan keras-keras boneka Hello Kitty besar dan baru itu. Telak mengenai dada Rico. Dengan refleks yang terlatih dari bermain basket, harusnya Rico bisa menangkap boneka itu bahkan sebelum mengenai dadanya. Tapi dia diam saja dan malah memungut boneka itu dari tanah. Aku terengah-engah, campuran antara kesal, sedih, dan lelah.
"Lo harus nyimpen ini. Kalau lo kangen gue..." Rico mendekatiku sambil mengulurkan boneka. Setiap langkah maju yang diambilnya, sebanyak itu pula langkah mundur yang kulakukan.
"Gak akan! Mana mungkin gue kangen sama orang yang katanya sahabat gue tapi gak bilang-bilang mau ambil Master di Inggris," aku berteriak, suaraku bergetar karena menahan agar air mataku tidak jatuh. Rico menghela nafas dan akhirnya berhenti.
"Sorry,"
"Lo bahkan gak akan ikut wisuda. Padahal gue udah rencanain semuanya, foto sama siapa, dimana..."
"Maaf,"
"Dan bahkan gue baru tau lo bakal berangkat ke UK, tadi siang! Sementara keberangkatan lo malam ini! Sumpah, tega banget lo, Rico," aku pun menjatuhkan diri dan berjongkok. Menaruh wajahku di pangkuan dan menangis disana. Rico jahat sekali. Aku anggap dia sahabat tapi dia bahkan mau pergi diam-diam dari aku. Sakit sekali rasanya hatiku.
"Lo gak akan kehilangan gue. Kan ada Kak Eros," suara Rico terdengar dekat sekali di telingaku. Sepertinya dia sudah menghampiri dan berjongkok di sebelahku.
"Apaan sih. Udah putus juga," kataku sebal. Masih sambil menutupi wajah.
"Wow, kejutan. Lo ga usah sedih, Manda. Gue kuliah cuma 1 tahun. Abis itu gue balik lagi," bisik Rico.
Aku mengangkat wajah dan buru-buru menghapus air mataku. "Yang bikin gue kesel bukan lo pergi ke luar negeri buat kuliah. Tapi ketika lo pergi tanpa ngabarin gue padahal gue anggap lo sahabat gue." Lalu aku berdiri, kuhentakkan kaki dan berlari meninggalkan Rico. Boneka Hello Kitty yang seharusnya diberikan Rico untukku, menggantung lunglai di lengannya.
***
Sekali lagi aku merasa kesepian. Sebagai anak tunggal, aku sering mengharapkan teman sebaya untuk kuajak bermain. Aku menemukan beberapa di kampus dan kantor. Tapi sahabat terbaikku tetap Rico. Aku yang cenderung opprtunis bertemu dengan dia yang mudah membantu jadi keuntungan besar buatku. Namun, bukan itu yang kulihat dari Rico. Sejak pertama bertemu, aku merasa Rico membuatku aman. Sekarang saat dia sedang asyik dengan Nia, aku merasa kesepian. Sama seperti ketika Rico meninggalkan aku tiba-tiba ke UK 2 tahun lalu.
Ting tong!
Aku mengecek jam yang tergantung di kamar. Pukul 9 malam. Mama dan papa sedang mengunjungi resepsi pernikahan anak teman papa. Mereka seharusnya tidak kembali sebelum pukul 10. Apakah ada alasan mereka pulang lebih cepat?
Pelan-pelan aku membuka pintu depan dan kudapati Rico sedang membelakangiku. Kemeja yang sehatusnya rapi saat dipakai kencan, kini mencuat kesana kemari.
"Co?"
"Oh, hai," dia berbalik. Tersenyum. Tangan kanannya mengulurkan sekotak donat berwarna orange.
"Thanks," kataku, memberikan jalan agar Rico bisa masuk. "Kok udah pulang lagi?"
"Nia ga mau lama-lama. Besok mau berangkat kerja pagi-pagi," Rico duduk dan menggulung lengan kemejanya tapi kurang rapi. Aku membungkuk dan membuka lipatan yang sudah ia buat lalu melipatnya lagi dengan lebih rapi.
"Seneng ngedate-nya?"
"Biasa aja,"
"Langsung tembak aja, ga usah lama-lama," aku tersenyum, mendongak memndang Rico.
"Menurut lo begitu?" dia balik bertanya.
"If its makes you happy,"
***
Tepat 3 bulan sejak Rico menginjakkan kaki di Britania Raya, baru aku mau berbicara dengannya. Selama 3 bulan itu Rico intens menghubungiku, menanyakan kabar, persis seperti saat dia ada di dekatku. Bedanya, perhatiannya dikirimkan berkilo-kilometer jauhnya. Dia mengirimkanku foto boneka Hello Kitty yang akhirnya dia bawa ke Inggris, foto candid yang seakan-akan Rico dan Hello Kitty sedang dinner berdua, diiringi caption 'just the two of us in this damn cold night'. Aku tertawa dan membalas emailnya dengan ucapan selamat ulang tahun ke-23. Saat mengetahui aku sedang online, dia langsung menghubungiku via Skype.
"Gue hari ini ulang tahun?" adalah kalimat pertama yang dia ucapkan. Wajahnya melongo.
"20 November kan? Kalau udah ganti tanggal ya lain cerita," kataku sambil nyengir. "Gak bisa kasih lo kado karena ongkos kirim ke UK mahal banget."
"Ini aja juga udah cukup kok,"
"Ini apa?" tanyaku tidak mengerti. Rico menggeleng.
"So, how's life?"
***
"How's life?" Ira mencubit pipiku dan aku tersentak.
"Hah, apa?"
"Gimana idup lo?" Ira menyibakkan gorden yang menutupi kamarku lalu duduk di sampingku di kasur. Dia memang sepupu paling seenaknya yang aku punya.
"Ngantuk gila. Tadi jam 2 baru sampai rumah. Belum juga tidur 8 jam. Ga bagus nih buat kecantikan," aku berguling ke arah yang tidak ada Ira-nya lalu menutupi kepala dengan selimut.
"Emang auditor idupnya sadis ya," Ira malah ikut tiduran di sebelahku. "Untung lo punya Rico yang siap antar jaga."
"Apaan, tadi malem gue pulang sendiri kok," akhirnya aku menyerah. Menyibakkan selimut dan masuk ke kamar mandi.
"Lho Rico kemana?"
"Pacaran!" teriakku dari kamar mandi.
"Waaahh," seru Ira. "Sabar ya cousins."
"Apaan sih," kataku sambil menggosok gigi.
***
Begitu melihat dia muncul di Terminal Kedatangan, aku merentangkan tangan dan langsung memeluk boneka Hello Kitty yang seharusnya kumiliki sejak setahun lalu.
"Kok malah bonekanya yang dipeluk?" Rico mencolek pundakku, berusaha mengambil perhatianku.
"Kalau lo yang gw peluk, nanti jadi drama," aku menjulurkan lidah pada Rico dan ia tertawa. "Welcome back anyway. Glad to see you safe and sound. I was afraid you got an accident in UK and the last thing I do to you is mad at you."
"its okay. sama siapa kesini? lo kan ga bisa nyetir sendiri dan pasti mikir sejuta kali sebelum naik bis atau travel ke bandara," Rico mendorong troli barang-barangnya, aku mengikuti di sampingnya.
aku memutar mataku. agak tersinggung oleh kata-katanya tapi aku tahu dia benar. "dengan mama papamu,"
Rico menoleh padaku. "mama papamu?"
"mu!"
"wow,"
"memangnya lo gak bilang sama keluarga lo sendiri bahwa lo bakal pulang?"
"bilang lah. tapi mama papa bilangnya hari ini ada urusan ke Makassar. ga nyangka sekarang jemput di bandara," Rico mengangkat bahu. langkahnya semakin pelan.
"surprise!" aku berseru kegirangan, lucu melihat wajah Rico yang selalu terkontrol sekarang agak grogi karena orang tuanya menjemput di bandara. "ayo ketemu mereka."
aku merangkul tangan kiri Rico dan kami pun berjalan menuju tempat parkir.
***
"lo mau gue jemput di bandara?" tanya Rico di ujung telepon. aku sedang berjalan pelan mengeliling bandara Kuala Namu, memperhatikan orang-orang maupun arsitekturnya.
"hmm, menggiurkan sih..." jawabku, gantung.
"tapi?" Rico bisa menangkap nada ragu di suaraku.
"gue nanti bakal langsung ke kantor buat nulis laporan," aku memutuskan duduk di kursi, tidak jauh di sebelahku ada sepasang pengantin baru. kalau melihat dari wajah dan cincin yang melingkar di jari manis mereka.
"gak bisa besok aja? sekarang hari Minggu,"
aku mengangkat bahu, lalu sadar Rico tak dapat melihat gerakanku. "maunya sih gitu. tapi gak bisa, hari ini closing kan. lotsa things to do,"
"jam berapa sampai di Jakarta?"
"sekitar jam 2,"
"harus di kantor jam?"
"paling telat jam 6,"
Rico diam. aku juga diam. pasti dia sedang merencanakan sesuatu.
"jam 2 gue udah di bandara, bawain baju dan makanan buat lo. nanti gue antar ke kantor..."
***
"ini rumah sengaja dibeli buat nampung cewe bule ya?" aku berjalan pelan memasuki rumah mungil yang baru dibeli Rico di kota Depok. sambil membawa dus berisi buku-buku Rico, aku memperhatikan setiap sudut rumah 1 lantai ini.
"apaan sih,"
"iya kan kenalan lo bule-bule udah banyak tuh. kalau dibawa ke rumah papa mama kan bahaya," aku menurunkan volume suara sehingga hanya Rico yang bisa mendengar.
"macem-macem aja," Rico mengacak rambutku sambil lalu. tangannya yang penuh debu itu sukses mengotori dan memberantaki rambut yang sudah susah payah kutata bentuk ekor kuda.
Rico memilih untuk tinggal sendiri setelah pulang dari UK. orang tuanya mengijinkan karena ingin Rico hidup mandiri juga. sedangkan orang tuanya tidak merasa kesepian karena Rico masih punya dua adik perempuan yang tinggal bersama orang tuanya. beberapa hari setelah kepulangannya, Rico menarikku ke IKEA dan bertanya furnitur apa yang bagus untuk rumah baru. tidak kusangka dia mengandalkanku untuk urusan furnitur rumah barunya. maka inilah dia, aku diantara furnitur pilihanku. di rumah orang lain.
"mana makanannya?" aku mencolek Rico yang sedang merapikan buku ke dalam rak.
"belom apa-apa udah mau makan aja," Rico memandang keheranan.
"berat gue turun 5 kilo gara-gara lo tinggalin ke UK. sekarang saatnya nambahin berat badan," aku membalas sambil menjulurkan lidah. lalu menghampiri pintu depan, siapa tahu ada tukang gorengan.
***
sesuai janjinya, Rico sudah menungguku di terminal kedatangan. biasanya aku akan berlari menghampiri dia lalu mulai menceritakan perjalananku ke luar kota. kali ini aku berjalan begiu perlahan, meski mataku tak lepas dari Rico. dia menyadari kedatanganku. tersenyum lebar seperti biasa saat melihatku tiba. ia akan memasang kuda-kuda untuk mempertahankan posisi agar tidak terjatuh saat kuhampiri. tapi saat melihat aku hanya berjalan pelan, senyum Rico pelan-pelan memudar.
"sakit?" Rico menyentuh keningku saat jarak kami hanya tinggal 1 meter.
aku menggeleng, memegang tangannya agar menjauhkan dari keningku. "ngantuk,"
"tidur aja di mobil selama di jalan," Rico mengambil alih kendali troli dan aku berjalan di belakangnya. sekali-kali ia melongok ke belakang untuk memastikan aku masih mengikutinya.
selagi berjalan, aku memperhatikan pundak lebar Rico, tangannya yang berotot dan kakinya yang panjang. saat dia menoleh ke arahku, baru kusadari hidungnya yang mancung dan giginya yang putih, serta jenggot yang baru tumbuh dan belum sempat ia cukur. pria ini milik Nia, kataku, dan kami cuma bersahabat, sejak 7 tahun lalu dan selamanya akan begini.
***
"kenapa kalian gak pacaran aja sih?" Dina, setelah sekian lama tidak kutemui, mendadak kami bertemu di sebuah pameran dan memutuskan untuk makan siang bersama. saat itu sebulan setelah Rico pulang dari Inggris dan dia sedang sibuk memulai bisnisnya yang lain lagi. namun dia tetap menyempatkan mengantarkan aku dan bahkan bertemu Dina tadi.
aku menggeleng kuat-kuat atas pertanyaan Dina. "ga bisa Din. udah mati rasa sih kalau gue. udah gue anggap sahabat banget,"
Dina memutar matanya. "mana ada cewe cowo cuma sahabatan tanpa ada rasa apa-apa? pasti salah seorang diantara kalian ada yang saling suka,"
"gue gak mau mikirin itu deh. gue mau jalanin dulu aja apa yang ada,"
"lo gak kepikiran cari pacar? kayaknya calon pacar lo ataupun Rico pada kabur gara-gara kalian deket banget,"
"hahaha, gak lah. malah calon pacar kami tuh harus bisa nerima persahabatan kami, jadi harus bisa kenal dan jalan bareng," aku menjawab dengan bersemangat, dengan yakin bahwa urusannya semudah itu.
***
"udah sampai, Manda," Rico mematikan mesin mobil dan aku pelan-pelan membuka mata. kami sudah sampai di basement. di samping, Rico sedang memperhatikan aku. "yuk."
aku memperbaiki cardigan dan turun dari mobil. tasku sudah dibawakan Rico. kondisi basement sepi karena ini hari Minggu dan menjelang malam. Rico berjalan di depan dengan santai. aku terdiam sebentar, kuperhatikan lagi sosok Rico dan apa yang kulakukan selanjutnya mengagetkan bahkan pikiran paling gila yang kumiliki.
aku merangkul Rico dari belakang, melingkarkan tangan ke perutnya dan membenamkan wajah di punggungnya. Rico kaget, dia terdiam. pelan-pelan Rico menyentuh tanganku dan mengelusnya. aku menghirup wangi tubuh Rico pelan-pelan. memeluk Rico membuatku seperti baru saja memakan obat penenang dosis tinggi. aku merasa lega, tenang, dan hangat. memeluk Rico rasanya luar biasa.
perlahan, aku menarik wajahku dari punggungnya lalu kulepaskan tanganku dari perutnya. aku mundur pelan, berbisik, "maaf," entah dia mendengar atau tidak. aku berjalan mendahului Rico seakan tidak terjadi apa-apa.
"inget temen gue yang punya bisnis travel?" Rico memecah keheningan saat kami berada di dalam lift. aku mengangguk."katanya dia pengen kenalan sama lo."
aku memandang wajah Rico setelah dia berkata begitu. aku sadari bahwa tujuannya berkata seperti itu pasti untuk menyingkirikanku dari hidupnya. agar dia bisa hidup dengan bahagia pula dengan Nia. "kenalin aja."
***
Rico
aku memutar mataku. agak tersinggung oleh kata-katanya tapi aku tahu dia benar. "dengan mama papamu,"
Rico menoleh padaku. "mama papamu?"
"mu!"
"wow,"
"memangnya lo gak bilang sama keluarga lo sendiri bahwa lo bakal pulang?"
"bilang lah. tapi mama papa bilangnya hari ini ada urusan ke Makassar. ga nyangka sekarang jemput di bandara," Rico mengangkat bahu. langkahnya semakin pelan.
"surprise!" aku berseru kegirangan, lucu melihat wajah Rico yang selalu terkontrol sekarang agak grogi karena orang tuanya menjemput di bandara. "ayo ketemu mereka."
aku merangkul tangan kiri Rico dan kami pun berjalan menuju tempat parkir.
***
"lo mau gue jemput di bandara?" tanya Rico di ujung telepon. aku sedang berjalan pelan mengeliling bandara Kuala Namu, memperhatikan orang-orang maupun arsitekturnya.
"hmm, menggiurkan sih..." jawabku, gantung.
"tapi?" Rico bisa menangkap nada ragu di suaraku.
"gue nanti bakal langsung ke kantor buat nulis laporan," aku memutuskan duduk di kursi, tidak jauh di sebelahku ada sepasang pengantin baru. kalau melihat dari wajah dan cincin yang melingkar di jari manis mereka.
"gak bisa besok aja? sekarang hari Minggu,"
aku mengangkat bahu, lalu sadar Rico tak dapat melihat gerakanku. "maunya sih gitu. tapi gak bisa, hari ini closing kan. lotsa things to do,"
"jam berapa sampai di Jakarta?"
"sekitar jam 2,"
"harus di kantor jam?"
"paling telat jam 6,"
Rico diam. aku juga diam. pasti dia sedang merencanakan sesuatu.
"jam 2 gue udah di bandara, bawain baju dan makanan buat lo. nanti gue antar ke kantor..."
***
"ini rumah sengaja dibeli buat nampung cewe bule ya?" aku berjalan pelan memasuki rumah mungil yang baru dibeli Rico di kota Depok. sambil membawa dus berisi buku-buku Rico, aku memperhatikan setiap sudut rumah 1 lantai ini.
"apaan sih,"
"iya kan kenalan lo bule-bule udah banyak tuh. kalau dibawa ke rumah papa mama kan bahaya," aku menurunkan volume suara sehingga hanya Rico yang bisa mendengar.
"macem-macem aja," Rico mengacak rambutku sambil lalu. tangannya yang penuh debu itu sukses mengotori dan memberantaki rambut yang sudah susah payah kutata bentuk ekor kuda.
Rico memilih untuk tinggal sendiri setelah pulang dari UK. orang tuanya mengijinkan karena ingin Rico hidup mandiri juga. sedangkan orang tuanya tidak merasa kesepian karena Rico masih punya dua adik perempuan yang tinggal bersama orang tuanya. beberapa hari setelah kepulangannya, Rico menarikku ke IKEA dan bertanya furnitur apa yang bagus untuk rumah baru. tidak kusangka dia mengandalkanku untuk urusan furnitur rumah barunya. maka inilah dia, aku diantara furnitur pilihanku. di rumah orang lain.
"mana makanannya?" aku mencolek Rico yang sedang merapikan buku ke dalam rak.
"belom apa-apa udah mau makan aja," Rico memandang keheranan.
"berat gue turun 5 kilo gara-gara lo tinggalin ke UK. sekarang saatnya nambahin berat badan," aku membalas sambil menjulurkan lidah. lalu menghampiri pintu depan, siapa tahu ada tukang gorengan.
***
sesuai janjinya, Rico sudah menungguku di terminal kedatangan. biasanya aku akan berlari menghampiri dia lalu mulai menceritakan perjalananku ke luar kota. kali ini aku berjalan begiu perlahan, meski mataku tak lepas dari Rico. dia menyadari kedatanganku. tersenyum lebar seperti biasa saat melihatku tiba. ia akan memasang kuda-kuda untuk mempertahankan posisi agar tidak terjatuh saat kuhampiri. tapi saat melihat aku hanya berjalan pelan, senyum Rico pelan-pelan memudar.
"sakit?" Rico menyentuh keningku saat jarak kami hanya tinggal 1 meter.
aku menggeleng, memegang tangannya agar menjauhkan dari keningku. "ngantuk,"
"tidur aja di mobil selama di jalan," Rico mengambil alih kendali troli dan aku berjalan di belakangnya. sekali-kali ia melongok ke belakang untuk memastikan aku masih mengikutinya.
selagi berjalan, aku memperhatikan pundak lebar Rico, tangannya yang berotot dan kakinya yang panjang. saat dia menoleh ke arahku, baru kusadari hidungnya yang mancung dan giginya yang putih, serta jenggot yang baru tumbuh dan belum sempat ia cukur. pria ini milik Nia, kataku, dan kami cuma bersahabat, sejak 7 tahun lalu dan selamanya akan begini.
***
"kenapa kalian gak pacaran aja sih?" Dina, setelah sekian lama tidak kutemui, mendadak kami bertemu di sebuah pameran dan memutuskan untuk makan siang bersama. saat itu sebulan setelah Rico pulang dari Inggris dan dia sedang sibuk memulai bisnisnya yang lain lagi. namun dia tetap menyempatkan mengantarkan aku dan bahkan bertemu Dina tadi.
aku menggeleng kuat-kuat atas pertanyaan Dina. "ga bisa Din. udah mati rasa sih kalau gue. udah gue anggap sahabat banget,"
Dina memutar matanya. "mana ada cewe cowo cuma sahabatan tanpa ada rasa apa-apa? pasti salah seorang diantara kalian ada yang saling suka,"
"gue gak mau mikirin itu deh. gue mau jalanin dulu aja apa yang ada,"
"lo gak kepikiran cari pacar? kayaknya calon pacar lo ataupun Rico pada kabur gara-gara kalian deket banget,"
"hahaha, gak lah. malah calon pacar kami tuh harus bisa nerima persahabatan kami, jadi harus bisa kenal dan jalan bareng," aku menjawab dengan bersemangat, dengan yakin bahwa urusannya semudah itu.
***
"udah sampai, Manda," Rico mematikan mesin mobil dan aku pelan-pelan membuka mata. kami sudah sampai di basement. di samping, Rico sedang memperhatikan aku. "yuk."
aku memperbaiki cardigan dan turun dari mobil. tasku sudah dibawakan Rico. kondisi basement sepi karena ini hari Minggu dan menjelang malam. Rico berjalan di depan dengan santai. aku terdiam sebentar, kuperhatikan lagi sosok Rico dan apa yang kulakukan selanjutnya mengagetkan bahkan pikiran paling gila yang kumiliki.
aku merangkul Rico dari belakang, melingkarkan tangan ke perutnya dan membenamkan wajah di punggungnya. Rico kaget, dia terdiam. pelan-pelan Rico menyentuh tanganku dan mengelusnya. aku menghirup wangi tubuh Rico pelan-pelan. memeluk Rico membuatku seperti baru saja memakan obat penenang dosis tinggi. aku merasa lega, tenang, dan hangat. memeluk Rico rasanya luar biasa.
perlahan, aku menarik wajahku dari punggungnya lalu kulepaskan tanganku dari perutnya. aku mundur pelan, berbisik, "maaf," entah dia mendengar atau tidak. aku berjalan mendahului Rico seakan tidak terjadi apa-apa.
"inget temen gue yang punya bisnis travel?" Rico memecah keheningan saat kami berada di dalam lift. aku mengangguk."katanya dia pengen kenalan sama lo."
aku memandang wajah Rico setelah dia berkata begitu. aku sadari bahwa tujuannya berkata seperti itu pasti untuk menyingkirikanku dari hidupnya. agar dia bisa hidup dengan bahagia pula dengan Nia. "kenalin aja."
***
Rico
Yang Manda tidak tahu sejak 7 tahun hingga sekarang adalah bahwa aku selalu menyimpan perasaan padanya. Bukan perasaan yang tumbuh ketika kami memutuskan untuk bersahabat melainkan jauh sebelum itu. Dia mungkin tidak sadar bahwa orang yang membantunya saat dia tersesat di hari daftar ulang mahasiswa baru adalah aku. Aku langsung terpesona oleh cuek, polos, dan oportunisnya dia. Matanya berbinar saat aku menawari dia tumpangan menuju auditorium tempatdaftar ulang. Lalu setelah sampai dia langsung melompat turun dari mobilku dan menghampiri teman-temannya. Selanjutnya saat dia kelaparan di hari pertama kuliah, tanpa ragu aku menawarinya roti. Sejak saat itu aku merasa hidupku hanya untuknya.
Kenyataannya begitu. Dalam arti yang berbeda. Aku memutuskan mendekatinya untuk menjadi lebih dari sekedar teman. Tapi dia menganggapku tidak lebih dari sekedar sahabat yang selalu siap membantunya setiap dia membutuhkan sesuatu. Aku pun membiarkan semua berjalan seperti ini saja. Dia bisa membuka semua sisi buruk dan menyebalkan dari dirinya yang tidak dia perlihatkan kepada siapapun kecuali kepadaku dan keluarganya. Hal ini sulit terjadi kalau aku bukan sahabat terdekatnya.
Di hari saat sang dosen pembimbing skripsi memutuskan aku sebaiknya mengambil master di Inggris dengan beasiswa, di situ aku merasa jahat. Aku ingin mengambilnya, untuk kuliah dan untuk menjauh dari Manda. Dia sudah menjadi godaan besar dalam hidupku. Distraksi utama dalam setiap hal yang aku lakukan. Sulit untuk fokus saat ada dia di dekatku. Lebih menyebalkan lagi adalah saat Manda serius menerima Kak Eros jadi pacarnya dan mereka pacaran selama hampir dua tahun. Sulit untuk melupakan bahwa Manda sudah punya pria lain. Saat aku ingin menjemputnya, sudah ada Kak Eros. Saat aku ingin sekedar mampir ke rumahnya hanya untuk mengobrol, dia sedang keluar bersama Kak Eros. Hal itu dan keegoisanku yang menyebabkan aku menerima beasiswa master tanpa bicara dengan Manda.
Akhirnya dia marah, tentu saja. Aku bermaksud membelikannya boneka untuk meminta maaf tapi ternyata dia menolak dan aku terpaksa membawa boneka itu ke Inggris dan sempat jadi bahan olok-olok tetangga, sebelum kujelaskan bahwa itu boneka untuk gadis istimewa di Indonesia. Betapa bahagianya aku saat dia sudah bersikap biasa lagi ketika aku berulang tahun. Di sisi lain, meski aku sedih karena berpisah dengan Manda dalam kondisi bertengkar, dia rupanya telah putus dengan Kak Eros. Aku berharap selama satu tahun kuliahku, dia tidak memutuskan untuk berpacaran dengan pria lain.
beberapa hari lalu aku memutuskan untuk berpacaran dengan Nia. seakan ingin menguji bagaimana reaksi Manda jika aku yang punya pacar, sekaligus ingin tahu apakah dengan begini aku bisa menyingkirkan Manda dari posisi penting dan hanya menjadikannya sahabat saja. sebulan berpacaran, Manda masih biasa-biasa saja. tapi hari ini dia tiba-tiba memelukku tanpa bicara. beda dengan saat dia sedang senang dan memelukku tiba-tiba. ada apa dengan dia?
***
"Nia," aku memanggil Nia yang sedang di pantry, membuat kopi. Rico mengikuti di belakangku.
"Nda, udah balik? Hei Rico," Nia memang menyapaku duluan, tapi yang pipinya dikecup terlebih dahulu siapa lagi kalau bukan pacarnya.
"ya, langsung kesini karena banyak yang harus diurusin," aku menghampiri lemari dan mengambil gelas serta kopi.
"btw, kok kalian bisa bareng?" Nia menunjuk bergantian ke arahku dan Rico. belum sempat aku bicara, Rico sudah mengangkat suara lebih dulu.
"tadi ketemu di lift," jawab Rico sambil menunjuk asal ke belakang. sambil menyesap kopi, aku mengangkat alis. Rico pura-pura tidak melihatku dan Nia sepertinya percaya begitu saja. apa Rico tidak memberitahu Nia bahwa dia menjemputku ke bandara? apa Nia akan marah kalau tahu?
"bisa pas gitu ya. eh kamu udah makan belum? temenin aku makan yuk, sebelum aku lanjut lembur," Nia menggamit tangan Rico dan mereka berjalan meninggalkanku di pantry. "duluan ya Nda,"
aku mengangguk tidak pada siapapun. baru kali ini rasanya Rico pergi bukan dengan aku. aku ditinggalkan. aku bukan yang melambai pergi bersamanya.
***
"hei," sapa sebuah suara di pagi hari. aku rasa di luar masih gelap. jam meja menunjukkan pukul 4 pagi.
"hmm," aku membalas masih sambil terpejam.
"gue berangkat ke Balikpapan ya," kata Rico.
"hah?" aku mendadak terbangun.
"gue udah bilang kan kemarin?"
aku bersandar ke kepala tempat tidur, menarik selimut untuk menghalangi hembusan AC. "oh iya. ati-ati ya. oleh-oleh jangan lupa," aku tak dapat menahan diri dari menguap. sepertinya terdengar oleh Rico, karena dia tertawa.
"sori ganggu tidur lo ya, sana tidur lagi," ujar Rico.
"iya, mau. by the way, lo sama siapa ke bandara?" tubuhku mulai menggeser ke bawah dan tiba-tiba kepalaku sudah di atas bantal lagi.
"sendirian,"
"Nia gak antar?" iseng-iseng aku bertanya. sebenarnya untuk apa pula aku bertanya begini ya?
"ga usah, kepagian juga,"
"oiya, waktu lo jemput gue ke bandara pas gue balik dari Medan, lo gak bilang sama Nia?"
"hmm, no. dia gak bakal suka kalau tahu gue jemput lo," kata Rico hati-hati.
"what?!" kantukku mendadak hilang. gimana bisa Nia gak suka Rico jemput aku? Rico sahabat aku! aku juga yang membuat mereka kenalan. teganya!
"oke, gue mau berangkat. jangan lupa lo ada janji makan siang sama Wildan. see you," dan Rico memutuskan hubungan telepon. membuatku tidak ngantuk karena dipenuhi berbagai macam pertanyaan.
***
Minggu siang adalah waktu aku dan kedua orang tuaku beres-beres rumah. namun untuk hari ini semuanya sudah rapi sejak pagi, termasuk aku. sudah mandi, memakai pakaian rumah terbaik dan sedang menunggu Wildan. makan siang kami pada Selasa lalu berlanjut pada makan malam dan acara nonton bersama, termasuk kunjungan siang ini ke rumahku. "cepat juga," pikirku. yah, aku ikuti saja kemana dia akan berjalan.
sebuah mobil berhenti di depan rumahku, mobil yang kukenal sejak jaman dahulu kala. pengemudinya turun dari mobil dengan wajah lelah tapi senyum mengembang di bibirnya. aku turun dari kursi teras dan menghampiri dia, memeluknya seperti ritual yang biasa kami lakukan saat salah satu dari kami pulang dari perjalanan jauh.
"gimana Balikapapan?" aku meraih tangan kirinya dan bersama-sama kami berjalan menuju kursi. alih-alih duduk di kursi, dia memilih duduk di lantai dan menjulurkan kakinya.
"panas!" jawab Rico sambil mengipaskan tangan dan nyengir, matanya menyipit.
"haha. gue buatin sirup dingin, mau?"
Rico mengangkat kedua jempolnya. aku masuk ke rumah dan membuatkannya sirup jeruk favorit kami berdua. ketika aku kembali ke teras, rupanya Rico tidak sendirian. untunglah aku juga sudah membawa tiga gelas.
"Wildan, baru sampai?" aku menyapa setelah meletakkan teko dan gelas di meja, lalu duduk di antara mereka berdua.
"baru banget," jawab Wildan.
"kalian janjian ketemuan disini?" tanya Rico pelan, berganti memandangku dan Wildan.
"iya, janjiannya jam 11 tapi jam segini udah dateng. before time banget ya, Dan," aku menoleh ke arah Wildan lalu nyengir, dia sendiri mengangguk dan membusungkan dada, pura-pura sombong.
"gue ganggu dong. gue balik ya," Rico langsung bangkit berdiri.
"eh gapapa, kita ngobrol rame-rame aja," aku ikut berdiri, Wildan juga.
"its okay. gue juga mau istirahat. oleh-oleh lo di mobil, sekalian ambil ya," aku mengangguk lalu mengulurkan gelas berisi sirup untuk diminum Rico. dia mengambil gelas dan menghabiskannya dalam sekali teguk, pandangannya tidak lepas dari aku. "thanks. Dan, balik duluan ya,"
"yo, Co. tiati di jalan," Wildan melambai. aku mengikuti Rico ke mobilnya untuk mengambil oleh-oleh.
"udah berapa kali jalan sama Wildan?" Rico berbisik sambil sibuk mengobrak-abrik barangnya, berusaha tidak terlihat oleh Wildan yang tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari kami.
"ini baru pertemuan keempat," jawabku polos. aku menerima kantung berwarna coklat dari tangan Rico. ia mengangguk lalu masuk ke mobil tanpa bicara lagi.
"dia bukannya udah punya pacar? kenapa ke rumah kamu dulu abis dari perjalanan jauh? bukan ke rumah pacarnya?" Wildan membombardirku dengan pertanyaan begitu aku kembali ke teras. pertanyaan yang kujawab dengan template.
"karena aku sahabatnya,"
***
"we can't make it, Manda," kata Wildan setelah kami keluar dari bioskop dalam adegan kencan kesepuluh.
"apanya?"
"you and i. sampai kapan pun kita jalan bareng, kamu gak akan pernah ada buat aku," Wildan berhenti berjalan, berbalik dan menghadapiku. aku harus mendongak saat bicara dengannya mengingat tingginya yang 180 dan aku cuma 165.
"aku fokus kok setiap jalan sama kamu," kenapa dia bilang aku gak pernah ada buat dia? aku tidak pernah melayangkan pikiran ke arah lain setiap kami jalan bersama.
Wildan menggeleng, bibirnya tersenyum sedih. ketika dia mengangkat wajahnya, Wildan mengacak rambut yang kubiarkan terurai. "kamu gak sadar beberapa kali kamu panggil aku Rico?"
"eh?"
"rico yang selalu ada di pikiran dan hati kamu, Manda. cobalah untuk jujur," Wildan mencubit pipiku sampai aku mengaduh pelan.
"iyalah, Rico kan sahabat aku. mungkin aku terlalu terbiasa sama-sama dia,"
"itulah. cinta datang karna telah terbiasa. kayak kata lagu..."
"tapi Rico udah punya pacar," aku memotong kalimat Wildan. dia diam, lalu merangkul pundakku dengan gaya luwes sebagai teman. kami lalu berjalan, entah kemana, aku hanya ikuti langkah Wildan.
"lalu apakah itu menghalangi apa yang kamu rasakan? aku yakin sebenernya Rico juga punya perasaan yang sama. kalian cuma gak sadar dan gak mau bilang. lalu kalian berusaha mengabaikan perasaan itu dengan cari pasangan masing-masing. tapi rupanya itu menimbulkan lubang kecil di hati kalian," Wildan berkata seakan ia Mario Teguh.
refleks, aku memegang dadaku. "masa iya sih," aku masih tidak percaya.
"gini deh, coba kamu ingat lagi gimana perasaan kamu saat Rico jalan bareng pacarnya. kalau kamu ikut senang, bener-benar senang," Wildan menekankan bagian itu, "maka kamu bener-bener gak punya perasaan sama dia. tapi saat kamu merasa sedih, sepi, cemburu, kecewa, kesal, maka kamu punya perasaan beda pada Rico."
"hmm," aku memikirkan apa yang dikatakan Wildan. aku senang Rico punya pacar, aku yang menyuruh Rico pacaran. tapi apa iya aku senang? "katakanlah aku senang atau aku tidak senang, aku harus apa?"
"selalu ada pilihan dalam hidup kita. kalau kamu senang dengan hubungan Rico, silakan lanjutkan hidupmu, cari pacar baru. tapi kalau kamu tidak senang, yang artinya kamu punya perasaan khusus pada Rico, kamu bisa mengatakannya, dengan resiko hubungan kalian mungkin berubah atau tetap sama tapi akan ada goncangan sedikit, atau kamu memilih untuk diam saja, membiarkan Rico menjalani hdidupnya dan kamu pun menjalani hidup kamu,"
"memusingkan," akhirnya aku berkomentar.
"cari pilihan yang membuatmu bahagia. kita gak bisa menyenangkan semua orang dii dunia ini, tapi kita bisa memilih melakukan hal yang benar dan membahagiakan," Wildan berhenti. ternyata kami sudah sampai di depan lift.
"oke, got it,"
"aku tunggu kabar berikutnya ya. sekarang aku antar kamu pulang," Wildan mempersilakan aku masuk lift lebih dulu. bersama-sama, kami menuju basement.
***
aku memikirkan kata-kata Wildan setiap hari. setiap menghadapi angka, setiap bertemu klien, setiap bertemu Nia. ini nih, setiap bertemu Nia aku langsung berpikir keras. Nia masih jadi teman yang baik, tapi menurutku, dia sedikit berbeda, setiap Rico muncul di lobi--yang kali ini tujuannya untuk menjemput Nia dan membuat aku nebeng--Nia langsung bertindak posesif. memegang lengan Rico begitu erat sampai aku heran kenapa Rico tidak mengaduh kesakitan. lalu tatapan matanya sekilas terlihat sinis kalau Rico menawariku pulang bersama. tapi lalu dia tersenyum dan selama perjalanan aku dicuekin. untunglah sifat dasarku adalah oportunis. biarkan saja mereka cuekin aku, yang penting aku sampai rumah dengan selamat.
"lo bahagia kan gue pacaran sama sahabat lo?" Nia menghampiriku saat aku sedang memanaskan bekal buatan mama di microwave pantry.
"hah?" aku mendongak. Nia sedang berdiri menatapku sambil melipat tangannya di dada.
aku kembali memandangi kotak bekal yang sedang berputar di dalam microwave. "bahagia bahagia aja. toh gue juga yang ngenalin kalian berdua,"
"oke. Rico juga bahagia pacaran sama gue. jadi, kalau boleh, gue gak mau kebahagiaan ini diganggu siapapun," wah aku kaget, nada bicara Nia sinis begini.
"yang lo maksud adalah..."
"lo pulang kantor pake taksi atau angkutan umum lain aja ya terus kalau butuh apa-apa, minta bantuan orang lain aja. pasti banyak yang mau bantu. lo kan cantik, jadi pasti banyak yang suka. oke, Manda? thanks ya," Nia lalu mengecup pelan pipiku dan berlalu. seakan kata-katanya adalah ucapan selamat dan bukan kata-kata yang mengiris prasasti persahabatan yang kubangun bertahun-tahun bersama Rico.
***
"lo gak bilang lo lagi ke Bali," tanpa tedeng aling-aling Rico langsung bicara begitu di telepon.
"apaan siiih," aku merengek sambil menjauhkan telepon dari telinga. untung saja klienku sudah pergi jadi dia tida perlu mendengar suara Rico yang aku yakin terdengar sampai radius 10 meter.
"ke Bali gak bilang-bilang sama gue," kata Rico dengan nada lebih normal.
"ngapain? lo mau oleh-oleh? nanti gue beliin pie susu atau pia legong deh, atau mau kaos Billabong baru?" aku memasang handsfree lalu memasukkan hape ke dalam saku lalu membereskan dokumen. bersiap kembali ke hotel.
"bukan itu. ga biasanya lo pergi gitu aja. ga biasanya lo ga ngontak gue beberapa hari ini," kata-kata Rico membuat aku diam. "hey,"
"keberangkatan ini agak ribet sih jadi gue gak sempet kontak siapa-siapa," bohong, aku berbohong. aku memang oportunis, tapi bukan pembohong. tapi mana mungkin kan aku bilang aku tidak menghubungi Rico karena pacarnya melarang aku dekat-dekat dia?
"seribet apapun biasanya bilang. malah selalu minta tolong gue,"
"gue belajar buat mandiri. ga minta bantuan siapa-siapa kalau gue bisa sendiri," aku membuka pintu ruang meeting kantor klien lalu mulai berjalan menuju lift.
"gue akan merasa kehilangan kalau lo memutuskan begitu," tanganku terhenti di udara. batal memencet tombol lift. aku melangkah mundur dan bersandar di dinding.
"masa? mungkin memang sudah saatnya ya, Co. kita jalani hidup masing-masing. lo dengan Nia, dengan kerjaan lo. gue dengan kerjaan gue dan pasangan gue yang gak tau siapa," pandangan mataku menerawang, memandang langit-langit berwarna putih bersih.
"kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"
"gak tau deh. gue banyak berpikir akhir-akhir ini. kita udah jarang ketemuan. masing-masing sibuk sama urusannya sendiri.. mungkin memang sudah saatnya seperti itu. yang penting kita keep contact, tetap saling support urusan satu sama lain,"
"kalau gue gak mau, gimana? kalau gue mau kita tetep kayak dulu, gimana?"
"lo harus belajar move on," aku pun berjalan maju lagi, menekan tombol lift ke bawah.
"kita obrolin lagi nanti kalau kita ketemu langsung, gak via telepon gini. kapan lo balik? gue jemput,"
"gak usah, nanti gue dijemput supir kantor aja. lo gak jemput Nia?" aku memasuki lift yang hanya berisi 1 orang. menekan tombol G dan lift meluncur ke lantai dasar. seharusnya supir kantor klienku yang akan mengantar aku ke hotel sudah siap di lobby.
"dia bisa pulang sendiri,"
"kok gitu? kan biasanya lo jemput dia," aku melangkah keluar lift, berpapasan dengan security dan melewati pintu otomatis. aku bermaksud mencari supir yang akan mengantarku, ketika di depanku muncul sosok lain.
"karena gue lagi di sini," Rico membalas pertanyaan yang kulontarkan di telepon, saat ini, tepat di depanku.
***
aku tidak jadi diantar supir sang klien karena Rico sudah menyewa mobil dan dia yang mengantarku ke hotel. sepanjang perjalanan, kami tidak bicara apa-apa. aku memilih untuk pura-pura menyiapkan schedule untuk besok dan Rico memperhatikan pemandangan sekitar. saat sampai di hotel, rupanya Rico juga sudah memesan kamar di hotel yang sama.
"see you at dinner," kata Rico, saat aku lebih dulu sampai di kamarku. kupandangi sosok Rico yang berdiri sambil memasukkan tangannya ke saku.
"oke," aku membuka pintu dan masuk. setelah menutup pintu, kakiku terasa lemas dan aku terpuruk di karpet.
"kenapa lo tiba-tiba muncul sih Coooo,"
***
aku mengenakan sundress bermotif bunga dengan warna dasar biru, dilapis cardigan dengan warna senada. rambutku kuurai dan kuberi jepit di samping. setelah memoles lipstick berwarna pink dan parfum secukupnya, aku berpuas diri.
"kok gue dandan begini ya? kan cuma makan malem sama Rico. rencananya juga kalau makan sendirian, cuma pake jeans sama kemeja," ketika aku bermaksud mengganti baju dan melepas jepit rambut, terdengar ketukan di pintu. "on time, as always,"
aku membuka pintu dan kudapati diriku memandangi Rico mengenakan kemeja putih dan celana jeans. soo casual but cool. entah berapa banyak pasang mata perempuan yang akan tergiur melihat makhluk ini.
"yuk,"
"iya," aku sengaja tidak membawa barang apapun, turun ke restoran setelah menitipkan kunci di resepsionis. kami berjalan menuju meja yang menghadap langsung ke pantai. sungguh suasana yang....romantis?
"jadi, kenapa lo tiba-tiba muncul di Bali?" aku langsung memulai pembicaraan, berusaha mengarahkan pembicarraan kemana pun selain ke topik yang kami bahas tadi sore. aku belum siap membahas itu ternyata.
"liburan," jawab Rico singkat. matanya masih menelusuri buku menu.
"enaknya yang punya perusahaan sendiri. bisa libur kapan aja,"
"lo juga bisa. sekarang resign aja. perlu gue teleponin Mr. Tommy?"
"lalu gue hidup pake duit dari mana? metik di pohon?" tanyaku sarkastis. aku bukan tiipe orang yang bisa membangun bisnis sendiri.
"gue yang menghidupi lo," jawab Rico, masih tanpa mengangkat wajah dari buku menu.
"hah? gue jadi pembantu lo?"
"lo mau pesen apa?" Rico memutus pembicaraan soal ini dan akhirnya menatapku. sejak tadi aku tidak menyentuh buku menu itu jadi aku tidak tahu mau pesan apa.
"apa aja terserah. yang enak dan banyak,"
Rico memanggil waitress dan menyebutkan pesanan kami, lalu dia mencondongkan tubuh ke arahku.
"gue mau putus sama Nia. menurut lo gimana?"
"lah kenapaaaa?' aku ikut memajukan badan. sungguh kaget mendengar berita ini.
"gak cocok aja," Rico mengangkat bahu.
"gak cocok kok bisa sampe 3 bulan," aku bersandar lagi ke kursi.
"3 bulan itu semakin nunjukkin ketidakcocokan kami. tadi sebelum kesini kami sempat bertengkar," Rico mundur juga dan menggaruk bagian belakang kepalanya.
"bertengkar karena?" aku hanya bertaya agar tidak ada dead air diantara kami tapi aku sebenarnya tahu apa alasannya.
"karena gue mau nemuin lo," jreeeng, benar dugaanku. aku menghela nafas lalu memandang lautan. malas sebenarnya membahas ini. ketika aku sendiri sebenarnya belum tahu ingin bersikap bagaimana.
"dan kenapa nemuin gue bikin kalian berantem?" tanyaku tanpa memandang Rico.
"entahlah. sepulang dari Bali gue akan putusin Nia, lalu gue harap lo gak akan cariin gue cewe lain lagi,"
"kesannya gue itu biro jodoh gagal dan lo gak mau pake jasa gue lagi," aku sedikit tersinggung mendengar itu.
"bukan. gue cuma mau cari pasangan sesuai keinginan gue sendiri, yang gue pacari karena gue mau, bukan karena lo suruh,"
"jadi lo pacarin Nia karena gue? lalu lo nyalahin gue juga ketika lo putus?" nada bicaraku mendadak meninggi, jarang sekali aku marah pada Rico. cuma dulu ketika dia pergi ke Inggris dan saat ini.
"bukan itu maksud gue," Rico maju, tatapan matanya berubah jadi sedih.
"huh," aku memutuskan untuk diam, lalu memandang laut lagi, tidak bicara apapun sampai makanan datang. kami makan dalam diam. Rico beberapa kali memanggil namaku tapi aku cuekin. begitu makananku habis (yang tentu saja lama setelah makanan Rico habis karena dia makan cepat sekali), aku langsung berdiri dan kembali menuju kamar. Rico mengejar dari belakang tapi tetap saja aku tidak bicara apapun. saat aku sampai di pintu kamar, Rico memegang gagang pintu, menghalangiku untuk masuk. aku sudah ingin marah tapi ketika aku lihat wajahnya begitu serius, aku diam.
"ada satu hal yang belum sempet gue bilang malam ini," aku menunggu apa yang akan rico katakan. "lo cantik banget malam ini."
"hih," hanya itu responku. aku menyingkirkan tangannya dari pintu lalu masuk.
***
Rico menemaniku selama aku tugas di Bali. hari Rabu malam kami kembali ke Jakarta dan tebak siapa yang sudah menunggu kami di terminal kedatangan? ya, Nia! aku sempat heran kenapa dia bisa tahu jadwal pesawat kami. lalu aku ingat bahwa dia satu kantor denganku dan mudah saja untuknya bertanya jadwal pesawatku karena tiket ini dibayari oleh kantor. lalu dia juga bisa dengan mudahnya menebak bahwa Rico pasti akan satu pesawat denganku. cerdas. aku baru sadar.
aku menduga Nia akan menghampiri kami dan langsung menghampiriku. mengata-ngatai aku dengan kata-kata tidak enak didengar. sehingga begitu melihat sosoknya, aku sudah ingin berputar ke arah lain tapi Rico memegang tanganku dan aku terpaksa berjalan di sebelahnya, langsung menghadapi Nia. untunglah, Nia saat itu menanti kami dengan tatapan memelas, masih ada bekas air mata.
"Rico..." Nia menghampiri Rico lalu memeluk Rico begitu erat. sebaliknya, Rico malah bergeming. tangannya masih tidak lepas dari tanganku. "aku minta maaf atas pertengkaran kita dulu. kamu jangan marah ya,"
aku mulai geli sendiri mendengar ini. aku ingin kabur saja tapi genggaman rico begitu keras. "Co, lepasin," kataku tanpa suara. Rico menggeleng. dengan tanganku yang bebas, aku menunjuk Rico, Nia lalu menggoyang-goyangkan tanganku.
"kalian beresin berdua, gue gak mau ikut campur," aku berkata lagi tanpa suara dan Rico menggeleng lagi. saat aku memasang wajah memelas, akhirnya Rico melepaskan tanganku.
"er, Co, Nia, gue duluan ya. lo ke sini dianter Pak Soni bukan? kalau iya, biar gue yang naik mobil kantor. lo bareng Rico aja. oke, bye," lalu aku buru-buru menyingkir dari situ dan menelepon Pak Soni.
***
biasanya, aku akan memasuki rumah ini tanpa perlu memencet bel. pertama, karena ketika kemari aku ditemani sang pemilik rumah. kedua, aku punya kunci cadangan. tapi setelah kejadian di bandara, aku memilih untuk memencet bel. pada usahaku yang ketiga, pintu rumah baru dibuka dan muncullah Rico. dengan kaos, celana pendek, dan kacamata. dia sedang bekerja dari rumah.
"biasanya juga langsung masuk," Rico menyingkir, memberi jalan untukku masuk. aku mengangkat bahu dan melangkah masuk. "apa ini?"
"mama masakin soto dan perangkatnya. sengaja dilebihin buat lo," aku mengulurkan rantang berisi soto buatan mama.
"wah, kebetulan gue belum makan. lo udah makan? makan bareng yuk," Rico mengangkat rantang dan bermaksud berjalan ke arah dapur namun aku diam saja. "ayo."
"gue udah makan. gue mau langsung pulang aja," lalu akupun berbalik dan membuka pintu tapi tangan Rico menarik tanganku.
"mau kemana?" tanyanya.
aku langsung salah tingkah. aku tidak ada rencana kemana-mana Sabtu ini. setelah Senin-Jumat asik bekerja, aku hanya ingin beristirahat di rumah, namun mama menyuruhku ke rumah Rico padahal aku sedang tidak ingin bertemu dengannya. maka aku ingin segera pulang lagi.
"gak kemana-mana, mau istirahat aja di rumah," akhirnya aku menjawab.
"temenin gue makan dulu aja, nanti gue anter lo pulang,"
"gue mau tidur,"
"biasa juga lo tidur siang di rumah gue,"
"gue mau tidur di kasur,"
"lo bisa pake kasur kamar tamu,"
"gue mau tidur di kamar gue,"
"anggap aja itu kamar lo. rumah ini bahkan lo punya kuncinya juga,"
"gue gak enak sama Nia,"
"kemarin gue sama dia resmi putus,"
nah, setelah Rico berkata ini baru aku benar-benar berbalik menghadap Rico setelah sedari tadi berargumen sambil menghadap pintu.
"beneran?" tanyaku tidak percaya.
"ya bener,"
"kok bisa?"
"apa yang gak bisa sih? ayo masuk," Rico menarik tanganku dan akupun menyerah. ikut ke dapur dan memperhatikan dia menyiapkan soto untukku dan untuknya, kami makan dalam diam lalu aku mencuci piring sementara Rico berganti baju. setelah semuanya siap, kami bergerak ke pintu dan terkaget-kaget karena Nia muncul di depan pintu.
"susah banget aku cari rumah kamu. ketika akhirnya nemuin, ternyata kalian lagi berdua. lo emang jahat ya Manda," desis Nia. ia mengangkat tangan seperti akan menamparku, aku sudah siap mundur namun rico menahan tangan Nia.
"maksud kamu apa?" nada suara Rico terdengar marah, matanya berkilat.
"aku sudah peringatkan Manda supaya gak deket-deket kamu Rico! tapi nyatanya dia bahkan ada di rumah kamu! apa-apaan ini?"
"kamu melarang Manda dekat denganku?" Rico beralih menatapku, aku memalingkan muka. "dan kenapa itu harus terjadi? Manda sahabatku sejak lama dan seharusnya kamu menerima keadaan itu."
"aku gak suka Manda dekat-dekat kamu karena bahkan saat ga ada Manda pun kamu selalu mikirin dia! apalagi kalau deket dia!" Nia berteriak histeris. aku tercengang. ingat kata-kata Wildan.
"itu urusanku," desis Rico.
"aku gak suka pacarku lebih mikirin cewe lain daripada aku!"
"kita sudah putus. apalagi karena kamu gak bisa menerima keberadaan Manda, maka kamu gak pantas jadi pacarku," kata-kata Rico jahat sekali menurutku. aku sampai membelalak saat dia berkata begitu. "lebih baik kamu pulang, Nia. jangan berani-berani memarahi Manda lagi ataupun melarangnya melakukan apapun. kalau aku sampai tahu, kamu gak akan senang."
Nia menghentakkan kaki. wajahnya terlihat sakit hati sekali. tapi lalu dia pergi, meninggalkan aku dan Rico dalam suasana canggung.
"lo harus ketemu Nia dan minta maaf," aku memulai pembicaraan duluan.
"kenapa harus begitu?" Rico berjalan cuek ke arah mobilnya.
"lo gak tau apa yang bisa dilakukan seorang cewe yang sakit hati. meski lo ngancem kayak tadi, kalau dia nekat, dia bisa ngelakuin apa aja, ke lo atau ke gue," aku menghampiri Rico dan berdiri di sisi penumpang. rico membuka pintu supir dan masuk.
"ya, akan gue lakukan nanti. sekarang kita anter lo pulang dulu aja," Rico mulai menyalakan mesin mobil. aku masuk. "lo gak perlu mikirin kata-kata Nia."
"yang mana?"
"semuanya,"
***
Senin, ketika aku sampai di kantor, meja yang biasa dipakai Nia sudah bersih. tidak ada barang apapun yang tertinggal. aku bertanya pada Tari, yang duduk di dekat Nia dan selalu datang paling pagi.
"Nia kemana?"
"Nia mendadak resign , Mba. dia pulang ke Tasik, mau cari kerjaan disana aja sekalian nemenin ibunya,"
"hah?" aku bengong. sehebat itu efek patah hati yang ditimbulkan Rico? Tari mengangguk lalu kembali menekuni laptopnya.
aku duduk di kursiku, menyalakan laptop lalu termenuung. aku harus tetap menghubungi Nia dan meminta maaf. kukeluarkan hape dan kupencet nomor Nia. setelah sepuluh kali percobaan, barulah telepon itu diangkat.
"Nia?" panggilku.
"bukan Mba, ini bapaknya," sahut suara laki-laki dengan logat Sunda.
"oh maaf Pak. Nia ada?"
ada jeda sekilas. lalu suara bapaknya Nia terdengar lagi. "Nia lagi ga enak badan. ada pesan?"
"tolong bilang sama Nia. ini Manda. Manda minta maaf, semoga Nia mau maafin Manda," ujarku sungguh-sungguh.
"nanti saya sampaikan ke Nia ya Mba," sahut bapaknya.
"iya Pak, terima kasih banyak. semoga Nia lekas sehat kembali," aku menutup telepon. kali ini ganti menelepon Rico.
"Nia resign," kataku begitu Rico berkata halo.
"oh ya?"
"dia pulang ke Tasik. efek patah hati gara-gara lo dahsyat banget," aku bersandar di kursi, memainkan pulpen berbentuk bunga.
"dia butuh waktu berpikir dan itu gak bisa dilakukan kalau ada lo di dekat dia," sahut Rico.
"bisa jadi.." aku terdiam. Rico juga.
"tapi kita harus tetep ngobrol sama Nia," aku memecah keheningan, bangkit berdiri dan menuju pantry untuk membuat kopi.
"ya,"
***
setelah sekian lama, kali ini Rico mengantarku pulang lagi. bahkan dia masuk dan mengobrol dengan kedua orang tuaku, ritual yang sudah lama ditinggalkannya. kali ini aku ikut pembicaraan mereka, tidak menghilang ke kamar seperti biasa.
ketika HP Rico berbunyi, dia melirikku dan berbisik "Nia". aku dan rico buru-buru bangkit, meminta ijin untuk mengangkat telepon lalu kami bergerak menuju teras.
"halo," kata Rico, ia menyalakan loudspeaker.
"halo Rico..."
"ya Nia," balas rico. aku menahan nafas, sebisa mungkin pura-pura tidak ada disitu.
"aku berpikir banyak hal setelah pulang dari rumah kamu. rasanya aku yang terlalu memaksakan kehendak. maka aku memutuskan untuk menenangkan diri, pulang ke rumah. aku minta maaf sudah membuat hidupmu berantakan," mendengar Nia bicara begitu, Rico menghela nafas lega.
"its okay, Nia. ini bisa jadi bahan pelajaran untuk kita semua," balas Rico.
"ya, aku belajar banyak hal. aku juga merasa tidak enak hati pada Manda," mendengar namaku disebut, aku memandang Rico, menunjuk diriku. Rico mengangguk. "aku yang jahat padanya. melarang dia bertemu sahabatnya, mengata-ngatai dia, padahal dia salah satu teman baik yang aku punya."
"kamu bisa minta maaf langsung pada orangnya," sahut rico.
"eh, jangan bilang kalian sedang bersama?"
"sebenarnya ya, Manda mendengar kata-katamu sejak tadi,"
"ya ampuuuun," seru Nia di ujung sana. aku panik, aku khawatir Nia akan marah lagi. "Manda,"
"ya Nia," akhirnya aku memunculkan diri di pembicaraan ini.
"maafin gue ya, udah jahat banget sama lo,"
"gue yang minta maaf, Nia. udah bikin ribet idup lo," aku mendekatkan diri ke hape Rico yang diletakkan di meja teras, agar suaraku terdengar lebih jelas.
"gapapa, gue seneng bisa jadi pacar Rico meski cuma 3 bulan," Nia tertawa. aku nyengir, Rico berdeham. "Manda, coba lo lihat rico lebih dari sekedar sahabat, karena Rico sudah melihat lo lebih dari sekedar sahabat, sejak lama."
kata-kata Nia membuat wajah Rico berubah pucat. aku memandangi Rico, dia malah berdiri dan masuk ke rumah. "kita lihat nanti aja, Nia,"
"baiklah," sahut Nia lagi. "gue pamit ya. bye Rico, bye Manda,"
"Rico kebelet ke toilet, Ni," kataku iseng.
"oh, oke. bye Manda. see you when I see you,"
"ya Nia. take care, sukses," aku menutup telepon. lega karena Nia sudah menerima dengan ikhlas kejadian ini. sekarang tinggal meresapi kata-kata Nia tentang Rico.
***
"lo inget, ini kondangan keberapa yang kita datenggin barengan?" aku dan Rico berjalan keluar dari ballroom hotel tempat dilangsungkannya pernikahan salah satu teman kuliah kami.
"hmm, ga pernah gue itungin," jawab Rico.
"gue juga gak ngitung. tapi sejauh yang gue inget, kita pasti selalu dateng ke kondangan barengan. mau itu kondangan temen kuliah, temen kantor. yaa, kecuali kalau yang nikah temennya mama papa. ya gak?"
Rico merenung. "bener juga,"
"bisa gitu ya?" aku berhenti berjalan. bersyukur karena ini sudah malam hari dan orang-orang masih di dalam.
"kenapa tiba-tiba mikir begini?" Rico ikut berhenti berjalan, kami berdiri berhadapan.
"apa mungkin gue gak akan pernah lepas dari lo? seumur hidup kemana-mana sama lo? ke kondangan, ke kantor, travelling, lebaran, bahkan tinggal di surga bareng?" kuucapkan kata-kata itu dengan nada dan ekspresi datar.
Rico tersenyum, dia mendekati aku dan melingkarkan tangannya di pinggangku, aku tidak menolak.
"if only you want to spend the rest of your life with me," kata Rico.
"i want," jawabku lalu kuletakkan tanganku di pinggangnya dan kusandarkan kepalaku di dadanya. Rico mencium rambutku.
and guys, this is what home feels like.
***
"Nia," aku memanggil Nia yang sedang di pantry, membuat kopi. Rico mengikuti di belakangku.
"Nda, udah balik? Hei Rico," Nia memang menyapaku duluan, tapi yang pipinya dikecup terlebih dahulu siapa lagi kalau bukan pacarnya.
"ya, langsung kesini karena banyak yang harus diurusin," aku menghampiri lemari dan mengambil gelas serta kopi.
"btw, kok kalian bisa bareng?" Nia menunjuk bergantian ke arahku dan Rico. belum sempat aku bicara, Rico sudah mengangkat suara lebih dulu.
"tadi ketemu di lift," jawab Rico sambil menunjuk asal ke belakang. sambil menyesap kopi, aku mengangkat alis. Rico pura-pura tidak melihatku dan Nia sepertinya percaya begitu saja. apa Rico tidak memberitahu Nia bahwa dia menjemputku ke bandara? apa Nia akan marah kalau tahu?
"bisa pas gitu ya. eh kamu udah makan belum? temenin aku makan yuk, sebelum aku lanjut lembur," Nia menggamit tangan Rico dan mereka berjalan meninggalkanku di pantry. "duluan ya Nda,"
aku mengangguk tidak pada siapapun. baru kali ini rasanya Rico pergi bukan dengan aku. aku ditinggalkan. aku bukan yang melambai pergi bersamanya.
***
"hei," sapa sebuah suara di pagi hari. aku rasa di luar masih gelap. jam meja menunjukkan pukul 4 pagi.
"hmm," aku membalas masih sambil terpejam.
"gue berangkat ke Balikpapan ya," kata Rico.
"hah?" aku mendadak terbangun.
"gue udah bilang kan kemarin?"
aku bersandar ke kepala tempat tidur, menarik selimut untuk menghalangi hembusan AC. "oh iya. ati-ati ya. oleh-oleh jangan lupa," aku tak dapat menahan diri dari menguap. sepertinya terdengar oleh Rico, karena dia tertawa.
"sori ganggu tidur lo ya, sana tidur lagi," ujar Rico.
"iya, mau. by the way, lo sama siapa ke bandara?" tubuhku mulai menggeser ke bawah dan tiba-tiba kepalaku sudah di atas bantal lagi.
"sendirian,"
"Nia gak antar?" iseng-iseng aku bertanya. sebenarnya untuk apa pula aku bertanya begini ya?
"ga usah, kepagian juga,"
"oiya, waktu lo jemput gue ke bandara pas gue balik dari Medan, lo gak bilang sama Nia?"
"hmm, no. dia gak bakal suka kalau tahu gue jemput lo," kata Rico hati-hati.
"what?!" kantukku mendadak hilang. gimana bisa Nia gak suka Rico jemput aku? Rico sahabat aku! aku juga yang membuat mereka kenalan. teganya!
"oke, gue mau berangkat. jangan lupa lo ada janji makan siang sama Wildan. see you," dan Rico memutuskan hubungan telepon. membuatku tidak ngantuk karena dipenuhi berbagai macam pertanyaan.
***
Minggu siang adalah waktu aku dan kedua orang tuaku beres-beres rumah. namun untuk hari ini semuanya sudah rapi sejak pagi, termasuk aku. sudah mandi, memakai pakaian rumah terbaik dan sedang menunggu Wildan. makan siang kami pada Selasa lalu berlanjut pada makan malam dan acara nonton bersama, termasuk kunjungan siang ini ke rumahku. "cepat juga," pikirku. yah, aku ikuti saja kemana dia akan berjalan.
sebuah mobil berhenti di depan rumahku, mobil yang kukenal sejak jaman dahulu kala. pengemudinya turun dari mobil dengan wajah lelah tapi senyum mengembang di bibirnya. aku turun dari kursi teras dan menghampiri dia, memeluknya seperti ritual yang biasa kami lakukan saat salah satu dari kami pulang dari perjalanan jauh.
"gimana Balikapapan?" aku meraih tangan kirinya dan bersama-sama kami berjalan menuju kursi. alih-alih duduk di kursi, dia memilih duduk di lantai dan menjulurkan kakinya.
"panas!" jawab Rico sambil mengipaskan tangan dan nyengir, matanya menyipit.
"haha. gue buatin sirup dingin, mau?"
Rico mengangkat kedua jempolnya. aku masuk ke rumah dan membuatkannya sirup jeruk favorit kami berdua. ketika aku kembali ke teras, rupanya Rico tidak sendirian. untunglah aku juga sudah membawa tiga gelas.
"Wildan, baru sampai?" aku menyapa setelah meletakkan teko dan gelas di meja, lalu duduk di antara mereka berdua.
"baru banget," jawab Wildan.
"kalian janjian ketemuan disini?" tanya Rico pelan, berganti memandangku dan Wildan.
"iya, janjiannya jam 11 tapi jam segini udah dateng. before time banget ya, Dan," aku menoleh ke arah Wildan lalu nyengir, dia sendiri mengangguk dan membusungkan dada, pura-pura sombong.
"gue ganggu dong. gue balik ya," Rico langsung bangkit berdiri.
"eh gapapa, kita ngobrol rame-rame aja," aku ikut berdiri, Wildan juga.
"its okay. gue juga mau istirahat. oleh-oleh lo di mobil, sekalian ambil ya," aku mengangguk lalu mengulurkan gelas berisi sirup untuk diminum Rico. dia mengambil gelas dan menghabiskannya dalam sekali teguk, pandangannya tidak lepas dari aku. "thanks. Dan, balik duluan ya,"
"yo, Co. tiati di jalan," Wildan melambai. aku mengikuti Rico ke mobilnya untuk mengambil oleh-oleh.
"udah berapa kali jalan sama Wildan?" Rico berbisik sambil sibuk mengobrak-abrik barangnya, berusaha tidak terlihat oleh Wildan yang tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari kami.
"ini baru pertemuan keempat," jawabku polos. aku menerima kantung berwarna coklat dari tangan Rico. ia mengangguk lalu masuk ke mobil tanpa bicara lagi.
"dia bukannya udah punya pacar? kenapa ke rumah kamu dulu abis dari perjalanan jauh? bukan ke rumah pacarnya?" Wildan membombardirku dengan pertanyaan begitu aku kembali ke teras. pertanyaan yang kujawab dengan template.
"karena aku sahabatnya,"
***
"we can't make it, Manda," kata Wildan setelah kami keluar dari bioskop dalam adegan kencan kesepuluh.
"apanya?"
"you and i. sampai kapan pun kita jalan bareng, kamu gak akan pernah ada buat aku," Wildan berhenti berjalan, berbalik dan menghadapiku. aku harus mendongak saat bicara dengannya mengingat tingginya yang 180 dan aku cuma 165.
"aku fokus kok setiap jalan sama kamu," kenapa dia bilang aku gak pernah ada buat dia? aku tidak pernah melayangkan pikiran ke arah lain setiap kami jalan bersama.
Wildan menggeleng, bibirnya tersenyum sedih. ketika dia mengangkat wajahnya, Wildan mengacak rambut yang kubiarkan terurai. "kamu gak sadar beberapa kali kamu panggil aku Rico?"
"eh?"
"rico yang selalu ada di pikiran dan hati kamu, Manda. cobalah untuk jujur," Wildan mencubit pipiku sampai aku mengaduh pelan.
"iyalah, Rico kan sahabat aku. mungkin aku terlalu terbiasa sama-sama dia,"
"itulah. cinta datang karna telah terbiasa. kayak kata lagu..."
"tapi Rico udah punya pacar," aku memotong kalimat Wildan. dia diam, lalu merangkul pundakku dengan gaya luwes sebagai teman. kami lalu berjalan, entah kemana, aku hanya ikuti langkah Wildan.
"lalu apakah itu menghalangi apa yang kamu rasakan? aku yakin sebenernya Rico juga punya perasaan yang sama. kalian cuma gak sadar dan gak mau bilang. lalu kalian berusaha mengabaikan perasaan itu dengan cari pasangan masing-masing. tapi rupanya itu menimbulkan lubang kecil di hati kalian," Wildan berkata seakan ia Mario Teguh.
refleks, aku memegang dadaku. "masa iya sih," aku masih tidak percaya.
"gini deh, coba kamu ingat lagi gimana perasaan kamu saat Rico jalan bareng pacarnya. kalau kamu ikut senang, bener-benar senang," Wildan menekankan bagian itu, "maka kamu bener-bener gak punya perasaan sama dia. tapi saat kamu merasa sedih, sepi, cemburu, kecewa, kesal, maka kamu punya perasaan beda pada Rico."
"hmm," aku memikirkan apa yang dikatakan Wildan. aku senang Rico punya pacar, aku yang menyuruh Rico pacaran. tapi apa iya aku senang? "katakanlah aku senang atau aku tidak senang, aku harus apa?"
"selalu ada pilihan dalam hidup kita. kalau kamu senang dengan hubungan Rico, silakan lanjutkan hidupmu, cari pacar baru. tapi kalau kamu tidak senang, yang artinya kamu punya perasaan khusus pada Rico, kamu bisa mengatakannya, dengan resiko hubungan kalian mungkin berubah atau tetap sama tapi akan ada goncangan sedikit, atau kamu memilih untuk diam saja, membiarkan Rico menjalani hdidupnya dan kamu pun menjalani hidup kamu,"
"memusingkan," akhirnya aku berkomentar.
"cari pilihan yang membuatmu bahagia. kita gak bisa menyenangkan semua orang dii dunia ini, tapi kita bisa memilih melakukan hal yang benar dan membahagiakan," Wildan berhenti. ternyata kami sudah sampai di depan lift.
"oke, got it,"
"aku tunggu kabar berikutnya ya. sekarang aku antar kamu pulang," Wildan mempersilakan aku masuk lift lebih dulu. bersama-sama, kami menuju basement.
***
aku memikirkan kata-kata Wildan setiap hari. setiap menghadapi angka, setiap bertemu klien, setiap bertemu Nia. ini nih, setiap bertemu Nia aku langsung berpikir keras. Nia masih jadi teman yang baik, tapi menurutku, dia sedikit berbeda, setiap Rico muncul di lobi--yang kali ini tujuannya untuk menjemput Nia dan membuat aku nebeng--Nia langsung bertindak posesif. memegang lengan Rico begitu erat sampai aku heran kenapa Rico tidak mengaduh kesakitan. lalu tatapan matanya sekilas terlihat sinis kalau Rico menawariku pulang bersama. tapi lalu dia tersenyum dan selama perjalanan aku dicuekin. untunglah sifat dasarku adalah oportunis. biarkan saja mereka cuekin aku, yang penting aku sampai rumah dengan selamat.
"lo bahagia kan gue pacaran sama sahabat lo?" Nia menghampiriku saat aku sedang memanaskan bekal buatan mama di microwave pantry.
"hah?" aku mendongak. Nia sedang berdiri menatapku sambil melipat tangannya di dada.
aku kembali memandangi kotak bekal yang sedang berputar di dalam microwave. "bahagia bahagia aja. toh gue juga yang ngenalin kalian berdua,"
"oke. Rico juga bahagia pacaran sama gue. jadi, kalau boleh, gue gak mau kebahagiaan ini diganggu siapapun," wah aku kaget, nada bicara Nia sinis begini.
"yang lo maksud adalah..."
"lo pulang kantor pake taksi atau angkutan umum lain aja ya terus kalau butuh apa-apa, minta bantuan orang lain aja. pasti banyak yang mau bantu. lo kan cantik, jadi pasti banyak yang suka. oke, Manda? thanks ya," Nia lalu mengecup pelan pipiku dan berlalu. seakan kata-katanya adalah ucapan selamat dan bukan kata-kata yang mengiris prasasti persahabatan yang kubangun bertahun-tahun bersama Rico.
***
"lo gak bilang lo lagi ke Bali," tanpa tedeng aling-aling Rico langsung bicara begitu di telepon.
"apaan siiih," aku merengek sambil menjauhkan telepon dari telinga. untung saja klienku sudah pergi jadi dia tida perlu mendengar suara Rico yang aku yakin terdengar sampai radius 10 meter.
"ke Bali gak bilang-bilang sama gue," kata Rico dengan nada lebih normal.
"ngapain? lo mau oleh-oleh? nanti gue beliin pie susu atau pia legong deh, atau mau kaos Billabong baru?" aku memasang handsfree lalu memasukkan hape ke dalam saku lalu membereskan dokumen. bersiap kembali ke hotel.
"bukan itu. ga biasanya lo pergi gitu aja. ga biasanya lo ga ngontak gue beberapa hari ini," kata-kata Rico membuat aku diam. "hey,"
"keberangkatan ini agak ribet sih jadi gue gak sempet kontak siapa-siapa," bohong, aku berbohong. aku memang oportunis, tapi bukan pembohong. tapi mana mungkin kan aku bilang aku tidak menghubungi Rico karena pacarnya melarang aku dekat-dekat dia?
"seribet apapun biasanya bilang. malah selalu minta tolong gue,"
"gue belajar buat mandiri. ga minta bantuan siapa-siapa kalau gue bisa sendiri," aku membuka pintu ruang meeting kantor klien lalu mulai berjalan menuju lift.
"gue akan merasa kehilangan kalau lo memutuskan begitu," tanganku terhenti di udara. batal memencet tombol lift. aku melangkah mundur dan bersandar di dinding.
"masa? mungkin memang sudah saatnya ya, Co. kita jalani hidup masing-masing. lo dengan Nia, dengan kerjaan lo. gue dengan kerjaan gue dan pasangan gue yang gak tau siapa," pandangan mataku menerawang, memandang langit-langit berwarna putih bersih.
"kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"
"gak tau deh. gue banyak berpikir akhir-akhir ini. kita udah jarang ketemuan. masing-masing sibuk sama urusannya sendiri.. mungkin memang sudah saatnya seperti itu. yang penting kita keep contact, tetap saling support urusan satu sama lain,"
"kalau gue gak mau, gimana? kalau gue mau kita tetep kayak dulu, gimana?"
"lo harus belajar move on," aku pun berjalan maju lagi, menekan tombol lift ke bawah.
"kita obrolin lagi nanti kalau kita ketemu langsung, gak via telepon gini. kapan lo balik? gue jemput,"
"gak usah, nanti gue dijemput supir kantor aja. lo gak jemput Nia?" aku memasuki lift yang hanya berisi 1 orang. menekan tombol G dan lift meluncur ke lantai dasar. seharusnya supir kantor klienku yang akan mengantar aku ke hotel sudah siap di lobby.
"dia bisa pulang sendiri,"
"kok gitu? kan biasanya lo jemput dia," aku melangkah keluar lift, berpapasan dengan security dan melewati pintu otomatis. aku bermaksud mencari supir yang akan mengantarku, ketika di depanku muncul sosok lain.
"karena gue lagi di sini," Rico membalas pertanyaan yang kulontarkan di telepon, saat ini, tepat di depanku.
***
aku tidak jadi diantar supir sang klien karena Rico sudah menyewa mobil dan dia yang mengantarku ke hotel. sepanjang perjalanan, kami tidak bicara apa-apa. aku memilih untuk pura-pura menyiapkan schedule untuk besok dan Rico memperhatikan pemandangan sekitar. saat sampai di hotel, rupanya Rico juga sudah memesan kamar di hotel yang sama.
"see you at dinner," kata Rico, saat aku lebih dulu sampai di kamarku. kupandangi sosok Rico yang berdiri sambil memasukkan tangannya ke saku.
"oke," aku membuka pintu dan masuk. setelah menutup pintu, kakiku terasa lemas dan aku terpuruk di karpet.
"kenapa lo tiba-tiba muncul sih Coooo,"
***
aku mengenakan sundress bermotif bunga dengan warna dasar biru, dilapis cardigan dengan warna senada. rambutku kuurai dan kuberi jepit di samping. setelah memoles lipstick berwarna pink dan parfum secukupnya, aku berpuas diri.
"kok gue dandan begini ya? kan cuma makan malem sama Rico. rencananya juga kalau makan sendirian, cuma pake jeans sama kemeja," ketika aku bermaksud mengganti baju dan melepas jepit rambut, terdengar ketukan di pintu. "on time, as always,"
aku membuka pintu dan kudapati diriku memandangi Rico mengenakan kemeja putih dan celana jeans. soo casual but cool. entah berapa banyak pasang mata perempuan yang akan tergiur melihat makhluk ini.
"yuk,"
"iya," aku sengaja tidak membawa barang apapun, turun ke restoran setelah menitipkan kunci di resepsionis. kami berjalan menuju meja yang menghadap langsung ke pantai. sungguh suasana yang....romantis?
"jadi, kenapa lo tiba-tiba muncul di Bali?" aku langsung memulai pembicaraan, berusaha mengarahkan pembicarraan kemana pun selain ke topik yang kami bahas tadi sore. aku belum siap membahas itu ternyata.
"liburan," jawab Rico singkat. matanya masih menelusuri buku menu.
"enaknya yang punya perusahaan sendiri. bisa libur kapan aja,"
"lo juga bisa. sekarang resign aja. perlu gue teleponin Mr. Tommy?"
"lalu gue hidup pake duit dari mana? metik di pohon?" tanyaku sarkastis. aku bukan tiipe orang yang bisa membangun bisnis sendiri.
"gue yang menghidupi lo," jawab Rico, masih tanpa mengangkat wajah dari buku menu.
"hah? gue jadi pembantu lo?"
"lo mau pesen apa?" Rico memutus pembicaraan soal ini dan akhirnya menatapku. sejak tadi aku tidak menyentuh buku menu itu jadi aku tidak tahu mau pesan apa.
"apa aja terserah. yang enak dan banyak,"
Rico memanggil waitress dan menyebutkan pesanan kami, lalu dia mencondongkan tubuh ke arahku.
"gue mau putus sama Nia. menurut lo gimana?"
"lah kenapaaaa?' aku ikut memajukan badan. sungguh kaget mendengar berita ini.
"gak cocok aja," Rico mengangkat bahu.
"gak cocok kok bisa sampe 3 bulan," aku bersandar lagi ke kursi.
"3 bulan itu semakin nunjukkin ketidakcocokan kami. tadi sebelum kesini kami sempat bertengkar," Rico mundur juga dan menggaruk bagian belakang kepalanya.
"bertengkar karena?" aku hanya bertaya agar tidak ada dead air diantara kami tapi aku sebenarnya tahu apa alasannya.
"karena gue mau nemuin lo," jreeeng, benar dugaanku. aku menghela nafas lalu memandang lautan. malas sebenarnya membahas ini. ketika aku sendiri sebenarnya belum tahu ingin bersikap bagaimana.
"dan kenapa nemuin gue bikin kalian berantem?" tanyaku tanpa memandang Rico.
"entahlah. sepulang dari Bali gue akan putusin Nia, lalu gue harap lo gak akan cariin gue cewe lain lagi,"
"kesannya gue itu biro jodoh gagal dan lo gak mau pake jasa gue lagi," aku sedikit tersinggung mendengar itu.
"bukan. gue cuma mau cari pasangan sesuai keinginan gue sendiri, yang gue pacari karena gue mau, bukan karena lo suruh,"
"jadi lo pacarin Nia karena gue? lalu lo nyalahin gue juga ketika lo putus?" nada bicaraku mendadak meninggi, jarang sekali aku marah pada Rico. cuma dulu ketika dia pergi ke Inggris dan saat ini.
"bukan itu maksud gue," Rico maju, tatapan matanya berubah jadi sedih.
"huh," aku memutuskan untuk diam, lalu memandang laut lagi, tidak bicara apapun sampai makanan datang. kami makan dalam diam. Rico beberapa kali memanggil namaku tapi aku cuekin. begitu makananku habis (yang tentu saja lama setelah makanan Rico habis karena dia makan cepat sekali), aku langsung berdiri dan kembali menuju kamar. Rico mengejar dari belakang tapi tetap saja aku tidak bicara apapun. saat aku sampai di pintu kamar, Rico memegang gagang pintu, menghalangiku untuk masuk. aku sudah ingin marah tapi ketika aku lihat wajahnya begitu serius, aku diam.
"ada satu hal yang belum sempet gue bilang malam ini," aku menunggu apa yang akan rico katakan. "lo cantik banget malam ini."
"hih," hanya itu responku. aku menyingkirkan tangannya dari pintu lalu masuk.
***
Rico menemaniku selama aku tugas di Bali. hari Rabu malam kami kembali ke Jakarta dan tebak siapa yang sudah menunggu kami di terminal kedatangan? ya, Nia! aku sempat heran kenapa dia bisa tahu jadwal pesawat kami. lalu aku ingat bahwa dia satu kantor denganku dan mudah saja untuknya bertanya jadwal pesawatku karena tiket ini dibayari oleh kantor. lalu dia juga bisa dengan mudahnya menebak bahwa Rico pasti akan satu pesawat denganku. cerdas. aku baru sadar.
aku menduga Nia akan menghampiri kami dan langsung menghampiriku. mengata-ngatai aku dengan kata-kata tidak enak didengar. sehingga begitu melihat sosoknya, aku sudah ingin berputar ke arah lain tapi Rico memegang tanganku dan aku terpaksa berjalan di sebelahnya, langsung menghadapi Nia. untunglah, Nia saat itu menanti kami dengan tatapan memelas, masih ada bekas air mata.
"Rico..." Nia menghampiri Rico lalu memeluk Rico begitu erat. sebaliknya, Rico malah bergeming. tangannya masih tidak lepas dari tanganku. "aku minta maaf atas pertengkaran kita dulu. kamu jangan marah ya,"
aku mulai geli sendiri mendengar ini. aku ingin kabur saja tapi genggaman rico begitu keras. "Co, lepasin," kataku tanpa suara. Rico menggeleng. dengan tanganku yang bebas, aku menunjuk Rico, Nia lalu menggoyang-goyangkan tanganku.
"kalian beresin berdua, gue gak mau ikut campur," aku berkata lagi tanpa suara dan Rico menggeleng lagi. saat aku memasang wajah memelas, akhirnya Rico melepaskan tanganku.
"er, Co, Nia, gue duluan ya. lo ke sini dianter Pak Soni bukan? kalau iya, biar gue yang naik mobil kantor. lo bareng Rico aja. oke, bye," lalu aku buru-buru menyingkir dari situ dan menelepon Pak Soni.
***
biasanya, aku akan memasuki rumah ini tanpa perlu memencet bel. pertama, karena ketika kemari aku ditemani sang pemilik rumah. kedua, aku punya kunci cadangan. tapi setelah kejadian di bandara, aku memilih untuk memencet bel. pada usahaku yang ketiga, pintu rumah baru dibuka dan muncullah Rico. dengan kaos, celana pendek, dan kacamata. dia sedang bekerja dari rumah.
"biasanya juga langsung masuk," Rico menyingkir, memberi jalan untukku masuk. aku mengangkat bahu dan melangkah masuk. "apa ini?"
"mama masakin soto dan perangkatnya. sengaja dilebihin buat lo," aku mengulurkan rantang berisi soto buatan mama.
"wah, kebetulan gue belum makan. lo udah makan? makan bareng yuk," Rico mengangkat rantang dan bermaksud berjalan ke arah dapur namun aku diam saja. "ayo."
"gue udah makan. gue mau langsung pulang aja," lalu akupun berbalik dan membuka pintu tapi tangan Rico menarik tanganku.
"mau kemana?" tanyanya.
aku langsung salah tingkah. aku tidak ada rencana kemana-mana Sabtu ini. setelah Senin-Jumat asik bekerja, aku hanya ingin beristirahat di rumah, namun mama menyuruhku ke rumah Rico padahal aku sedang tidak ingin bertemu dengannya. maka aku ingin segera pulang lagi.
"gak kemana-mana, mau istirahat aja di rumah," akhirnya aku menjawab.
"temenin gue makan dulu aja, nanti gue anter lo pulang,"
"gue mau tidur,"
"biasa juga lo tidur siang di rumah gue,"
"gue mau tidur di kasur,"
"lo bisa pake kasur kamar tamu,"
"gue mau tidur di kamar gue,"
"anggap aja itu kamar lo. rumah ini bahkan lo punya kuncinya juga,"
"gue gak enak sama Nia,"
"kemarin gue sama dia resmi putus,"
nah, setelah Rico berkata ini baru aku benar-benar berbalik menghadap Rico setelah sedari tadi berargumen sambil menghadap pintu.
"beneran?" tanyaku tidak percaya.
"ya bener,"
"kok bisa?"
"apa yang gak bisa sih? ayo masuk," Rico menarik tanganku dan akupun menyerah. ikut ke dapur dan memperhatikan dia menyiapkan soto untukku dan untuknya, kami makan dalam diam lalu aku mencuci piring sementara Rico berganti baju. setelah semuanya siap, kami bergerak ke pintu dan terkaget-kaget karena Nia muncul di depan pintu.
"susah banget aku cari rumah kamu. ketika akhirnya nemuin, ternyata kalian lagi berdua. lo emang jahat ya Manda," desis Nia. ia mengangkat tangan seperti akan menamparku, aku sudah siap mundur namun rico menahan tangan Nia.
"maksud kamu apa?" nada suara Rico terdengar marah, matanya berkilat.
"aku sudah peringatkan Manda supaya gak deket-deket kamu Rico! tapi nyatanya dia bahkan ada di rumah kamu! apa-apaan ini?"
"kamu melarang Manda dekat denganku?" Rico beralih menatapku, aku memalingkan muka. "dan kenapa itu harus terjadi? Manda sahabatku sejak lama dan seharusnya kamu menerima keadaan itu."
"aku gak suka Manda dekat-dekat kamu karena bahkan saat ga ada Manda pun kamu selalu mikirin dia! apalagi kalau deket dia!" Nia berteriak histeris. aku tercengang. ingat kata-kata Wildan.
"itu urusanku," desis Rico.
"aku gak suka pacarku lebih mikirin cewe lain daripada aku!"
"kita sudah putus. apalagi karena kamu gak bisa menerima keberadaan Manda, maka kamu gak pantas jadi pacarku," kata-kata Rico jahat sekali menurutku. aku sampai membelalak saat dia berkata begitu. "lebih baik kamu pulang, Nia. jangan berani-berani memarahi Manda lagi ataupun melarangnya melakukan apapun. kalau aku sampai tahu, kamu gak akan senang."
Nia menghentakkan kaki. wajahnya terlihat sakit hati sekali. tapi lalu dia pergi, meninggalkan aku dan Rico dalam suasana canggung.
"lo harus ketemu Nia dan minta maaf," aku memulai pembicaraan duluan.
"kenapa harus begitu?" Rico berjalan cuek ke arah mobilnya.
"lo gak tau apa yang bisa dilakukan seorang cewe yang sakit hati. meski lo ngancem kayak tadi, kalau dia nekat, dia bisa ngelakuin apa aja, ke lo atau ke gue," aku menghampiri Rico dan berdiri di sisi penumpang. rico membuka pintu supir dan masuk.
"ya, akan gue lakukan nanti. sekarang kita anter lo pulang dulu aja," Rico mulai menyalakan mesin mobil. aku masuk. "lo gak perlu mikirin kata-kata Nia."
"yang mana?"
"semuanya,"
***
Senin, ketika aku sampai di kantor, meja yang biasa dipakai Nia sudah bersih. tidak ada barang apapun yang tertinggal. aku bertanya pada Tari, yang duduk di dekat Nia dan selalu datang paling pagi.
"Nia kemana?"
"Nia mendadak resign , Mba. dia pulang ke Tasik, mau cari kerjaan disana aja sekalian nemenin ibunya,"
"hah?" aku bengong. sehebat itu efek patah hati yang ditimbulkan Rico? Tari mengangguk lalu kembali menekuni laptopnya.
aku duduk di kursiku, menyalakan laptop lalu termenuung. aku harus tetap menghubungi Nia dan meminta maaf. kukeluarkan hape dan kupencet nomor Nia. setelah sepuluh kali percobaan, barulah telepon itu diangkat.
"Nia?" panggilku.
"bukan Mba, ini bapaknya," sahut suara laki-laki dengan logat Sunda.
"oh maaf Pak. Nia ada?"
ada jeda sekilas. lalu suara bapaknya Nia terdengar lagi. "Nia lagi ga enak badan. ada pesan?"
"tolong bilang sama Nia. ini Manda. Manda minta maaf, semoga Nia mau maafin Manda," ujarku sungguh-sungguh.
"nanti saya sampaikan ke Nia ya Mba," sahut bapaknya.
"iya Pak, terima kasih banyak. semoga Nia lekas sehat kembali," aku menutup telepon. kali ini ganti menelepon Rico.
"Nia resign," kataku begitu Rico berkata halo.
"oh ya?"
"dia pulang ke Tasik. efek patah hati gara-gara lo dahsyat banget," aku bersandar di kursi, memainkan pulpen berbentuk bunga.
"dia butuh waktu berpikir dan itu gak bisa dilakukan kalau ada lo di dekat dia," sahut Rico.
"bisa jadi.." aku terdiam. Rico juga.
"tapi kita harus tetep ngobrol sama Nia," aku memecah keheningan, bangkit berdiri dan menuju pantry untuk membuat kopi.
"ya,"
***
setelah sekian lama, kali ini Rico mengantarku pulang lagi. bahkan dia masuk dan mengobrol dengan kedua orang tuaku, ritual yang sudah lama ditinggalkannya. kali ini aku ikut pembicaraan mereka, tidak menghilang ke kamar seperti biasa.
ketika HP Rico berbunyi, dia melirikku dan berbisik "Nia". aku dan rico buru-buru bangkit, meminta ijin untuk mengangkat telepon lalu kami bergerak menuju teras.
"halo," kata Rico, ia menyalakan loudspeaker.
"halo Rico..."
"ya Nia," balas rico. aku menahan nafas, sebisa mungkin pura-pura tidak ada disitu.
"aku berpikir banyak hal setelah pulang dari rumah kamu. rasanya aku yang terlalu memaksakan kehendak. maka aku memutuskan untuk menenangkan diri, pulang ke rumah. aku minta maaf sudah membuat hidupmu berantakan," mendengar Nia bicara begitu, Rico menghela nafas lega.
"its okay, Nia. ini bisa jadi bahan pelajaran untuk kita semua," balas Rico.
"ya, aku belajar banyak hal. aku juga merasa tidak enak hati pada Manda," mendengar namaku disebut, aku memandang Rico, menunjuk diriku. Rico mengangguk. "aku yang jahat padanya. melarang dia bertemu sahabatnya, mengata-ngatai dia, padahal dia salah satu teman baik yang aku punya."
"kamu bisa minta maaf langsung pada orangnya," sahut rico.
"eh, jangan bilang kalian sedang bersama?"
"sebenarnya ya, Manda mendengar kata-katamu sejak tadi,"
"ya ampuuuun," seru Nia di ujung sana. aku panik, aku khawatir Nia akan marah lagi. "Manda,"
"ya Nia," akhirnya aku memunculkan diri di pembicaraan ini.
"maafin gue ya, udah jahat banget sama lo,"
"gue yang minta maaf, Nia. udah bikin ribet idup lo," aku mendekatkan diri ke hape Rico yang diletakkan di meja teras, agar suaraku terdengar lebih jelas.
"gapapa, gue seneng bisa jadi pacar Rico meski cuma 3 bulan," Nia tertawa. aku nyengir, Rico berdeham. "Manda, coba lo lihat rico lebih dari sekedar sahabat, karena Rico sudah melihat lo lebih dari sekedar sahabat, sejak lama."
kata-kata Nia membuat wajah Rico berubah pucat. aku memandangi Rico, dia malah berdiri dan masuk ke rumah. "kita lihat nanti aja, Nia,"
"baiklah," sahut Nia lagi. "gue pamit ya. bye Rico, bye Manda,"
"Rico kebelet ke toilet, Ni," kataku iseng.
"oh, oke. bye Manda. see you when I see you,"
"ya Nia. take care, sukses," aku menutup telepon. lega karena Nia sudah menerima dengan ikhlas kejadian ini. sekarang tinggal meresapi kata-kata Nia tentang Rico.
***
"lo inget, ini kondangan keberapa yang kita datenggin barengan?" aku dan Rico berjalan keluar dari ballroom hotel tempat dilangsungkannya pernikahan salah satu teman kuliah kami.
"hmm, ga pernah gue itungin," jawab Rico.
"gue juga gak ngitung. tapi sejauh yang gue inget, kita pasti selalu dateng ke kondangan barengan. mau itu kondangan temen kuliah, temen kantor. yaa, kecuali kalau yang nikah temennya mama papa. ya gak?"
Rico merenung. "bener juga,"
"bisa gitu ya?" aku berhenti berjalan. bersyukur karena ini sudah malam hari dan orang-orang masih di dalam.
"kenapa tiba-tiba mikir begini?" Rico ikut berhenti berjalan, kami berdiri berhadapan.
"apa mungkin gue gak akan pernah lepas dari lo? seumur hidup kemana-mana sama lo? ke kondangan, ke kantor, travelling, lebaran, bahkan tinggal di surga bareng?" kuucapkan kata-kata itu dengan nada dan ekspresi datar.
Rico tersenyum, dia mendekati aku dan melingkarkan tangannya di pinggangku, aku tidak menolak.
"if only you want to spend the rest of your life with me," kata Rico.
"i want," jawabku lalu kuletakkan tanganku di pinggangnya dan kusandarkan kepalaku di dadanya. Rico mencium rambutku.
and guys, this is what home feels like.
-THE END-
Komentar